yufid.com

Kamis, 04 Juni 2015

MEMILIH GURU

Posted by Abu Abdillah Riza Firmansyah On 02.19 No comments
HATI-HATILAH MEMILIH GURU
-------------------------

Sesungguhnya segala puji hanya milik Alloh; kami memuji-Nya, memohon pertolongan dan ampunan kepada-Nya. Kami berlindung kepada Alloh dari kejahatan jiwa-jiwa kami dan keburukan amal-amal kami. Barangsiapa yang diberi petunjuk oleh Alloh niscaya tiada yang dapat menyesatkannya. Dan barangsiapa yang disesatkan-Nya niscaya tiada yang dapat memberinya petunjuk. Aku bersaksi bahwa tiada sesembahan yang haq melainkan Alloh semata tanpa ada sekutu bagi-Nya. Dan aku bersaksi bahwa Muhammad adalah hamba dan Rosul utusan-Nya. Amma ba’du:
Wasiat dan Pelajaran Berharga Salafus Sholih:

Muhammad bin Sirin Rohimahulloh berkata: “Sesungguhnya ilmu ini adalah agama maka hendaklah kalian meneliti dari siapa kalian mengambil agama kalian.”
Beliau Rohimahulloh juga berkata: “Dahulu mereka (Salafus Sholih) tidak pernah menanyakan tentang isnad (rangkaian para penyampai hadits secara berantai sampai kepada sumbernya). Namun tatkala terjadi fitnah (ketidak jelasan), mereka berkata: “Sebutkan dari siapa saja kalian menukil.” Maka diteliti, jika sumbernya berasal dari Ahlus Sunnah mereka menerima haditsnya. Jika berasal dari Ahli Bid’ah mereka tidak mengambil haditsnya.”
Abuz Zinad Rohimahulloh berkata: “Di Madinah aku bertemu dengan seratus orang (ulama), semua mereka orang yang dipercaya namun hadits tidak diambil dari mereka. Sebab dikatakan bahwa mereka bukan ahlinya.”

Ketiga ucapan ini terdapat dalam Mukaddimah Shahih Muslim, Bab Bayan Annal Isnad Minad Diin.
Dari ketiga riwayat ini bisa diambil beberapa faidah di antaranya:

1. Telitinya para ulama Salaf dalam mengambil ilmu. Padahal mereka adalah para ulama besar. Zaman mereka dekat dengan zaman Rosululloh  dan para sahabat .
2. Mereka selalu mengambil ilmu dari ahlinya. Meskipun seseorang dikenal amanah, namun jika bukan ahlinya maka mereka tetap tidak mengambil ilmu darinya. Lantas bagaimana jika orang tersebut suka berbohong demi sampai kepada tujuannya? Atau mengorbankan Sunnah demi memuluskan niat yang ingin dicapainya?

Karena itu, berangkat dari wasiat dan pelajaran berharga para panutan kita ini kami katakan:
Hati-Hatilah Terhadap Hal-Hal Berikut:
A. Orang yang menggugurkan sebagian Sunnah untuk mencapai tujuan. Dengan alasan untuk berlemah lembut atau maslahat dakwah.
Contohnya:
- Toleran dalam membahas akidah, seperti tidak menyinggung masalah di mana Alloh.
- Ikut terseret dalam amalan bid’ah, seperti memimpin doa setelah selesai acara-acara dan menghadiri Maulid.
Ini menunjukkan kekurang fahamannya tentang Manhaj Dakwah. Adakah maslahat yang lebih besar daripada memperkuat akidah, terutama dalam masalah “Di mana Alloh” yang orang model ini dan kita sama-sama mengetahui penyimpangan mayoritas kaum muslimin di dalamnya? Padahal Rosululloh  menjadikan masalah ini sebagai tolak ukur keimanan seseorang, sebagaimana hadits yang sudah sering kita dengar dan baca. Tentang budak Mu’awiyah bin Hakam As-Sullami  yang ditanya tentang dua hal: Di mana Alloh dan siapakah Muhammad ? Ketika jawabannya Alloh di atas langit dan Muhammad adalah Rosul utusan Alloh, Rosululloh  bersabda:
أَعْتِقْهَا فَإِنَّهَا مُؤْمِنَةٌ
“Merdekakanlah dia, sesungguhnya dia wanita yang beriman.” (Shahih Muslim: 836).
Dan adakah mudharat yang lebih besar dari matinya sebuah Sunnah dan hidupnya sebuah Bid’ah? Jangan sampai ada yang mengganggap bahwa Hikmah dalam Dakwah menuntut untuk selalu toleransi selama itu mendatangkan maslahat dakwah, sebagaimana anggapan sebagian da’i yang bermodal semangat namun ilmu kurang. Sungguh ini merupakan cela dalam bermanhaj. Banyak sekali contoh perkara-perkara yang tidak ditolerir oleh Nabi . Silahkan baca tafsir surat Al-Kafirun. Kemudian ketika orang-orang Quraisy meminta supaya dikhususkan tempat duduk mereka dari kaum muslimin yang lemah-lemah, turunlah ayat 52 surat Al-An’am. Kemudian kisah Abu Bakr  yang tidak mentolerir orang-orang yang menolak untuk membayar zakat, padahal masa itu masa genting di mana banyak bangsa arab yang murtad. Namun ternyata Abu Bakr  tetap memutuskan untuk memerangi mereka. Dan masih banyak lagi contoh dalam Sejarah hidup Nabi  dan para Sahabat . Silahkan dikaji.
B. Enggan menamai diri Salafi dan memfatwakan agar tidak usah menggunakan istilah Salafi, dengan alasan bahwa hal tersebut bisa membuat orang lari dari dakwah. Atau merupakan salah satu bentuk pengkotakan umat.
Apakah istilah Salafi yang merupakan penisbatan diri kepada Salafus Sholih  merupakan suatu hal tercela?
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah Rohimahulloh berkata dalam Majmu’ Fatawa (IV/ 149): “Tidaklah tercela orang yang menampakkan Madzhab Salaf dan menisbatkan diri kepadanya. Bahkan wajib menerima hal itu darinya dengan ittifaq (kesepakatan ulama). Karena sesungguhnya tidaklah Madzhab Salaf melainkan kebenaran.”
Sesungguhnya penisbatan kepada Salaf perkara yang harus, agar jelas mana salafi yang haq dengan yang hanya berkedok di belakangnya. Agar tidak ada kesamaran bagi setiap orang yang mengikuti jejak Salaf. Jika madzhab-madzhab menyimpang dan kelompok-kelompok sesat dan menyesatkan bertaburan di mana-mana, maka Ahlul Haq (orang-orang yang berpegang kepada kebenaran) menyiarkan nisbat mereka kepada Salaf dengan tujuan untuk berlepas diri dari orang-orang yang menyelisihi mereka. Alloh ta’ala berfirman kepada Nabi-Nya  dan kaum mukminin: Jika mereka berpaling Maka Katakanlah kepada mereka: “Saksikanlah, bahwa Kami adalah orang-orang yang berserah diri (kepada Alloh).” (QS. Ali Imron: 64).
Jika orang yang seperti di atas pemikirannya adil, kenapa dia tidak menghapus istilah-istilah seperti Asy-Syafi’iyah, Al-Malikiyah, An-Nahdhiyah dst yang tentunya dia sendiri tidak mungkin mengatakan penisbatan mereka lebih mulia dari penisbatan kepada Salafus Sholih .
Kemudian perlu orang macam ini membuka mata, bahwa Dakwah Sunnah – walhamdulillah – telah menyebar dan telah dikenal orang. Maka masih takutkah Anda memperkenalkan diri wahai saudaraku?
C. Orang yang tidak menghargai orang-orang berilmu.
Rosululloh  bersabda:
لَيْسَ مِنَّا مَنْ لَمْ يُجِلَّ كَبِيْرَنَا وَيَرْحَمْ صَغِيْرَنَا وَيَعْرِفْ لِعَالِمِنَا حَقَّهُ
“Bukan termasuk golongan kami orang yang tidak menghormati orang tua di antara kami, tidak mengasihi anak kecil di antara kami dan tidak mengenal hak orang alim di antara kami.” (HR. Al-Hakim dengan sanad yang hasan. Takhrij At-Targhib: I/ 46).
‘Aun bin Abdillah Rohimahulloh berkata: “Dikatakan bahwa jika engkau bisa hendaklah engkau menjadi orang alim. Jika tidak bisa maka jadilah penuntut ilmu. Jika engkau bukan penuntut ilmu maka cintailah mereka (ulama dan penuntut ilmu). Jika engkau tidak mencintai mereka maka janganlah membenci mereka.” (Diriwayatkan oleh Abu Khaitsamah An-Nasa’i dalam Kitabul Ilmi, Atsar nomor 2).
Namun hadirlah segelintir orang di zaman ini memperkeruh kejernihan hubungan murid dengan gurunya. Mereka menyebut ustadz-ustadz dengan julukan-julukan yang buruk, atau sifat-sifat yang buruk, atau dengan mengatakan “Si Fulan” atau dalam bahasa lomboknya “Lo Fulan” atau dengan hanya menyebut namanya saja dengan maksud merendahkan. Padahal dari ustadz-ustadz tersebutlah orang-orang ini mengenal Sunnah. Wallohul Musta’an.
D. Orang yang menyerukan tatsabbut (meniliti) ketika ada seorang dari kalangan Ahlul Ilmi memberikan kritik ataupun memberikan peringatan kepada umat akan suatu kesalahan yang berkaitan dengan seseorang atau kelompok.
Ucapan ini (ajakan untuk tatsabbut) merupakan “Ucapan yang haq namun dimaksudkan untuk kebatilan.” Sebab ucapan ini mengandung beberapa kerusakan di antaranya:
1. Menolak berita yang disampaikan oleh seorang yang terpercaya meskipun dari kalangan Ahlul Ilmi. Padahal kaidah mengatakan: “Hukum asal seorang ulama adalah ‘adil (tidak fasik).” Yang artinya apa yang mereka sampaikan bisa dipercaya.berdasarkan sabda Rosululloh :
يَحْمِلُ هَذَا الدِّيْنَ مِنْ كُلِّ خَلْفٍ عُدُوْلُهُ
“Yang membawa agama ini dari setiap generasi adalah orang-orang yang adil (tidak fasik).” (Hadits hasan lighairihi riwayat Al-Uqaili dalam Dhu’afa’ul Kabir: I/ 26 dan Ibnu Abi Khuzaimah dalam Al-Jarh Wat Ta’dil: II/ 17. Lihat: Basha’ir Dzawis Syaraf).
2. Menolak Khabar Ahad (berita yang hanya disampaikan oleh satu orang saja).
3. Pada prakteknya, para penyeru tatsabbut ini tidak hanya menolak berita satu orang, namun berita banyak orang dari kalangan Ahlul Ilmi. Tidakkah ini minimal menunjukkan ketidak percayaan kepada Ahlul Ilmi? Lantas siapakah yang bisa dipercaya jika mereka tidak bisa dipercaya?
4. Menimbulkan keraguan dan ketidak percayaan umat terhadap para ulama dan penuntut ilmu yang menyuarakan kebenaran.
E. Orang yang menjauhi para ulama dan penuntut ilmu senior.
Rosululloh  bersabda:
اَلْبَرَكَةُ مَعَ اْلأَكَابِرِ
“Keberkahan itu bersama orang-orang tua.” (Mauridh Azh-Zham’an: I/ 473).
Akibatnya, dia mengambil ilmu bukan kepada ahlinya. Padahal Rosululloh  telah bersabda:
إِنَّ مِنْ أَشْرَاطِ السَّاعَةِ أَنْ يُلْتَمَسَ الْعِلْمُ عِنْدَ اْلأَصَاغِرِ
“Di antara tanda-tanda hari kiamat adalah menuntut ilmu dari ahli bid’ah.” (Silsilah Hadits Shahih nomor 695).
F. Orang yang tetap menjalin hubungan dengan sosok, lembaga, yayasan atau lainnya yang telah diingatkan oleh para Ahlul Ilmi untuk dihindari. Dan malah membelanya. Penyebab dari hal ini adalah point C, D dan E. Terlebih jika ada kesombongan dan niat yang buruk. Wal ‘iyaadzubillah.
G. Orang yang tidak pernah punya pendirian tetap. Kemarin menentang partai namun sekarang ikut berpartai ria. Kemarin mencela sebuah kelompok yang dikenal menyimpang, namun hari ini bergandengan tangan. Kesimpulannya, sikap berubah sesuai selera dan keadaan. Padahal salah satu tanda pengikut Manhaj Yang Haq adalah tegak di atas manhajnya, baik dalam keadaan senang, susah, giat, terpaksa ataupun ketika hak-haknya dilalaikan. Berbeda dengan orang yang tidak memiliki pijakan dan asas yang tetap ataupun permanen. Terkadang dia menyeleweng ketika susah, dan terkadang mendengar dan taat ketika lapang. Berdasarkan sabda Rosululloh :
عَلَيْكَ بِالسَّمْعِ وَ الطَّاعَةِ فِي عُسْرِكَ وَ يُسْرِكَ وَ مَنْشَطِكَ وَ مَكْرَهِكَ وَ أَثَرَةٍ عَلَيْكَ
“Wajib atasmu untuk mendengar dan taat (kepada penguasa). Baik pada masa sulitmu atau pada masa senangmu. Baik pada waktu engkau giat maupun tidak senang. Dan ketika pemimpinmu lebih mementingkan dirinya dan melupakan hakmu.” (Diriwayatkan oleh Muslim: 3419).
Seruan:
Alloh Ta’ala berfirman:

Maka Tanyakanlah olehmu kepada orang-orang yang berilmu, jika kamu tiada mengetahui. (QS. Al-Anbiya’: 7).
Maka bagi setiap orang yang belum mengetahui hakikat sebuah perkara yang berkaitan dengan agamanya, atau masih ragu di dalamnya, hendaklah dia segera bertanya kepada orang yang berilmu. Semoga Alloh memberikan kita semua taufik untuk membedakan kebenaran dengan kebatilan.
Daftar Pustaka:

1. Shahih Muslim Bisyarhin Nawawi.
2. Al-Ajwibah An-Nafi’ah ‘An As’ilatil Manahij Al-Jadidah. Syaikh Shalih Al-Fauzan.
3. At-Tatsabbut Fis Syari’ah Al-Islamiyah, Syaikh Rabi’ bin Hadi Al-Madkholi.
4. Maktabah Syamilah: Untuk pencarian hadits.
5. Dan rujukan-rujukan lainnya.

abu abbas

0 komentar:

Cari Artikel Hidayahsalaf