yufid.com

Kamis, 04 Juni 2015

LEMAH LEMBUT ATAU MUDAHANAH

Posted by Abu Abdillah Riza Firmansyah On 02.15 No comments
HATI HATILAH WAHAI PARA DA'I
ANDA TENGAH BERLEMAH LEMBUT ATAUKAH BERMUDAHANAH ?
--------------------------------------------------

Katakanlah: “Inilah jalan (agama) ku, aku dan orang-orang yang mengikutiku mengajak (kamu) kepada Allah dengan hujjah yang nyata, Maha suci Allah, dan aku tiada Termasuk orang-orang yang musyrik.” (QS. Yusuf: 108).

Ayat di atas menegaskan bahwa dakwah Nabi  tegak di atas ilmu, bukan berdasarkan semangat ataupun kepintaran berbicara semata. Demikianlah Manhaj Dakwah Nabi  yang telah Alloh  gariskan bagi setiap da’i yang meniti jejak beliau hingga hari kiamat. Yaitu seorang da’i (juru dakwah) harus: Pertama memiliki ilmu dalam dirinya dan kedua memiliki ilmu tentang apa yang didakwahkannya. Sesungguhnya orang yang jahil tidak layak untuk memajukan diri berdakwah, sebab dia hanya akan merusak lebih banyak daripada melakukan perbaikan.

Namun, ternyata terlalu banyak orang yang salah cara dalam cemburu terhadap agamanya (demikian kita berhusnu zhon kepada mereka). Sehingga mereka beramai-ramai mengambil andil dalam tugas yang mulia ini. Namun, sayangnya tanpa ilmu. Hanya bermodal ghiroh, semangat dan kemampuan menyihir pendengar. Hingga muncullah berbagai kerancuan dan bahkan talbis dalam dakwah yang mulia ini. Disebabkan oleh orang yang tidak memahami dengan benar Manhaj Dakwah Nabawiyah (jika tidak mau dikatakan tidak pernah belajar sama sekali).
Ada satu perkara yang harus diperjelas karena banyak da’i yang mentalbis masalah ini dan bahkan menjadikannya senjata untuk menyerang para da’i yang berusaha menegakkan Manhaj Nabawi, berdakwah sesuai aturannya yang telah baku. Perkara tersebut adalah Ar-Rifqu (اَلرِّفْقُ) yang diterjemahkan dengan Lemah Lembut dalam berdakwah.
Pengertian Ar-Rifqu.
Ar-Rifqu secara bahasa adalah lemah lembut, lawan dari kasar. Ar-Rifqu bisa juga disebut Mudaroh (اَلْمُدَارَاةُ) dan sangat berlawanan dengan Mudahanah (اَلْمُدَاهَنَةُ).
Mudaroh adalah menghindari mafsadah (kerusakan) dan kejahatan dengan ucapan yang lembut atau meninggalkan kekerasan dan sikap kasar, atau berpaling dari orang jahat jika ditakutkan kejahatannya atau terjadinya hal yang lebih besar dari kejahatan yang sedang dilakukan.
Imam Bukhori رحمه الله mencantumkan satu bab dalam Shohihnya “Bab Mudaroh kepada manusia.” Kemudian mencantumkan hadits Aisyah bahwa seorang lelaki meminta untuk bertemu dengan Rosululloh . Beliaupun berkata: “Izinkan dia. Sungguh dia anak keluarga yang jelek – atau sungguh dia saudara keluarga yang jelek –“ namun ketika dia masuk, beliau berkata halus padanya. Aisyah berkata: “Akupun berkata kepada beliau: “Wahai Rosululloh, tadi Anda berkata begini dan begitu namun Anda berkata halus padanya.” Beliaupun bersabda:
أَيْ عَائِشَةُ إِنَّ شَرَّ النَّاسِ مَنْزِلَةً عِنْدَ اللهِ مَنْ تَرَكَهُ – أَوْ وَدَعَهُ – النَّاسُ اتِّقَاءَ فُحْشِهِ
“Wahai Aisyah, sesungguhnya seburuk-buruk manusia adalah yang dihindari oleh manusia karena khawatir akan kejahatannya.”
Nabi  telah berbuat mudarah dengan orang tadi ketika dia menemui Nabi  -padahal orang itu jahat- karena beliau menginginkan kemaslahatan agama. Maka hal itu menunjukkan bahwa mudarah tidak bertentangan dengan al-wala' wal bara', kalau memang mengandung kemaslahatan lebih banyak dalam bentuk menolak kejahatan atau menundukkan hatinya atau memperkecil dan memperingan kejahatan.
Ini adalah salah satu metode dalam berdakwah kepada Allah. Termasuk di dalamnya adalah mudarah Nabi  terhadap orang-orang munafik karena khawatir akan kejahatan mereka dan untuk menundukkan hati mereka dan orang lain.
Sedangkan Mudahanah artinya berpura-pura, menyerah dan meninggalkan kewajiban amar ma'ruf nahi mungkar serta melalaikan hal tersebut karena tujuan duniawi atau ambisi pribadi. Maka berbaik hati, bermurah hati atau berteman dengan ahli maksiat ketika mereka berada dalam kemaksiatannya, sementara ia tidak melakukan pengingkaran padahal ia mampu kelakukannya maka itulah mudahanah.
Ibnu Baththol رحمه الله berkata: “Sebagian menyangka bahwa Mudaroh sama dengan Mudahanah, padahal itu salah. Sebab Mudaroh dianjurkan sedangkan Mudahanah diharamkan. Bedanya adalah Mudahanah berasal dari kata Dihan yaitu orang yang secara zhahir lain namun menyembunyikan keadaan batinnya. Ditafsirkan oleh para ulama bahwa Mudahanah adalah bergaul dengan orang fasik dan menampakkan keridhoan dengan keadaannya tanpa mengingkarinya.
Sedangkan Mudaroh adalah lemah lembut kepada orang jahil dalam mengajarinya dan terhadap orang fasik ketika melarang perbuatannya, tanpa keras, dimana dia tidak menampakkan keadaannya, serta mengingkarinya dengan kata dan perbuatan yang halus. Terlebih ketika dibutuhkan untuk lemah lembut kepadanya dan lainnya.”
Pelajaran dari Dakwah Rosul .
Pertama: Anas bin Malik  bercerita: “Ketika kami tengah berada di Masjid bersama Rosululloh , tiba-tiba datang seorang Badui. Sekonyong-konyong dia kencing di dalam masjid. Para sahabat Rosululloh  pun berseru: “Berhenti!!” Rosululloh  berkata: “Jangan dihentikan, biarkan dia.” Para sahabatpun lantas membiarkannya hingga lelaki itu selesai kencing. Kemudian Rosululloh  memanggilnya dan bersabda:
إِنَّ هَذِهِ الْمَسَاجِدَ لاَ تَصْلُحُ لِشَيْءٍ مِنْ هَذَا الْبَوْلِ وَ لاَ الْقَذَرِ إِنَّمَا هِيَ لِذِكْرِ اللهِ وَ الصَّلاَةِ وَ قِرَاءَةِ الْقُرْآنِ
“Sesungguhnya masjid-masjid ini sama sekali tidak pantas untuk kencing ataupun kotoran. Sesungguhnya masjid itu hanya untuk berdzikir mengingat Alloh, sholat dan membaca Al-Qur’an.”
Anas  berkata: “Kemudian beliau memerintahkan seorang yang hadir untuk mengambil seember air dan menyiram bekas kencing lelaki badui tersebut.” (HR. Bukhori I/ 322 dan Muslim: I/ 236).
Perhatikanlah, ketika beliau berlemah lembut dengan lelaki badui tersebut (dan memang orang-orang badui terkenal keras dan jahil) apakah beliau tidak mengingkari perbuatannya dan menjelaskan yang benar kepadanya? Justru beliau tetap memberikan penjelasan. Hanya saja beliau membiarkannya untuk tetap kencing karena maslahat yang jelas. Maslahat yang kembali kepada masjid dan lelaki itu sendiri. Bukan seperti sebagian da’i sekarang ini yang membungkus mudahanah dengan ar-rifq, membiarkan kemungkaran untuk maslahat pribadi. Sekali lagi wahai para da’i, apakah Rosululloh  tidak mengingkari perbuatannya dan menjelaskan kebenaran?
Kedua: Mu’awiyah bin Hakam As-Sullami  bercerita: “Ketika aku sholat bersama Rosululloh , seorang ma’mum tiba-tiba bersin. Akupun berkata: “Yarhamukalloh” orang-orang lantas memelototi aku. Akupun berkata: “Hey, kenapa kalian melihat aku seperti itu?” Mereka lantas memukul paha-paha mereka. Akupun mengerti kalau mereka menyuruhku diam, akhirnya aku diam. Ketika Rosululloh  selesai sholat, demi Alloh aku tidak pernah melihat seorang guru sebelum beliau ataupun sesudahnya yang lebih baik dari beliau. Demi Alloh beliau tidaklah membentak aku, tidak pula memukul aku ataupun mencerca aku. Beliau berkata:
إِنَّ هَذِهِ الصَّلاَةَ لاَ يَصْلُحُ فِيْهَا شَيْءٌ مِنْ كَلاَمِ النَّاسِ إِنَّمَا هُوَ التَّسْبِيْحُ وَ التَّكْبِيْرُ وَ قِرَاءَةُ الْقُرْآنِ
“Sesungguhnya shalat ini tidak pantas ada omongan manusia di dalamnya. Sholat itu tidak lain hanya tasbih, takbir dan membaca Al-Qur’an.” (HR. Muslim: I/ 381).
Sekali lagi perhatikanlah, apakah Rosululloh  tidak mengingkari perbuatannya dan menjelaskan kebenaran padanya? Sekali lagi bandingkanlah dengan para da’i yang mentalbis Mudahanah dengan Ar-Rifq.
Ketiga: Umar bin Abi Salamah  berkata: “Dahulu waktu aku kecil dan dalam asuhan Rosululloh , tanganku meraih makanan pada wadah ke semua arah. Rosululloh  lantas berkata kepadaku:
يَا غُلاَمُ سَمِّ اللهَ وَ كُلْ بِيَمِيْنِكَ وَ كُلْ مِمَّا يَلِيْكَ
“Wahai anak kecil, bacalah Bismillah. Kemudian makanlah dengan tangan kananmu dan makanlah apa yang dekat darimu.”
Sejak itu, seperti itulah cara makanku.” (HR. Bukhori: 5376 dan Muslim: 2022).
Sekali lagi, apakah beliau  tidak mengingkari perbuatannya dan menjelaskan yang benar padanya? Dan perlu Anda ingat wahai para da’i akan kaidah penting dalam berdakwah:
لاَ يَجُوْزُ تَأْخِيْرُ الْبَيَانِ عَنْ وَقْتِ الْحَاجَةِ
“Tidak boleh menunda penjelasan dari waktu dibutuhkannya penjelasan tersebut.”
Demikianlah beberapa contoh dari sekian banyak contoh dari metode Dakwah Rosululloh , mari kita sama-sama pahami dengan benar. Wallo waliyyut taufiq.
Mereka bilang kami keras.
Di sini kami nukilkan ucapan Syaikh Jamilurrohman رحمه الله panglima Jama’atul Jihad di Afganistan yang salafi. Ucapan beliau ini kami nukilkan untuk menjawab tuduhan atas Dakwah Salafiyah. Beliau رحمه الله pernah ditanya: “Ada yang bilang bahwa metode dakwah Anda dalam mengajak kepada akidah yang benar adalah keras dan membuat orang takut.” Beliau Menjawab: “Kami mengetahui bahwa salah satu hal yang wajib dalam berdakwah adalah memperhatikan keadaan orang yang didakwahi. Dan memilih metode lemah lembut bukan keras ataupun menakuti. Alloh Ta’ala berfirman:
        
Maka berbicaralah kamu berdua kepadanya dengan kata-kata yang lemah lembut, Mudah-mudahan ia ingat atau takut.” (QS. Thoha: 44).
Alloh Ta’ala juga berfirman:
               
Maka disebabkan rahmat dari Allah-lah kamu Berlaku lemah lembut terhadap mereka. Sekiranya kamu bersikap keras lagi berhati kasar, tentulah mereka menjauhkan diri dari sekelilingmu. (QS. Ali Imron: 159).
Dan Alloh  juga berfirman:
            
Serulah (manusia) kepada jalan Tuhan-mu dengan hikmah dan pelajaran yang baik dan bantahlah mereka dengan cara yang baik. (QS. An-Nahl: 125).
Kami tidaklah keluar dari batasan-batasan itu demi mengagungkan perintah Alloh  dan mengikuti para nabi-Nya ‘alaihimus sholatu was salam. Maka orang-orang yang menuduh kami keras, jika mereka termasuk orang-orang yang berpegang kepada akidah yang benar dan mengetahui wajibnya berdakwah kepada tauhid, serta menunaikan haknya, mengambil sikap yang benar dan jelas di mana manusia mengenali akidah dan dakwah mereka. Namun mereka menganggap metode kami keras, maka mereka wajib memperbaikinya dan membimbing kami kepada metode yang sesuai. Karena kami tidaklah mengklaim bahwa metode kami bagus dan unggul dalam berdakwah hingga taraf tertinggi yang harus menjadi pijakan dakwah. Sebab yang seperti itu adalah para Nabi ‘alaihimus salam. Karena mereka ma’shum dalam menyampaikan dakwah dan mengemban risalah dengan jaminan dari Alloh, dan mereka dikuatkan dengan wahyu dari Alloh. Bagaimanapun kami mengaku dan yakin bahwa akidah kami benar dan mendakwahkannya wajib, kami tetap wajib untuk memilih metode dakwah yang kami ketahui mengumpulkan segala sisi yang tepat, dikemasi dengan sebab-sebab yang mendatangkan sambutan dari manusia.

Namun, jika mereka (orang-orang yang menuduh-pent.) termasuk orang-orang menentang akidah dan dakwah, atau menentang dakwah itu sendiri. Maka tidaklah tuduhan mereka itu dimaksudkan kecuali untuk menentang inti dakwah dan memeranginya dengan metode yang busuk. Maka kami katakan kepada mereka: Mari kita membahas inti permasalahannya, yaitu masalah akidah dan dakwah. Kemudian setelah tuntas dan sepakat, kita membahas metode dakwah. Kita pilih secara sepakat metode yang kalian ridhoi. Adapun jika kalian menyelisihi kami dari akar masalah, atau kalian memilih sikap diam dan mudahanah, maka tidak selayaknya kalian menuduh metode dakwah yang benar. Sebaliknya, periksalah diri kalian sebelum kalian memeriksa orang lain.

Setelah jelas apa yang telah disebutkan tentang si penuduh, kami katakan bahwa para pengekor bid’ah dan hawa nafsu selalu melawan Ahlus Sunnah dengan keras dan kasar. Mereka mengkafirkan para penyelisih dengan hawa nafsu dan mengeluarkan mereka dari agama. Mereka tidak sholat di belakangnya bahkan mereka membolehkannya dan memfatwakan bolehnya membunuh mereka. Mereka menggerakkan orang awam untuk membunuh dan mengganggu mereka. Ini jelas bagi setiap orang yang mengenal keadaan para pelaku bid’ah dari zaman dahulu.” (Dinukil dari Ma’alim Al-Manhaj An-Nabawi halaman 21-23 karya Syaikh Muhammad Musa Alu Nashr حفظه الله).

Demikianlah wahai saudaraku, wahai para da’i. Semoga bisa dijadikan pelajaran. Wallohu a’lam.



abu abbas



0 komentar:

Cari Artikel Hidayahsalaf