Penjelasan Sederhana Tentang Talak (perceraian), Rujuk dan
Iddah (Revisi-dilengkapi)
(Al-Ustadz Abu
Ibrahim ‘Abdullah al-Jakarti)
Diantara perkara yang
penting untuk diketahui adalah permasalahan talak, oleh karena itu pada
kesempatan ini kami bawakan sedikit penjelasan seputar
talak yang di rangkum dari beberapa kitab fiqih dengan harapan semoga
bermanfaat bagi diri penulis pribadi dan kaum muslimin.
Pembahasan Pertama:
Pengertian talak
Talak secara bahasa :
( التخلية) Melepaskan.
Secara syar’i : ( حل قيد النكاح أو بعضه) Melepaskan ikatan pernikahan secara
menyeluruh atau sebagiannya. (Taudihul Ahkam:5/476-Al-mulakhos Al-Fiqhiy, hlm.
410)
Pembahasan Kedua:
Tentang Dalil disyari’atkannya talak dari Al-Qur’an, As-Sunnah dan Ijma.
Dalil dari Al-Qur’an,
الطَّلاقُ مَرَّتَانِ فَإمْسَاكٌ بِمَعْرُوفٍ أَوْ تَسْرِيحٌ
بِإِحْسَانٍ
“Thalak (yang dapat
dirujuki) dua kali. Setelah itu boleh rujuk lagi dengan cara yang ma’ruf atau
menceraikan dengan cara yang baik.” (Al Baqarah : 229)
Dalil dari Sunnah
Diantaranya sebuah
hadits yang diriwayatkan dari Ibnu Umar rahiyallahu anhuma bahwasannya dia
menalak istrinya yang sedang haidh. Umar menanyakan hal itu kepada Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wasallam, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda
:
مُرْهُ فَلْيُرَاجِعْهَا ثُمَّ لْيَتْرُكْهَا حَتَّى تَطْهُرَ
ثُمَّ تَحِيضَ ثُمَّ تَطْهُرَ ثُمَّ إِنْ شَاءَ أَمْسَكَ بَعْدُ وَإِنْ شَاءَ
طَلَّقَ قَبْلَ أَنْ يَمَسَّ فَتِلْكَ الْعِدَّةُ الَّتِى أَمَرَ اللَّهُ عَزَّ
وَجَلَّ أَنْ يُطَلَّقَ لَهَا النِّسَاءُ
“Perintahkan kepadanya
agar dia merujuk istrinya, kemudian membiarkan
bersamanya sampai suci, kemudian haid lagi, kemudian suci lagi. Lantas setelah
itu terserah kepadanya, dia bisa mempertahankannya jika mau dan dia bisa
menalaknya (mencraikannya) sebelum menyentuhnya (jima’) jika mau. Itulah
iddah seperti yang diperintahkan oleh Allah agar para istri yang ditalak dapat
langsung menhadapinya (iddah)” (HR. Bukhari dan Muslim).
Ijma
Berkata Asy-Syaikh
Al-Allamah Shalih Al-Fauzan: “Sungguh telah dihikayatkan adanya ijma’
atas di syariat-kannya talak (cerai) lebih dari satu ulama.” (Al-Mulakhos
Al-Fiqhiy, hlm 411)
Pembahasan Ketiga:
Tentang Hukum Talak
Berkata Asy-Syaikh
Shalih Al-Fauzan: “Adapun hukumnya berbeda-beda sesuai dengan perbedaan
keadaan, terkadang hukumnya mubah, terkadang hukumnya makruh, terkadang
hukumnya mustahab (sunnah), terkadang hukumnya wajib, dan terkadang hukumnya
haram. Hukumnys sesuai dengan hukum yang lima.” (Al-Mulakhos
Al-Fiqhiy, hlm 410)
1.
Makruh
Talak yang hukumnya
makruh yaitu ketika suami menjatuhkan talak tanpa ada hajat (kebutuhan) yang
menuntut terjadinya perceraian. Padahal keadaan rumah tangganya berjalan dengan
baik.
2.
Haram
Talak yang hukumnya
haram yaitu ketika di jatuhkan tidak sesuai petunjuk syar’i. Yaitu suami
menjatuhkan talak dalam keadaan yang dilarang dalam agama kita. dan terjadi
pada dua keadaan:
Pertama : Suami menjatuhkan talak ketika istri sedang
dalam keadaan haid
Kedua : Suami menjatuhkan talak kepada istri
pada saat suci setelah digauli tanpa diketahui hamil/tidak.
3.
Mubah (boleh)
Talak yang hukumnya
mubah yaitu ketika suami berhajat atau mempunyai alasan untuk menalak istrinya.
Seperti karena suami tidak mencintai istrinya, atau karena perangai dan
kelakuan yang buruk yang ada pada istri sementara suami tidak sanggup bershabar
kemudian menceraikannya. Namun bershabar lebih baik.
فَإِنْ كَرِهْتُمُوهُنَّ فَعَسَى أَنْ تَكْرَهُوا شَيْئًا
وَيَجْعَلَ اللهُ فِيهِ خَيْرًا كَثِيرًا
“Kemudian bila kamu
tidak menyukai mereka, (maka bersabarlah) karena mungkin kamu tidak menyukai
sesuatu, Padahal Allah menjadikan padanya kebaikan yang banyak.” (An-Nisa’ : 19)
4.
Sunnah
Talak yang hukumnya
sunnah ketika di jatuhkan oleh suami demi kemaslahatan istrinya serta mencegah
kemudharatan jika tetap bersama dengan dirinya, meskipun sesungguhnya suaminya
masih mencintainya. Seperti sang istri tidak mencintai suaminya, tidak bisa
hidup dengannya dan merasa khawatir tidak bisa menjalankan tugasnya sebagai
seorang istri. Talak yang dilakukan suami pada keadaan seperti ini terhitung
sebagai kebaikan terhadap istri. Hal ini termasuk dalam keumuman firman
Allah subhaanahu wata’ala :
وَأَحْسِنُوا إِنَّ اللهَ يُحِبُّ المُحْسِنِينَ
“Dan berbuat baiklah,
karena Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berbuat baik.” (Qs. Al Baqarah :195)
5.
Wajib
Talak yang hukumnya
wajib yaitu bagi suami yang meng-ila’ istrinya (bersumpah tidak akan menggauli
istrinya, -ed.) setelah masa penangguhannya selama empat bulan telah habis,
bilamana ia enggan kembali kepada istrinya. Hakim berwenang memaksanya untuk menalak
istrinya pada keadaan ini atau hakim yang menjatuhkan talak tersebut. (Silahkan
lihat Taudiihul Ahkam : 5/488, Al-Mulakhos Al-Fiqhiy, hlm. 410, Fiqih Muyyasar,
hlm. 306)
Pembahasan Keempat:
Talak hanya Jatuh jika diucapkan adapun hanya niat semata tidak jatuh.
Talak hanya jatuh jika
di ucapkan. Adapun niat semata dalam hati tanpa di ucapkan, tidak terhitung
talak.
Berkata Asy-Syaikh
Al-Allamah Shalih Al-Fauzan hafidzahullah : “Tidak jatuh talak darinya dan
tidak juga dari yang mewakilinya kecuali dengan di ucap-kan dengannya, walaupun
meniatkan dalam hatinya; tidak jatuh talak. Sampai lisannya bergerak
mngucapkannya. Berdasarkan hadits Rasulullah shallallahu ‘alihi wasallam:
إِنَّ اللَّهَ تَجَاوَزَ عَنْ أُمَّتِي مَا حَدَّثَتْ بِهِ
أَنْفُسَهَا مَا لَمْ تَعْمَلْ ، أَوْ تَتَكَلَّمْ
“Sesunggunya Allah
memaafkan dari ummatku apa yang dikatakan (terbesik) oleh jiwanya selama tidak
di lakukan dan di ucapkan.”
(HR. al-Bukhari no 5269 dan Muslim no 127) (Mulakhos
Al-Fiqhy, hlm 414)
Pembahasan Kelima:
Tentang yang Berwenang Menjatuhkan Talak
Talak sah jika dari
suami yang baligh, berakal, mumayyiz yang mengerti dengan apa yang dipilih
(mengerti makna talak –ed), atau orang yang mewakilinya. Talak tidak
jatuh (tidak sah) dari selain suami, anak kecil, orang gila, orang mabuk, orang
yang dipaksa, dan orang yang dalam keadaan marah yang sangat yang tidak sadar
dengan apa yang di ucapkannya.” (Fiqih Muyyasar, hlm 305)
diantara dalilnya
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda :
رُفِعَ الْقَلَمُ عَنْ ثَلاَثَةٍ عَنِ النَّائِمِ حَتَّى
يَسْتَيْقِظَ وَعَنِ الصَّبِىِّ حَتَّى يَحْتَلِمَ وَعَنِ الْمَجْنُونِ حَتَّى
يَعْقِلَ
“diangkat pena dari
tiga orang, dari orang yang tidur sampai dia bangun, dari anak kecil sampai dia
baligh, dari orang gila sampai dia berakal” (HR. Abu Dawud no 4450, at-Tirmidzi no
1423 dan Ibnu Majah no 2041)
Dalam hadits yang lain
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda :
إن اللَّهُ تَجَاوَزَ عَنْ أُمَّتِى الْخَطَأَ وَالنِّسْيَانَ
وَمَا اسْتُكْرِهُوا عَلَيْهِ
“Sesungguhnya Allah
memaafkan dari umatnya tersalah, lupa dan apa yang mereka dipaksa atasnya.”
(HR. Ibnu Majah, no 1662 dinyatakan shahih oleh syikh al-Albani di irwa’ no 42)
Pembahasan Keenam: Apakah
talak jatuh dengan bercanda
Orang yang bercanda
mengucapkan talak adalah seseorang yang mengucapkan talak memaksudkan untuk
mengucapkannya, memahami maknanya namun tidak menginginkan untuk menjatuhkannya
(tidak ingin menlak istrinya –ed), dia mengucapakannya hanya untuk bercanda
atau bersendau gurau.
Seseorang yang
mengatakan kepada istrinya dengan sekedar bercanda, “kamu saya talak” atau
“kamu saya cerai” maka jatuh talaknya. Dia terhitung telah menjatuhkan talak
kepada istrinya walaupun dia hanya bercanda/bersendau gurau. Hal ini
berdasarkan sebuah hadits. Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu bahwa
Rasulullah shallallahu ‘alihi wasallam bersabda:
ثَلاَثٌ جِدُّهُنَّ جِدٌّ وَهَزْلُهُنَّ جِدٌّ النِّكَاحُ
وَالطَّلاَقُ وَالرَّجْعَةُ
“Tiga perkara yang
sungguhnya mereka dianggap sebagai kesungguhan dan yang bercandanya dianggap
sebagai sungguhan, nikah, talak dan rujuk” (HR. Abu Dawud no 2129, at-Tirmidzi no 1184
dan Ibnu Majah no 2039 dan dinyatakan hasan oleh
syaikh al-Albani di Irwa’ no 1826)
asy-Syaikh Ibnu Baaz
pernah ditanya tentang hukum seorang suami menalak istrinya dengan bercanda.
Beliau berkata:
“Iya, teranggap satu
kali talak, terhitung sebagai satu kali talak, diambil pernyataannya itu, talak
sungguh-sungguhnya merupakan sungguhan, bercandanya dianggap sungguhan,
tidak boleh baginya bermain-main dengan hal itu…” (Fatawa Nurun ‘ala ad-Darb,
22/73)
Permasalah Ketujuh:
Hukum seorang istri meminta talak (cerai) tanpa alasan syar’i
Tidak boleh seorang
istri meminta untuk ditalak (cerai) tanpa alasan yang dibenarkan secara syar’i.
Hal ini berdasarkan hadits. Rasulullah shallallahu ‘alihi wasallam bersabda:
أَيُّمَا امْرَأَةٍ سَأَلَتْ زَوْجَهَا الطَّلاَقَ فِي غَيْرِ مَا
بَأْسٍ ، فَحَرَامٌ عَلَيْهَا رَائِحَةُ الْجَنَّةِ
”Setiap isteri yang
meminta cerai kepada suaminya dengan sesuatu yang tidak dibolehkan maka
diharamkan baginya bau harumya surga ” (HR. Abu Dawud, at-Tirmidzi dan Ibnu Majjah)
Berkata Asy-Syaikh
Abdul Aziz bin Baaz: Adapun apabila (seorang istri -ed) meminta talak tanpa
alasan yang dibolehkan, tidak boleh baginya untuk melakukan hal itu. Rasulullah
shallallahu ‘alihi wasallam bersabda:
أَيُّمَا امْرَأَةٍ سَأَلَتْ زَوْجَهَا الطَّلاَقَ فِي غَيْرِ مَا
بَأْسٍ ، فَحَرَامٌ عَلَيْهَا رَائِحَةُ الْجَنَّةِ
”Setiap isteri yang
meminta cerai kepada suaminya dengan sesuatu yang tidak dibolehkan maka
diharamkan baginya bau harumya surga ” (HR. Abu Dawud, at-Tirmidzi dan Ibnu Majjah)
Maka meminta talaknya
istri tanpa alasan syar’iyah tidak boleh, wajib baginya untuk shabar, mengharap
pahala Allah dan tidak meminta talak…” (Fatawa Nurun ‘ala ad-Darbi,
Syaikh Ibnu Baaz:22/26)
Pembahasan Kedelapan:
Hukum seorang istri meminta pisah dengan alasan syar’i
Boleh bagi seorang
istri meminta untuk pisah dengan suaminya jika disana ada alasan yang
dibenarkan oleh syari’at. Hal ini sebagaimana di tunjukkan dalam sebuah hadits
yang diriwayatkan dari Ibnu Abbas Radiyallahu ‘Anhu, menuturkan:
جَاءَتِ امْرَأَةُ ثَابِتِ بْنِ قَيْسِ بْنِ شَمَّاسٍ إِلَى النَّبِيِّ
صلى الله عليه وسلم فَقَالَتْ يَا رَسُولَ اللهِ مَا أَنْقِمُ عَلَى ثَابِتٍ فِي
دِينٍ ، وَلاَ خُلُقٍ إِلاَّ أَنِّي أَخَافُ الْكُفْرَ ، فَقَالَ رَسُولُ اللهِ
صلى الله عليه وسلم فَتَرُدِّينَ عَلَيْهِ حَدِيقَتَهُ فَقَالَتْ نَعَمْ فَرَدَّتْ
عَلَيْهِ وَأَمَرَهُ فَفَارَقَهَا
“Datang isteri dari
Tsabit bin Qais bin Syammas kepada Nabi Shalallahu ‘alaihi wassalam dan
berkata: ”Wahai Rasulullah, aku tidak mencela Tsabit dalam hal agama
dan akhlaknya, tetapi aku takut kekufuran.” (pada riwayat lain, “sesungguhnya
aku tidak mencela Tsabit dalam hal agama dan akhlak tetapi aku tidak sanggup
bersamanya.”) Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda kepadanya: “apakah
kamu sanggup mengembalikan kebunnya?. berkata (isterinya Tsabit-penj): Iya. Ia
lalu mengembalikan kebunya kepada Tsabit dan Nabi shalallahu ‘alaihi wassalam
memerintahkan Tsabit untuk memisahkannya. Dia pun memisahkannya.” (HR.
Bukhari)
Pembahasan Kesembilan:
Tentang Lafadz-lafadz talak
Talak bisa jatuh
dengan setiap lafadz yang menunjukkan kepadanya yaitu :
1.
Lafadz yang sharih, yaitu lafadz yang tidak dipahami darinya selain dari talak.
Seperti lafadz talak (cerai) atau pecahan dari kata itu atau yang semisalnya.
Seperti suami yang mengatakan kepada istrinya kamu saya cerai.
Berkata al-Hafidz Ibnu
Hajar:
لفظ الطلاق أو ما تصرف منه صريح
Para ulama sepakat
bahwa lafadz talak dan pecahan dari kata itu, sharih (lafadz talak yang jelas
–ed) (Fathul Bari:9/369)
2.
Dengan kinayah (kiasan) lafadz yang mengandung makna talak dan makna yang lainnya,
jatuh sebagai talak jika di niatkan sebagai talak. Seperti suami mengatakan
kepada istrinya pergi sana atau kembali sana kepada keluargamu.” (silahkan
lihat Manhajus Saalikiin, Syaikh As-Sa’di hlm 274, Mulakhos Al-Fiqhy, Syaikh
Shalih Al-Fauzan hlm 413, Fiqih Muyyasar hlm ).
Dalil lafadz
talak dengan kinayah (kiasan) jatuh sebagai talak jika diniatkan talak,
adalah dalam sebuah hadits dari ‘Aisyah radhiyallahu anha
أَنَّ ابْنَةَ الْجَوْنِ لَمَّا أُدْخِلَتْ عَلَى رَسُولِ اللهِ
صلى الله عليه وسلم وَدَنَا مِنْهَا قَالَتْ أَعُوذُ بِاللَّهِ مِنْكَ فَقَالَ
لَهَا لَقَدْ عُذْتِ بِعَظِيمٍ الْحَقِي بِأَهْلِكِ
“Saat Ibnatul Jaun
Hendak dipertemukan dengan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dan
beliau mendekatinya, ia (ibnatul jaun) berkata: Aku berlindung kepada Allah
darimu. “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, sungguh, engkau
telah berlindung kepada Dzat Yang Maha Agung. Kembalilah kepada keluargamu.” (HR. Bukhari no 5254)
Adapun dalil bahwa
talak tidak jatuh dengan lafadz kinayah jika tidak diniatkan talak adalah hadits Ka’b bin Malik yang
panjang yang mengisahkan tentang dirinya yang tertinggal tidak ikut perang
Tabuk sehingga ia di hajr (boikot) oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam
bersama kaum muslimin, ia bercerita di tengah-tengah berlangsungnya boikot itu,
atang utusan Rasulullah membawa perintah beliau untuk nya agar mengasingkan
diri dari istrinya tanpa menalaknya, maka Ka’ab berkata kepada isterinya,
الْحَقِي بِأَهْلِكِ فَتَكُونِي عِنْدَهُمْ حَتَّى يَقْضِيَ
اللَّهُ فِي هَذَا الأَمْرِ
“Kembalilah kerumah
keluargamu dan tinggalah bersama mereka sampai Allah memberi keputusan atas
urusan ini.” (Mutafaqun
alaih)
Pembahasan Kesepuluh:
Tentang Talak di tinjau dari Ta’liq dan Tanjiz
Talak bisa jatuh
dengan
1.
Munjazah (secara langsung tidak terikat syarat). yaitu talak
yang sejak diucapkan perkataan tersebut bermaksud untuk menalak, sehinga
seketika itu jatuhlah talak. Seperti perkataan “kamu saya talak (cerai)”
2.
Atau terikat dengan syarat, seperti perkataan “jika datang waktu
begini, maka kamu saya cerai”. Apabila terjadi sesuatu yang disyaratkannya maka
jatuh talak (cerai). yaitu seseorang suami menjadikan jatuh talak tergantung
pada syarat tertentu. Seperti perkataan suami kalau kamu tetap pergi ketempat
itu kamu tertalak. (Manhajus Saalikiin, Syaikh As-Sa’di :274)
Catatan:
Yang penting untuk
diperhatikan, jika yang diinginkan oleh seorang suami dengan mengucapkan
kalimat talak mu’alaq (terikat syarat) adalah untuk menganjurkan agar sang
istri melakukan sesuatu atau meninggalkan sesuatu, bukan dalam rangka untuk
menjatuhkan talak maka ucapan itu adalah sumpah. Jika tidak terjadi apa yang
dijadikan objek sumpah maka sang suami tidak ada kewajiban apa-apa; dan jika
terjadi, maka ia wajib membayar kafarah sumpah.
Pembahasan Kesebelas:
Tentang apakah jatuh talak dengan tulisan
Tulisan adalah sarana
untuk mengungkapkan/menerangkan apa yang ada didalam hati sebagaimana
diungkapkan/diucapkan dengan lisan. Ketika seseorang berniat menalak istrinya
kemudian dia ungkapan dengan tulisan, seperti dengan menulis di kertas bahwa
dia menalak istrinya maka talak dianggap jatuh (sah/terhitung) dengan tulisan
walaupun dilakukan oleh orang yang bisa berbicara, ini pendapatnya jumhur
(mayoritas) ulama dan difatwakan oleh Ibnu Baaz dan Ibnu Utsaimin merajihkan
pendapat ini.
Pembahasan Keduabelas:
Tentang seseorang yang ragu-ragu apakah dirinya sudah menalak istrinya
Berkata Asy-Syaikh
al-Allamah Shalih Al-Fauzan: “Apabila ragu-ragu telah terjadi talak, dan yang
di inginkan dari ragu-ragu apakah telah terjadi talak darinya, atau ragu-ragu
bilangan talak, atau ragu-ragu apakah telah terjadi syaratnya :
·
Apabila ragu-ragu telah terjadinya talak darinya, maka istrinya
tidaklah tertalak hanya semata-mata ragu-ragu. Dikarenakan pernikahannya
dibangun diatas keyakinan dan tidak bisa gugur hanya karena ragu-ragu.
·
Apabila ragu-ragu terjadinya syarat yang dia syaratkan dalam
talaknya seperti dia berkata, “Apabila kamu masuk rumah maka kamu saya talak
(cerai).” Kemudian ragu-ragu tentang masuknya istri ke rumah. Sesungguhnya dia
tidak tertalak hanya karena ragu-ragu sebagaimana penjelasan yang lalu.
·
Apabila yakin terjadinya talak darinya dan ragu-ragu tentang
bilangannya tidaklah jatuh kecuali satu dikarenakan dia yakin terjadinya talak,
adapun lebih dari itu dia ragu-ragu. Dan keyakinan tidak dapat dihilangkan
dengan keraguan. (Mulakhos Al-Fiqhy, Syaikh Shalih Al-Fauzan, hlm
415).
Pembahasan
Ketigabelas: Tentang talak sunnah dan talak bid’ah
Pengertian talak
sunnah dan talak bid’ah
·
Talak sunnah adalah talak yang terjadi sesuai dengan syar’i. Yaitu seorang
suami menceraikan istrinya satu kali talak dalam keadaan suci yang mana dia
pada saat itu belum mencampurinya, dan membiarkannya serta tidak mengikuti
dengan talak yang berikutnya sampai habis masa iddahnya. Para ulama sepakat
bahwa talak sunnah jatuh sebagai talak. (Fiqih Muyyasar, hlm 305, Mulakhos
Al-Fiqhy, hlm 413).
·
Talak bid’ah adalah talak yang dijatuhkan oleh pelakunya dalam bentuk yang
haram. Seperti mengucapkan talak tiga dengan satu kali ucapan (lafadz). Atau
mentalak istrinya dalam keadaan haid atau mentalak istrinya dalam keadaan suci
namun telah digauli yang tidak diketahui hamil tidaknya. Hukum talak seperti
ini haram. (Fiqih Muyyasar, hlm 305, Mulakhos Al-Fiqhy, hlm 413).
Pembahasan
Keempatbelas: Hukum talak dalam keadaan haid atau dalam keadaan suci namun
setelah digauli yang tidak diketahui hamil atau tidaknya, apakah jatuh sebagai
talak?
Tentang hal ini para
ulama berselisih pendapat, kebanyakkan para ulama berpendapat talak seperti ini
jatuh, dan berdosa orang yang melakukannya. Dan ini pendapat yang benar,
berdalil dikarenakan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam memerintahkan
Ibnu Umar yang menalak istrinya ketika haid untuk merujuknya. Tidaklah rujuk
kecuali setelah terjadinya talak. Syaikh al-Albani dan Syaikh Muqbil merajihkan
pendapat yang mengatakan talak jatuh.
Pembahasan
Kelimabelas: Hukum talak dengan lafadz tiga sekaligus apakah jatuh talak tiga
atau talak satu.
Seorang suami
menjatuhkan talak kepada istrinya dengan berkata “kamu saya talak (cerai) tiga
sekaligus” atau “kamu saya talak, kamu saya talak, kamu saya talak”
apakah jatuh/terhitung sebagai talak tiga atau jatuh/terhitung sebagai talak
satu. Para ulama berselisih pendapat dalam masalah ini, pendapat yang benar
insya Allah pendapat yang mengatakan hal ini adalah talak yang haram
dan jatuh/teranggap sebagai talak satu.
Pendapat ini dinukilkan dari
sekelompok salaf dan khalaf dari kalangan shahabat, dan ini pendapat
kebanyakkan dari tabi’in dan yang setelah mereka dan ini pendapatnya sebagian
shahabatnya Abu Hanifah, Malik dan Ahmad. Pendapat inilah yang dirajihkan oleh
Ibnu Taimiyah, Ibnul Qayyim, ash-Shan’ani, Ibnu Baaz, Al-Albani, Ibnu Utsiamin
dan Syaikh Muqbil rahimahullah. Diantara dalil mereka adalah hadits Ibnu Abbas
berkata:
كَانَ الطَّلاَقُ عَلَى عَهْدِ رَسُولِ اللَّهِ -صلى الله عليه
وسلم- وَأَبِى بَكْرٍ وَسَنَتَيْنِ مِنْ خِلاَفَةِ عُمَرَ طَلاَقُ الثَّلاَثِ
وَاحِدَةً فَقَالَ عُمَرُ بْنُ الْخَطَّابِ إِنَّ النَّاسَ قَدِ اسْتَعْجَلُوا فِى
أَمْرٍ قَدْ كَانَتْ لَهُمْ فِيهِ أَنَاةٌ فَلَوْ أَمْضَيْنَاهُ عَلَيْهِمْ.
فَأَمْضَاهُ عَلَيْهِمْ
“Dahulu pada zaman
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, kekhalifahan Abu Bakr dan dua tahun
pertama dari kekhalifahan ‘Umar , talak yang dijatuhkan tiga kali sekaligus dihitung
satu kali talak. Lantas umar mnyampaikan: ‘ssungguhnya orang telah tergesa-gesa
pada urusan talak mreka yang mengandung tahapan (ingin menjatuhkan sbagai talak
tiga sekaligus), maka bagaimana jika kami berlakukan saja bagi mereka hal itu?
Umarpun mmberlakukannya bagi mereka.” (HR. Muslim no 3746) (Silahkan
lihat Taudihul Ahkam: 5/496 )
Pembahasan
Keenambelas: Tentang Talak Raj’i dan Talak Ba’in
·
Seorang suami yang merdeka mempunyai kesempatan untuk mentalak
istri yang telah digaulinya sebanyak tiga kali, baik istrinya wanita merdeka
atau berstatus budak.Para ulama sepakat bahwa talak itu ada dua macam.
1.
Talak raj’i adalah talak yang setelah dijatuhkan sang suami masih mempunyai
hak untuk merujuk kembali istrinya selama dalam masih menjalani masa iddah,
tanpa tergantung persetujuannya dan tanpa akad yang baru. Yaitu talak pertama
dan kedua yang sang suami mempunyai hak untuk rujuk pada masa iddah kapan saja
dia mau walaupun istri tidak rela dirujuk.
2.
Talak bain
Talak bain ada dua
macam :
Pertama : Talak ba’inunah shugra (perpisahan yang
kecil) adalah talak yang setelah dijatuhkan oleh suami tidak memiliki peluang
untuk rujuk kembali kepada istrinya, kecuali dengan persetujuan istrinya dan
dengan akad yang baru, dan tidak harus dinikahi dulu oleh laki-laki lain. Yaitu
terjadi ketika masa iddah istri dalam talak raj’i (talak satu dan dua) telah
selesai, dan sang suami belum merujuknya. Atau contoh yang lain yaitu talak
yang dijatuhkan kepada istrinya yang belum pernah digauli (berhubungan suami
istri) maka hukum perceraiannya adalah ba’inunah sughra. Tidak halal baginya
untuk merujuknya, jika ingin kembali kepada istrinya itu (baca : mantan istri)
harus dengan akad nikah yang baru. Karena hak rujuk ada pada masa iddah
sedangkan ini (wanita yang dicerai yang belum pernah digauli) tidak ada masa
iddahnya.
Kedua : Talak ba’inunah kubra (perpisahan yang
besar) adalah talak yang setelah dijatuhkan oleh suami yang tidak ada
kesempatan/peluang untuk rujuk (kembali) kepada istrinya. Kecuali dengan
persetujuan istri, dengan akad yang baru. dan setelah mantan istrinya menikah
dengan laki-laki lain dan telah melakukan hubungan suami istri (jima’), lalu
mantan istrinya itu dicerai atau suaminya meninggal dan masa iddahnya telah
selesai. Contohnya seorang suami mentalak istrinya, kemudian merujuknya dalam
masa iddah atau menikahinya setelah habis masa iddahnya. Lalu mentalak lagi,
kemudian merujuknya dalam masa iddah atau menikahinya setelah habis masa
iddahnya, lalu dia mentalaknya lagi yang ketiga kalinya. Inilah talak ba’inah
Qubra yang menjadikan istrinya tidak bisa dirujuk lagi.
RUJUK
Pembahasan Pertama:
Pengertian rujuk dan dalil disyariatkannya
Rujuk adalah
إعادة زوجته المطلقة طلاقاً غير بائن إلى ما كانت عليه قبل الطلاق
بدون عقد
Rujuk adalah
mengembalikan istrinya yang tertalak yang bukan pada talak bain kepada keadaan
sebelum terjadinya talak tanpa adanya akad. (al-Fiqih al-Muyyasar
hlm 308)
Pembahasan Kedua:
Dalil dari Al-Qur’an, As-Sunnah dan Ijma
Dari Al-Qur’an
أَحَقُّ بِرَدِّهِنَّ فِي ذَلِكَ إِنْ أَرَادُوا إِصْلاحًا
“…dan suami-suaminya
berhak merujukinya dalam masa menanti itu, jika mereka (para suami) menghendaki
ishlah.” (Al-Baqarah :
228)
Nabi shallallahu
‘alaihi wasalam bersabda :
مره فيراجعها ثم ليطلقها طاهرا أو حاملا
“Suruh dia merujuk
kembali istrinya, kemudian silahkan dia menalaknya dalam keaadaan suci atau
sedang hamil.” (HR.
Tirmidzi, dishahihkan oleh Syaikh Al-Albani)
Ijma
Berkata Asy-Syaikh
al-Allamah Shalih Al-Fauzan hafidzahullah:
وأما الإجماع؛ فقال ابن المنذر: “أجمع أهل العلم على أن الحر إذا
طلق دون الثلاث والعبد إن طلق دون أثنتين،أن لهما الرجعة في العدة”
“Adapun Ijma’ berkata
Ibnul Mundzir “Para ulama sepakat bahwa seorang suami yang merdeka
apabila mentalak yang bukan talak tiga dan seorang budak apabila mentalak yang
bukan talak dua maka baginya ada hak untuk rujuk pada masa iddah.” (Al-Mulakhos
Al-Fiqhiy hlm 416)
Pembahasan Ketiga:
Talak yang bisa dirujuk dan beberapa macam keadaan wanita yang tertalak
·
Talak yang ada kesempatan seorang suami untuk rujuk adalah talak
kepada istri yang sudah pernah digauli pada talak pertama atau kedua dalam
masa iddah. Adapun talak ketiga tidak ada kesempatan seorang suami untuk
rujuk begitu juga istri yang tertalak dalam keadaan belum pernah digauli.
·
Wanita yang tertalak pada talak pertama dan kedua yang pernah
digauli statusnya masih sebagai istrinya yang sah selama dalam masa
iddah. Dia masih berhak menerima nafkah, tempat tinggal dan dia harus
berada pada rumah suaminya. Begitu juga wajib baginya mentaati suaminya, boleh
baginya membuka aurat, berdandan untuknya, bercanda dan hal-hal yang lainnya.
Pembahasan Keempat:
Tata cara rujuk
Rujuk adalah hak
mutlak suami di masa iddah wanita yang ditalak raj’i. Hak mutlak ini tanpa ada
syarat kerelaan istri.
Tatacara merujuk harus
sesuai syar’i
1.
Niat untuk merujuk istrinya dalam rangka untuk memperbaiki
kembali hubungan yang retak. Sehingga rujuk diharamkan dengan niat
memudharatkan
2.
Prosesnya
·
Dengan ucapan,
yaitu setiap lafadz yang menunjukkan makna rujuk disertai niat.
Contohnya: aku telah
merujuk (mengembalikan) isteriku, atau aku telah mengembalikan isteriku
kesisiku. Aku telah menginginkan isteriku lagi.
·
Mengaulinya disertai niat rujuk menurut pendapat yang benar. Oleh karena
itu seorang suami yang menalak istrinya dengan talak raj’i tidak boleh
menggaulinya tanpa niat rujuk. Berkata asy-Syaikh Shalih al-Fauzan hafidhahullah: “Rujuk
terjadi juga dengan menggauli istrinya apabila meniatkan dengannya untuk rujuk
menurut pendapat yang benar.” (Al-Mulakhos al-Fiqhy hlm 418).
Pembahasan Kelima:
Mempersaksiakan talak dan rujuk
Berkata asy-Syaikh
Al-Allamah Abdurrahman Nashir as-Sa’di rahimahullah: “Dan disyariatkan
mengumumkan nikah, talak dan rujuk dan mempersaksikan hal itu, berdasarkan
firman Allah Ta’aala
{وَأَشْهِدُوا ذَوَيْ
عَدْلٍ مِنْكُمْ} [الطلاق: 2]
“Serta persaksikanlah
dengan dua orang saksi yang adil (istiqamah, bukan orang fasik –ed) di antara
kalian.” (ath-Thalaq : 2) (Manhajus Saalikin, hlm 184)
·
Disyariatkan mempersaksiakan talak yang dijatuhkan kepada dua
saksi pria yang adil; istiqamah (tidak fasik). Adapun tentang hukumnya para
ulama berselisih pendapat, ada pendapat ulama yang mengatakan hukumnya wajib,
dan ada pendapat yang mengatakan hukumnya sunnah dan ini pendapatnya jumhur.
Yang jelas mempersaksikan talak dapat dilakukan saat menjatuhkan talak atau
disusulkan setelah talak jatuh.
·
Disyariatkan juga mengumumkan dan mempersaksiakan rujuk kepada
dua saksi pria yang adil; istiqamah (tidak fasik). Adapaun tentang hukumnya
para ulama berselisih pendapat, ada yang mengatakan wajib, ada juga yang
berpendapat sunnah, dan ini pendapatnya jumhur. Yang jelas mempersaksikan rujuk
dapat dilakukan saat menjatuhkan talak atau disusulkan setelah talak jatuh.
IDDAH
Pembahasan
Pertama: Pegertian iddah dan dalil disyariatkannya
Iddah adalah sebuah
nama untuk waktu tertentu seorang wanita menunggu dalam rangka beribadah
(menjalankan perintah Allah –ed), bersedih atas suami, atau memastikan
kosongnya rahim.” (al-Fiqh al-Al-Muyasar, hlm 317)
Atau iddah adalah
sebuah nama untuk jangka waktu tertentu seorang istri menunggu dari
menikah lagi setelah ditinggal mati oleh suaminya atau setelah dirinya ditalak.
Dengan menunggu tiga kali haid, atau dengan tiga bulan atau dengan empat bulan
sepuluh hari
Pembahasan
Kedua: Dalil disyariatkanya iddah
Dalil dari Al-Qur’an
Allah Ta’aala
berfirman :
وَالمُطَلَّقَاتُ يَتَرَبَّصْنَ بِأَنفُسِهِنَّ ثَلاثَةَ قُرُوءٍ
“Wanita-wanita yang
ditalak handaklah menahan diri (menunggu) tiga kali quru’” (Al-Baqarah :228)
Dalil dari Sunnah
عَنِ الْمِسْوَرِ بْنِ مَخْرَمَةَ أَنَّ سُبَيْعَةَ
الأَسْلَمِيَّةَ نُفِسَتْ بَعْدَ وَفَاةِ زَوْجِهَا بِلَيَالٍ فَجَاءَتِ
النَّبِيَّ صلى الله عليه وسلم فَاسْتَأْذَنَتْهُ أَنْ تَنْكِحَ فَأَذِنَ لَهَا
فَنَكَحَتْ
Dari Miswar bin
Makhramah, bahwasannya Subai’ah Al-Aslamiyyah radhiyallahu ‘anha mengalami
nifas setelah di tinggal wafat oleh suaminya beberapa hari, maka dia datang
kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam untuk minta ijin menikah, Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wasallam mengijinkannya. Maka menikahlah dia.” (HR.
Bukhari no 5320)
Pembahasan
Ketiga: Hikmah di Syariatkan iddah
Banyak hikmah
disyariatkannya iddah, diantaranya:
-
Untuk memsatikan kosongnya rahim dari janin, sehingga tidak tercampurnya nasab
-
Untuk memberikan waktu bagi suami yang mencerai istrinya untuk rujuk apabila
dia menyesal jika pada talak raj’i
-
Menjaga hak seorang wanita/istri yang hamil apabila terjadi talak pada saat
hamil.
-
Untuk memperlihatkan betapa besarnya dan terhormatnya permasalahan pernikahan
dan memberikan pemahaman bahwa akad nikah mengungguli akad-akad yang lainnya.
-
Memperlihatkan rasa sedih karena baru kehilangan suami/ditinggal mati suami.
Jadi kalau wanita menahan diri untuk tidak berdandan, hal itu membuktikan
kesetiaannya kepada suaminya yang telah meninggal. (silahkan lihat Mulakhos
Fiqhiy, Syaikh Al-Fauzan, hlm 419-420, Fiqih Muyasar, hlm 317)
Pembahasan
Keempat: Macam-macam wanita dengan iddahnya
1.
Wanita yang di talak yang masih mengalami haid, maka iddahnya
tiga kali haid sempurna.
Berkata asy-Syaikh
Sa’di rahimahullah:
Apabila masih
mengalami haid maka iddahnya tiga kali haid sempurna, berdasarkan firman Allah
Ta’aala
وَالمُطَلَّقَاتُ يَتَرَبَّصْنَ بِأَنفُسِهِنَّ ثَلاثَةَ قُرُوءٍ
“Wanita-wanita yang
ditalak hendaklah menahan diri (menunggu) tiga kali quru’” (Qs. Al-Baqarah :228) (Manhajus
Saalikin, hlm 188)
Apakah yang dimaksud
quru’ pada ayat ini haid atau suci?
Para ulama berselisih
pendapat tentang makna quru’ (menurut syar’i).
Pendapat pertama: Quru’ adalah haid ini pendapatnya
Umar bin Khatab, Ali bin Abi Thalib, Abdullah bin Mas’ud dan sekelompok
shahabat.
Pendapat kedua: yang dimaksud quru’ adalah suci, bukan haidh.
Ini pendapatnya ‘Aisyah, Ibnu Umar , Ibnu Abbas, Zaid bin Tsabit dan yang
lainnya.
Wallahu a’lam bish
shawwab insya Allah yang rajih tentang makna quru’ adalah haid.
Diantara dalilnya
adalah berdasarkan firman Allah Ta’aala:
وَاللائِي يَئِسْنَ
مِنَ المَحِيضِ مِنْ نِسَائِكُمْ إِنِ ارْتَبْتُمْ فَعِدَّتُهُنَّ ثَلاثَةُ
أَشْهُرٍ وَاللائِي
لَمْ يَحِضْنَ
“Dan
perempuan-perempuan yang tidak haid lagi (monopause) di antara
perempuan-perempuanmu jika kamu ragu-ragu (tentang masa iddahnya), Maka masa
iddah mereka adalah tiga bulan; dan begitu (pula) perempuan-perempuan yang tidak
haid.” (Ath-Thalaq :
4)
Ayai ini menujukkan
ketika seseorang sudah tidak haid lagi atau belum mengalami haid maka iddahnya
tiga bulan, hal ini menunjukkan asal iddah adalah haid. Wallahu a’alam bish
shawwab. Pendapat ini yang dirajihkan oleh Ibnul Qayyim.
2.
Wanita yang di talak dalam keadaan tidak haid lagi (monoupose)
atau yang belum haid karena masih kecil iddahnya dengan tiga bulan
Berkata asy-Syaikh
As-Sa’di rahimahullah: “Dan bagi wanita yang belum haid seperti anak kecil dan
yang wanita yang sudah tidak haid lagi seperti wanita yang sudah tua
(moneupouse) maka iddahnya tiga bulan, berdasarkan firman Allah:
وَاللائِي يَئِسْنَ
مِنَ المَحِيضِ مِنْ نِسَائِكُمْ إِنِ ارْتَبْتُمْ فَعِدَّتُهُنَّ ثَلاثَةُ
أَشْهُرٍ وَاللائِي
لَمْ يَحِضْنَ
“dan perempuan-perempuan
yang tidak haid lagi (monopause) di antara perempuan-perempuanmu jika kamu
ragu-ragu (tentang masa iddahnya), Maka masa iddah mereka adalah tiga bulan;
dan begitu (pula) perempuan-perempuan yang tidak haid.” (Ath-Thalaq : 4) (Manhajus
Saalikin, hlm 188)
3.
Wanita yang ditalak atau di tinggal mati suaminya dalam keadaan
hamil iddahnya sampai melahirkan.
Berkata asy-Syaikh
As-Sa’di: “Apabila dalam keadaan hamil maka iddahnya sampai melahirkan semua
apa yang ada di perutnya, berdasarkan firman Allah Ta’aala:
وَأُولاتُ الْأَحْمَالِ أَجَلُهُنَّ أَنْ يَضَعْنَ حَمْلَهُنَّ
“Sedangkan
permpuan-perempuan yang hamil, waktu iddah mereka itu sampai mereka melahirkan
kandungannya” (ath-Thalaq:4)
Dan ini umum pada
perpisahan dengan kematian atau dalam keadaan hidup (talak –ed).” (Manhajus
Saalikiin, hlm 188)
4.
Wanita yang ditinggal mati oleh suaminya dalam keadaan tidak
hamil iddahnya empat bulan sepuluh hari. Baik wanita tersebut sudah pernah
diaguli atau belum.
Berdasarkan, firman
Allah Ta’aala:
وَالَّذِينَ يُتَوَفَّوْنَ مِنْكُمْ وَيَذَرُونَ أَزْوَاجًا
يَتَرَبَّصْنَ بِأَنفُسِهِنَّ أَرْبَعَةَ أَشْهُرٍ وَعَشْرًا
“Orang-orang yang
meninggal dunia di antaramu dengan meninggalkan isteri-isteri (hendaklah Para
isteri itu) menangguhkan dirinya (ber’iddah) empat bulan sepuluh hari.” (al-Baqarah:234)
5.
Wanita yang ditalak yang belum pernah digauli tidak ada iddahnya
Seorang istri yang
ditalak dalam keadaan belum pernah digauli sama sekali tidak ada iddah baginya.
Berdasarkan firman Allah Ta’aala:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِذَا نَكَحْتُمُ المُؤْمِنَاتِ
ثُمَّ طَلَّقْتُمُوهُنَّ مِنْ قَبْلِ أَنْ تَمَسُّوهُنَّ فَمَا لَكُمْ عَلَيْهِنَّ
مِنْ عِدَّةٍ تَعْتَدُّونَهَا
“Wahai orang-orang
yang beriman! Apabila kamu menikahi perempuan-perempuan mukmin, kemudian kamu
ceraikan mereka sebelum kamu mencampurinya maka tidak ada masa iddah atas
mereka yang perlu kamu perhitungkan.” (al-Ahdzab: 49).
Wallahu ‘alam bish shawwab
ditulis oleh: Abdullah
al-Jakarty
Sumber bacaan
Manhajus Saalikiin
Syaikh ‘Aburrahman As-Sa’di
Mulakhos Al-Fiqhy
Syaikh Shalih Al-Fauzan
Fiqih Muyyasar
kumpulan para ulama
Dan yang lainnya
Sumber : nikahmudayuk.wordpress.com
http://www.darussalaf.or.id/
0 komentar:
Posting Komentar