Halalkah
upah bekam?
Berikut ini hadits-hadits yang
berkaitan dengan upah tukang bekam:
Hadits Pertama:
Dari Abu Hurairah radhiallahu’anhu,
beliau berkata:
نَهَى رَسُولُ اللهِ صَلّى اللهُ
عَلَيْهِ وَسَلّمَ عَنْ كَسْبِ الْحَجّامِ، وَكَسْبِ الْبَغِيّ، وَثَمَنِ
الْكَلْبِ
“Rasulullah Shallallahu’alaihi
wassalam melarang dari upah tukang bekam, upah dari pezina dan upah dari jual
beli anjing.” (HR. Ahmad 2/299 no. 7976
(cet. Ar-Risalah), Shohih Lihat Nailul Author Tahqiq Subhi
Hasan Hallaq 10/421)
Hadits Kedua:
عَنْ أَبِي مَسْعُودٍ عُقْبَةَ بْنِ
عَمْرٍو، قَالَ: نَهَى رَسُولُ اللّهِ صَلّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلّمَ عَنْ كَسْبِ
الْحَجّامِ
Dari Abu Mas’ud ‘Uqbah bin ‘Amr ia
berkata : “Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam melarang mencari
rizki/upah melalui profesi praktek/tukang bekam” [Diriwayatkan oleh Ibnu Majah no. 2165. Shohih
Lihat Shohihul Jami’ no. 6976].
Hadits Ketiga:
عَنْ رَافِعِ بْنِ خَدِيجٍ، أَنَّ
رَسُولَ اللّهِ صَلّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلّمَ قَالَ: كَسْبُ الْحَجّامِ خَبِيثٌ،
وَثَمَنُ الْكَلْبِ خَبِيثٌ، وَمَهْرُ الْبَغِيّ خَبِيثٌ
Dari Raafi’ bin Khudaij radhiallaahu
‘anhu, : Bahwasannya Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam pernah bersabda :
“upah tukang bekam adalah buruk/kotor/keji, hasil jual beli anjing adalah
buruk/kotor/keji, dan mahar (upah) pezina adalah buruk/kotor/keji”. (HR. Ahmad di al-Musnad 3/464, Abu Dawud no. 3421,
At-Tirmidzi no. 1275, An-Nasa-i no. 4294, Ibnu Hibban dalam Shohihnya no. 5152,
Shohih Dishohihkan oleh Syaikh Albani dalam kitab
at-Ta’liqatul Hisan ala Shohih Ibni Hibban no. 5130)
المقصود بالخبيث هناك الرديء كما قال
تعالى: {وَلا تَيَمَّمُوا الْخَبِيثَ مِنْهُ تُنفِقُونَ} [البقرة:267] يعني:
الرديء، وليس خبيثاً بمعنى حرام.
Berkata Syaikh Abdul Muhsin al-Abbad
– dalam Syarah Sunan Abi Dawudnya 23/391: “Maksud dari khobits
di dalam hadits tersebut adalah buruk/hina/kotor sebagaimana ayat “dan
janganlah kamu memilih yang buruk-buruk lalu kamu menafkahkan daripadanya” (QS.
Al-Baqaroh 267). Maksudnya adalah buruk/hina/kotor. Dan khobits maknanya bukan
haram.”
Hadits Keempat:
Dalam Shohih Muslim tercantum hadits
serupa dengan hadits diatas, lafazh yaitu :
ثَمَنُ الْكَلْبِ خَبِيثٌ، وَمَهْرُ
الْبَغِيّ خَبِيثٌ، وَكَسْبُ الْحَجّامِ خَبِيثٌ
“Hasil jual beli anjing adalah
buruk/kotor/keji, hasil usaha pezina adalah buruk/kotor/keji, dan upah tukang
bekam juga buruk/kotor/keji” [HR.
Muslim no. 1568. Shohih Lihat Silsilah Ahaadits as-Shohihah
no. 3622].
Hadits Kelima:
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ، عَنِ
النَّبِيِّ صَلّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلّمَ قَالَ: مِنَ السُّحْتِ كَسْبُ
الْحَجّامِ، وَثَمَنُ الْكَلْبِ، وَمَهْرُ الْبَغِيّ
Dari Abu Hurairah, dari Rasulullah
shallallaahu ‘alaihi wa sallam, beliau bersabda : “Termasuk usaha yang haram
adalah upah para tukang bekam” [Diriwayatkan
oleh Ath-Thahawi dalam Syarah Musykil al-Atsar no. 4661; Shohih
Lihat Subulus Salam 2/115].
Imam As-Son’ani dalam Subululus
Salam 2/115 mengatakan : “Sukht disitu adalah tidak adanya kebaikan.”
Hadits Keenam:
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ , عَنِ
النَّبِيِّ صَلّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلّمَ , قَالَ: ” ثَلَاثٌ كُلُّهُنَّ سُحْتٌ:
كَسْبُ الْحَجّامِ , وَمَهْرُ الْبَغِيّ , وَثَمَنُ الْكَلْبِ
Dari Abu Hurairah, dari Nabi
Shallallahu’alaihi wassalam, beliau bersabda: “Tiga penghasilan yang
haram/tercela yaitu upah tukang bekam, dan mahar (upah) pezina adalah
buruk/kotor/keji, hasil jual beli anjing adalah buruk/kotor/keji,” (HR. Ad-Daruquthni no. 3064, Shohih
dishohihkan oleh Syaikh Al-Albani dalam Silsilah Ahaadits as-Shohihah no. 2990)
Hadits Ketujuh:
عَنْ أَنَسِ بْنِ مَالِكٍ، أَنَّ
النَّبِيَّ صَلّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلّمَ احْتَجَمَ وَأَعْطَى الْحَجَّامَ
أَجْرَهُ
Dari Anas bin Malik, bahwa Nabi
Shallallahu’alaihi wassalam pernah berbekam dan memberikan kepada tukang bekam
upahnya. (HR. Ibnu Majah no. 2164. Shohih
Lihat Shohih Ibni Majah no. 2164, Mukhtashor Samail Muhammadiyah no.
309)
Hadits Kedelapan:
عَنْ عَلِيٍّ، قَالَ: احْتَجَمَ
رَسُولُ اللّهِ صَلّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلّمَ، وَأَمَرَنِي فَأَعْطَيْتُ
الْحَجَّامَ أَجْرَهُ
Dari ‘Ali bin Abi Thaalib
radliyallaahu ‘anhu, dia berkata : “Nabi Shallallaahu ‘alaihi wa sallam pernah
berbekam dan menyuruhku untuk memberikan upah kepada tukang bekamnya” (HR. Ibnu Majah no. 2163 dan Mukhtashar Asy-Syamaail
Al-Muhammadiyyah, hal. 188 no. 310 Shohih )
Hadits Kesembilan:
Dari Ibnu ‘Umar radliyallaahu
‘anhuma :
أَنّ النّبي صَلّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم
َ دَعَا حَجَّامًا فَحَجَمَهُ وَسَأَلَهُ: كَمْ خَرَاجُكَ؟ فَقَالَ: ثَلَاثَةُ
آصُعٍ. فَوَضَعَ
عَنْهُ صَاعًا وَأَعْطَاهُ أَجْرَهُ
“Bahwasannya Nabi shallallaahu
‘alaihi wa sallam pernah mengundang Abu Thoyiba (tukang bekam), lalu ia
membekam beliau. Setelah selesai, Beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam
bertanya kepadanya : “Berapa pajakmu ?”. Ia menjawab : “Tiga sha’”. Lalu beliau
shallallaahu ‘alaihi wa sallam membatalkan satu sha’ (dari setoran yang harus
dibayarkan kepada majikannya karena sang majikan mensyaratkan pajak/setoran
dari jasanya), kemudian memberikan upahnya.”
(Shohih Imam At-Tirmidzi dalam Mukhtashar Asy-Syamaail
Al-Muhammadiyyah, hal. 188 no. 312)
Hadits Kesepuluh:
عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ رَضِيَ اللَّهُ
عَنْهُمَا، قَالَ: « احْتَجَمَ النَّبِيُّ صَلّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلّمَ،
وَأَعْطَى الَّذِي حَجَمَهُ » وَلَوْ كَانَ حَرَامًا لَمْ يُعْطِهِ
“Ibnu ‘Abbas radliyallaahu ‘anhuma
pernah berkata : “Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam pernah berbekam Lalu
beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam memberikan upah kepada pembekamnya.
Seandainya upah bekam itu haram, niscaya beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam
tidak akan memberinya” (HR.
al-Bukhori no. 2103, Shohih )
Hadits Kesebelas:
عَنِ ابْنِ مُحَيّصَةَ، عَنْ أَبِيهِ،
أَنَّهُ اسْتَأْذَنَ رَسُولَ اللهِ صَلّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلّمَ فِي إِجَارَةِ
الْحَجّامِ، فَنَهَاهُ عَنْهَا، فَلَمْ يَزَلْ يَسْأَلْهُ فِيهَا حَتَّى قَالَ
لَهُ: ” اعْلِفْهُ
نَاضِحَكَ، وَأَطْعِمْهُ رَقِيقَكَ
“Dari Ibnu Muhayyishoh, dari
bapaknya (Muhayyishoh) radliyallaahu ‘anhuma : “Bahwasannya ia pernah meminta
ijin kepada Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam untuk menyewa tukang
bekam. Namun beliau melarangnya. Ia terus memohon dan meminta ijin kepada
beliau, hingga beliau shallallahu’alaihi wassalam berkata kepadanya : ‘Hendaknya
upahnya diberikan untuk makan untamu dan budakmu” (Hadits Diriwayatkan oleh Imam asy-Syafi’i dalam Musnadnya
2/166, Abu Dawud no. 3422, Ahmad 5/436, At-Tirmidzi no. 1277, Ibnu Majah no.
2166, dan yang lainnya; Shohih )
Hadits Keduabelas:
عَنْ أَنَسٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ:
أَنَّهُ سُئِلَ عَنْ أَجْرِ الحَجَّامِ، فَقَالَ: احْتَجَمَ رَسُولُ اللّهِ صَلّى
اللهُ عَلَيْهِ وَسَلّمَ، حَجَمَهُ أَبُو طَيْبَةَ، وَأَعْطَاهُ صَاعَيْنِ مِنْ
طَعَامٍ، وَكَلَّمَ مَوَالِيَهُ فَخَفَّفُوا عَنْهُ، وَقَالَ: «إِنَّ أَمْثَلَ مَا
تَدَاوَيْتُمْ بِهِ الحِجَامَةُ، وَالقُسْطُ البَحْرِيُّ»
“Dari Shahabat Anas bin Malik
radhiallahu’anhu, bahwasannya beliau pernah ditanya tentang upah tukang bekam,
maka beliau berkata, “Rasulullah Shallallahu’alaihi wassalam telah berbekam
pembekamnya adalah Abu Thayiba, lalu setelah itu Rasulullah Shallallahu’alaihi
wassalam memberikan kepadanya dua sho’ dari makanan, dan beliau
shallallahu’alaihi wassalam berdialog dengan majikannya Abu Thoyiba agar
diringankan pajak/setoran wajibnya (yang dibebankan sang Majikan kepada Abu
Thoyiba setiap harinya), Kemudian Rasulullah Shallallahu’alaihi wassallam
bersabda: “Sesungguhnya sebaik-baik apa yang kalian berobat dengannya yaitu
berbekam/hijamah dan qusthul bahri (akar kering seperti pasak bumi bentuknya
dan pahit rasanya dapat dibuat serbuk dan bermanfaat untuk sakit tenggorokan,
panas, paru-paru dan yang lainnya.)”
(HR. Al-Bukhori no. 5696 dan Muslim no. 1577 (62) Shohih )
Dalam Kitab Fathul Bari Syarah
Shohih al-Bukhori 4/459, al-Hafizh Ibnu Hajar al-Asqalani menguraikan tentang
perbedaan pendapat di antara para ulama. Hal ini sebagaimana juga termaktub
dalam kitab Nailul Author – (10/423-424 Tahqiq Syaikh Subhi Hasan Hallaq), Imam
asy Syaukani memberikan penjelasan bahwa para ulama berbeda pendapat mengenai
upah tukang bekam dalam hal menyikapi hadits-hadits tentang pelarangan dan
bolehnya mengambil upah.
Perbedaan tersebut secara ringkasnya
adalah sebagai berikut:
- Mengharamkannya. Ini adalah pendapat beberapa ahli
hadits yang memakai dalil dari hadits Abu Hurairah – hadits pertama
tentang haramnya upah tukang bekam.
Jawabnya: Pendapat yang mengharamkannya adalah tertolak berdasarkan hadits ketujuh hingga kesepuluh karena telah shahih riwayat bahwasannya Nabi Shallallahu’alaihi wassalam pernah memberikan upah kepada tukang bekam. - Jumhur ulama berpendapat usaha tukang bekam adalah
halal dengan membawa nash-nash larangan kepada makruh tanzih bukan pada
pengharaman.
Berdasarkan hadits Anas (nomer 7 dan 12) dan Ibnu Abbas (nomer 10). Hal itu karena Hijamah itu dibutuhkan oleh kaum muslimin ketika diperlukan namun upah dari bekam adalah sesuatu yang hina/kotor. Ini juga dikuatkan oleh Hadits Muhayyisah yang menganjurkan upah dari bekam digunakan untuk memberi makan ternak dan budaknya. Kalau larangan itu berarti pengharaman niscaya Rasulullah Shallallahu’alaihi wassalam tidak memerintahkan untuk memberi makan dari sesuatu yang haram kepada ternak maupun budak. - Ada juga yang berpendapat bahwa larangan mengambil upah
dari praktek bekam hukumnya telah mansukh (dihapus).
Ini adalah pendapat Ath-Thahawiy (Lihat Syarah Ma’anil Atsaar 4/131). At-Thahawi mengira bahwa kemungkinan dari larangan itu hukum asalnya adalah haram kemudian dihapuskan dan berubah menjadi mubah. Sedangkan Naskh pengapusnya itu tidak bisa tetap hanya dengan adanya kemungkinan saja tanpa dalil yang jelas tentang mana hadits yang lebih dahulu dan mana hadits yang datang belakangan (Lihat Fathul Bari 4/459). Selain itu, pendapat diatas juga hanya bisa diterima jika jalan penggabungan tidak memungkinkan. Sedangkan dalam kasus ini, jalan penggabungan masih sangat dimungkinkan. - Imam Ahmad berpendapat tentang hukum larangan itu
adalah berkaitan dengan orang yang merdeka dan budak. Apabila tukang bekam
tersebut merdeka (bukan budak), maka hukumnya haram tidak boleh
menggunakan upah bekam untuk kebutuhan hidupnya dan boleh diinfaqkan
kepada budaknya untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Namun bila tukang bekam
tersebut seorang budak, maka boleh hukumnya menggunakan upah bekan untuk
kebutuhan hidupnya. Ini
sesuai dengan hadits Muhayyishoh.(Lihat al-Mughni: 8/119-120).
Pendapat ini dapat dibantah dengan alasan sesungguhnya syari’at tidak pernah membedakan antara budak dan orang merdeka dalam hal perintah mencari mata pencaharian yang halal.
Perintah ini berlaku umum sebagaimana firman Allah ta’ala :فَكُلُوا مِمَّا رَزَقَكُمُ اللَّهُ حَلالا طَيِّبًا وَاشْكُرُوا نِعْمَةَ اللَّهِ إِنْ كُنْتُمْ إِيَّاهُ تَعْبُدُونَ“Maka makanlah yang halal lagi baik dari rezeki yang telah diberikan Allah kepadamu; dan syukurilah nikmat Allah jika kamu hanya kepada-Nya saja menyembah” [QS. An-Nahl : 114]. - Ibnul Arabi (Lihat Aridhotul Ahwadzy 5/276-277)
menjamak/menggabungkan hadits larangan dan bolehnya upah bekam dengan
syarat apabila tukang bekam memasang tarif tertentu, maka usahanya tersebut
tidak dibenarkan. Namun jika tidak, maka dibenarkan.
Pendapat Ibnul Arabi ini adalah pendapat yang dapat diperhitungan untuk menggabungkan hadits larangan dan bolehnya upah bekam.
Perlu diketahui makruh itu ada dua
yaitu MAKRUH TAHRIM – sesuatu yang dibenci namun lebih dekat
dengan pengharaman, dan yang kedua MAKRUH TANZIH – yaitu
sesuatu yang dibenci namun lebih dekat dengan penghalalan. (Lihat Anisul Fuqaha
fi Ta’rifat alfadz al-Mutadawalah bainal fuqaha – Qasim bin Abdullah bin Amiir
Ali Al-Qunawy cet. Darul Kitab al-Ilmiyyah hal. 1/104)
Dari kelima pendapat tersebut,
pendapat yang paling rajih adalah pendapat jumhur (membawa pelarangan pada
makna makruh tanzih) (Lihat Nailul Author X/424)
Hal ini sebagaimana perkataan
At-Tirmidzi :
وَقَدْ
رَخَّصَ بَعْضُ أَهْلِ العِلْمِ مِنْ أَصْحَابِ النَّبِيِّ صَلّى اللَّهُ عَلَيْهِ
وَسَلّمَ وَغَيْرِهِمْ فِي كَسْبِ الحَجَّامِ، وَهُوَ قَوْلُ الشَّافِعِيِّ
“Sebagian ahli ilmu dari kalangan
shahabat Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam dan selainnya memberikan keringanan
dalam hal upah tukang bekam. Dan itulah yang menjadi pendapat dari
Asy-Syaafi’iy” [Lihat Sunan At-Tirmidzi setelah hadits no. 1278].
Imam Ibnul Qayyim berkata berkaitan
dengan hadits Anas (hadits no 12):
وَفِيهَا
دَلِيلٌ عَلَى جَوَازِ التَّكَسُّبِ بِصِنَاعَةِ الْحِجَامَةِ، وَإِنْ كَانَ لَا
يَطِيبُ لِلْحُرِّ كْلُ أُجْرَتِهِ مِنْ غَيْرِ تَحْرِيمٍ عَلَيْهِ، فَإِنَّ
النَّبِيَّ صَلّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلّمَ أَعْطَاهُ أَجْرَهُ وَلَمْ يَمْنَعْهُ
مِنْ أَكْلِهِ وَتَسْمِيَتُهُ إِيَّاهُ خَبِيثًا كَتَسْمِيَتِهِ لِلثَّوْمِ
وَالْبَصَلِ خَبِيثَيْنِ، وَلَمْ يَلْزَمْ مِنْ ذَلِكَ تَحْرِيمُهُمَا.
Di dalam hadits tersebut terdapat
dalil bolehnya penghasilan/upah dari praktek bekam, walaupun tidak baik bagi
orang yang merdeka untuk memakan upah praktek bekam namun tidak mengandung
pengharaman, karena Nabi Shallallahu’alaihi wassallam memberikan upah kepada
pembekamnya dan tidak melarang Abu Thoyiba untuk memakannya. Dan penyebutan
“Khobits” (kotor) dari upah bekam itu adalah sebagaimana penyebutan dari bawang
putih dan bawang merah sebagai “Khobitsaini” (dua buah kotoran) dan hal itu
tidak mengharuskan konsekuensi bahwa keduanya sebagai barang yang haram. (Lihat
Zaadul Maad 4/63)
Syaikh Abdul Karim al-Khudhoir
berkata dalam kitabnya Syarah al-Muwaththo Imam Malik: Larangan Rasulullah
Shallallahu’alahi wassalam di atas adalah larangan yang masuk dalam makruh
littanzih (makruh yang lebih dekat kepada yang halal). (Lihat Syarah Az-Zarqani
Alal Muwaththo’ 4/609).
Meskipun yang rojih dari upah
praktek bekam adalah dibolehkan namun yang perlu dicamkan yaitu “upah
praktek bekam adalah upah yang hina” . Tidak selayaknya bagi seorang muslim
yang masih diberikan Allah kekuatan dan kelapangan rezki untuk mengambil upah
berlebihan dari pembekaman bahkan menggantungkan mata pencahariannya dari hal
tersebut. Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam telah memerintahkan
Muhayyishoh untuk mempergunakan upah bekam untuk membelikan makanan ternak. Dan
semua kata-kata khobits, suht, dan yang serupa merupakan celaan dari Baginda
Nabi Shallallahu’alaihi wassalam yang menerangkan kepada kita tentang
hinanya/kotornya upah bekam tersebut.
Sangat disayangkan fenomena
merebaknya pengamalan sunnah yaitu berbekam diselubungi dengan keinginan untuk
menggantungkan mata pencaharian semata-mata dari upah bekam. Dan biasanya
dengan modal nekat dan ilmu yang pas-pas-an banyak saudara-saudara kita membuka
praktek-praktek bekam dengan mengindahkan celaan dari hadits-hadits yang shohih
diatas. Bekam itu memang diperuntukkan kepada setiap muslim namun tidak setiap muslim
itu dianjurkan untuk menjadi pembekam, hal itu bisa dilihat dari sekian banyak
hadits dari Baginda Nabi Shallallahu’alaihi wassalam, hanya nama Abu Toyibah
sajalah yang dianggap sebagai pembekam Nabi, kalaulah bekam itu mudah dan
dianjurkan kepada para shahabat Nabi radhiallahu’anhum tentunya akan banyak
penyebutan pembekam Nabi Shallallahu’alaihi wassalam selain dari Abu Toyibah.
Oleh karena tidak bisa setiap orang tanpa ilmu yang cukup bisa menjadi
pembekam.
Nasehat Bagi Saudaraku Pembekam
Wahai saudaraku pembekam, semoga
Allah senantiasa mencurahkan keberkahan selalu kepadamu…cukuplah ridho Allah
dan Rasul-Nya Shallallahu’alaihi wassalam menjadi niatan antum dalam menolong
sesama kaum muslimin. Agar apa yang antum lakukan senantiasa barokah.
Tidak selayaknya bagi antum untuk
menggantungkan mata pencaharian dari Bekam semata padahal masih banyak pintu
rezki yang lainnya terbuka luas bagi hamba-hamba-Nya yang selalu berikhtiyar
untuk mendapatkan rezki halal lagi barokah.
Dan tidak selayaknya pula bagi antum
wahai saudaraku yang mulia untuk memberikan tarif/mematok tarif untuk
melakukan pembekaman. Hal itu menyalahi aturan yang terkandung dari
Hadits Rasulullah Shallallahu’alaihi wassalam yang shohih, yaitu:
Dari Ibnu ‘Umar radliyallaahu
‘anhuma :
أَنّ النّبي صَلّى اللَّهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّم َ دَعَا حَجَّامًا فَحَجَمَهُ وَسَأَلَهُ: كَمْ خَرَاجُكَ؟ فَقَالَ:
ثَلَاثَةُ آصُعٍ. فَوَضَعَ عَنْهُ صَاعًا وَأَعْطَاهُ أَجْرَهُ
“Bahwasannya Nabi shallallaahu
‘alaihi wa sallam pernah mengundang Abu Thoyiba (tukang bekam), lalu ia
membekam beliau. Setelah selesai, beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam
bertanya kepadanya : “Berapa pajakmu ?”. Ia menjawab : “Tiga sha’”. Lalu beliau
shallallaahu ‘alaihi wa sallam membatalkan satu sha’ (dari setoran yang harus
dibayarkan kepada majikannya karena sang majikan mensyaratkan pajak dari
jasanya), kemudian memberikan upahnya” [Hadits Shohih, Imam At-Tirmidzi dalam
Mukhtashar Asy-Syamaail Al-Muhammadiyyah, hal. 188 no. 312].
Coba perhatikan kata- “KAM”
berapa, pertanyaan dari Rasulullah Shallallahu’alaihi wassalam itu
mengandung maksud biaya pembekaman dibayarkan setelah berbekam dan
ditanya oleh yang dibekam serta tidak ditentukan berdasarkan keuntungan atau
keinginan sang pembekam semata, namun jawaban dari Abu Thoyiba itu mengandung
pemahaman bahwa tiga sho’ saat itu merupakan upah yang biasa ia terima dari
praktek bekam yang dilakukannya. Sehingga tidak selayaknya para
saudaraku pembekam untuk memberikan/mematok tarif sebelum pembekaman dilakukan
dan mengharap keuntungan yang sebanyak-banyaknya.
Tidak bolehnya mematok tarif itu
juga terkandung dalam perkataan Imam Ibnul Qayyim tentang hadits Anas no. 12:
“Didalamnya terdapat dalil tentang bolehnya menyewa thobib dan yang selainnya
(praktek medis) tanpa ada akad tariff namun hendaknya sang pasien memberikan
upah yang selayaknya atau apa yang diridhoi oleh si pembekam.” (Lihat Zaadul
Ma’ad 4/57)
Dan jawaban dari Abu Toyibah juga
mengisyaratkan bahwa pembekam boleh menjawab pertanyaan berapa upahnya dengan
mengisyaratkan pembayaran yang sudah biasa dilakukan oleh orang-orang yang
dibekamnya, dan ini pun tidak boleh mengambil untung yang banyak, hendaknya
secukupnya saja. Karena jikalau boleh pembekam itu mendapatkan untung yang
banyak maka tentunya Abu Toyyibah akan menyebutkan angka biaya yang lebih
fantastis dari sekedar tiga sho.
Jadi jelek disini bukan karena
darahnya yang keluar karena darah kotor sehingga dianggap jelek, Tapi jelek
perbuatannya sebagaimana hadisb yang jelas tadi.
Inilah nasehat yang saya kumpulkan
dari Syaikh Guru saya – Syaikh Muhammad Musa Alu Nashr hafizhahullah pada tahun
2002.
- Al-Quran.
- Shohih Al-Bukhori, Muslim, Mustadrak al-Hakim cet. Daar
al-Ma’arif.
- Sunan At-Tirmidzi, An-Nasa-i, Ibnu Majah, Abu Dawud
cet. Maktabah al-Ma’arif.
- Musnad Imam Ahmad cet. Baitul Afkar Dauliyah.
- Irwaul Ghalil Fi Takhrij Ahaadits Manaris Sabiil oleh
Syaikh Imam Muhammad Nashiruddin al-Albani cet. Al-Maktab al-Islamy th.
1405 H.
- Mukhtashor As-Syamail al-Muhammadiyah Imam at-Tirmidzi,
ditahqiq dan diringkas oleh Syaikh Imam Muhammad Nashiruddin al-Albani
cet. Maktabah al-Ma’arif th. 1406 H.
- Silsilah Ahaadits ashShohihah oleh Syaikh Muhammad
Nashirrudin al-Albani cet. Maktabah al-Ma’arif.
- Ath-Thibb an-Nabawy oleh Imam Ibnu Qayyim al-Jauziyyah,
hal. 309, cet. Maktabah Nizaar Musthafa al-Baz, th. 1418 H
- Fathul Bari Syarah Shohih al-Bukhori oleh Al-Hafizh
Ibnu Hajar al-Asqalani cet. Daarus Salam ar-Riyadh th. 1421 H.
- Nailul Author Min Asrory Muntaqal Akhbar oleh Imam
asy-Syaukani, Tahqiq Muhammad Syaikh Subhi bin Hasan Hallaq, cet. Dar Ibnul
Jauzi 1427 H
- Shahih at-Thibb an-Nabawy Fi Dha-il Ma’arif
ath-Thabiyyah wal ‘Ilmiyyah al-Haditsah oleh Syaikh Salim bin Ied
al-Hilaly hal. 401, cet. Maktabah al-Furqaan, th. 1424 H.
- Manhajus Salamah fi Tadawi bil Hijamah oleh Syaikh
Muhammad Musa Alu Nashr (hal. 142-143)
dikutip
dari Abu Kayyisa dan Zaki Rakhmawan, http://belajarhadits.com/
0 komentar:
Posting Komentar