Rujuk (kembali kepada kebenaran) dari Fatwa
yang Keliru
Soal Kedelapan:
Apabila seseorang ditanya tentang suatu permasalahan lalu dia berfatwa, dan setelah berlalu beberapa waktu jelas baginya bahwa apa yang telah dia fatwakan adalah salah. Apa yang harus ia lakukan?
Apabila seseorang ditanya tentang suatu permasalahan lalu dia berfatwa, dan setelah berlalu beberapa waktu jelas baginya bahwa apa yang telah dia fatwakan adalah salah. Apa yang harus ia lakukan?
Jawaban:
Dia wajib untuk kembali kepada kebenaran dan berfatwa dengannya kemudian menyatakan bahwa dia telah berbuat kesalahan, sebagaimana ucapan ‘Umar radhiyallahu ‘anhu: “Kebenaran adalah sesuatu yang telah terdahulu.”
Dia wajib untuk kembali kepada kebenaran dan berfatwa dengannya kemudian menyatakan bahwa dia telah berbuat kesalahan, sebagaimana ucapan ‘Umar radhiyallahu ‘anhu: “Kebenaran adalah sesuatu yang telah terdahulu.”
Sehingga dia wajib untuk kembali dan berfatwa
dengan kebenaran, kemudian menyatakan bahwa dirinya telah melakukan kesalahan
pada permasalahan yang lalu: “Aku telah berfatwa demikian dan demikian,
kemudian jelas bagiku bahwa itu adalah kesalahan, yang benar adalah demikian
dan demikian.”
Perbuatan tersebut bukanlah merupakan aib baginya, bahkan ini adalah kewajiban baginya. Nabi shallallahu ‘alaihi
wasallam –pimpinan para pemberi fatwa– ketika seseorang bertanya kepada beliau
shallallahu ‘alaihi wasallam tentang talqih yaitu penyerbukan pada pohon kurma,
beliau shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,
مَا أَظُنُّهُ يَضُرُّهُ لَوْ تُرِكَ
”Menurutku hal itu tidak akan memberikan
madharat seandainya ditinggalkan.”
Setelah beberapa waktu lamanya, para shahabat
mengabarkan kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bahwa hal tersebut
ternyata memberikan madharat. Maka beliau shallallahu ‘alaihi wasallam
bersabda,
إِنَّمَا أَخْبَرْتُكُمْ عَنْ رَأْيِي والرَأْيُ يُخْطِئُ وَيُصِيْبُ،
أَمَّا مَا أُحَدِّثُكُمْ بِهِ عَنِ اللهِ فَإِنِّي لَنْ أَكْذِبَ عَلَى اللهِ
“Apa yang telah aku sampaikan kepada kalian
hanyalah berasal dari pendapatku. Dan suatu pendapat terkadang benar dan
terkadang salah. Adapun segala sesuatu yang telah aku kabarkan kepada kalian
dari Allah subhanahu wata’ala, sungguh aku tidak akan pernah berdusta atas nama
Allah subhanahu wata’ala.” Lalu beliau memerintahkan agar mereka kembali
melakukan talqih.
Begitu juga Umar radhiyallahu ‘anhu. Beliau
telah berfatwa dengan menggugurkan hak saudara dalam permasalahan musyarakah
(permasalahan ilmu waris-mewaris, -pent). Setelah berlalu beberapa waktu,
beliau berfatwa dengan yang sebaliknya berdasarkan pendapat yang lebih kuat
menurutnya, yaitu tetap berserikatnya hak saudara pada permasalahan tersebut.
Kembalinya seorang ulama kepada pendapat yang
diyakini olehnya bahwa hal itu adalah benar adalah sikap yang terpuji. Hal itu
merupakan jalan orang-orang yang berilmu dan beriman. Dia tidak mendapatkan
dosa karena perbuatannya itu, dan bukan merupakan aib baginya. Bahkan hal itu
menunjukkan keutamaan dan imannya yang kuat, yaitu bahwa dia kembali kepada
kebenaran dan meninggalkan kesalahan.
Seandainya ada orang bodoh yang berkata bahwa
ini adalah aib, maka ucapannya tidak teranggap. Karena sikap ulama tadi adalah
sesuatu yang terpuji dan bukan merupakan aib baginya.
(Sumber: http://ulamasunnah.wordpress.com dinukil
dari kitab Masuliyati Thalibil Ilm karya Syaikh bin Baaz, edisi Indonesia Ada
Tanggung Jawab di Pundakmu, penerjemah: Abu Luqman Abdullah, penerbit Al Husna,
Jogjakarta)
http://ulamasunnah.wordpress.com/
0 komentar:
Posting Komentar