Maju Tak Gentar, Membela yang Bayar
Itulah prinsip sebagian orang yang berprofesi sebagai pengacara
atau advokat. Jika demikian, bolehkah profesi semisal ini? Halalkah upah yang didapat oleh seorang
advokat dari kliennya, jika advokat tersebut menganut prinsip di atas?
Dibolehkan bagi seorang advokat untuk mewakili kliennya di
pengadilan dalam memberikan pembelaan dengan sejumlah upah tertentu, dengan
syarat:
1. Tidak menolong orang yang salah.
2. Pembelaan yang dilakukan tidak menjadi sebab si klien mengambil sesuatu yang bukan haknya atau menyebabkan orang yang berhak atas sesuatu malah menjadi kehilangan haknya.
وَتَعَاوَنُوا عَلَى الْبِرِّ وَالتَّقْوَى وَلا تَعَاوَنُوا عَلَى الإثْمِ وَالْعُدْوَانِ
Artinya, “Dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan
takwa, dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran.”
(QS. Al-Maidah:2)
Syekh Ali Mahfuzh mengatakan, “Di antara kebiasaan buruk adalah perasaan santai
saat berprofesi sebagai pengacara. Sebagian pengacara menangani kasus seorang
klien meski dia
tidak menguasai duduk permasalahan sebenarnya. Bahkan, banyak pengacara yang
menerima permintaan kliennya untuk memberikan advokasi, padahal dia tahu bahwa
kliennya tidaklah berada di pihak yang benar. Pengacara ini akhirnya menjadi
penyokong orang yang zalim agar bisa terus berbuat kezaliman. Sering kali, para
pengacara memberikan pembelaan yang mengada-ada untuk mengalahkan fakta
senyatanya. Sehingga, orang yang berhak malah menjadi tidak mendapatkan haknya.
Pada akhirnya, para pengacara ini memakan harta orang lain tanpa alasan yang
bisa dibenarkan.
Para pengacara ini, dengan santainya, mendorong kliennya untuk
mendatangkan para saksi palsu. Kepada kliennya dan para saksi palsu tersebut,
mereka (para pengacara ini) membisikkan berbagai trik pemalsuan yang dahulu
tidak mereka kenal sama sekali.
Hendaknya, para pengacara yang seperti di atas merasa takut kepada
Allah, terutama orang-orang yang mengerti agama di antara mereka. Mereka adalah
orang yang paling layak untuk menghindari perbuatan haram ini.
Hendaknya, mereka tidak tertipu dengan dunia. Sesungguhnya, upah
yang mereka dapatkan dari klien mereka itu tidak ada apa-apanya dengan
kemuliaan agama dan ngerinya berdiri di hadapan Allah saat orang-orang yang
dizalimi haknya menuntut orang-orang yang menzaliminya.
Upah dunia yang didapatkan itu tidak ada nilainya dengan dampak
negatif tindakan pengacara dengan perangai seperti itu. Dampak negatifnya
adalah hilangnya keadilan, hilangnya kehormatan, dan timbulnya akhlak yang
tercela.
Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda,
مَنْ أَعَانَ عَلَى خُصُومَةٍ بِظُلْمٍ - أَوْ يُعِينُ عَلَى ظُلْمٍ - لَمْ يَزَلْ فِى سَخَطِ اللَّهِ حَتَّى يَنْزِعَ
'Siapa
saja yang membantu salah satu pihak yang bersengketa dengan cara-cara yang
tidak benar, maka dia selalu akan berada dalam murka Allah, sampai dia tidak
lagi menolong orang tersebut.' (HR. Ibnu Majah dan Al-Hakim;
Al-Hakim mengatakan bahwa sanad hadits tersebut sahih)
Dari Ummu Salamah, Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda, 'Aku hanyalah
manusia biasa. Kalian melaporkan sengketa kepadaku. Boleh jadi, salah satu
pihak yang bersengketa tersebut lebih pandai dalam beralasan--sehingga kukira
dia berada di pihak yang benar--. Akhirnya, kuputuskan sebagaimana alasan yang
kudengar. Maka, siapa saja yang kepadanya kuserahkan sesuatu yang sebenarnya
adalah hak saudaranya, maka pada hakikatnya aku memberikan sepotong api neraka
kepada orang tersebut.' (HR. Bukhari dan Muslim)
Artinya, sebagian orang yang bersengketa itu lebih mengerti dan
lebih menguasai argumen yang diperlukan dan cara yang bagus untuk
menyampaikannya.
Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam hanya memutuskan setelah
menimbang klaim, jawaban klaim, bukti, dan sumpah. Oleh karena itu, boleh jadi
putusan yang dihasilkan itu sebenarnya keliru. Dalam kondisi semisal ini, hakim
sebenarnya memberikan potongan api neraka kepada pihak yang menang. Artinya,
perbuatan ini mengantarkan kepada siksa api neraka.
Dengan bahasa lain, jika--berdasarkan data yang ada--hakim
memenangkan pihak yang sebenarnya salah, maka kemenangan yang didapatkan oleh
pihak yang dimenangkan adalah suatu hal yang haram, yang akan mengantarkan
orang yang mengambilnya ke dalam neraka.
Hadits di atas adalah dalil mengenai berdosanya orang yang
berdebat dalam rangka membela klaim-klaim yang tidak benar. Walau di dunia dia
berhak atas hal yang dia klaim, namun hal tersebut tetaplah haram sisi Allah.
Sehingga, keputusan seorang hakim itu tidaklah mengubah sesuatu yang haram
menjadi halal.
Wahai para pengacara, janganlah kalian tolong orang yang zalim
agar bisa mewujudkan kezalimannya! Janganlah kalian mau menangani suatu kasus,
kecuali setelah kalian mengetahui duduk permasalahan yang sebenarnya!
Hendaknya, pembelaan yang kalian berikan adalah pembelaan yang proposional,
tanpa ngotot dan tanpa berteriak-teriak.” (Al-Ibda’ fi Madhar Al-Ibtida’, hlm. 26)
Jika dalam menjalankan profesinya, seorang advokat bisa terbebas
dari hal-hal terlarang sebagaimana uraian di atas, maka profesi yang dia
jalankan adalah pekerjaan yang hukumnya mubah dan upah yang dia dapatkan adalah
upah yang halal.
Akan tetapi, yang menjadi pertanyaan mendasar: bisakah
syarat-syarat di atas direalisasikan di dunia nyata?
Artikel www.PengusahaMuslim.com
0 komentar:
Posting Komentar