Sosok Pemimpin Islami
Segala puji hanya bagi Alloh, semoga shalawat serta salam
tercurah kepada Nabi Muhammad shallallahu’alaihi wa sallam, keluarga
beserta para sahabat yang setia mengikuti sunnahnya.
Sekelompok masyarakat sangatlah membutuhkan sosok orang yang
akan mengatur jalannya hidup dan kehidupan agar tercapainya kehidupan yang
aman, adil, sejahtera yang hakiki dalam Islam.
Pemimpin adalah orang yang mengatur berbagai macam urusan.
Pemimpin adalah contoh bagi yang dipimpinnya. Pemimpin adalah orang yang
memiliki kemampuan terhadap yang dipimpinnya. Pemimpin bukanlah suatu profesi.
Pemimpin memiliki tanggung jawab yang sangat besar. Dan masing-orang adalah
pemimpin bagi dirinya sendiri.
Nabi shallallahu’alaihi wa sallam bersabda:
“كلكم راع و
كلم مسئول عن رعيته فالإمام راع و هو مسئول عن رعيته و الرجل راع في أهله و هو
مسئول عن رعيته و المرأة راعية في بيت زوجها و هي مسئولة عن رعيتها و الخادم راع
في مال سيده و هو مسئول عن رعيته و الرجل راع في مال أبيه و هو مسئول عن رعيته
فكلكم راع و كلكم مسئول عن رعيته”
“Masing-masing dari kalian adalah pemimpin,
dan kalian semuanya akan ditanya tentang kepemimpinannya. Seorang imam adalah
pemimpin dia akan ditanya tentang kepemimpinannya. Seorang bapak adalah
pemimpin bagi keluarganya dia akan ditanya tentang kepemimpinannya, seorang
istri adalah pemimpin di rumah suaminya dia akan ditanya tentang
kepemimpinannya, seorang pembantu adalah pemimpin di rumah tuannya dia akan
ditanya tentang kepemimpinannya, seorang anak adalah pemimpin pada harta orang
tuanya dia akan ditanya tentang kepemimpinannya. Maka kalian semua adalah
pemimpin terhadap yang dipimpinnya”.
HR, Ahmad, Al
Baihaqi, Ad Daruqutni, Abu Dawud, dan At Tirmidzi dari jalan Ibnu Umar. Berkata
Syaikh al Albani Shohih. Lihat hadits no.4569 didalam Shohih Al Jami’
Maka apabila
seorang pemimpin tidak mampu memimpin dirinya sendiri menjadi orang yang baik
dan terbaik yang diharapkan di dalam Islam, maka bagaimana mungkin dia akan
mampu mengatur negaranya yang terkecil yaitu keluarganya sebelum mengatur orang
lain bahkan mengatur negara.
Krisis memang,
ketika menjamurnya penyakit linglung dalam memilih sosok pemimpin di masyarakat
terlebih ketika dia akan mengatur urusan orang banyak terutama yang berkaitan
dengan urusan agama dan masalah keduniaan lainnya.
Orang sudah tidak
lagi memprioritaskan kriteria yang ada pada sosok Rasululloh shallallahu’alaihi
wa sallam, tidak pula sosok Abu Bakar Ash Shiddiq, tidak pula sosok Umar
bin Khatthab, tidak pula sosok Utsman bin Affan, tidak pula sosok Ali bin Abi
Thalib, tidak pula sosok Umar bin Abdul Aziz, tidak pula sosok para imam-imam
salaf setelah mereka yang memiliki sikap profesionalis yang hakiki dalam hal
keilmuan, ketakwaan, ibadah, muamalah, dan lainnya.
Sebaliknya sosok
pemimpin yang diangkat adalah pemimpin yang memiliki profesionalis yang
notabene ala barat seperti pandai berbicara, pandai menarik hati orang lain,
memiliki kedudukan dan gelar yang
tinggi, memiliki keturunan dan dari keluarga yang sama, dan alasan-alasan
lainnya yang pada dasarnya mereka tidak memiliki dasar agama yang kokoh kecuali
sedikit.
Di samping itu
fitnah-fitnah maksiat dan dunia juga menjadi faktor pendorong yang mendukung
semakin menjalarnya penyakit linglung alias krisis memilih sosok pemimpin
terlebih lagi kita hidup di zaman yang sudah sangat banyak tanda-tanda kiamat
bertebaran diantaranya telah dibukanya pintu-pintu kekayaan dunia dan banyaknya
maksiat di hadapan kita sehingga orang akan mendengar suara kebanyakan
orang-orang yang terjangkit virus maksiat dan fitnah dunia di dalam hatinya dan
meninggalkan perkataan orang-orang bertakwa yang disangka kaku dan kolot
.
Al Mawardi rahimahulloh
dalam kitab Al Ahkam Ash Shulthoniyah menyebutkan syarat-syarat
seorang pemimpin, diantaranya:
Pertama, adil dengan ketentuan-ketentuannya.
Kedua, ilmu yang bisa mengantar kepada ijtihad dalam menetapkan permasalahan
kontemporer dan hukum-hukum.
Ketiga, sehat jasmani, berupa pendengaran,
penglihatan dan lisan, agar dia dapat langsung menangani tugas kepemimpinannya.
Keempat, normal (tidak cacat) yang tidak
menghalanginya untuk bergerak dan bereaksi.
Kelima, bijak yang bisa digunakan untuk mengurus
rakyat dan kepentingan negara.
Keenam, keberanian yang bisa digunakan untuk
melindungi wilayah dan memerangi musuh.
Muhammad Al Amin
Asy Syinqithi rahimahulloh di dalam Adhwa Al Bayan 1/67 mengatakan:
“Pemimpin haruslah
seseorang yang mampu menjadi Qadhi (hakim) bagi rakyatnya (kaum muslimin).
Haruslah seorang Alim Mujtahid yang tidak perlu lagi meminta fatwa kepada orang
lain dalam memecahkan kasus-kasus yang berkembang di tengah masyarakatnya”.
Sebagai penutup
kata bahwasanya pemimpin kelak akan diminta pertanggung jawabannya di hadapan
Alloh Ta’ala terhadap apa-apa yang dipimpinnya baik berkaitan dengan
keilmuan pemimpin itu, sikap, manajemennya (dari salaf atau saduran barat),
lingkungannya, dan masing-masing orang perorang dari bawahan atau rakyatnya.
وَقِفُوهُمْ
إِنَّهُمْ مَسْؤُلُونَ
“Dan tahanlah mereka (di tempat perhentian)
karena Sesungguhnya mereka akan ditanya”. QS. Ash Shofat: 24
Wallahu A’lam bisshowab.
0 komentar:
Posting Komentar