
Segala puji hanya bagi Alloh Ta'ala Raja yang menguasai seluruh makhluq ciptaanNya. semoga shalawat serta salam tercurah kepada Nabi Muhammad shallallohu'alaihi wasallam, keluarga, beserta para pengikut Beliau yang setia.
Diantara fitrah yang melekat pada diri manusia sejak lahirnya adalah senang untuk dipuji oleh orang lain bahkan diangkat kedudukannya di hadapan orang banyak. Kepemimpinan, adalah puncak dari semua itu. bukan suatu yang aneh lagi dimana manusia dengan berbagai macam corak tindak-tanduknya untuk meraih yang namanya kepemimpinan, mulai dari sarana harta, gelar-gelar, keturunan bangsawan sampai mengaku sebagai keturunan Nabi, dan masih banyak corak yang berlaku seperti saat ini yang kian menjamur.
Di samping itu masyarakat terkadang terperdaya dengan penampilan sosok sang pemimpin yang memiliki badan yang besar gagah perkasa ditambah lagi dengan suara-suara yang dapat 'menyihir' lawan bicaranya.
Marilah kita simak sebuah tulisan oleh Ustadz Abu Ihsan Al Atsari yang saya copas dari http://salafiyunpad.wordpress.com/ tentang beberapa pemaparan di bawah semoga bermanfaat dan dapat kita amalkan.
PEMIMPIN IDEAL
Al-Mawardi rahimahullah dalam kitab al-Ahkam ash-Shulthaniyah menyebutkan syarat-syarat seorang pemimpin, di antaranya: Pertama, adil dengan ketentuan-ketentuannya. Kedua, ilmu yang bisa mengantar kepada ijtihad dalam menetapkan permasalahan kontemporer dan hukum-hukum. Ketiga, sehat jasmani, berupa pendengaran, penglihatan dan lisan, agar ia dapat langung menangani tugas kepemimpinan. Keempat, normal (tidak cacat), yang tidak menghalanginya untuk bergerak dan beraksi. Kelima, bijak, yang bisa digunakan untuk mengurus rakyat dan mengatur kepentingan Negara. Keenam, keberanian, yang bisa digunakan untuk melindungi wilayah dan memerangi musuh.
Nilai
lebih dalam hal kebijakan, kesabaran, keberanian, sehat jasmani dan
rohani serta kecerdikan merupakan kriteria yang mutlak harus dimiliki
oleh seorang pemimpin. Tanpa memiliki kriteria itu, seorang pemimpin
akan kesulitan dalam mengatur dan mengurus Negara dan rakyatnya.
Muhammad al-Amin asy-Syinqithi menjelaskan, “Pemimpin haruslah seseorang yang mampu menjadi Qadhi
(hakim) bagi rakyatnya (kaum muslimin). Haruslah seorang alim mujtahid
yang tidak perlu lagi meminta fatwa kepada orang lain dalam memecahkan
kasus-kasus yang berkembang di tengah masyarakatnya!” [1]
Ibnul-Muqaffa’ dalam kitab al-Adabul-Kabir wa Adabush-Shaghir menyebutkan plar-pilar penting yang harus diketahui seorang pemimpin: “Tanggungjawab kepemimpinan merupakan sebuah bala’
(ujian) yang besar. Seorang pemimpin harus memiliki empat kriteria yang
merupakan pilar dan rukun kepemimpinan. Di antara keempat kriteria
inilah sebuah kepemimpinan akan tegak, (yaitu): tepat dalam memilih,
keberanian dalam bertindak, pengawasan yang ketat, dan keberanian dalam
menjalankan hukum” .
Lebih
lanjut ia mengatakan: “Pemimpin tidak akan bisa berjalan tanpa menteri
dan para pembantu. Dan para menteri tidak akan bermanfaat tanpa kasih
sayang dna nasihat. Dan tidak ada kasih sayang yanpa akal yang bijaksana
dan kehormatan diri”.
Dia
menambahkan: “Para pemimpin hendaklah selalu mengawasi para bawahannya
dna menanyakan keadaan mereka. Sehingga keadaan bawahan tidak ada yang
tidak diketahui, yang baik maupun yang buruk. Setelah itu, janganlah ia
membiarkan pegawai yang baik tanpa memberikan balasan, dna janganlah
membiarkan pegawai yang nakal dan yang lemah tanpa memberikan hukuman
ataupun tindakan atas kenakalan dan kelemahannya itu. Jika dibiarkan,
maka pegawai yang baik akan bermalas-malasan dan pegawai yang nakal akan
semakin berani. Jika demikian, kacaulah urusan dan rusaklah pekerjaan.”
Ath-Thurtusyi dalam Sirajul-Muluk mengatakan: “Allah Subhanahu wa Ta’ala telah berfirman (yang artinya):
Seandainya Allah tidak menolak (keganasan) sebahagian manusia dengan sebahagian yang lain, pasti rusaklah bumi ini. (QS. Al-Baqarah/2: 251).
Yakni,
seandainya Allah tidak menegakkan pemimpin di muka bumi untuk menolak
kesemena-menaan yang kuat terhadap yang lemah dan membela orang yang
dizhalimi atas yang menzhalimi, niscaya hancurlah orang-orang yang
lemah. Manusia akan salin memangsa. Segala urusan menjadi tidak akan
teratur, dan hiduppun tidak akan tenang. Rusaklah kehidupan di atas muka
bumi. Kemudian Allah menurunkan karunia kepada umat manusia dengan
menegakkan kepemimpinan. Allah Subhanahu wa Ta’ala mengatakan, tetapi Allah mempunyai karunia (yang dicurahkan) atas semesta alam. –QS. Al-Baqarah/2: ayat 251- yaitu dengan mengadakan pemerintahan di muka bumi, sehingga kehidupan manusia menjadi aman.
Karunia Allah ‘Azza wa Jalla
atas orang yang zhalim, ialah dengan menahan tangannya dari perbuatan
zhalim. Sedangkan karunia-Nya atas orang yang dizhalimi, ialah dengan
memberikan keamanan dan tertahannya tangan orang yang zhalim
terhadapnya.
Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu telah meriwayatkan, bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda (yang artinya):
Tiga doa yang tidak tertolak: Doa pemimpin yang adil, orang yang puasa hingga berbuka, dan doa orang yang dizhalimi.[2]
Diriwayatkan, Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda (yang artinya):
Tujuh
orang yang akan dinaungi Allah pada hari yang tiada naungan selain
naungan-Nya: (1) Seorang imam yang adil (2) Seorang pemuda yang
menghabiskan masa mudanya dengan beribadah kepada Allah. (3) Seorang
yang hatinya selalu terkait dengan masjid. (4) Dua orang yang saling
mencintai karena Allah, berkumpul karena Allah dan berpisah karena
Allah. (5) lelaki yang diajak seorang wanita yang cantik dan terpandang
untuk berxina lantas ia berkata: “Sesungguhnya aku takut kepada Allah”.
(6) Seorang yang menyembunyikan sedekahnya sehingga tangan kirinya tidak
mengetahui apa yang disedekahkan oleh tangan kanannya. (7) seorang yang
berdzikir kepada Allah seorang diri hingga menetes air matanya.[3]
Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu berkata, “Ámal
seorang imam yang adil terhadap rakyatnya selama sehari, lebih utama
daripada ibadah seorang ahli ibadah di tengah keluarganya selama seratus
atau lima puluh tahun.”
Qeis bin Sa’ad berkata, “Sehari bagi imam yang adil, lebih baik daripada ibadah seseorang di rumahnya selama enam puluh tahun.”
Masruq
berkata, “Andaikata aku memutuskan hukum dengan hak (benar) selama
sehari, maka itu lebih aku sukai daripada aku berperang setahun fi sabilillah.”
Catatan kaki:
[1] Adhwa’ul-bayan, I/67.
[2] HR. at-Tirmidzi dan Ibnu Majah. Hadits ini dishahihkan oleh Syaikh al-Albani rahimahullah dalam Shahih Sunan Ibnu Majah, no. 1432.
[3] HR. Bukhari dan Muslim.
http://hidayahsalaf.blogspot.com/
http://hidayahsalaf.blogspot.com/
0 komentar:
Posting Komentar