
Akibat Tidak Amanah dalam kepemimpinan
Janji demi
janji diberi menjelang pesta rakyat, Pemilu yang dihadapi setahun lagi. Inilah
yang digaungkan oleh para penggila kekuasaan. Awalnya ingin mengatasnamakan
rakyat ketika awal-awal berkampanye. Namun kala mereka mendapatkan kursi panas,
janji tinggallah janji. Awalnya mereka adalah orang yang kenal agama, karena
kekuasaan, hidup glamor yang jadi prioritas, bahkan agama pun dikorbankan demi
ambisi kekuasaan.
Inilah
realita yang terjadi pada para penggila kekuasaan. Benarlah kata Rasul kita -shallallahu
‘alaihi wa sallam- bahwa kekuasaan bisa jadi ambisi setiap orang. Namun
ujungnya selalu ada penyesalan. Beliau bersabda,
إِنَّكُمْ
سَتَحْرِصُونَ عَلَى الإِمَارَةِ ، وَسَتَكُونُ نَدَامَةً يَوْمَ الْقِيَامَةِ ،
فَنِعْمَ الْمُرْضِعَةُ وَبِئْسَتِ الْفَاطِمَةُ
“Sesungguhnya
kalian nanti akan sangat berambisi terhadap kepemimpinan, ujungnya hanya
penyesalan pada hari kiamat. Di dunia ia mendapatkan kesenangan, namun
setelah kematian sungguh penuh derita” (HR. Bukhari no. 7148)
Ibnu Hajar
Al Asqolani rahimahullah berkata bahwa ucapan Nabi -shallallahu
‘alaihi wa sallam- di atas menceritakan tentang sesuatu sebelum terjadinya
dan ternyata benar terjadi.
Hadits di
atas semakin jelas jika dilihat dari riwayat lainnya yang dikeluarkan oleh Al
Bazzar, Ath Thobroni dengan sanad yang shahih dari ‘Auf bin Malik dengan
lafazh,
أَوَّلهَا
مَلَامَة ؛ وَثَانِيهَا نَدَامَة ، وَثَالِثهَا عَذَاب يَوْمَ الْقِيَامَة ،
إِلَّا مَنْ عَدَلَ
“Awal
(dari ambisi terhadap kekuasaan) adalah rasa sakit, lalu kedua diikuti dengan
penyesalan, setelah itu ketiga diikuti dengan siksa pada hari kiamat, kecuali
bagi yang mampu berbuat adil.”
Dan
disebutkan oleh Thobroni dari hadits Zaid bin Tsabit yang marfu’,
نِعْمَ
الشَّيْء الْإِمَارَة لِمَنْ أَخَذَهَا بِحَقِّهَا وَحِلِّهَا ، وَبِئْسَ الشَّيْء
الْإِمَارَة لِمَنْ أَخَذَهَا بِغَيْرِ حَقّهَا تَكُون عَلَيْهِ حَسْرَة يَوْم
الْقِيَامَة
“Sebaik-baik
perkara adalah kepemimpinan bagi yang menunaikannya dengan cara yang benar.
Sejelek-jelek perkara adalah kepemimpinan bagi yang tidak menunaikannya dengan
baik dan kelak ia akan merugi pada hari kiamat.”
Terdapat
pula dalam riwayat Muslim dari hadits Abu Dzar,
قُلْت يَا
رَسُول اللَّه أَلَا تَسْتَعْمِلُنِي ؟ قَالَ : إِنَّك ضَعِيف ، وَإِنَّهَا
أَمَانَة ، وَإِنَّهَا يَوْم الْقِيَامَة خِزْي وَنَدَامَة إِلَّا مَنْ أَخَذَهَا
بِحَقِّهَا وَأَدَّى الَّذِي عَلَيْهِ فِيهَا
“Aku
berkata, “Wahai Rasulullah, kenapa engkau enggan mengangkatku (jadi pemimpin)?”
Rasulullah -shallallahu ‘alaihi wa sallam- menjawab, “Engkau itu lemah.
Kepemimpinan adalah amanat. Pada hari kiamat, ia akan menjadi hina dan
penyesalan kecuali bagi yang mengambilnya dan menunaikannya dengan benar.
Imam Nawawi rahimahullah
berkata, “Ini pokok penting yang menunjukkan agar kita menjauhi kekuasaan
lebih-lebih bagi orang yang lemah. Orang lemah yang dimaksud adalah yang
mencari kepemimpinan padahal ia bukan ahlinya dan tidak mampu berbuat adil.
Orang seperti ini akan menyesal terhadap keluputan dia ketika ia dihadapkan
pada siksa pada hari kiamat. Adapun orang yang ahli dan mampu berbuat adil
dalam kepemimpinan, maka pahala besar akan dipetik sebagaimana didukung dalam
berbagai hadits. Akan tetapi, masuk dalam kekuasaan itu perkara yang amat
berbahaya. Oleh karenanya, para pembesar (orang berilmu) dilarang untuk masuk
ke dalamnya. Wallahu a’lam.”
Lantas
bagaimana akibat tidak amanat dalam menunaikan kepemimpinan? Dalam hadits di
atas sudah disebutkan akibatnya,
فَنِعْمَ
الْمُرْضِعَةُ وَبِئْسَتِ الْفَاطِمَةُ
“Di dunia
ia mendapatkan kesenangan, namun setelah kematian sungguh penuh derita”. Ad
Dawudi berkata mengenai maksud kalimat tersebut adalah kepemimpinan bisa
berbuah kenikmatan di dunia, namun bisa jadi penghidupan jelek setelah kematian
karena kepemimpinan akan dihisab dan ia bagaikan bayi yang disapih sebelum ia
merasa cukup lalu akan membuatnya sengsara. Ulama lain berkata mengenai maksud
hadits, kekuasaan memang akan menghasilkan kenikmatan berupa kedudukan, harta,
tenar, kenikmatan duniawi yang bisa dirasa, namun kekuasaan bisa bernasib jelek
di akhirat.
Wallahu waliyyut taufiq was sadaad.
[Disarikan dari Fathul Bari karya Ibnu Hajar Al
Asqolani, 13: 125-126]
—
Riyadh-KSA,
23 Rabi’ul Awwal 1434 H
Penulis: Muhammad Abduh Tuasikal
Artikel Muslim.Or.Id
0 komentar:
Posting Komentar