MENJALIN CINTA ABADI DALAM RUMAH TANGGA
Setiap orang yang telah berkeluarga, tentu
menginginkan kebaikan dan kebahagiaan dalam kehidupannya bersama istri dan
anak-anaknya. Hal ini sebagai perwujudan rasa cintanya kepada mereka, yang
kecintaan ini merupakan fitrah yang Allah tetapkan pada jiwa
setiap manusia. Allah I berfirman:
{زُيِّنَ لِلنَّاسِ حُبُّ الشَّهَوَاتِ
مِنَ النِّسَاءِ وَالْبَنِينَ وَالْقَنَاطِيرِ الْمُقَنْطَرَةِ مِنَ الذَّهَبِ
وَالْفِضَّةِ وَالْخَيْلِ الْمُسَوَّمَةِ وَالْأَنْعَامِ وَالْحَرْثِ ذَلِكَ
مَتَاعُ الْحَيَاةِ الدُّنْيَا وَاللَّهُ عِنْدَهُ حُسْنُ الْمَآبِ}
"Dijadikan indah pada (pandangan) manusia kecintaan kepada
apa-apa yang diingini, yaitu: wanita-wanita, anak-anak, harta yang banyak dari
jenis emas, perak, kuda pilihan, binatang-binatang ternak dan sawah ladang.
Itulah kesenangan hidup di dunia; dan di sisi Allah-lah tempat kembali yang
baik (surga)" (QS Ali 'Imran:14).
Bersamaan dengan itu, nikmat keberadaan istri dan anak ini sekaligus
juga merupakan ujian yang bisa menjerumuskan seorang hamba dalam kebinasaan.
Allah mengingatkan hal ini dalam firman-Nya:
{يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِنَّ
مِنْ أَزْوَاجِكُمْ وَأَوْلادِكُمْ عَدُوّاً لَكُمْ فَاحْذَرُوهُمْ}
"Hai orang-orang yang beriman, sesungguhnya di antara
isteri-isterimu dan anak-anakmu ada yang menjadi musuh bagimu, maka
berhati-hatilah kamu terhadap mereka…" (QS At Taghaabun:14).
Makna "menjadi musuh bagimu"
adalah melalaikan kamu dari melakuakan amal shaleh dan bisa menjerumuskanmu ke
dalam perbuatan maksiat kepada Allah U[1].
Salah menempatkan arti cinta dan kasih
sayang
Kita dapati
kebanyakan orang salah menempatkan arti cinta dan kasih sayang kepada istri dan
anak-anaknya, dengan menuruti semua keinginan mereka meskipun dalam hal-hal
yang bertentangan dengan syariat Islam, yang pada gilirannya justru akan
mencelakakan dan merusak kebahagiaan hidup mereka sendiri.
Sewaktu menafsirkan
ayat tersebut di atas, syaikh Abdurrahman as-Sa'di berkata: "…Karena jiwa
manusia memiliki fitrah untuk cinta kepada istri dan anak-anak, maka (dalam
ayat ini) Allah I memperingatkan hamba-hamba-Nya agar (jangan
sampai) kecintaan ini menjadikan mereka menuruti semua keinginan istri dan
anak-anak mereka dalam hal-hal yang dilarang dalam syariat. Dan Dia
memotivasi hamba-hamba-Nya untuk (selalu) melaksanakan perintah-perintah-Nya
dan mendahulukan keridhaan-Nya…"[2].
Oleh karena itulah, seorang kepala
keluarga yang benar-benar menginginkan kebaikan dalam keluarganya hendaknya
menyadari kedudukannya sebagai pemimpin dalam rumah tangganya, sehingga dia
tidak membiarkan terjadinya penyimpangan syariat dalam keluarganya, karena
semua itu akan ditanggungnya pada hari kiamat kelak. Rasulullah r bersabda:
"ألا كلكم
راع وكلكم مسئول عن رعيته، ... والرجل راع على أهل بيته وهو مسئول عنهم"
"Ketahuilah, kalian semua adalah pemimpin dan kalian semua
akan dimintai pertanggungjawaban tentang apa yang dipimpinnya…seorang suami
adalah pemimpin (keluarganya) dan dia akan dimintai pertanggungjawaban tentang
(perbuatan) mereka"[3].
Cinta sejati yang abadi
Seorang kepala
keluarga yang benar-benar mencintai dan menyayangi istri dan anak-anaknya
hendaknya menyadari bahwa cinta dan kasih sayang sejati terhadap mereka tidak hanya
diwujudkan dengan mencukupi kebutuhan duniawi dan fasilitas hidup mereka. Akan tetapi
yang lebih penting dari semua itu pemenuhan kebutuhan rohani mereka
terhadap pengajaran dan bimbingan agama yang bersumber dari petunjuk al-Qur-an
dan sunnah Rasulullah r. Inilah bukti cinta dan kasih sayang yang sebenarnya, karena
diwujudkan dengan sesuatu yang bermanfaat dan kekal di dunia dan di akhirat
nanti.
Karena pentingnya hal ini, Allah Y mengingatkan secara khusus kewajiban para kepala keluarga
ini dalam firman-Nya:
{يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا قُوا
أَنْفُسَكُمْ وَأَهْلِيكُمْ نَاراً وَقُودُهَا النَّاسُ وَالْحِجَارَةُ}
"Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan
keluargamu dari api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu"
(QS at-Tahriim:6).
Ali bin Abi Thalib t ketika menafsirkan ayat di atas berkata: "(Maknanya):
Ajarkanlah kebaikan untuk dirimu dan keluargamu"[4].
Syaikh Abdurrahman as-Sa'di berkata: "Memelihara diri (dari api
neraka) adalah dengan mewajibkan bagi diri sendiri untuk melaksanakan perintah
Allah dan menjauhi larangan-Nya, serta bertobat dari semua perbuatan yang
menyebabkan kemurkaan dan siksa-Nya. Adapun memelihara istri dan anak-anak
(dari api neraka) adalah dengan mendidik dan mengajarkan kepada mereka (syariat
Islam), serta memaksa mereka untuk (melaksanakan) perintah Allah. Maka seorang
hamba tidak akan selamat (dari siksaan neraka) kecuali jika dia (benar-benar)
melaksanakan perintah Allah (dalam ayat ini) pada dirinya sendiri dan pada
orang-orang yang dibawa kekuasaan dan tanggung jawabnya"[5].
Demikian juga dalam hadits yang shahih ketika Rasulullah r melarang
Hasan bin 'Ali y memakan kurma sedekah, padahal waktu itu Hasan t masih
kecil, Rasulullah r bersabda: "Hekh hekh" agar Hasan membuang kurma
tersebut, kemudian beliau r bersabda: "Apakah kamu tidak mengetahui bahwa kita
(Rasulullah r dan keturunannya) tidak boleh memakan sedekah?"[6]. Imam Ibnu
Hajar menyebutkan di antara kandungan hadits ini adalah bolehnya membawa anak
kecil ke mesjid dan mendidik mereka dengan adab yang bermanfaat (bagi mereka),
serta melarang mereka melakukan sesuatu yang membahayakan mereka sendiri,
(yaitu dengan) melakukan hal-hal yang diharamkan (dalam agama), meskipun anak
kecil belum dibebani kewajiban syariat, agar mereka terlatih melakukan kebaikan
tersebut[7].
Kemudian, hendaknya seorang kepala keluarga menyadari bahwa dengan
melaksanakan perintah Allah U ini, berarti dia telah mengusahakan kebaikan besar dalam
rumah tangga tangganya, yang dengan ini akan banyak masalah dalam keluarganya
yang teratasi, baik masalah di antara dia dengan istrinya, dengan anak-anaknya
ataupun di antara sesama keluarganya. Bukankah penyebab terjadinya bencana
secara umum, termasuk bencana dalam rumah tangga, adalah perbuatan maksiat
manusia? Allah I berfirman:
{وَمَا أَصَابَكُمْ مِنْ مُصِيبَةٍ
فَبِمَا كَسَبَتْ أَيْدِيكُمْ وَيَعْفُو عَنْ كَثِيرٍ}
"Dan apa saja musibah yang menimpa kamu maka adalah disebabkan
oleh perbuatan (dosa)mu sendiri, dan Allah memaafkan sebagian besar (dari
kesalahan-kesalahanmu)" (QS asy-Syuura:30).
Inilah makna ucapan salah seorang ulama salaf yang mengatakan:
"Sungguh (ketika) aku bermaksiat kepada Allah, maka aku melihat (pengaruh
buruk) perbuatan maksiat tersebut pada tingkah laku istriku…"[8].
Dan barangsiapa yang mengharapkan cinta dan kasih sayangnya terhadap
keluarganya kekal abadi di dunia sampai di akhirat nanti, maka hendaknya dia
melandasi cinta dan kasih sayangnya karena Allah semata-semata, serta
mengisinya dengan saling menasehati dan tolong menolong dalam ketaatan
kepada-Nya. Allah Y berfirman:
{الْأَخِلَّاءُ يَوْمَئِذٍ بَعْضُهُمْ
لِبَعْضٍ عَدُوٌّ إِلَّا الْمُتَّقِينَ}
"Orang-orang yang berkasih sayang
pada waktu itu (di akhirat) menjadi musuh satu sama lainnya, kecuali orang-orang
yang bertaqwa" (QS az-Zukhruf:67).
Ayat ini menunjukkan bahwa semua jalinan
cinta dan kasih sayang di dunia yang bukan karena Allah maka di akhirat nanti
berubah menjadi kebencian dan permusuhan, dan yang kekal abadi hanyalah jalinan
cinta dan kasih sayang karena-Nya[9].
Lebih daripada itu, dengan melaksanakan perintah Allah ini seorang hamba
– dengan izin Allah I – akan melihat pada diri istri dan anak-anaknya kebaikan
yang akan menyejukkan pandangan matanya dan menyenangkan hatinya. Dan ini
merupakan harapan setiap orang beriman yang menginginkan kebaikan bagi diri dan
keluarganya. Oleh karena itulah Allah Y memuji hamba-hamba-Nya yang bertakwa ketika mereka
mengucapkan permohonan ini kepada-Nya, dalam firman-Nya:
{وَالَّذِينَ يَقُولُونَ رَبَّنَا هَبْ
لَنَا مِنْ أَزْوَاجِنَا وَذُرِّيَّاتِنَا قُرَّةَ أَعْيُنٍ وَاجْعَلْنَا
لِلْمُتَّقِينَ إِمَاماً}
"Dan (mereka adalah) orang-orang
yang berdoa: "Ya Rabb kami, anugerahkanlah kepada kami isteri-isteri dan
keturunan kami sebagai penyejuk (pandangan) mata (kami), dan jadikanlah kami pemimpin
bagi orang-orang yang bertakwa" (QS al-Furqan:74).
Imam Hasan al-Bashri ketika ditanya tentang makna ayat di atas, beliau
berkata: "Allah akan memperlihatkan kepada hambanya yang beriman pada diri
istri, saudara dan orang-orang yang dicintainya ketaatan (mereka) kepada Allah,
demi Allah tidak ada sesuatupun yang lebih menyejukkan pandangan mata seorang
muslim dari pada ketika dia melihat anak, cucu, saudara dan orang-orang yang
dicintainya taat kepada Allah U"[10].
Akhirnya, kami menutup tulisan ini dengan berdoa kepada Allah agar Dia
senantiasa melimpahkan taufik-Nya kepada kita semua dalam menjalankan
perintah-Nya dan menjauhi larangan-Nya pada diri kita sendiri maupun keluarga
kita.
Ya Rabb kami, anugerahkanlah kepada kami isteri-isteri dan keturunan
kami sebagai penyejuk (pandangan) mata (kami), dan jadikanlah kami pemimpin
bagi orang-orang yang bertakwa
وصلى الله
وسلم وبارك على نبينا محمد وآله وصحبه أجمعين، وآخر دعوانا أن الحمد لله رب
العالمين
Kota Nabi r, 25 Rabi'ul
akhir 1430 H
Abdullah bin Taslim al-Buthoni
[4] Diriwayatkan oleh al-Hakim dalam
"al-Mustadrak" (2/535), dishahihkan oleh al-Hakim sendiri dan
disepakati oleh adz-Dzahabi.
0 komentar:
Posting Komentar