بسم الله
الرحمن الرحيم
الحمد لله،
والصلاة والسلام على رسول الله وآله وصحبه أجمعين، أما بعد
Manhaj Ahlus Sunnah Wal Jama'ah
Dalam Tazkiyatun Nufus (Pensucian Jiwa)
Ditulis oleh Ustadz Abdulloh Taslim, MA.
Pensucian jiwa adalah masalah yang sangat penting
dalam Islam, bahkan merupakan salah satu tujuan utama diutusnya Nabi kita
Muhammmad r([1]). Allah Ta'ala menjelaskan hal ini dalam banyak ayat Al Qur-an,
diantaranya firman Allah Ta'ala:
{كَمَا أَرْسَلْنَا فِيكُمْ رَسُولاً مِنْكُمْ يَتْلُو عَلَيْكُمْ
آيَاتِنَا وَيُزَكِّيكُمْ وَيُعَلِّمُكُمُ الْكِتَابَ وَالْحِكْمَةَ
وَيُعَلِّمُكُمْ مَا لَمْ تَكُونُوا تَعْلَمُونَ}
“Sebagaimana Kami telah mengutus kepadamu seorang Rasul di
antara kamu yang membacakan ayat-ayat Kami kepadamu, dan mensucikan(diri)mu,
dan mengajarkan kepadamu Al kitab (Al Qur-an) dan Al Hikmah (As Sunnah), serta
mengajarkan kepadamu apa yang belum kamu ketahui” (QS Al Baqarah:151).
Juga firman-Nya:
{لَقَدْ مَنَّ اللَّهُ عَلَى الْمُؤْمِنِينَ إِذْ بَعَثَ فِيهِمْ
رَسُولاً مِنْ أَنْفُسِهِمْ يَتْلُو عَلَيْهِمْ آيَاتِهِ وَيُزَكِّيهِمْ وَيُعَلِّمُهُمُ
الْكِتَابَ وَالْحِكْمَةَ وَإِنْ كَانُوا مِنْ قَبْلُ لَفِي ضَلالٍ مُبِينٍ}
“Sungguh Allah telah memberi karunia (yang besar) kepada
orang-orang yang beriman ketika Allah mengutus kepada mereka seorang Rasul dari
kalangan mereka sendiri, yang membacakan kepada mereka ayat-ayat Allah,
mensucikan (jiwa) mereka, dan mengajarkan kepada mereka Al Kitab (Al Qur-an)
dan Al Hikmah (As Sunnah). Dan sesungguhnya sebelum (kedatangan Rasul) itu,
mereka benar-benar dalam kesesatan yang nyata (QS. Ali ‘Imraan:164).
Makna firman-Nya “mensucikan (jiwa) mereka” adalah membersihkan mereka
dari keburukan akhlak, kotoran jiwa dan perbuatan-perbuatan jahiliyyah, serta
mengeluarkan mereka dari kegelapan-kegelapan menuju cahaya (hidayah Allah I)([2]).
Pentingnya tazkiyatun nufus dalam
Islam
Pentingnya tazkiyatun nufus ini akan semakin jelas kalau kita
memahami bahwa makna takwa yang hakiki adalah pensucian jiwa itu sendiri([3]), artinya
ketakwaan kepada Allah I yang sebenarnya tidak akan mungkin dicapai kecuali dengan berusaha
mensucikan dan membersihkan jiwa dari kotoran-kotoran yang menghalangi seorang
hamba untuk dekat kepada Allah I.
Allah I Menjelaskan hal ini dalam firman-Nya:
{وَنَفْسٍ وَمَا
سَوَّاهَا
فَأَلْهَمَهَا فُجُورَهَا وَتَقْوَاها قَدْ أَفْلَحَ مَنْ زَكَّاهَا وَقَدْ
خَابَ مَنْ دَسَّاهَا}
“Dan (demi) jiwa serta penyempurnaannya (ciptaannya), maka Allah
mengilhamkan kepada jiwa itu (jalan) kefasikan dan ketakwaan, Sesungguhnya
beruntunglah orang yang mensucikan jiwa itu (dengan ketakwaan), dan
sesungguhnya merugilah orang yang mengotorinya (dengan kefasikan)” (QS Asy Syams:7-10).
Demikian juga sabda Rasulullah r dalam doa beliau r: “Ya Allah, anugerahkanlah kepada jiwaku ketakwaannya, dan
sucikanlah jiwaku (dengan ketakwaan itu), Engkau-lah Sebaik-baik Yang
Mensucikannya, (dan) Engkau-lah Yang Menjaga serta Melindunginya”([4]).
Imam Maimun bin Mihran([5]) berkata:
"Seorang hamba tidak akan mencapai takwa sehingga dia melakukan muhasabatun
nafsi (introspeksi terhadap keinginan jiwa untuk mencapai kesucian jiwa)
yang lebih ketat daripada seorang pedagang yang selalu mengawasi sekutu
dagangnya (dalam masalah keuntungan dagang), oleh karena itu ada yang
mengatakan: jiwa manusia itu ibaratnya seperti sekutu dagang yang suka
berkhianat, maka kalau anda tidak selalu mengawasinya, dia akan pergi membawa
hartamu (sebagaimana jiwa akan pergi membawa agamamu)"([6]).
Ketika menerangkan pentingnya tazkiyatun nufus, Imam Ibnu Qayyim
Al Jauziyyah berkata: “Orang-orang yang menempuh jalan (untuk mencari
keridhaan) Allah I, meskipun jalan dan metode yang mereka tempuh berbeda-beda,
(akan tetapi) mereka sepakat (mengatakan) bahwa nafsu (jiwa) manusia adalah
penghalang (utama) bagi hatinya untuk sampai kepada (ridha) Allah I, (sehingga)
seorang hamba tidak (akan) mencapai (kedekatan) kepada Allah I kecuali
setelah dia (berusaha) menentang dan menguasai nafsunya (dengan melakukan tazkiyatun
nufus)”([7]).
Manhaj Ahlul bid'ah dalam pensucian jiwa
Karena pentingnya kedudukan tazkiyatun nufus dalam
agama Islam inilah, tidak heran kalau kita mendapati orang-orang ahlul bid'ah
berlomba-lomba mengatakan bahwa merekalah yang paling perhatian terhadap
masalah ini, bahkan sebagian mereka berani mengklaim bahwa hanya dengan
mengamalkan metode merekalah seorang hamba bisa mencapai kesucian jiwa yang
utuh dan sempurna.
Akan tetapi, kalau kita mengamati dengan seksama metode-metode mereka
itu, kita akan dapati bahwa semua metode tersebut tidak bersumber dari Al
Qur-an dan Sunnah, tetapi sumbernya adalah pertimbangan akal dan perasaan, atau
ciptaan pimpinan-pimpinan kelompok mereka, bahkan berdasarkan khayalan atau
mimpi yang kemudian mereka namakan mukasyafah (tersingkapnya tabir)([8]). Inilah
sebab utama yang menjadikan setan mampu menyesatkan mereka sejauh-jauhnya dari
jalan yang benar, karena berpalingnya mereka dari petunjuk Allah dalam Al
Qur-an dan Sunnah. Sehingga dengan manerapkan metode-metode mereka tersebut
seseorang tidak akan mencapai kesucian jiwa dan kebersihan hati yang
sebenarnya, bahkan justru hatinya akan semakin jauh dari Allah, karena mereka
mengikuti jalan-jalan setan, "barangsiapa yang berpaling dari dalil (Al
Qur-an dan Sunnah) maka jalannya akan tersesat"([9]).
Imam Ibnul Qayyim berkata: "Termasuk tipu daya setan adalah apa
yang dilontarkannya kepada orang-orang ahli tasawuf yang bodoh, berupa asy
syathahaat (ucapan-ucapan tanpa sadar/igauan) dan penyimpangan besar, yang
ditampakkannya kepada mereka sebagai bentuk mukasyafah (tersingkapnya
tabir hakikat) dari khayalan-khayalan. Maka setanpun menjerumuskan mereka dalam
berbagai macam kerusakan dan kebohongan, serta membukakan bagi mereka pintu
pengakuan-pengakuan (dusta) yang sangat besar. Setan membisikan kepada mereka
bahwa sesungguhnya di luar ilmu (syariat yang bersumber dari Al Qur-an dan
sunnah) ada sebuah jalan (lain) yang jika mereka menempuhnya maka jalan itu
akan membawa mereka kepada tersingkapnya (hakikat dari segala sesuatu) secara
jelas dan membuat mereka tidak butuh lagi untuk terikat dengan (hukum dalam) Al
Qur-an dan Sunnah (?!!)…maka ketika (mereka menempuh jalan yang) jauh dari
bimbingan ilmu yang dibawa Rasulullah r, setanpun menampakkan kepada mereka berbagai macam kesesatan
sesuai dengan keadaan mereka, dan membisikkan khayalan-khayalan ke (dalam) jiwa
mereka, kemudian menjadikan khayalan-khayalan tersebut seperti benar-benar
nyata sebagai penyingkapan (hakikat dari segala sesuatu) secara jelas…(?!!)"([10]).
Senada dengan ucapan di atas, Imam Ibnul Jauzi ketika menjelaskan
perangkap setan dalam menjerumuskan orang-orang tasawuf, beliau berkata:
"Ketahuilah bahwa sesungguhnya awal mula talbis
(pengkaburan/perangkap) Iblis untuk (menjerumuskan) manusia (ke dalam
kesesatan) adalah (dengan) menghalangi (memalingkan) mereka dari ilmu (agama)
yang bersumber dari Al Qur-an dan sunnah), karena ilmu (agama) itu adalah
cahaya (yang menerangi hati), maka jika Iblis telah (berhasil) memadamkan
lampu-lampu cahaya mereka, dia akan (mampu) mengombang-ambingkan dan menyesatkan
mereka dalam kegelapan (kesesatan) sesuai dengan keinginannya"([11]).
Manhaj Ahlus Sunnah dalam pensucian jiwa
Adapun manhaj Ahlus Sunnah dalam hal ini adalah metode yang
paling selamat dan terjamin kebenarannya, karena benar-benar bersumber dari
wahyu Allah Yang Maha Menguasai hati manusia dan Maha Mampu Membersihkan jiwa
mereka. Dalam hadits shahih riwayat Imam Muslim (no. 2654) Rasulullah r bersabda:
"Sesungguhnya hati manusia semuanya (berada) di antara dua jari dari
jari-jari Ar Rahman (Allah I), seperti hati yang satu, yang Dia akan memalingkan
(membolak-balikkan) hati tersebut sesuai dengan kehendak-Nya", kemudian
Rasulullah r membaca doa: "Ya Allah yang memalingkan
(membolak-balikkan) hati manusia, palingkanlah hatiku di atas ketaatan kepada-Mu".
Juga dalam doa Rasulullah r yang kami sebutkan di atas: “Ya Allah, anugerahkanlah kepada
jiwaku ketakwaannya, dan sucikanlah jiwaku (dengan ketakwaan itu), Engkau-lah
Sebaik-baik Yang Mensucikannya, (dan) Engkau-lah Yang Menjaga serta Melindunginya”.
Allah U menjelaskan salah satu fungsi utama diturunkannya Al Qur-an
yaitu membersihkan hati dan mensucikan jiwa manusia dari noda dosa dan maksiat
yang mengotorinya, dalam firman-Nya:
{أَنْزَلَ مِنَ السَّمَاءِ مَاءً
فَسَالَتْ أَوْدِيَةٌ بِقَدَرِهَا فَاحْتَمَلَ السَّيْلُ زَبَداً رَابِياً
وَمِمَّا يُوقِدُونَ عَلَيْهِ فِي النَّارِ ابْتِغَاءَ حِلْيَةٍ أَوْ مَتَاعٍ
زَبَدٌ مِثْلُهُ كَذَلِكَ يَضْرِبُ اللَّهُ الْحَقَّ وَالْبَاطِلَ فَأَمَّا
الزَّبَدُ فَيَذْهَبُ جُفَاءً وَأَمَّا مَا يَنْفَعُ النَّاسَ فَيَمْكُثُ فِي
الْأَرْضِ كَذَلِكَ يَضْرِبُ اللَّهُ الْأَمْثَالَ}
"Allah menurunkan air (hujan) dari langit, maka mengalirlah
air di lembah-lembah menurut ukurannya, maka aliran air itu itu membawa buih
yang mengambang (di permukaan air). Dan dari apa (logam) yang mereka lebur
dalam api untuk membuat perhiasaan atau alat-alat, ada (pula) buihnya seperti
buih arus itu.Demikianlah Allah membuat perumpamaan (bagi) yang benar dan yang
bathil. Adapun buih, akan hilang sebagai sesuatu yang tidak berguna; adapun
yang memberi manfaat kepada manusia, maka ia tetap di bumi. Demikianlah Allah
membuat perumpamaan-perumpamaan" (QS. Ar Ra'd:17).
Dalam menafsirkan ayat di atas Imam Ibnul Qayyim berkata: "(Dalam
ayat ini) Allah I mengumpamakan ilmu yang diturunkan-Nya kepada Rasul-Nya r dengan air
(hujan), karena keduanya membawa kehidupan dan manfaat bagi manusia dalam
kehidupan mereka di dunia dan akhirat. Kemudian Allah mengumpamakan hati
manusia dengan lembah (sungai, danau dan lain-lain), hati yang lapang (karena
bersih dari kotoran) akan mampu menampung ilmu yang banyak sebagaimana lembah
yang luas mampu menampung air yang banyak, dan hati yang sempit (karena
dipenuhi kotoran) hanya mampu menampung ilmu yang sedikit sebagaimana lembah
yang sempit hanya mampu menampung air yang sedikit, Allah berfirman: "…Maka
mengalirlah air di lembah-lembah menurut ukurannya (daya tampungnya)".
(Kemudian Allah berfirman): "…Maka aliran air itu itu membawa buih yang
mengambang (di permukaan air)", ini adalah perumpamaan yang Allah sebutkan
bagi ilmu (wahyu dari-Nya) ketika kemanisan ilmu tersebut masuk dan meresap ke
dalam hati manusia, maka ilmu tersebut akan mengeluarkan (membersihkan) dari
hati manusia buih (kotoran) syubhat (kerancuan dalam memahami dan
mengamalkan agama) yang merusak sehingga kotoran tersebut akan mengambang
(tidak menetap) di permukaan hati, sebagaimana aliran air akan mengeluarkan
kotoran dari lembah sehingga kotoran tersebut akan mengambang di permukaan air.
Dan Allah I mengabarkan bahwa kotoran tersebut mengambang dan mengapung
di atas permukaan air, tidak menetap (dengan kuat) di atas tanah. Demikian pula
(keadaan kotoran) syubhat yang rusak ketika ilmu mengeluarkan
(membersihkan)nya (dari hati), syubhat tersebut akan mengambang dan
mengapung di atas permukaan hati, tidak menetap dalam hati, bahkan (kemudian)
akan dibuang dan disingkirkan (dari hati), sehingga (pada akhirnya) yang
menetap pada hati tersebut adalah petunjuk (ilmu) dan agama yang benar (amal
shaleh) yang bermanfaat yang bermanfaat bagi orang tersebut dan orang lain,
sebagaimana yang akan menetap pada lembah adalah air yang jernih dan buih
(kotoran) akan tersingkirkan sebagai sesuatu yang tidak berguna. Tidaklah mampu
(memahami) perumpaan-perumpaan dari Allah kecuali orang-orang yang
berilmu"([12]).
Kemudian Rasulullah r lebih mempertegas perumpaan di atas dalam sabda beliau:
"Sesungguhnya perumpaan bagi petunjuk dan ilmu yang Allah wahyukan
kepadaku seperti air hujan (yang baik) yang Allah turunkan ke bumi…"([13]).
Imam Ibnu Hajar dalam kitab beliau "Fathul Baari" membawakan
ucapan para ulama dalam menerangkan makna hadits ini: "Rasulullah r membuat
perumpamaan bagi agama yang beliau bawa (dari Allah I) seperti
air hujan (yang baik) yang merata dan turun ketika manusia (sangat)
membutuhkannya, seperti itu jugalah keadaan manusia sebelum diutusnya
Rasulullah r, maka sebagaimana air hujan tersebut memberi kehidupan
(baru) bagi negeri yang mati (kering dan tandus), demikian pula ilmu agama akan
memberi kehidupan bagi hati yang mati…"([14]).
Adapun dalil-dalil dari Al Qur-an dan Sunnah yang menunjukkan bahwa
masing-masing dari ibadah yang Allah I syariatkan kepada hamba-hamba-Nya bertujuan untuk mensucikan
dan membersihkan jiwa-jiwa mereka, maka terlalu banyak untuk disebutkan semua. Misalnya:
Shalat, Allah U menjelaskan salah satu tujuan utama disyariatkannya ibadah
ini, yaitu untuk membersihkan jiwa manusia dari perbuatan keji dan mungkar yang
termasuk kotoran dan penyakit hati yang paling merusak, dalam firman-Nya:
{وَأَقِمِ الصَّلاةَ
إِنَّ الصَّلاةَ تَنْهَى عَنِ الْفَحْشَاءِ وَالْمُنْكَرِ}
"…Dan dirikanlah shalat, sesungguhnya
shalat itu mencegah dari (perbuatan-perbuatan) keji dan mungkar" (QS Al
'Ankabuut:45).
Demikian
pula zakat, Allah I berfirman:
{خُذْ مِنْ
أَمْوَالِهِمْ صَدَقَةً تُطَهِّرُهُمْ وَتُزَكِّيهِمْ بِهَا}
"Ambillah zakat dari sebagian harta
mereka, dengan zakat itu kamu membersihkan dan mensucikan (jiwa dan hati)
mereka…" (QS At Taubah:103).
Demikian
pula puasa, karena tujuan utama puasa adalah untuk mencapai takwa, yang hakikat
dari takwa itu adalah pensucian jiwa, sebagaimana penjelasan di atas. Allah Y berfirman:
{يَا أَيُّهَا
الَّذِينَ آمَنُوا كُتِبَ عَلَيْكُمُ الصِّيَامُ كَمَا كُتِبَ عَلَى الَّذِينَ
مِنْ قَبْلِكُمْ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُونَ}
"Hai
orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan
atas orang-orang sebelum kamu, agar kamu bertakwa" (QS Al Baqarah:183).
Demikian
juga syariat hijab (tabir) antara laki-laki dan perempuan yang bukan mahram,
Allah berfirman:
{ذَلِكُمْ أَطْهَرُ
لِقُلُوبِكُمْ وَقُلُوبِهِنَّ}
"Cara yang demikian itu lebih suci
bagi hatimu dan hati mereka" (QS Al Ahzaab:53).
Dan
masih banyak contoh lainnya, bahkan secara umum pengagungan terhadap semua
perintah Allah dalam syariat-Nya adalah bukti ketakwaan hati dan kesucian jiwa,
Allah Y berfirman:
{ذَلِكَ وَمَنْ
يُعَظِّمْ شَعَائِرَ اللَّهِ فَإِنَّهَا مِنْ تَقْوَى الْقُلُوبِ}
"Demikianlah (perintah Allah), dan
barangsiapa yang mengagungkan syi'ar-syi'ar (perintah-perintah/syariat) Allah,
maka sesungguhnya itu timbul dari ketakwaan hati" (QS Al Hajj:32).
Berdasarkan keterangan di atas, jelaslah bahwa pensucian jiwa yang
sebenarnya hanyalah dapat dicapai dengan memahami dan mengamalkan wahyu Allah U yang
terjamin kebenaranya, yaitu Al Qur-an dan Sunnah Rasulullah r yang shahih
(benar). Oleh karena itulah, menurut manhaj Ahlus Sunnah wal jama'ah, untuk
mencapai kebersihan hati dan kesucian jiwa tidak ada metode atau cara-cara
khusus selain dari mempelajari dan mengamalkan syariat Islam secara keseluruhan([15]). Karena
kalau masalah ini merupakan hal yang sangat penting dalam Islam, bahkan
merupakan salah satu tujuan utama diutusnya Rasulullah r,
sebagaimana penjelasan di awal tulisan ini, maka apakah mungkin syariat Islam
yang lengkap dan sempurna ini luput dari menjelaskan masalah yang sangat
dibutuhkan manusia ini? Padahal Rasulullah r telah
bersabda: "Tidak tertinggal sedikitpun (dari perkataan atau perbuatan)
yang (bisa) mendekatkan kamu dari surga dan menjauhkanmu dari neraka melainkan
(semuanya) telah dijelaskan bagimu (dalam agama Islam ini)"([16]). Hadits ini
diriwayatkan oleh sahabat yang mulia Abu Dzar Al Gifaari t setelah
sebelumnya beliau berkata: "Rasulullah r telaf
(wafat) meninggalkan kami dalam keadaan tidak ada seekor burungpun yang
mengepakkan sayapnya di udara (tidak ada satu masalahpun yang kami butuhkan
dalam beribadah dan mendekatkan diri kepada Allah I) kecuali
beliau telah menjelaskan ilmu (petunjuk Allah) dalam semua masalah tersebut"([17]).
Oleh karena itulah, maka orang yang paling bersih hatinya dan paling
suci jiwanya adalah orang yang paling banyak memahami dan mengamalkan Al Qur-an
dan Sunnah Rasulullah r. Bahkan membaca dan memahami kitab-kitab para ulama yang
berisi ilmu yang bersumber dari Al Qur-an dan Sunnah adalah satu-satunya obat
untuk membersihkan kotoran hati dan jiwa manusia. Berkata Imam Ibnul Jauzi disela-sela
sanggahan beliau terhadap sebagian orang-orang ahli tasawuf yang mengatakan
bahwa ilmu tentang syariat Islam tidak diperlukan untuk mencapai kebersihan
hati dan kesucian jiwa: "Ketahuilah bahwa hati manusia tidak (mungkin)
terus (dalam keadaan) bersih, akan tetapi (suatu saat mesti) akan bernoda
(karena dosa dan maksiat), maka (pada waktu itu) dibutuhkan pembersih (hati)
dan pembersih hati itu adalah menelaah kitab-kitab ilmu (agama untuk memahami
dan mengamalkannya)"([18]).
Epilog
Setelah membaca tulisan di atas jelaslah bagi kita bagaimana pentingnya
mengkaji dan memahami ilmu agama, karena inilah satu-satunya cara untuk meraih
kemuliaan tingi dalam agama, yaitu ketakwaan hati dan kesucian jiwa. Oleh
karena itu, sangat wajar kalau kita dapati para ulama Ahlus Sunnah
menggambarkan kebutuhan manusia terhadap ilmu agama melebihi besarnya kebutuhan
mereka terhadap semua kebutuan pokok dalam kehidupan mereka.
Alangkah indahnya ucapan Imam Ahmad bin Hambal, Imam ahlus Sunnah di
jamannya, ketika menggambarkan kebutuhan manusia terhadap ilmu agama ini dalam
ucapan beliau yang terkenal: "Kebutuhan manusia terhadap ilmu (agama)
melebihi besarnya kebutuhan mereka terhadap makan dan minum, karena makan dan
minum dibutuhkan sekali atau dua kali dalam sehari, adapun ilmu (agama)
dibutuhkan (sesuai) dengan hitungan nafas manusia (setiap waktu)([19]).
Akhirnya, kami menutup tulisan ini dengan doa:
Ya Allah, anugerahkanlah kepada jiwa-jiwa
kami semua ketakwaannya,
dan sucikanlah jiwa kami (dengan ketakwaan itu),
Engkau-lah Sebaik-baik Yang
Mensucikannya,
(dan) Engkau-lah Yang Menjaga serta Melindunginya.
وصلى الله
وسلم وبارك على نبينا محمد وآله وصحبه أجمعين، وآخر دعوانا أن الحمد لله رب
العالمين
Kota Rasulullah r, 3 Shafar 1430 H
Abdullah
bin Taslim Al Buthoni
0 komentar:
Posting Komentar