بسم الله الرحمن الرحيم
Fatwa syaikh Abdul Malik
bin Ahmad Ramadhani tentang Pemilu
Ustadz Abdullah bin Taslim al-Buthani,
MA.
Tanya (Abdullah bin Taslim): Sehubungan
dengan Pemilu untuk memilih presiden yang sebentar lagi akan diadakan di
Indonesia, dimana Majelis Ulama Indonesia mewajibkan masyarakat Indonesia untuk
memilih dan mengharamkan golput, bagaimana sikap kaum muslimin dalam menghadapi
masalah ini?
Syaikh Abdul Malik: Segala puji
bagi Allah, serta salawat, salam dan keberkahan semoga senantiasa Allah
limpahkan kepada Nabi kita, Nabi Muhammad r, juga kepada keluarga dan para sahabatnya, serta orang-orang
yang setia mengikuti jalannya, amma ba'du:
Saat ini mayoritas negara-negara Islam menghadapi cobaan
(berat) dalam memilih pemimpin (kepala negara) mereka melalui cara pemilihan
umum, yang ini merupakan (penerapan) sistem demokrasi yang sudah dikenal.
Padahal terdapat perbedaan yang sangat jauh antara sistem demokrasi dan (syariat) Islam (dalam memilih pemimpin), yang ini dijelaskan oleh banyak ulama (ahlus sunnah wal jama'ah). Untuk penjelasan masalah ini, saudara-saudaraku (sesama ahlus sunnah) bisa merujuk kepada sebuah kitab ringkas yang ditulis oleh seorang ulama besar dan mulia, yaitu kitab "al-'Adlu fil Islaam wa laisa fi dimokratiyyah al maz'uumah" (Keadilan yang hakiki ada pada syariat Islam dan bukan pada sistem demokrasi yang dielu-elukan), tulisan guru kami syaikh Abdul Muhsin bin Hamd al-'Abbaad al-Badr – semoga Allah menjaga beliau dan memanjangkan umur beliau dalam ketaatan kepada-Nya –.
Padahal terdapat perbedaan yang sangat jauh antara sistem demokrasi dan (syariat) Islam (dalam memilih pemimpin), yang ini dijelaskan oleh banyak ulama (ahlus sunnah wal jama'ah). Untuk penjelasan masalah ini, saudara-saudaraku (sesama ahlus sunnah) bisa merujuk kepada sebuah kitab ringkas yang ditulis oleh seorang ulama besar dan mulia, yaitu kitab "al-'Adlu fil Islaam wa laisa fi dimokratiyyah al maz'uumah" (Keadilan yang hakiki ada pada syariat Islam dan bukan pada sistem demokrasi yang dielu-elukan), tulisan guru kami syaikh Abdul Muhsin bin Hamd al-'Abbaad al-Badr – semoga Allah menjaga beliau dan memanjangkan umur beliau dalam ketaatan kepada-Nya –.
'Ala kulli hal, pemilihan umum dalam sistem demokrasi telah diketahui,
yaitu dilakukan dengan cara seorang muslim atau kafir memilih seseorang atau
beberapa orang tertentu (sebagai calon presiden). Semua perempuan dan laki-laki
juga ikut memilih, tanpa mempertimbangkan/membedakan orang yang banyak berbuat
maksiat atau orang shaleh yang taat kepada Allah dan Rasul-Nya r. Semua ini
(jelas) merupakan pelanggaran terhadap (syariat) Islam. Sesungguhnya para
sahabat yang membai'at (memilih) Abu Bakr ash-Shiddiq t (sebagai
khalifah/pemimpin kaum muslimin sepeninggal Rasulullah r) di saqiifah
(ruangan besar beratap tempat pertemuan) milik (suku) Bani Saa'idah, tidak
ada seorang perempuan pun yang ikut serta dalam pemilihan tersebut. Karena
urusan siyasah (politik) tidak sesuai dengan tabiat (fitrah) kaum
perempuan, sehingga mereka tidak boleh ikut berkecimpung di dalamnya. Dan ini
termasuk pelanggaran (syariat Islam), padahal Allah I berfirman:
{وَلَيْسَ
الذَّكَرُ كَالْأُنْثَى}
"Dan laki-laki tidaklah seperti perempuan" (QS Ali 'Imraan:36).
Maka bagaimana
kalian (wahai para penganut sistem demorasi) menyamakan antara laki-laki dan
perempuan, padahal Allah yang menciptakan dua jenis manusia ini membedakan
antara keduanya?! Allah I berfirman:
{وَرَبُّكَ يَخْلُقُ مَا يَشَاءُ وَيَخْتَارُ مَا كَانَ لَهُمُ
الْخِيَرَةُ}
"Dan Rabbmu menciptakan apa yang
Dia kehendaki dan memilihnya, sekali-kali tidak ada pilihan bagi mereka"
(QS al-Qashash:68).
Di sisi lain Allah U berfirman:
{أَفَنَجْعَلُ الْمُسْلِمِينَ كَالْمُجْرِمِينَ مَا لَكُمْ كَيْفَ
تَحْكُمُونَ}
"Maka apakah patut Kami menjadikan
orang-orang Islam itu sama dengan orang-orang yang berdosa (orang kafir). Mengapa
kamu (berbuat demikian); bagaimanakah kamu mengambil keputusan?" (QS
al-Qalam:35-36).
Sementara
kalian (wahai para penganut sistem demorasi) menyamakan antara orang muslim dan
orang kafir?! Maka ini tidak mungkin untuk…(kalimat yang kurang jelas). Masalah
ini (butuh) penjelasan yang panjang lebar.
Akan tetapi (bersamaan dengan itu),
sebagian dari para ulama jaman sekarang berpendapat bolehnya ikut serta dalam
pemilihan umum dalam rangka untuk memperkecil kerusakan (dalam keadaan
terpaksa). Meskipun mereka mengatakan bahwa (hukum) asal (ikut dalam pemilihan
umum) adalah tidak boleh (haram). Mereka mengatakan: Kalau seandainya semua
orang diharuskan ikut serta dalam pemilu, maka apakah anda ikut memilih atau
tidak? Mereka berkata: anda ikut memilih dan pilihlah orang yang paling sedikit
keburukannya di antara mereka (para kandidat yang ada). Karena umumnya mereka
yang akan dipilih adalah orang-orang yang memasukkkan (mencalonkan) diri mereka
dalam pemilihan tersebut. Padahal Rasulullah r pernah bersabda kepada Abdurrahman bin Samurah t: "Janganlah
engkau (berambisi) mencari kepemimpinan, karena sesungguhnya hal itu adalah
kehinaan dan peyesalan pada hari kiamat nanti"[1].
Maka orang yang terpilih dalam pemilu adalah orang yang (berambisi) mencari
kepemimpinan, padahal Rasulullah r bersabda: "Barangsiapa yang (berambisi) mencari
kepemimpinan maka dia akan diserahkan kepada dirinya sendiri (tidak ditolong
oleh Allah dalam menjalankan kepemimpinannya)"[2].
Allah akan meninggalkannya (tidak menolongnya), dan barangsiapa yang diserahkan
kepada dirinya sendiri maka berarti dia telah diserahkan kepada kelemahan,
ketidakmampuan dan kesia-siaan, sebagaimana yang dinyatakan oleh salah seorang
ulama salaf – semoga Allah meridhai mereka –.
'Ala kulli hal, mereka berpendapat seperti
ini dalam rangka menghindari atau memperkecil kerusakan (yang lebih besar). Ini
kalau keadaannya memaksa kita terjeremus ke dalam dua keburukan (jika kita
tidak memilih). Adapun jika ada dua orang calon (pemimpin yang baik), maka kita
memilih yang paling berhak di antara keduanya.
Akan tetapi jika seseorang tidak
mengatahui siapa yang lebih baik (agamanya) di antara para kandidat yang ada, maka
bagaimana mungkin kita mewajibkan dia untuk memilih, padahal dia sendiri
mengatakan: aku tidak mengetahui siapa yang paling baik (agamanya) di antara
mereka. Karena Allah I berfirman:
{وَلا تَقْفُ مَا لَيْسَ لَكَ بِهِ عِلْمٌ إِنَّ السَّمْعَ
وَالْبَصَرَ وَالْفُؤَادَ كُلُّ أُولَئِكَ كَانَ عَنْهُ مَسْؤُولاً}
"Dan janganlah kamu mengikuti apa
yang kamu tidak mempunyai pengetahuan tentangnya. Sesungguhnya pendengaran,
penglihatan dan hati, semuanya itu akan diminta pertanggunganjawabnya" (QS
al-Israa':36).
Dan
Rasulullah r bersabda:
"Barangsiapa yang menipu/mengkhianati kami maka dia bukan termasuk
golongan kami"[3].
Jika anda
memilih orang yang anda tidak ketahui keadaannya maka ini adalah penipuan/pengkhianatan.
Demikian pula, jika ada seorang yang tidak
merasa puas dengan kondisi pemilu (tidak memandang bolehnya ikut serta dalam
pemilu) secara mutlak, baik dalam keadaan terpaksa maupun tidak, maka bagaimana
mungkin kita mewajibkan dia melakukan sesuatu yang tidak diwajibkan oleh Allah
dan Rasul-Nya r?!
Maka 'Ala kulli hal, kita meyakini bahwa Allah
I Dialah yang
memilih untuk umat ini pemimpin-pemimpin mereka. Kalau umat ini baik maka Allah
akan memilih untuk mereka pemimpin-pemimpin yang baik pula, (sabaliknya) kalau
mereka buruk maka Allah akan memilih untuk mereka pemimpin-pemimpin yang buruk
pula. Dalilnya adalah firman Allah I:
{وَكَذَلِكَ نُوَلِّي بَعْضَ الظَّالِمِينَ بَعْضاً بِمَا كَانُوا
يَكْسِبُونَ}
"Dan demikianlah Kami jadikan sebagian
orang-orang yang zhalim itu menjadi pemimpin bagi sebagian yang lain disebabkan
apa yang mereka usahakan" (QS al-An'aam:129).
Maka orang
yang zhalim akan menjadi pemimpin bagi masyarakat yang zhalim, demikianlah
keadaannya.
Kalau demikian, upayakanlah untuk
menghilangkan kezhaliman dari umat ini, dengan mendidik mereka mengamalkan
ajaran Islam (yang benar), agar Allah memberikan untuk kalian pemimpin yang
kalian idam-idamkan, yaitu seorang pemimpin yang shaleh. Karena Allah I berfirman:
{إِنَّ اللَّهَ لا يُغَيِّرُ مَا بِقَوْمٍ حَتَّى يُغَيِّرُوا مَا
بِأَنْفُسِهِمْ}
"Sesungguhnya Allah tidak akan merubah keadaan suatu kaum
sehingga mereka merubah keadaan yang ada pada diri mereka sendiri".
(Dalam ayat
ini) Allah tidak mengatakan "…sehingga mereka merubah keadaan yang ada
pada pemimpin-pemimpin mereka", akan tetapi (yang Allah katakan): "…sehingga
mereka merubah keadaan yang ada pada diri mereka sendiri".
Aku telah menulis sebuah kitab tentang
masalah ini, yang sebenarnya kitab ini khusus untuk para juru dakwah, yang
mengajak (manusia) ke jalan Allah U, yang aku beri judul "Kamaa takuunuu yuwallaa
'alaikum" (sebagaimana keadaanmu maka begitupulalah keadaan orang yang
menajadi pemimpinmu). Aku jelaskan dalam kitab ini bahwa watak para penguasa
selalu berasal dari watak masyarakatnya, maka jika masyaraktnya (berwatak) baik
penguasanya pun akan (berwatak) baik, dan sebaliknya.
Maka orang-orang yang menyangka bahwa
(yang terpenting dalam) masalah ini adalah bersegera untuk merebut kekuasaan,
sungguh mereka telah melakukan kesalahan yang fatal dalam hal ini, dan mereka
tidak mungkin mencapai hasil apapun (dengan cara-cara seperti ini). Allah U ketika melihat kerusakan
pada Bani Israil disebabkan (perbuatan) Fir'aun, maka Allah membinasakan
Fir'aun dan memberikan kepada Bani Israil apa yang mereka inginkan, dengan
Allah menjadikan Nabi Musa u sebagai pemimpin mereka. (Akan tetapi) bersamaan dengan itu,
kondisi (akhlak dan perbuatan) mereka tidak menjadi baik, sebagaimana yang
Allah kisahkan dalam al-Qur'an. Mereka tidak menjadi baik meskipun pemimpin
mereka adalah kaliimullah (orang yang langsung berbicara dengan Allah U), yaitu Nabi Musa u, sebagaimana yang
sudah kita ketahui. Bahkan sewaktu Allah berfirman (menghukum) sebagian dari
Bani Israil:
{كُونُوا قِرَدَةً
خَاسِئِينَ}
"Jadilah kamu kera yang hina"
(QS al-Baqarah:65).
Kejadian ini
bukanlah di jaman kekuasaan Fir'aun. Akan tetapi hukuman Allah ini (menimpa)
sebagian mereka (karena mereka melanggar perintah Allah) ketika mereka dibawah
kepemimpinan Nabi Musa u dan para Nabi Bani Israil u sepeninggal Nabi Musa u, sebagaimana sabda Rasulullah r: "Sesungguhnya Bani Israil selalu dipimpin oleh para
Nabi u, setiap seorang
Nabi wafat maka akan digantikan oleh Nabi berikutnya" (HSR al-Bukhari dan
Muslim).
Dan hanya Allah-lah yang mampu memberikan
taufik (kepada manusia).
وصلى الله
وسلم وبارك على نبينا محمد وآله وصحبه أجمعين، وآخر دعوانا أن الحمد لله رب
العالمين
Madinah
Nabawiyyah, 15 Rabi'ul awal 1430 H / 11 Maret 2009 M
Abdullah bin Taslim
al-Buthani
[1] Gabungan dua hadits shahih riwayat imam al-Bukhari
(no. 6248) dan Muslim (no. 1652), dan
riwayat Muslim (no. 1825).
[2] HR at-Tirmidzi, Ibnu Majah dan lain-lain, dinyatakan
lemah oleh syaikh al-Albani dalam "adh-Dha'iifah" (no. 1154). Lafazh
hadits yang shahih Riwayat al-Bukhari dan Muslim: "Jika engkau menjadi
pemimpin karena (berambisi) mencarinya maka engakau akan diserahkan kepadanya
(tidak akan ditolong oleh Allah)".
[3] HSR Muslim (no. 101).
0 komentar:
Posting Komentar