oleh Abu Abdillah Riza
FADHILAH DAN PELAJARAN
Hari dan bulan silih berganti dengan cepat. Dan perputaran masa telah membawa kita sampai pada bulan terakhir dari bulan-bulan hijriah. Sebuah bulan yang penuh dengan keutamaan dan pelajaran. Di antara keutamaan tersebut:
1. Sepuluh hari pertama adalah hari-hari yang sedikit tapi penuh pahala
Usia umat Muhammad tidaklah sepanjang usia umat-umat sebelum mereka. Namun Allah Yang Maha adil dan Maha Pengasih lagi Penyayang telah memberikan kelebihan kepada umat ini, di antaranya dengan menjadikan amal shalih di sebagian waktu dan sebagian tempat bernilai besar. Di antara contohnya adalah sepuluh hari pertama Bulan Dzulhijjah.
Sepuluh hari pertama Bulan Dzulhijjah adalah hari-hari yang paling afdhal, sebagaimana diterangkan oleh Ibnul Qayyim rahimahullah. Allah subhanahu wata’ala pun telah bersumpah dengan sepuluh malam pertama Dzulhijjah, sebagaimana sumpahNya dalam al-Qur`an,
وَالْفَجْرِ . وَلَيَالٍ عَشْرٍ
“Demi waktu fajar. Dan demi malam-malam sepuluh (pertama Dzulhijjah).”
Al-Fajr: 1-2
Pada sepuluh hari pertama Dzulhijjah, amal shalih amat dicintai Allah azza wajalla. Sebagaimana sabda Nabi ,
مَا مِنْ أَيَّامٍ اَلْعَمَلُ الصَّالِحُ فِيْهَا أَحَبُّ إِلَى اللهِ عَزَّ وَ جَلَّ مِنْ هَذِهِ اْلأَيَّامِ يَعْنِي أَيَّامَ الْعَشْر. قَالُوْا: يَا رَسُوْلَ اللهِ وَ لاَ الْجِهَاد فِي سَبِيْلِ الله؟ قَالَ: وَ لاَ الْجِهَاد فِي سَبِيْلِ الله إِلاَّ رَجُلٌ خَرَجَ بِنَفْسِهِ وَ مَالِهِ ثُمَّ لَمْ يَرْجِعْ مِنْ ذَلِكَ بِشَيْء
“Tidaklah ada hari-hari yang mana amal shalih padanya lebih dicintai Allah daripada hari-hari ini.” Maksud beliau sepuluh hari pertama dzulhijjah. Para sahabat bertanya, Wahai Rasulullah, meskipun jihad fi sabilillah?” Beliau menjawab, “Ya. Meskipun jihad fisabilillah. Kecuali seseorang yang keluar berjihad dengan jiwa dan hartanya, lalu tidak kembali dengan sedikitpun dari itu (mati syahid).” HR. Bukhari
Allahu Akbar! Hari-hari yang sangat sedikit, tapi sarat dengan kebajikan..
Betapa agung dan utamanya!
Maka, hendaklah kita memperbanyak amal shalih pada hari-hari kita ini, baik berupa shalat, puasa, sedekah dan memberi makan, silaturahim, dzikir dan baca al-Qur`an, berdoa, thalabul ilmi, dan amal-amal shalih lainnya.
Nabi bersabda:
فَأَكْثِرُوْا فِيهِنَّ مِنَ التَّهْلِيلِ وَالتَّكْبِيرِ وَالتَّحْمِيْدِ
"Maka perbanyaklah di dalamnya dengan tahlil (la ilaha illalloh), takbir, dan tahmid (alhamdulillah)" HR. Ahmad 6154 dengan sanad shohih
Imam Bukhori menjelaskan bahwa Abu Hurairah dan Ibnu Umar radhiallahu ‘anhuma pada hari-hari sepuluh pertama Dzulhijjah pernah keluar ke pasar, mereka berdua bertakbir, maka orang-orang di pasar pun ikut bertakbir.
Kemudian, tepatnya pada tanggal 9 Dzulhijjah, ketika jema`ah haji sedang wuquf di Padang Arafah, disunnahkan melakukan Puasa Arafah. Rasulullah pernah ditanya tentang Puasa Arafah, beliau menjawab,
يُكَفِّرُ السَّنَةَ الْمَاضِيَةَ وَالْبَاقِيَةَ
“Puasa Arafah menghapus dosa-dosa kecil setahun yang lalu dan setahun yang akan datang.” HR. Muslim
Dan pada tanggal 10 diwajibkan bagi kaum muslimin yang tidak melaksanakan ibadah haji untuk menegakkan sholat idul adha.
2. Ibadah Haji ke Baitullah
Cukuplah sebuah keutamaan bagi Bulan Dzulhijjah dengan keberadaan ibadah haji padanya. Yaitu sebuah ibadah yang merupakan syiar agung Islam, dan merupakan rukun kelima Agama Islam, yang tidak akan tegak Islam seseorang kecuali dengannya. Sebuah perjalanan ibadah yang penuh dengan pelajaran, bagi orang-orang yang merenungkannya. Sebagaimana yang ditegaskan oleh Allah azza wajalla berkaitan tentang ibadah haji,
وَأَذِّنْ فِي النَّاسِ بِالْحَجِّ يَأْتُوكَ رِجَالًا وَعَلَى كُلِّ ضَامِرٍ يَأْتِينَ مِنْ كُلِّ فَجٍّ عَمِيقٍ . لِيَشْهَدُوا مَنَافِعَ لَهُمْ .. (الحج: 27،28)
“Serukan kepada mereka agar berhaji niscaya mereka akan datang dengan berjalan kaki dan mengendarai unta yang kurus dari segenap penjuru yang jauh, agar mereka dapat menyaksikan (mengambil) berbagai faidah bagi diri mereka.” Al-Hajj: 28
a. Haji dan Pengukuhan Tauhid
Pelajaran paling pertama dan paling utama dari manasik haji yang harus kita ketahui dan kita renungkan bersama, bahwa ibadah haji adalah wujud nyata dari tauhid. Dimana ibadah haji yang merupakan warisan Nabi Ibrahim, sejak pertama kali dibangun adalah dibangun di atas asas mentauhidkan Allah dan membasmi kesyirikan.
Yaitu ketika Allah menunjukkan kepada Nabi Ibrahim posisi Ka’bah untuk kemudian dibangun, Allah menjadikan pengukuhan tauhid serta membasmi kesyirikan sebagai pondasi utama dan tujuan utama pembangunannya.
Allah subhanahu wata’ala berfirman,
وَإِذْ بَوَّأْنَا لِإِبْرَاهِيمَ مَكَانَ الْبَيْتِ أَنْ لَا تُشْرِكْ بِي شَيْئًا وَطَهِّرْ بَيْتِيَ لِلطَّائِفِينَ وَالْقَائِمِينَ وَالرُّكَّعِ السُّجُودِ. )الحج: 26(
“Dan ingatlah ketika Kami tunjukkan kepada Ibrahim lokasi Baitullah, agar jangan kamu mensekutukanKu dengan sesuatu apa pun, dan bersihkanlah dia (dari kesyirikan, bid’ah, dan kotoran) bagi orang-orang yang thawaf, yang shalat, ruku’ dan sujud.” Al-Hajj: 26
Demikianlah. Maka seluruh rangkaian manasik haji, mulai dari awal sampai akhir, adalah realisasi tauhid. Sebagai contoh, talbiah, yang merupakan syi’ar utama ibadah haji, dan yang selalu didengungkan oleh jema’ah haji, adalah kesaksian dan pengikraran terhadap tauhid.
Salah satu lafazh talbiah yang paling masyhur adalah,
لَبَّيْكَ اللَّهُمَّ لَبَّيْكَ ، لَبَّيْكَ لا شَرِيكَ لَكَ لَبَّيْكَ
إِنَّ الْحَمْدَ وَالنِّعْمَةَ لَكَ وَالْمُلْكَ ، لا شَرِيكَ لَكَ
Pada penggalan pertama talbiah di atas, terkandung ikrar terhadap tauhid uluhiah. Dimana maksudnya: ya Allah, kami menyambut panggilanMu, dengan penuh tulus dan ta’at kepadaMu, tanpa riya dan sum’ah, tidak ada sekutu bagiMu.
Kemudian pada penggalan kedua, terkandung ikrar terhadap rububiah Allah dan asma washshifatNya. Yang mana maksudnya: sungguh segala pujian dengan sifat-sifat sempurna adalah milikMu, segala bentuk karunia dan kekuasaan adalah
milikMu. Tidak ada satu sekutu pun bagiMu.
Lihatlah! Kendati jelasnya pesan tauhid dalam ibadah haji, dan bahkan dalam lafazh talbiah yang selalu didengungkan dan diperdengarkan di banyak tempat dan kesempatan, namun sebagian besar kaum muslimin enggan kecuali mencemari kejernihan tauhidnya serta menyekutukan Allah. Maka tuntutan dari kalimat talbiyah tersebut adalah bahwa tidak boleh membuat tandingan kepada selain Alloh di samping menyembah Alloh baik itu berupa acara selamatan dan ritual ziarah ke makam-makam wali, menulis ayat-ayat sebagai ajimat, dll, yang bertujuan agar selamat dan tidak tersesat nantinya di tanah suci. Maka apalah gunanya kita dipanggil haji atau hajah oleh manusia sedangkan Alloh tidak menerima ibadah yang tercampur noda kesyirikan.
b. Haji dan kewajiban mengikuti dalil
Islam adalah jalan hidup yang Allah gariskan untuk hamba-hambaNya, dan disampaikan serta diterangkan melalui lisan rasul utusanNya, Muhammad .
Berangkat dari ini, maka praktek Islam yang benar adalah yang sesuai dengan keterangan Allah dan RasulNya, sebagaimana terangkum dalam Kitab Allah dan Hadits NabiNya. Pesan kewajiban mengikuti dalil terlihat jelas dalam pidato haji yang disampaikan oleh Nabi di Arafah. Beliau berpidato, "... dan telah aku tinggalkan pada kalian sesuatu yang kalian tidak akan tersesat bila berpegang dengannya, yaitu Kitab Allah." HR. Muslim
Juga dalam sabda beliau yang masyhur, ketika mengarahkan umat Islam bagaimana seharusnya mereka berhaji,
خُذُوا عَنِّي مَنَاسِككُمْ
"Hendaklah kalian mengambil (tata cara) manasik haji kalian hanya dariku." HR. Muslim
Sahabat Umar bin Khatthab lebih menegaskan lagi, bahwa pelaksanaan manasik haji tidak lebih daripada mengamalkan dalil. Sebagai salah satu contoh: syari’at lari kecil (romal) pada tiga putaran pertama thawaf. Umar berkata, "Apa perlunya lari kecil pada tiga putaran pertama thawaf sekarang ini; dahulu itu kita lakukan untuk memperlihatkan (kekuatan kita) pada orang-orang musyrik, dan sekarang mereka telah Allah binasakan?! Hanya saja, itu adalah sesuatu yang dilakukan Rasulullah, maka kita pun tidak meninggalkannya." HR. Bukhari
Juga ketika dia hendak mencium Hajar Aswad, dia berkata, "Sungguh aku tahu kamu hanyalah batu yang tidak dapat memberi manfaat dan mudarat. Kiranya aku tidak melihat Rasulullah menciummu, pasti aku tidak akan menciummu." Muttafaq 'alaih
Contoh lainnya: mengusap rukun (sisi) Ka’bah ketika thawaf. Yang dipraktekkan oleh Nabi adalah hanya mengusap hajar aswad dan rukun yamani. Maka para sahabat yang mulia, sebagai generasi terbaik dari umat ini, pun hanya membataskan diri dengan mengusap keduanya saja, dan mengingkari mereka yang mengusap seluruh rukun Ka’bah, karena hanya itulah yang ada dalilnya. Sebagaimana dalam Musnad Imam Ahmad.
c. Haji dan semangat berkurban
Berbicara ibadah haji tidak akan lepas dari ibadah qurban, dan ketika berbicara tentang ibadah qurban akan mengingatkan kita dengan kisah Nabi Ibrahim dan puteranya Nabi Isma’il, sebagaimana yang terangkum dalam Surat ash-Shaffat ayat 100-108.
Yaitu manakala usia Nabi Ibrahim telah beranjak senja, sementara dia belum dikaruniai seorang buah hati yang akan meneruskan dakwah mulianya. Maka dia pun bersimpuh kepada Allah, berdoa “Ya Rabbi, karuniailah aku anak shalih.” Maka Allah pun menganugerahinya putra cerdas bernama Isma’il. Betapa bahagianya beliau! Terlebih ketika usia anaknya telah beranjak dewasa. Namun, pada saat-saat indah itu, Allah mengujinya dengan ujiang yang teramat berat. “Manakala usianya telah sampai pada (usia) berjalan, dia berkata, ‘Anakku, aku melihat dalam
mimpiku bahwa aku menyembelihmu.’” Ini tentunya adalah perintah dari Allah, karena mimpi para Nabi adalah wahyu. Mengetahui itu adalah wahyu dari Allah, dengan penuh iman dan rasa ta’at Isma’il menjawab, “Wahai bapakku, laksanakanlah apa yang kamu diperintahkan…”
Semenjak saat itulah ibadah qurban disyari’atkan dan berlanjut hingga datangnya Islam. Lihatlah saudaraku! Anda yang telah Allah berikan kelebihan harta! Renungkan sifat rela berkorban, bahkan mengorbankan anak dan nyawa sendiri, sebagaimana yang diperlihatkan oleh Nabi Ibrahim dan putranya Nabi Isma’il.
KURBAN
Pengertian;
Kurban adalah sebuah nama bagi hewan sembelihan sebagai bentuk ibadah kepada Alloh pada hari-hari penyembelihan dan dengan syarat-syarat yang telah ditentukan.
Hukum Berkurban:
Khilaf diantara para Ulama ada yang mengatakan sunnah dan ada yang mengatakan wajib. Adapun yang mengatakan sunnah, demikian Mazhab Jumhur dari para sahabat dan ulama’ seperti Malik, Syafi’i, Ahmad dan lainnya. Bahkan tidak ada riwayat yang shohih dari para sahabat bahwa berkurban itu wajib, yang ada hanya sebaliknya bahwa berkurban itu sunnah. Sebagaimana riwayat Abu Suraihah dia berkata: “Aku melihat Abu Bakr dan Umar tidak berkurban.” Dan Abu Mas’ud Al-Anshori Radhiyallahu 'Anhu berkata: “Aku benar-benar tidak berkurban padahal aku mampu. Sebab aku khawatir tetangga-tetanggaku menganggapnya wajib.” (Keduanya diriwayatkan oleh Abdur Rozzaq dan Baihaqi dengan sanad yang shahih).
Sebagian Ulama ada yang menyatakan wajib menyembelih bagi yang mampu seperti Syaikh Ali Hasan di dalam Ahkamul iedain, Imam Syaukani di dalam Sailul Jarror 4/74 berdalil dengan sabda Nabi :
من كان له سعة ولم يضح فلا يقربن مصلانا
”Barangsiapa yang memiliki kemampuan sedangkan dia tidak menyembelih, maka janganlah mendekati tempat sholat kami" Shohih. HR. Ibnu Majah 3123
Kesimpulan: yang dapat kita petik dari beberapa pendapat Ulama tentang hukum menyembelih yaitu hendaklah kita berusaha mengamalkannya dan tidak meninggalkannya walaupun itu perkara sunnah kita berusaha menghidupkan sunnah tersebut.
Hewan-Hewan Yang Sah Untuk Dikurban:
1- Unta yang berumur lima tahun masuk tahun keenam. Satu ekor unta boleh untuk tujuh orang:
Rosululloh Shallallahu 'Alaihi Wasallam bersabda:
لاَ تَذْبَحُوا إِلاَّ مُسِنَّة إِلاَّ أَنْ يَعْسُر عَلَيْكُم فَتَذْبَحُوا جَذْعَة مِنَ الضَّأْن
“Jangan berkurban kecuali hewan (unta, sapi atau kambing) yang sudah gugur salah satu gigi depannya yang berjumlah empat. Jika kalian tidak bisa, maka boleh berkurban domba yang belum genap berumur satu tahun” (diriwayatkan oleh Muslim dari hadits Jabir Radhiyallahu 'Anhu nomor 1963). Pada unta, yang demikian itu berumur 5 tahun masuk tahun keenam.
Jabir bin Abdillah Radhiyallahu 'Anhu berkata: “Kami pernah berkurban bersama Rosululloh Shallallahu 'Alaihi Wasallam pada tahun Hudaibiyah sesekor unta untuk tujuh orang dan seekor sapi untuk tujuh orang.” (hadits riwayat Muslim nomor 1318).
2- Sapi yang berumur dua tahun masuk tahun ketiga, karena pada umur inilah salah satu gigi depannya gugur sebagaimana disyaratkan oleh hadits di atas. Dan boleh pula satu ekor sapi untuk tujuh orang sebagaimana hadits Jabir di atas.
3- Kambing yang berumur satu tahun masuk tahun kedua. Namun jika kesulitan mendapatkannya, boleh yang berumur enam bulan. Sebagaimana hadits Jabir di atas.
4. Hewan kurban tersebut milik orang yang berkurban atau diperbolehkan (di izinkan) baginya untuk berkurban dengannya. Maka tidak sah berkurban dengan hewan hasil merampok dan mencuri, atau hewan tersebut milik dua orang yang beserikat kecuali dengan izin teman serikatnya tersebut.
5. Penyembelihan kurbannya harus terjadi pada waktu yang telah ditentukan syariat. Maka jika disembelih sebelum atau sesudah waktu tersebut, maka sembelihan kurbannya tidak sah
[Lihat Bidaayatul Mujtahid (I/450), Al-Mugni (VIII/637) dan setelahnya, Badaa'I'ush Shana'i (VI/2833) dan Al-Muhalla (VIII/30).
Peringatan:
Seekor kambing hanyalah untuk satu orang, tidak seperti pada unta dan sapi diperbolehkan untuk tujuh orang berkurban satu ekor sapi atau unta. Jadi apa yang dilakukan oleh sebagian kalangan, yaitu menarik iuran dari anak-anak didik mereka untuk membeli kambing kurban dengan alasan mendidik mereka untuk berkurban adalah tidak benar dan tidab bisa dihukumi sebagai hewan kurban karena bertentangan dengan dalil yang ada. Wallohu a’lam.
Cacat Yang Tidak Boleh Ada Pada Hewan Kurban dan Membuatnya Tidak Sah:
1- Buta sebelah yang jelas-jelas butanya. Bukan sekedar juling.
2- Sakit yang jelas-jelas sakitnya. Yang benar-benar mempengaruhi keseimbangan badan binatang tersebut. Sehingga tidak mau makan dan badannya menjadi lemah.
3- Pincang yang jelas-jelas pincangnya sehingga jalannya tidak seimbang.
4- Lemah atau kurus atau biasa disebut kering yang tidak lagi bersumsum. Sebab biasanya umurnya yang seperti ini umurnya sudah tua dan dagingnya tidak enak.
Semua cacat di atas disebutkan dalam hadits Barro’ bin ‘Azib Radhiyallahu 'Anhu bahwa Nabi Shallallahu 'Alaihi Wasallam bersabda:
أَرْبَعَةٌ لاَ يُجْزِيْنَ فِي اْلأَضَاحِي اَلْعَوْرَاء الْبَيِّن عَوْرُهَا وَ الْمَرِيْضَة الْبَيِّن مَرَضُهَا وَ الْعَرْجَاء الْبَيِّن ظَلْعُها وَ الْكَسِيْرَة الَّتِي لاَ تَنْقِي
“Empat hewan yang tidak sah untuk dikurban: Buta sebelah yang jelas-jelas butanya. Sakit yang jelas-jelas sakitnya. Pincang yang jelas-jelas pincangnya. Dan lemah atau kurus yang jelas-jelas lemah atau kurusnya.” (Shohih diriiwayatkan oleh Nasa’i: VII/ 215, Ibnu Majah: 3144 dan Ahmad: IV/ 284).
Cacat Yang Dimakruhkan Namun Tetap Sah Untuk Dikurban:
1- Telinganya terpotong semua atau sebagian.
2- Tanduknya patah atau sebagian besarnya.
Jika ada pada hewan kurban, maka kurbannya tetap sah karena Rosululloh membatasi hewan kurban yang tidak sah hanya pada empat hewan yang memiliki salah satu dari empat sifat di atas.
Cacat Yang Tidak Berpengaruh.
Sebab tidak ada larangan, namun hanya mengurangi kesempurnaannya. Seperti tidak punya gigi, ekor terpotong, hidung terpotong dan lainnya.
Sifat Hewan Kurban Yang Sempurna:
1- Dimustahabkan memilih hewan kurban yang paling gemuk sebagaimana hadits dari Abu Rofi' riwayat Ahmad dengan sanad hasan, dan paling selamat dari cacat-cacat di atas.
2- Hewan kurban yang paling afdhol adalah Unta kemudian Sapi kemudian Kambing.
3- Hewan yang berbulu putih kemudian berbulu belang kemudian yang berbulu hitam.
4- Hewan jantan lebih afhdol dari yang betina.
5- Apabila domba maka yang bertanduk. Sebagaimana Hadits riwayat Tirmidzi, Nasa'I, Abu Dawud, dan Ibnu Majah.
Larangan bagi orang yang hendak berkurban:
Nabi Shallallahu 'Alaihi Wasallam bersabda:
إِذَا دَخَلَتِ الْعَشْرُ وَ أَرَادَ أَحَدُكُمْ أَنْ يُضَحِّيَ فَلاَ يَمُسَّ مِنْ شَعْرِهِ وَ بَشَرَهَ شَيْئًا
“Jika masuk sepuluh hari pertama (bulan Dzul Hijjah) dan salah seorang dari kalian hendak berkurban, maka janganlah dia mengambil rambutnya atau kulitnya sedikitpun.” (diriwayatkan oleh Muslim dari hadits Ummu Salamah rodhiyallohu ‘anha nomor 1967).
Berdasarkan hadits di atas tidak diperbolehkan bagi orang yang hendak berkurban untuk mencukur rambutnya, mencabut bulu ketiaknya atau bulu badan lainnya. Dan tidak diperbolehkan pula untuk memotong kukunya. Hukumnya haram.
Hikmah larangan
ini adalah agar dia tetap sempurna bagian badannya untuk bebas dari api neraka. Wallohu a’lam.
Waktu Berkurban:
Nabi Shallallahu 'Alaihi Wasallam bersabda:
إِنَّ أَوَّلَ مَا نَبْدَأُ بِهِ مِنْ يَوْمِنَا هَذَا أَنْ نُصَلِّيَ ثُمَّ نَرْجِعَ فَنَنْحَر فَمَن فَعَلَ هَذَا فَقَدْ أَصَابَ سُنَّتَنَا وَ مَنْ نَحَرَ فَإِنَّمَا هُوَ لَحْمٌ يُقَدِّمُهُ ِلأَهْلِهِ لَيْسَ مِنَ النُّسُكِ فِي شَيْءٍ
“Sesungguhnya hal pertama yang kami mulai di hari kita ini adalah shalat kemudian pulang dan menyembelih. Maka barangsiapa yang melakukan ini maka dia telah menepati sunnah kami. Namun barangsiapa yang telah menyembelih, sesungguhnya apa yang disembelihnya itu hanya daging biasa untuk keluarganya. Bukan termasuk hewan kurban sedikitpun.” (diriwayatkan oleh Bukhori dari hadits Anas bin Malik Radhiyallahu 'Anhu nomor 5546).
Jadi hewan kurban boleh disembelih mulai setelah selesai Shalat Hari Raya hingga hari-hari tasyriq 11, 12, 13 dzulhijjah sebagaimana Berdasarkan hadits Jubair bin Mut'im dari Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam , bersabda :
"Artinya : Pada setiap hari-hari tasyriq ada sembelihan". [20]. [Dikeluarkan Imam Ahmad dan Ibnu Hibban dalam shahihnya dan Al-Baihaqi. Dan terdapat jalan lain yang menguatkan antara satu dengan riwayat yang lainnya. Dan juga diriwayatkan dari hadits Jabir dan lainnya. Dan ini diriwayatkan segolongan dari shahabat. Dan perselisihan dalam perkara ini adalah ma'ruf].
Di dalam Al-Muwatha' dari Ibnu Umar :
"Artinya : Al-Adha (berkurban) dua hari setelah dari Adha". [21].
Demikian pula dari Ali bin Abi Thalib. Dan ini pendapat Al-Hanafiah dan madzhab Syafi'iyah bahwa akhir waktunya sampai terbenamnya matahari dari akhir hari-hari tasyriq berdasarkan hadits Imam Al-Hakim yang menunjukan hal tersebut.[22]
. Wallohu a’lam.
Pembagian Daging Kurban:
Alloh azza wa jalla berfirman:
Supaya mereka menyaksikan berbagai manfaat bagi mereka dan supaya mereka menyebut nama Allah pada hari yang Telah ditentukan atas rezki yang Allah Telah berikan kepada mereka berupa binatang ternak. Maka makanlah sebahagian daripadanya dan (sebahagian lagi) berikanlah untuk dimakan orang-orang yang sengsara dan fakir. (QS. Al-Hajj: 28).
Dari Salamah bin Akwa’ Radhiyallahu 'Anhu Nabi Shallallahu 'Alaihi Wasallam bersabda: “Barangsiapa di antara kalian yang berkurban, maka janganlah dia menyisakan dari dagingnya setelah tiga hari.”
Pada tahun berikutnya, para sahabat bertanya: “Ya Rosululloh, kami lakukan lagi seperti pada tahun kemarin?” beliau menjawab: “Makanlah, sedekahkanlah dan simpanlah. Adapun pada tahun kemarin itu karena orang-orang mengalami kesusahan. Karenanya aku ingin kalian memberikan bantuan.” (diriwayatkan oleh Bukhori: 5569 dan Muslim: 1974).
Jadi daging hewan kurban, pemanfaatannya untuk tiga hal: Dimakan sendiri, disedekahkan dan disimpan. Namun perlu diperhatikan bahwa perintah Rosululloh Shallallahu 'Alaihi Wasallam di atas bukanlah wajib, namun sunnah. Jika semuanya disedekahkan maka itu boleh akan tetapi tidak boleh berkeyakinan bahwa tidak boleh bagi orang yang berkorban makan daging korbannya seperti anggapan sebagian orang awam. Wallohu a’lam.
Ibnu Qotadah berkata; telah berkata Imam Ahmad; "kami berpendapat dengan hadits Abdulloh yaitu; orang yang menyembelih makan 1/3, memberi makan orang yang ia kehendaki 1/3, dan bersedekah kepada orang miskin 1/3". Al Mughni 13/379
Bentuk Pemanfaatan Hewan Kurban Yang Tidak Diperbolehkan:
1- Menjualnya. Baik itu menjual kulitnya, bulunya, dagingnya, tulangnya atau bagian-bagiannya yang lain. Sebagaimana hadits hasan riwayat Ahmad, al Hakim dan al Baihaqi. Namun apabila kulit telah diberikan kepada orang yang berhak menerima, atau suatu yayasan tertentu kemudian orang itu ingin menjualnya maka boleh,karena hal itu telah keluar dari makna larangan. Sebagaimana fatwa Lajnah Daimah
2- Tidak boleh memberikan upah kepada tukang potong hewan kurban dari hewan kurban itu sendiri. Ali Radhiyallahu 'Anhu meriwayatkan bahwa Nabi Shallallahu 'Alaihi Wasallam pernah memerintahkannya untuk mengurus seekor unta. Untuk membagi-baginya semuanya: dagingnya, kulitnya dan pakaiannya. Serta jangan memberikan upah kepada tukang potongnya sedikitpun darinya. Ali berkata; 'Kami memberi upah kepada orang yang menyembelih dengan harta kami (di luar hewan kurban)” (hadits riwayat Bukhori: 1717 dan Muslim: 1317, dan Abu Dawud).
ADAB MENYEMBELIH
1. menggunakan alat yang tajam.
2. memotong kerongkongan dan urat lehernya dengan cepat.
3. membaca Bismillah
4. orang yang menyembelih hendaknya muslim, berakal, tamyiz, atau ahli kitab
5. tidak menunjukkan atau mengasah pisau di depan hewan kurban tsb
6. tidak memotong sesuatupun darinya kecuali setelah mati dengan sempurna
7. dianjurkan menghadapakan ke kiblat.
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar