yufid.com

Minggu, 20 Maret 2011

BULETIN AS-SUNNAH LOMBOK TIMUR

Posted by Abu Abdillah Riza Firmansyah On 03.30 No comments
TAUHID KEWAJIBAN YANG PERTAMA DAN PALING UTAMA
----------------------------------------------
Segala puji bagi Alloh Ta’ala yang telah mengutus para Rosul-Nya dengan tauhid dan memerintah mereka untuk berdakwah kepadanya dan menjadikan kebahagiaan bagi orang-orang yang menaatinya dan kerugian bagi orang-orang yang menyelisihinya.
Dan shalawat serta salam kepada Nabi Shallallohu’alaihi wa sallam penutup para nabi dan rosul yang diutus dengan membawa agama yang murni dan hujjah yang jelas.
Ketahuilah sesungguhnya pokok segala kebahagiaan dunia dan akhirat adalah tauhid, sebaliknya dasar kerugian dunia akhirat adalah syirik. Ketika kita melihat kaum muslimin telah tersebar dikalangan mereka kesyirikan dan bid’ah jauh dari tauhid dan sunnah terutama di zaman-zaman sekarang ini maka kami ingin menjelaskan bahwa tauhid merupakan kewajiban yang pertama dan paling utama atas setiap orang, hal ini kami tulis dalam risalah yang singkat ini, dengan demikian kita akan semakin berpegang teguh dengan baik yaitu dengan mengajarkannya atau mempelajarinya serta waspada dan mengingatkan orang akan bahaya kesyirikan dan macam-macamnya. Adapun bagi orang-orang yang melalaikan hal ini hendaknya segera memperhatikannya sebelum habis waktu di dunia ini. Maka kami katakan: sesungguhnya mentauidkan Alloh adalah permulaan dakwah semua Rosul ‘alaihimussalam, sebagaimana firman Alloh Ta’ala:
               
“Dan kami tidak mengutus seorang rasulpun sebelum kamu melainkan kami wahyukan kepadanya: "Bahwasanya tidak ada Tuhan (yang hak) melainkan aku, Maka sembahlah olehmu sekalian akan Aku".(QS: Al-Anbiyaa’: 25)
Dan Alloh berfirman yang Artinya:
“Dan sesungguhnya kami Telah mengutus Rasul pada tiap-tiap umat (untuk menyerukan): "Sembahlah Allah (saja), dan jauhilah Thaghut” (QS: An-Nahl: 36)
        •     
“Sesungguhnya kami mengutus kamu dengan membawa kebenaran sebagai pembawa berita gembira dan sebagai pemberi peringatan.”(QS. Faathir: 24 )
               
“Maka Ketahuilah, bahwa Sesungguhnya tidak ada Ilah (sesembahan, Tuhan) selain Allah dan mohonlah ampunan bagi dosamu dan bagi (dosa) orang-orang mukmin, laki-laki dan perempuan. dan Allah mengetahui tempat kamu berusaha dan tempat kamu tinggal.”(QS. Muhammad: 19 )
              
“Dialah yang Telah mengutus RasulNya (dengan membawa) petunjuk (Al-Quran) dan agama yang benar untuk dimenangkanNya atas segala agama, walaupun orang-orang musyrikin tidak menyukai.”(QS. At-Taubah: 33)
Mentauhidkan Alloh merupakan kewajiban yang pertama bagi setiap mukallaf dan dengannya Alloh menciptakan makhluk ini. Sabagaimana dalam firmanNya:
      
“Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka beribdah kepada-Ku.” (QS. Adz-Dzariaat: 56)
Tauhid merupakan agama islam dan Alloh tidak akan menerima selainnya. Sebagimana firmanNya yang artinya:
“Barangsiapa mencari agama selain agama islam, Maka sekali-kali tidaklah akan diterima (agama itu)daripadanya, dan dia di akhirat termasuk orang-orang yang rugi.”(QS. Ali ‘Imron: 85)
Maka oleh karena itu Alloh Ta’ala memerintahkan kepada hambanya yang beriman yang Artinya:
“Sesungguhnya orang-orang yang kafir dan mati sedang mereka tetap dalam kekafirannya, Maka tidaklah akan diterima dari seseorang diantara mereka emas sepenuh bumi, walaupun dia menebus diri dengan emas (yang sebanyak) itu. bagi mereka Itulah siksa yang pedih dan sekali-kali mereka tidak memperoleh penolong.”(QS. Ali ‘lmron: 91)
Juga dalam firman-Nya dalam ayat yang lain:
                      
“Dengan ikhlas kepada Allah, tidak mempersekutukan sesuatu dengan Dia. barangsiapa mempersekutukan sesuatu dengan Allah, Maka adalah ia seolah-olah jatuh dari langit lalu disambar oleh burung, atau diterbangkan angin ke tempat yang jauh.”(QS: Al-Hajj: 31)
Alloh Ta’ala juga bersaksi atas tauhid dan keadilan-Nya demikian pula para malaikat dan para ahlul ilmi juga barsaksi atas tauhid Alloh dan keadilan-Nya. Sebagai mana dalam firman-Nya:
                   
“ Allah menyatakan bahwasanya tidak ada Tuhan melainkan dia (yang berhak disembah), yang menegakkan keadilan. para malaikat dan orang-orang yang berilmu (juga menyatakan yang demikian itu). tak ada Tuhan melainkan dia (yang berhak disembah), yang Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.”(QS. Ali Imron: 18 )
Di dalam beberapa ayat di atas suatu bukti atas keutamaan ilmu dan orang yang berilmu karena Alloh Ta’ala menggandengkan persaksian mereka dengan persaksian Alloh dan persaksian para malaikat serta dijadikannya persaksian mereka sebagai dalil yang paling besar atas tauhid dan agama-Nya serta balasannya. Maka diwajibkan pula atas mukallaf untuk menerima persaksian yang haq ini, maka dengan demikian jelaslah bagi kita semua akan mulia dan agungnya tauhid serta mendakwahkannya.
PENJELASAN MAKNA KALIMAT TAUHID
Diantara perkara yang harus diketahui setiap muslim adalah mengetahui makna tauhid, kalau di sebut seecara mutlak dengan kata lain jika dikatakan mentauhidkan Alloh maka apa yang di maksud dari kalimat tadi?
Jawabannya adalah kata-kata tauhid, mentauhidkan Alloh maka yang di maksud adalah Tauhid uluhiyah atau tauhid ibadah, inilah pendapat Ahlussunnah maka mereka memiliki penafsiran yang lain dan tidak menginginkan hal tersebut akan tetapi yang mereka maksudkan adalah perkara yang lain seperti tauhid Rububiyah atau menetapkan sang pencipta yaitu Alloh Ta’ala atau maksud mereka adalah Wihdatul wujud yaitu tidak ada perbedaan antara Alloh dan dengan makhluk-Nya maha suci Alloh dan maha tinggi atas segala ucapan mereka, atau yang mereka maksud dengan tauhid yaitu mengingkari sifat-sifat Alloh Ta’ala dan kepercayaan lainnya dari aqidah yang rusak dan tenggelam dalam kegelapan dan kejahilan, syirik, bid’ah serta kesesatan dengan segala jenisnya. Mudah-mudahan Alloh Ta’ala menyelamatkan kita dari segala aqidah yang batil.
Diantara dalil-dalil Ahlussunnah Wal Jama’ah yang membuktikan kebenaran pendapat mereka tentang penafsiran tauhid yang berarti tauhid Uluhiyah antara lain:
Dari Ibnu Abbas Radhiyallohu ‘anhuma mengatakan: “Ketika Nabi shallallohu 'alaihi wa sallam mengutus Muadz bin Jabal ke penduduk yaman beliau shallallohu 'alaihi wa sallam bersabda: “ sesungguhnya engkau akan mendatangi Ahli kitab(Yahudi dan Nasrani) maka hendaklah yang pertama kali kamu ajak mereka adalah mentauhidkan Alloh”. (HR. Bukhari 4347 dan Muslim)
Dalam riwayat lain juga disebut dengan lafazh:
(....فادْعُوهُمْ إِلىَ شَهَادَةِ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ وَأَنَّ مُحَمَّدًا رَسُولُ اللهِ ...)
“maka dakwahkan mereka kepada syahadat bahwasanya tidak ada Tuhan yang paling berhaq untuk di sembah kecuali Alloh dan Muhammad adalah utusan Alloh”
Dan juga dalam riwayat lain dengan lafazh:
(....فَادْعُوهُمْ إلى عِبَادَةِ اللهِ تَعَالَى...)
“maka ajaklah mereka untuk beribadah kepada Alloh”
Al-Imam Ibnu Hajar rahimahulloh menyebutkan maksud dari lafaz-lafaz dalam hadits tadi yang dimaksud tauhid adalah berikrar dengan syahadatain. Dan yang di maksud ibadah adalah tauhid.
Intinya adalah yang dimaksud dengan tauhid adalah tauhid uluhiyah dan tauhid uluhiyah inilah yang mengikrarkan syahadatain dan keduanyalah hakikat islam.
Sehingga ibnu hajar rahimahulloh menyebutkan dengan hadits diatas bahwa tidak cukup dengan mengucapkan syahadad Laaillaha illalloh namun harus juga syahadat Muhammad Rasululloh.
Para pembaca yang budiman..! setelah mengetahui makna dari kata tauhid yaitu tauhid uluhiyah maka wajib bagi kita untuk mengetahui makna dari tauhid Uluhiyah
Tauhid Uluhiyah adalah mengesakan Alloh Ta’ala dalam beribadah dengan segala jenis ibadah baik ibadah hati atau ucapan dan perbuatan dan tidak boleh di sekutukan serta di palingkan sedikitpun dari ibadah tersebut. Sebagai mana firman Alloh Ta’ala yang artinya:
“Katakanlah: "Sesungguhnya Aku diperintahkan supaya menyembah Allah dengan memurnikan ketaatan kepada-Nya dalam (menjalankan) agama.Dan Aku diperintahkan supaya menjadi orang yang pertama-tama berserah diri". Katakanlah: "Sesungguhnya Aku takut akan siksaan hari yang besar jika Aku durhaka kepada Tuhanku". Katakanlah: "Hanya Allah saja yang Aku sembah dengan memurnikan ketaatan kepada-Nya dalam (menjalankan) agamaku". Maka sembahlah olehmu (hai orang-orang musyrik) apa yang kamu kehendaki selain Dia. Katakanlah: "Sesungguhnya orang-orang yang rugi ialah orang-orang yang merugikan diri mereka sendiri dan keluarganya pada hari kiamat". ingatlah yang demikian itu adalah kerugian yang nyata.” ( QS: Az- zumar 11-15 )
Dan firman Alloh dalam ayat yang lain yang artinya:
“ Katakanlah: "Sesungguhnya Aku Telah ditunjuki oleh Tuhanku kepada jalan yang lurus, (yaitu) agama yang benar, agama Ibrahim yang lurus, dan Ibrahim itu bukanlah termasuk orang-orang musyrik". Katakanlah: Sesungguhnya sembahyangku, ibadatku, hidupku dan matiku hanyalah untuk Allah, Tuhan semesta alam. Tiada sekutu bagiNya; dan demikian Itulah yang diperintahkan kepadaku dan Aku adalah orang yang pertama-tama menyerahkan diri (kepada Allah)" ( QS: Al-an’am: 161-163 )
Dari hadits Ibnu Abbas di atas menunjukkan tauhid merupakan kewajiban yang pertama dan utama bagi para da’I dalam berdakwah maka hendaknya sebelum menyampaikan perkara agama yang lain maka sampaikanlah terlebih dahulu tauhid dan ingatkan tentang bahaya kesyirikan kerena tidak akan berguna segala ibadah tanpa tauhid yang benar. Sebagai mana firman Alloh Ta’ala “seandainya mereka mempersekutukan Allah, niscaya lenyaplah dari mereka amalan yang Telah mereka kerjakan.”( QS: Al-an’am: 88 ) Wallohu a’alam bisshowab. Nantikan ( Insya Alloh ) edisi berikutnya..
Di susun oleh: ( Ust. Mizan Qudsiyah, Lc )
Maraaji’ / Referensi: ~ Al-Irsyad ila Shohihi I’tiqod oleh syaikh Sholeh al-Fauzan
~ Tadzkrul Muwahhidin oleh Syaikh Ibrohim Isa.
.


HATI HATILAH WAHAI PARA DA'I
ANDA TENGAH BERLEMAH LEMBUT ATAUKAH BERMUDAHANAH ?
--------------------------------------------------
           •        
Katakanlah: “Inilah jalan (agama) ku, aku dan orang-orang yang mengikutiku mengajak (kamu) kepada Allah dengan hujjah yang nyata, Maha suci Allah, dan aku tiada Termasuk orang-orang yang musyrik.” (QS. Yusuf: 108).
Ayat di atas menegaskan bahwa dakwah Nabi  tegak di atas ilmu, bukan berdasarkan semangat ataupun kepintaran berbicara semata. Demikianlah Manhaj Dakwah Nabi  yang telah Alloh  gariskan bagi setiap da’i yang meniti jejak beliau hingga hari kiamat. Yaitu seorang da’i (juru dakwah) harus: Pertama memiliki ilmu dalam dirinya dan kedua memiliki ilmu tentang apa yang didakwahkannya. Sesungguhnya orang yang jahil tidak layak untuk memajukan diri berdakwah, sebab dia hanya akan merusak lebih banyak daripada melakukan perbaikan.
Namun, ternyata terlalu banyak orang yang salah cara dalam cemburu terhadap agamanya (demikian kita berhusnu zhon kepada mereka). Sehingga mereka beramai-ramai mengambil andil dalam tugas yang mulia ini. Namun, sayangnya tanpa ilmu. Hanya bermodal ghiroh, semangat dan kemampuan menyihir pendengar. Hingga muncullah berbagai kerancuan dan bahkan talbis dalam dakwah yang mulia ini. Disebabkan oleh orang yang tidak memahami dengan benar Manhaj Dakwah Nabawiyah (jika tidak mau dikatakan tidak pernah belajar sama sekali).
Ada satu perkara yang harus diperjelas karena banyak da’i yang mentalbis masalah ini dan bahkan menjadikannya senjata untuk menyerang para da’i yang berusaha menegakkan Manhaj Nabawi, berdakwah sesuai aturannya yang telah baku. Perkara tersebut adalah Ar-Rifqu (اَلرِّفْقُ) yang diterjemahkan dengan Lemah Lembut dalam berdakwah.
Pengertian Ar-Rifqu.
Ar-Rifqu secara bahasa adalah lemah lembut, lawan dari kasar. Ar-Rifqu bisa juga disebut Mudaroh (اَلْمُدَارَاةُ) dan sangat berlawanan dengan Mudahanah (اَلْمُدَاهَنَةُ).
Mudaroh adalah menghindari mafsadah (kerusakan) dan kejahatan dengan ucapan yang lembut atau meninggalkan kekerasan dan sikap kasar, atau berpaling dari orang jahat jika ditakutkan kejahatannya atau terjadinya hal yang lebih besar dari kejahatan yang sedang dilakukan.
Imam Bukhori رحمه الله mencantumkan satu bab dalam Shohihnya “Bab Mudaroh kepada manusia.” Kemudian mencantumkan hadits Aisyah bahwa seorang lelaki meminta untuk bertemu dengan Rosululloh . Beliaupun berkata: “Izinkan dia. Sungguh dia anak keluarga yang jelek – atau sungguh dia saudara keluarga yang jelek –“ namun ketika dia masuk, beliau berkata halus padanya. Aisyah berkata: “Akupun berkata kepada beliau: “Wahai Rosululloh, tadi Anda berkata begini dan begitu namun Anda berkata halus padanya.” Beliaupun bersabda:
أَيْ عَائِشَةُ إِنَّ شَرَّ النَّاسِ مَنْزِلَةً عِنْدَ اللهِ مَنْ تَرَكَهُ – أَوْ وَدَعَهُ – النَّاسُ اتِّقَاءَ فُحْشِهِ
“Wahai Aisyah, sesungguhnya seburuk-buruk manusia adalah yang dihindari oleh manusia karena khawatir akan kejahatannya.”
Nabi  telah berbuat mudarah dengan orang tadi ketika dia menemui Nabi  -padahal orang itu jahat- karena beliau menginginkan kemaslahatan agama. Maka hal itu menunjukkan bahwa mudarah tidak bertentangan dengan al-wala' wal bara', kalau memang mengandung kemaslahatan lebih banyak dalam bentuk menolak kejahatan atau menundukkan hatinya atau memperkecil dan memperingan kejahatan.
Ini adalah salah satu metode dalam berdakwah kepada Allah. Termasuk di dalamnya adalah mudarah Nabi  terhadap orang-orang munafik karena khawatir akan kejahatan mereka dan untuk menundukkan hati mereka dan orang lain.
Sedangkan Mudahanah artinya berpura-pura, menyerah dan meninggalkan kewajiban amar ma'ruf nahi mungkar serta melalaikan hal tersebut karena tujuan duniawi atau ambisi pribadi. Maka berbaik hati, bermurah hati atau berteman dengan ahli maksiat ketika mereka berada dalam kemaksiatannya, sementara ia tidak melakukan pengingkaran padahal ia mampu kelakukannya maka itulah mudahanah.
Ibnu Baththol رحمه الله berkata: “Sebagian menyangka bahwa Mudaroh sama dengan Mudahanah, padahal itu salah. Sebab Mudaroh dianjurkan sedangkan Mudahanah diharamkan. Bedanya adalah Mudahanah berasal dari kata Dihan yaitu orang yang secara zhahir lain namun menyembunyikan keadaan batinnya. Ditafsirkan oleh para ulama bahwa Mudahanah adalah bergaul dengan orang fasik dan menampakkan keridhoan dengan keadaannya tanpa mengingkarinya.
Sedangkan Mudaroh adalah lemah lembut kepada orang jahil dalam mengajarinya dan terhadap orang fasik ketika melarang perbuatannya, tanpa keras, dimana dia tidak menampakkan keadaannya, serta mengingkarinya dengan kata dan perbuatan yang halus. Terlebih ketika dibutuhkan untuk lemah lembut kepadanya dan lainnya.”
Pelajaran dari Dakwah Rosul .
Pertama: Anas bin Malik  bercerita: “Ketika kami tengah berada di Masjid bersama Rosululloh , tiba-tiba datang seorang Badui. Sekonyong-konyong dia kencing di dalam masjid. Para sahabat Rosululloh  pun berseru: “Berhenti!!” Rosululloh  berkata: “Jangan dihentikan, biarkan dia.” Para sahabatpun lantas membiarkannya hingga lelaki itu selesai kencing. Kemudian Rosululloh  memanggilnya dan bersabda:
إِنَّ هَذِهِ الْمَسَاجِدَ لاَ تَصْلُحُ لِشَيْءٍ مِنْ هَذَا الْبَوْلِ وَ لاَ الْقَذَرِ إِنَّمَا هِيَ لِذِكْرِ اللهِ وَ الصَّلاَةِ وَ قِرَاءَةِ الْقُرْآنِ
“Sesungguhnya masjid-masjid ini sama sekali tidak pantas untuk kencing ataupun kotoran. Sesungguhnya masjid itu hanya untuk berdzikir mengingat Alloh, sholat dan membaca Al-Qur’an.”
Anas  berkata: “Kemudian beliau memerintahkan seorang yang hadir untuk mengambil seember air dan menyiram bekas kencing lelaki badui tersebut.” (HR. Bukhori I/ 322 dan Muslim: I/ 236).
Perhatikanlah, ketika beliau berlemah lembut dengan lelaki badui tersebut (dan memang orang-orang badui terkenal keras dan jahil) apakah beliau tidak mengingkari perbuatannya dan menjelaskan yang benar kepadanya? Justru beliau tetap memberikan penjelasan. Hanya saja beliau membiarkannya untuk tetap kencing karena maslahat yang jelas. Maslahat yang kembali kepada masjid dan lelaki itu sendiri. Bukan seperti sebagian da’i sekarang ini yang membungkus mudahanah dengan ar-rifq, membiarkan kemungkaran untuk maslahat pribadi. Sekali lagi wahai para da’i, apakah Rosululloh  tidak mengingkari perbuatannya dan menjelaskan kebenaran?
Kedua: Mu’awiyah bin Hakam As-Sullami  bercerita: “Ketika aku sholat bersama Rosululloh , seorang ma’mum tiba-tiba bersin. Akupun berkata: “Yarhamukalloh” orang-orang lantas memelototi aku. Akupun berkata: “Hey, kenapa kalian melihat aku seperti itu?” Mereka lantas memukul paha-paha mereka. Akupun mengerti kalau mereka menyuruhku diam, akhirnya aku diam. Ketika Rosululloh  selesai sholat, demi Alloh aku tidak pernah melihat seorang guru sebelum beliau ataupun sesudahnya yang lebih baik dari beliau. Demi Alloh beliau tidaklah membentak aku, tidak pula memukul aku ataupun mencerca aku. Beliau berkata:
إِنَّ هَذِهِ الصَّلاَةَ لاَ يَصْلُحُ فِيْهَا شَيْءٌ مِنْ كَلاَمِ النَّاسِ إِنَّمَا هُوَ التَّسْبِيْحُ وَ التَّكْبِيْرُ وَ قِرَاءَةُ الْقُرْآنِ
“Sesungguhnya shalat ini tidak pantas ada omongan manusia di dalamnya. Sholat itu tidak lain hanya tasbih, takbir dan membaca Al-Qur’an.” (HR. Muslim: I/ 381).
Sekali lagi perhatikanlah, apakah Rosululloh  tidak mengingkari perbuatannya dan menjelaskan kebenaran padanya? Sekali lagi bandingkanlah dengan para da’i yang mentalbis Mudahanah dengan Ar-Rifq.
Ketiga: Umar bin Abi Salamah  berkata: “Dahulu waktu aku kecil dan dalam asuhan Rosululloh , tanganku meraih makanan pada wadah ke semua arah. Rosululloh  lantas berkata kepadaku:
يَا غُلاَمُ سَمِّ اللهَ وَ كُلْ بِيَمِيْنِكَ وَ كُلْ مِمَّا يَلِيْكَ
“Wahai anak kecil, bacalah Bismillah. Kemudian makanlah dengan tangan kananmu dan makanlah apa yang dekat darimu.”
Sejak itu, seperti itulah cara makanku.” (HR. Bukhori: 5376 dan Muslim: 2022).
Sekali lagi, apakah beliau  tidak mengingkari perbuatannya dan menjelaskan yang benar padanya? Dan perlu Anda ingat wahai para da’i akan kaidah penting dalam berdakwah:
لاَ يَجُوْزُ تَأْخِيْرُ الْبَيَانِ عَنْ وَقْتِ الْحَاجَةِ
“Tidak boleh menunda penjelasan dari waktu dibutuhkannya penjelasan tersebut.”
Demikianlah beberapa contoh dari sekian banyak contoh dari metode Dakwah Rosululloh , mari kita sama-sama pahami dengan benar. Wallo waliyyut taufiq.
Mereka bilang kami keras.
Di sini kami nukilkan ucapan Syaikh Jamilurrohman رحمه الله panglima Jama’atul Jihad di Afganistan yang salafi. Ucapan beliau ini kami nukilkan untuk menjawab tuduhan atas Dakwah Salafiyah. Beliau رحمه الله pernah ditanya: “Ada yang bilang bahwa metode dakwah Anda dalam mengajak kepada akidah yang benar adalah keras dan membuat orang takut.” Beliau Menjawab: “Kami mengetahui bahwa salah satu hal yang wajib dalam berdakwah adalah memperhatikan keadaan orang yang didakwahi. Dan memilih metode lemah lembut bukan keras ataupun menakuti. Alloh Ta’ala berfirman:
        
Maka berbicaralah kamu berdua kepadanya dengan kata-kata yang lemah lembut, Mudah-mudahan ia ingat atau takut.” (QS. Thoha: 44).
Alloh Ta’ala juga berfirman:
               
Maka disebabkan rahmat dari Allah-lah kamu Berlaku lemah lembut terhadap mereka. Sekiranya kamu bersikap keras lagi berhati kasar, tentulah mereka menjauhkan diri dari sekelilingmu. (QS. Ali Imron: 159).
Dan Alloh  juga berfirman:
            
Serulah (manusia) kepada jalan Tuhan-mu dengan hikmah dan pelajaran yang baik dan bantahlah mereka dengan cara yang baik. (QS. An-Nahl: 125).
Kami tidaklah keluar dari batasan-batasan itu demi mengagungkan perintah Alloh  dan mengikuti para nabi-Nya ‘alaihimus sholatu was salam. Maka orang-orang yang menuduh kami keras, jika mereka termasuk orang-orang yang berpegang kepada akidah yang benar dan mengetahui wajibnya berdakwah kepada tauhid, serta menunaikan haknya, mengambil sikap yang benar dan jelas di mana manusia mengenali akidah dan dakwah mereka. Namun mereka menganggap metode kami keras, maka mereka wajib memperbaikinya dan membimbing kami kepada metode yang sesuai. Karena kami tidaklah mengklaim bahwa metode kami bagus dan unggul dalam berdakwah hingga taraf tertinggi yang harus menjadi pijakan dakwah. Sebab yang seperti itu adalah para Nabi ‘alaihimus salam. Karena mereka ma’shum dalam menyampaikan dakwah dan mengemban risalah dengan jaminan dari Alloh, dan mereka dikuatkan dengan wahyu dari Alloh. Bagaimanapun kami mengaku dan yakin bahwa akidah kami benar dan mendakwahkannya wajib, kami tetap wajib untuk memilih metode dakwah yang kami ketahui mengumpulkan segala sisi yang tepat, dikemasi dengan sebab-sebab yang mendatangkan sambutan dari manusia.
Namun, jika mereka (orang-orang yang menuduh-pent.) termasuk orang-orang menentang akidah dan dakwah, atau menentang dakwah itu sendiri. Maka tidaklah tuduhan mereka itu dimaksudkan kecuali untuk menentang inti dakwah dan memeranginya dengan metode yang busuk. Maka kami katakan kepada mereka: Mari kita membahas inti permasalahannya, yaitu masalah akidah dan dakwah. Kemudian setelah tuntas dan sepakat, kita membahas metode dakwah. Kita pilih secara sepakat metode yang kalian ridhoi. Adapun jika kalian menyelisihi kami dari akar masalah, atau kalian memilih sikap diam dan mudahanah, maka tidak selayaknya kalian menuduh metode dakwah yang benar. Sebaliknya, periksalah diri kalian sebelum kalian memeriksa orang lain.
Setelah jelas apa yang telah disebutkan tentang si penuduh, kami katakan bahwa para pengekor bid’ah dan hawa nafsu selalu melawan Ahlus Sunnah dengan keras dan kasar. Mereka mengkafirkan para penyelisih dengan hawa nafsu dan mengeluarkan mereka dari agama. Mereka tidak sholat di belakangnya bahkan mereka membolehkannya dan memfatwakan bolehnya membunuh mereka. Mereka menggerakkan orang awam untuk membunuh dan mengganggu mereka. Ini jelas bagi setiap orang yang mengenal keadaan para pelaku bid’ah dari zaman dahulu.” (Dinukil dari Ma’alim Al-Manhaj An-Nabawi halaman 21-23 karya Syaikh Muhammad Musa Alu Nashr حفظه الله).
Demikianlah wahai saudaraku, wahai para da’i. Semoga bisa dijadikan pelajaran. Wallohu a’lam.







ADAKAH TAUHID HAKIMIYAH !?
--------------------------

[Syaikh Muhammad Nashiruddin Al-Albani]
Syaikh Muhammad Nashiruddin Al-Albani ditanya : "Wahai Syaikh kami –semoga Alloh  memberkahimu- para ulama salaf -semoga rahmat Allah atas mereka-menyebutkan bahwa tauhid ada tiga macam yaitu ; Uluhiyah, Rububiyah dan Asma wa Sifat. Maka, apakah dibenarkan jika kita mengucapkan bahwa di sana terdapat tauhid yang keempat yaitu 'Tauhid Hakimiyah' atau 'Tauhidul Hukum ?'
Beliau menjawab : "Al-Hakimiyah adalah bagian dari 'Tauhid Uluhiyah". Mereka yang mendengung-dengungkan kalimat yang 'muhdats' tadi di zaman ini bukanlah untuk mengajari kaum muslimin tentang tauhid yang dibawa oleh para nabi dan para rasul seluruhnya, melainkan hanyalah sebagai senjata politik. Karena itu aku akan tetap menyatakan untuk kalian apa yang telah aku ucapkan tadi, walaupun sebenarnya sudah berulang kali ditanyakan dan berulang kali aku menjawabnya. Atau kalau kau suka kita lewatkan saja apa yang sedang kita bahas. Dalam satu kesempatan seperti ini aku telah menyampaikan pendukung apa yang telah aku ucapkan tadi bahwa penggunaan kata 'hakimiyah' adalah pelengkap dakwah politik yang merupakan ciri khas beberapa 'hizb-hizb' yang ada pada hari ini. Pada kesempatan ini aku sampaikan satu kisah yang terjadi antara aku dengan salah seorang 'khatib' di salah satu masjid di Damaskus. Pada hari Jum'at dia berkhutbah yang seluruhnya berkisar tentang 'hakimiyah' bagi Alloh  . Kemudian dia keliru dalam salah satu masalah fiqh. Ketika selesai sahalat Jum'at aku maju kepadanya, aku ucapkan salam kepadanya dan aku katakan kepadanya : "Wahai saudaraku engkau berbuat seperti ini dan hal itu adalah menyelisihi sunnah". Dia menjawab : "Aku adalah orang yang bermadzhab Hanafi yang berpendapat dengan apa yang aku kerjakan itu". Aku berkata : "SubhanAlloh ', engkau berkhutbah bahwa 'hakimiyah' milik Alloh  kalian menggunakan kata itu hanya sekedar untuk memerangi orang-orang yang kalian anggap sebagai hakim-hakim yang telah kafir karena tidak berhukum dengan syari'at Islam. Sedangkan kalian lupa pada diri kalian sendiri bahwa 'hakimiyah' itupun mencakup setiap muslim. Maka mengapa sekarang ketika kusebutkan kepadamu bahwa Rasul berbuat seperti ini, engkau mengatakan bahwa madzhabku demikian. Berarti engkau menyelisihi apa yang kau dakwahkan. Maka, kalau saja tidak karena mereka mengambil kata tersebut sebagai pengantar dakwah politik, tentu kami akan katakan : "Inilah dagangan kami kembali kepada kami".
Adapun dakwah yang manusia kami seru kepadanya di sana terdapat 'hakimiyah' dan selain 'hakimiyah' yaitu 'tauhid uluhiyah' sebagai tauhid ibadah yang termasuk di dalamnya apa yang mereka dengung-dengungkan. Atas apa yang kalian sebut-sebut ketika kalian mendengung-dengungkan 'tauhid hakimiyah', maka kami menyebarkan hadits Hudzaifah Ibnul Yaman bahwa Nabi membacakan kepada para sahabatnya ayat-ayat mulia.
       
"Artinya : Mereka menjadikan pendeta-pendeta mereka dan ahli-ahli ibadah mereka sebagai rabb-rabb selain Allah" [At-Taubah : 31]
Adi bin Hatim Ath-Tha'i mengatakan : "Demi Alloh, wahai Rasululloh, kami tidak pernah menjadikan mereka sebagai rabb-rabb selain Alloh ". Maka beliau bersabda : " Bukankah jika mereka mengharamkan untuk kalian apa yang halal, maka kalian mengharamkannya ; dan jika mereka menghalalkan untuk kalian perkara yang haram maka kalian menghalalkannya ?" Dia berkata : "Kalau demikian memang terjadi". Maka Rasululloh bersabda : "Itulah berarti kalian menjadikan mereka sebagai rabb-rabb selain Alloh ".
Kami juga yang menyebarkan hadits ini sampai kepada orang-orang lain hingga kemudian mereka mengembangkan dari 'tauhid uluhiyah' atau tauhid ibadah dengan penamaan yang bid'ah dengan tujuan politik. Maka saya tidak berpendapat adanya istilah seperti ini. Kalau saja mereka mengucapkannya hanya dengan pengakuan tanpa mengamalkan konsekuensinya sebagaimana yang aku sebutkan tadi bahwa dia sudah termasuk dalam tauhid ibadah, tetapi kamu lihat mereka beribadah kepada Alloh  sesuai dengan apa yang mereka sepakati.
Dan jika dikatakan sebagaimana yang kita sebut dalam kisah tadi bahwa amal ini menyelisihi sunnah atau menyelisihi ucapan Rasul, dia berkata : "Ini Madzhabku". 'Alhakimiyah bagi Alloh  bukan berarti hanya menentang orang-orang kafir dan musyrik saja, akan tetapi juga menentang orang-orang yang melanggar hukum seperti orang-orang yang beribadah kepada Alloh  tanpa sesuai dengan apa yang datang dari Alloh  dalam kitab-Nya dan dari Nabi-Nya  dalam sunnahnya.
Inilah yang ada dalam benakku tentang jawaban terhadap pertanyaan seperti ini.
[Disalin dari Harian Al-Muslimun, Kuwait, no 639, Jum’at , 25 Dzulhijjah 1417H].

[Fatwa Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin]
Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin, anggota Haiah Kibaril Ulama dan
dosen di Fakultas Syari'ah dan Ushuluddien di kota Qashim, Saudi Arabia, ketika ditanya tentang permasalahan ini (Tauhid Hakimiyah), beliau menjawab :
"Barangsiapa menganggap bahwa ada bagian keempat dalam (pembagian) tauhid yang disebut 'tauhid hakimiyah', maka orang tersebut dianggap 'mubtadi'. Ini adalah pembagian yang diada-adakan dan timbul dari seorang 'jahil' yang tidak paham tentang perkara aqidah dan agama sedikitpun. Yang demikian itu karena 'al-hakimiyah' termasuk dalam tauhid 'rububiyah' dari sisi bahwasanya Alloh  menghukum dengan apa-apa yang Dia kehendaki. Ia juga termasuk dalam tauhid 'uluhiyah' (dari sisi), karena setiap hamba wajib beribadah kepada Alloh  dengan hukum Alloh . Dengan demikian 'hakimiyah' tidak keluar dari tiga jenis tauhid, yaitu tauhid 'rububiyyah' tauhid 'uluhiyah' dan tauhid 'asma wa sifat'. Ketika beliau ditanya tentang cara membantah mereka, beliau menjawab : "Saya membantah mereka dengan bertanya kepada mereka : Apa makna 'al-hakimiyah ?' Tidak lain mereka akan mengatakan : 'inil hukmu illa lillah (tidak ada hukum selain hukum Alloh ). Padahal ini adalah tauhid 'rububiyah' Alloh . Dia adalah 'Ar-Rabb' (Yang Memelihara), 'Al-Khaliq' (Yang Menciptakan), 'Al-Malik' (Yang Memiliki), 'Al-Mudabbir' (Yang Mengatur segala urusan). Adapun tentang maksud dan niat ucapan mereka ini, sesungguhnya kita tidak mengetahuinya, maka kita tidak bisa memastikannya.[Disalin dari Harian Al-Muslimun, Kuwait, no 639, Jum’at , 25 Dzulhijjah 1417H].

[Fatwa Hai'ah Kibaril Ulama' Saudi Arabia]
Syaikh Suhaib Hasan Abdul Ghafar, ketua Jum'iyatul Qur'an Karim di London, mengajukan pertanyaan kepada Hai'ah Kibaril Ulama' di kerajaan Saudi Arabia. Di antara pertanyaannya yaitu : "Beberapa juru dakwah mulai memperhatikan dan menganggap penting sebutan 'Tauhid Hakimiyah' sebagai tambahan dari tiga macam tauhid yang sudah dikenal. Apakah Tauhid Ini termasuk dalam pembagian tauhid yang tiga tersebut ? Haruskah kita menjadikannya bagian tersendiri, sehingga kita wajib mengutamakannya ? Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab telah mengutamakan Tauhid Uluhiyah pada masanya, ketika beliau melihat manusia sangat kurang dalam tauhid ini. Imam Ahmad pada masanya juga mengutamakan Tauhid Asma wa Sifat saat beliau melihat kenyataan bahwa manusia sangat kurang dalam sisi tauhid ini. Adapun sekarang, manusia mulai kurang dalam mengamalkan Tauhid Hakimiyah. Oleh karena itu wajibkah kita utamakan sisi tauhid ini. Benarkah ucapan seperti ini ?”
Hai'ah Kibaril Ulama menjawab pertanyaan tersebut sebagai berikut : Tauhid itu ada tiga macam yaitu ; Tauhid Rububiyah, Tauhid Uluhiyah dan Tauhid Asma wa Sifat. Tidak dijumpai di sana macam yang keempat.
Adapun berhukum dengan apa-apa yang Alloh  turunkan itu termasuk di dalam Tauhid Uluhiyah. Karena hal itu termasuk salah satu macam ibadah kepada Alloh . Setiap macam ibadah termasuk dalam Tauhid Uluhiyah. Oleh karena itu, menjadikan Hakimiyah sebagai macam tauhid tersendiri adalah perbuatan muhdats (bid'ah) yang tidak pernah diucapkan oleh seorang pun dari para imam sepengetahuan kami. Bahkan (-dari tiga macam pembagian tauhid di atas, red-) ada di antara para imam tersebut meringkas pembagian tauhid menjadi dua macam, yaitu Tauhid Al-Ilmi Al- I'Tiqadi (Tauhid dalam Pengenalan dan Penetapan) yaitu Tauhid Rububiyah dan Asma wa Sifat dan yang kedua Tauhid Al-Iradi Ath-Thalabi (Tauhid dalam Meminta dan Menunjukkan) yaitu Tauhid Uluhiyah. Dan sebagian mereka ada yang merincinya menjadi tiga macam sebagaimana telah lewat. Wallohu a'lam.. [Disalin dari Harian Al-Muslimun, Kuwait, no 639, Jum’at , 25 Dzulhijjah 1417H].

[Fatwa Syaikh Abdul Aziz bin Abdillah Alu Syaikh]
Syaikh Abdul Aziz bin Abdillah Alu Syaikh, anggota Haiah Kibarul Ulama di Saudi Arabia dan wakil (sekarang Ketua) Mufti' umum urusan fatwa, berkata tentang permaslahan ini. Ketika seorang muslim memperhatikan kitab Alloh  dan sunnah Rasul-Nya , dia akan mendapati bahwa tauhid ada tiga macam.
[1]. Tauhid rububiyah yang juga diyakini oleh kaum musyrikin seluruhnya dan tidak ada seorangpun yang menentangnya, yaitu keyakinan bahwa Alloh  adalah Rabb dan Khaliq (Pencipta) segala sesuatu. Semua jiwa diciptakan di atas tauhid ini. Bahkan Fir'aun yang berkata : 'Ana Rabbukumul A'la (Aku adalah Rabb kalian yang paling tinggi)' (sesungguhnya juga meyakini akan hal ini -pen). Alloh  berfirman tentang Fir'aun.
"Artinya : Mereka (Fir'aun dan kaummnya) mendustakan (risalah yang dibawa oleh Nabi Musa) karena kedhaliman (syirik) dan kesombongannya. Sedangkan jiwa-jiwa mereka meyakininya" [An-Naml : 14]
[2]. Apa yang ada dalam kitab Allah berupa penjelasan nama-nama Alloh  dan sifat-sifat-Nya dalam firman-Nya Ta'ala.
"Artinya : Alloh memiliki nama-nama yang paling baik, maka berdo'alah kalian kepada Alloh dengannya" [Al-A'raaf : 180]
Begitu pula sifat-sifat Allah di dalam kitab-Nya. Alloh  mensifati diri-Nya dengan beberapa sifat dan menamai diri-Nya dengan beberapa nama. Dan termasuk konsekwensi iman adalah 'engkau mengimani nama-nama Alloh  dan sifat-sifat-Nya'.
[3]. Tauhid yang didakwahkan oleh para rasul kepada umat-umat mereka adalah mengikhlaskan agama hanya untuk Alloh  dan mengesakan Alloh  dalam segala bentuk ibadah.
Adapun tentang 'al-hakimiyah', apabila yang dimaksud adalah berhukum dengan syariat Alloh , maka termasuk konsekwensi tauhid seorang hamba kepada Alloh  dan pemurnian ibadah hanya kepada Alloh  adalah berhukum dengan syari'at-Nya. Barang siapa meyakini bahwa Alloh  itu Satu, Esa, Tunggal, Tempat bergantung, tidak ada sesembahan yang berhak untuk diibadahi selain-Nya, maka wajib atasnya berhukum dengan syariat-Nya dan menerima agama-Nya serta tidak menolak sedikitpun dari perkara itu. Dengan demikian, termasuk beriman kepada Alloh  adalah berhukum dengan syari'at-Nya, melaksanakan perintah-perintah-Nya, meninggalkan dan menjauhi larangan-larangan-Nya serta berhukum dengan syari'at Alloh  dalam setiap keadaan. Jika demikian halnya maksud 'al-hakimiyah' berarti termasuk dalam tauhid uluhiyah dan tidak boleh menjadikan 'al-hakimiyah' sebagai bagian khusus yang dipisahkan karena ia termasuk bagian dalam tauhid ibadah. [Disalin dengan ringkas dari Harian Al-Muslimun, Kuwait, no 639, Jum’at , 25 Dzulhijjah 1417




HATI-HATILAH MEMILIH GURU
-------------------------

Sesungguhnya segala puji hanya milik Alloh; kami memuji-Nya, memohon pertolongan dan ampunan kepada-Nya. Kami berlindung kepada Alloh dari kejahatan jiwa-jiwa kami dan keburukan amal-amal kami. Barangsiapa yang diberi petunjuk oleh Alloh niscaya tiada yang dapat menyesatkannya. Dan barangsiapa yang disesatkan-Nya niscaya tiada yang dapat memberinya petunjuk. Aku bersaksi bahwa tiada sesembahan yang haq melainkan Alloh semata tanpa ada sekutu bagi-Nya. Dan aku bersaksi bahwa Muhammad adalah hamba dan Rosul utusan-Nya. Amma ba’du:
Wasiat dan Pelajaran Berharga Salafus Sholih:
Muhammad bin Sirin Rohimahulloh berkata: “Sesungguhnya ilmu ini adalah agama maka hendaklah kalian meneliti dari siapa kalian mengambil agama kalian.”
Beliau Rohimahulloh juga berkata: “Dahulu mereka (Salafus Sholih) tidak pernah menanyakan tentang isnad (rangkaian para penyampai hadits secara berantai sampai kepada sumbernya). Namun tatkala terjadi fitnah (ketidak jelasan), mereka berkata: “Sebutkan dari siapa saja kalian menukil.” Maka diteliti, jika sumbernya berasal dari Ahlus Sunnah mereka menerima haditsnya. Jika berasal dari Ahli Bid’ah mereka tidak mengambil haditsnya.”
Abuz Zinad Rohimahulloh berkata: “Di Madinah aku bertemu dengan seratus orang (ulama), semua mereka orang yang dipercaya namun hadits tidak diambil dari mereka. Sebab dikatakan bahwa mereka bukan ahlinya.”
Ketiga ucapan ini terdapat dalam Mukaddimah Shahih Muslim, Bab Bayan Annal Isnad Minad Diin.
Dari ketiga riwayat ini bisa diambil beberapa faidah di antaranya:
1. Telitinya para ulama Salaf dalam mengambil ilmu. Padahal mereka adalah para ulama besar. Zaman mereka dekat dengan zaman Rosululloh  dan para sahabat .
2. Mereka selalu mengambil ilmu dari ahlinya. Meskipun seseorang dikenal amanah, namun jika bukan ahlinya maka mereka tetap tidak mengambil ilmu darinya. Lantas bagaimana jika orang tersebut suka berbohong demi sampai kepada tujuannya? Atau mengorbankan Sunnah demi memuluskan niat yang ingin dicapainya?
Karena itu, berangkat dari wasiat dan pelajaran berharga para panutan kita ini kami katakan:
Hati-Hatilah Terhadap Hal-Hal Berikut:
A. Orang yang menggugurkan sebagian Sunnah untuk mencapai tujuan. Dengan alasan untuk berlemah lembut atau maslahat dakwah.
Contohnya:
- Toleran dalam membahas akidah, seperti tidak menyinggung masalah di mana Alloh.
- Ikut terseret dalam amalan bid’ah, seperti memimpin doa setelah selesai acara-acara dan menghadiri Maulid.
Ini menunjukkan kekurang fahamannya tentang Manhaj Dakwah. Adakah maslahat yang lebih besar daripada memperkuat akidah, terutama dalam masalah “Di mana Alloh” yang orang model ini dan kita sama-sama mengetahui penyimpangan mayoritas kaum muslimin di dalamnya? Padahal Rosululloh  menjadikan masalah ini sebagai tolak ukur keimanan seseorang, sebagaimana hadits yang sudah sering kita dengar dan baca. Tentang budak Mu’awiyah bin Hakam As-Sullami  yang ditanya tentang dua hal: Di mana Alloh dan siapakah Muhammad ? Ketika jawabannya Alloh di atas langit dan Muhammad adalah Rosul utusan Alloh, Rosululloh  bersabda:
أَعْتِقْهَا فَإِنَّهَا مُؤْمِنَةٌ
“Merdekakanlah dia, sesungguhnya dia wanita yang beriman.” (Shahih Muslim: 836).
Dan adakah mudharat yang lebih besar dari matinya sebuah Sunnah dan hidupnya sebuah Bid’ah? Jangan sampai ada yang mengganggap bahwa Hikmah dalam Dakwah menuntut untuk selalu toleransi selama itu mendatangkan maslahat dakwah, sebagaimana anggapan sebagian da’i yang bermodal semangat namun ilmu kurang. Sungguh ini merupakan cela dalam bermanhaj. Banyak sekali contoh perkara-perkara yang tidak ditolerir oleh Nabi . Silahkan baca tafsir surat Al-Kafirun. Kemudian ketika orang-orang Quraisy meminta supaya dikhususkan tempat duduk mereka dari kaum muslimin yang lemah-lemah, turunlah ayat 52 surat Al-An’am. Kemudian kisah Abu Bakr  yang tidak mentolerir orang-orang yang menolak untuk membayar zakat, padahal masa itu masa genting di mana banyak bangsa arab yang murtad. Namun ternyata Abu Bakr  tetap memutuskan untuk memerangi mereka. Dan masih banyak lagi contoh dalam Sejarah hidup Nabi  dan para Sahabat . Silahkan dikaji.
B. Enggan menamai diri Salafi dan memfatwakan agar tidak usah menggunakan istilah Salafi, dengan alasan bahwa hal tersebut bisa membuat orang lari dari dakwah. Atau merupakan salah satu bentuk pengkotakan umat.
Apakah istilah Salafi yang merupakan penisbatan diri kepada Salafus Sholih  merupakan suatu hal tercela?
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah Rohimahulloh berkata dalam Majmu’ Fatawa (IV/ 149): “Tidaklah tercela orang yang menampakkan Madzhab Salaf dan menisbatkan diri kepadanya. Bahkan wajib menerima hal itu darinya dengan ittifaq (kesepakatan ulama). Karena sesungguhnya tidaklah Madzhab Salaf melainkan kebenaran.”
Sesungguhnya penisbatan kepada Salaf perkara yang harus, agar jelas mana salafi yang haq dengan yang hanya berkedok di belakangnya. Agar tidak ada kesamaran bagi setiap orang yang mengikuti jejak Salaf. Jika madzhab-madzhab menyimpang dan kelompok-kelompok sesat dan menyesatkan bertaburan di mana-mana, maka Ahlul Haq (orang-orang yang berpegang kepada kebenaran) menyiarkan nisbat mereka kepada Salaf dengan tujuan untuk berlepas diri dari orang-orang yang menyelisihi mereka. Alloh ta’ala berfirman kepada Nabi-Nya  dan kaum mukminin: Jika mereka berpaling Maka Katakanlah kepada mereka: “Saksikanlah, bahwa Kami adalah orang-orang yang berserah diri (kepada Alloh).” (QS. Ali Imron: 64).
Jika orang yang seperti di atas pemikirannya adil, kenapa dia tidak menghapus istilah-istilah seperti Asy-Syafi’iyah, Al-Malikiyah, An-Nahdhiyah dst yang tentunya dia sendiri tidak mungkin mengatakan penisbatan mereka lebih mulia dari penisbatan kepada Salafus Sholih .
Kemudian perlu orang macam ini membuka mata, bahwa Dakwah Sunnah – walhamdulillah – telah menyebar dan telah dikenal orang. Maka masih takutkah Anda memperkenalkan diri wahai saudaraku?
C. Orang yang tidak menghargai orang-orang berilmu.
Rosululloh  bersabda:
لَيْسَ مِنَّا مَنْ لَمْ يُجِلَّ كَبِيْرَنَا وَيَرْحَمْ صَغِيْرَنَا وَيَعْرِفْ لِعَالِمِنَا حَقَّهُ
“Bukan termasuk golongan kami orang yang tidak menghormati orang tua di antara kami, tidak mengasihi anak kecil di antara kami dan tidak mengenal hak orang alim di antara kami.” (HR. Al-Hakim dengan sanad yang hasan. Takhrij At-Targhib: I/ 46).
‘Aun bin Abdillah Rohimahulloh berkata: “Dikatakan bahwa jika engkau bisa hendaklah engkau menjadi orang alim. Jika tidak bisa maka jadilah penuntut ilmu. Jika engkau bukan penuntut ilmu maka cintailah mereka (ulama dan penuntut ilmu). Jika engkau tidak mencintai mereka maka janganlah membenci mereka.” (Diriwayatkan oleh Abu Khaitsamah An-Nasa’i dalam Kitabul Ilmi, Atsar nomor 2).
Namun hadirlah segelintir orang di zaman ini memperkeruh kejernihan hubungan murid dengan gurunya. Mereka menyebut ustadz-ustadz dengan julukan-julukan yang buruk, atau sifat-sifat yang buruk, atau dengan mengatakan “Si Fulan” atau dalam bahasa lomboknya “Lo Fulan” atau dengan hanya menyebut namanya saja dengan maksud merendahkan. Padahal dari ustadz-ustadz tersebutlah orang-orang ini mengenal Sunnah. Wallohul Musta’an.
D. Orang yang menyerukan tatsabbut (meniliti) ketika ada seorang dari kalangan Ahlul Ilmi memberikan kritik ataupun memberikan peringatan kepada umat akan suatu kesalahan yang berkaitan dengan seseorang atau kelompok.
Ucapan ini (ajakan untuk tatsabbut) merupakan “Ucapan yang haq namun dimaksudkan untuk kebatilan.” Sebab ucapan ini mengandung beberapa kerusakan di antaranya:
1. Menolak berita yang disampaikan oleh seorang yang terpercaya meskipun dari kalangan Ahlul Ilmi. Padahal kaidah mengatakan: “Hukum asal seorang ulama adalah ‘adil (tidak fasik).” Yang artinya apa yang mereka sampaikan bisa dipercaya.berdasarkan sabda Rosululloh :
يَحْمِلُ هَذَا الدِّيْنَ مِنْ كُلِّ خَلْفٍ عُدُوْلُهُ
“Yang membawa agama ini dari setiap generasi adalah orang-orang yang adil (tidak fasik).” (Hadits hasan lighairihi riwayat Al-Uqaili dalam Dhu’afa’ul Kabir: I/ 26 dan Ibnu Abi Khuzaimah dalam Al-Jarh Wat Ta’dil: II/ 17. Lihat: Basha’ir Dzawis Syaraf).
2. Menolak Khabar Ahad (berita yang hanya disampaikan oleh satu orang saja).
3. Pada prakteknya, para penyeru tatsabbut ini tidak hanya menolak berita satu orang, namun berita banyak orang dari kalangan Ahlul Ilmi. Tidakkah ini minimal menunjukkan ketidak percayaan kepada Ahlul Ilmi? Lantas siapakah yang bisa dipercaya jika mereka tidak bisa dipercaya?
4. Menimbulkan keraguan dan ketidak percayaan umat terhadap para ulama dan penuntut ilmu yang menyuarakan kebenaran.
E. Orang yang menjauhi para ulama dan penuntut ilmu senior.
Rosululloh  bersabda:
اَلْبَرَكَةُ مَعَ اْلأَكَابِرِ
“Keberkahan itu bersama orang-orang tua.” (Mauridh Azh-Zham’an: I/ 473).
Akibatnya, dia mengambil ilmu bukan kepada ahlinya. Padahal Rosululloh  telah bersabda:
إِنَّ مِنْ أَشْرَاطِ السَّاعَةِ أَنْ يُلْتَمَسَ الْعِلْمُ عِنْدَ اْلأَصَاغِرِ
“Di antara tanda-tanda hari kiamat adalah menuntut ilmu dari ahli bid’ah.” (Silsilah Hadits Shahih nomor 695).
F. Orang yang tetap menjalin hubungan dengan sosok, lembaga, yayasan atau lainnya yang telah diingatkan oleh para Ahlul Ilmi untuk dihindari. Dan malah membelanya. Penyebab dari hal ini adalah point C, D dan E. Terlebih jika ada kesombongan dan niat yang buruk. Wal ‘iyaadzubillah.
G. Orang yang tidak pernah punya pendirian tetap. Kemarin menentang partai namun sekarang ikut berpartai ria. Kemarin mencela sebuah kelompok yang dikenal menyimpang, namun hari ini bergandengan tangan. Kesimpulannya, sikap berubah sesuai selera dan keadaan. Padahal salah satu tanda pengikut Manhaj Yang Haq adalah tegak di atas manhajnya, baik dalam keadaan senang, susah, giat, terpaksa ataupun ketika hak-haknya dilalaikan. Berbeda dengan orang yang tidak memiliki pijakan dan asas yang tetap ataupun permanen. Terkadang dia menyeleweng ketika susah, dan terkadang mendengar dan taat ketika lapang. Berdasarkan sabda Rosululloh :
عَلَيْكَ بِالسَّمْعِ وَ الطَّاعَةِ فِي عُسْرِكَ وَ يُسْرِكَ وَ مَنْشَطِكَ وَ مَكْرَهِكَ وَ أَثَرَةٍ عَلَيْكَ
“Wajib atasmu untuk mendengar dan taat (kepada penguasa). Baik pada masa sulitmu atau pada masa senangmu. Baik pada waktu engkau giat maupun tidak senang. Dan ketika pemimpinmu lebih mementingkan dirinya dan melupakan hakmu.” (Diriwayatkan oleh Muslim: 3419).
Seruan:
Alloh Ta’ala berfirman:
       
Maka Tanyakanlah olehmu kepada orang-orang yang berilmu, jika kamu tiada mengetahui. (QS. Al-Anbiya’: 7).
Maka bagi setiap orang yang belum mengetahui hakikat sebuah perkara yang berkaitan dengan agamanya, atau masih ragu di dalamnya, hendaklah dia segera bertanya kepada orang yang berilmu. Semoga Alloh memberikan kita semua taufik untuk membedakan kebenaran dengan kebatilan.
Daftar Pustaka:
1. Shahih Muslim Bisyarhin Nawawi.
2. Al-Ajwibah An-Nafi’ah ‘An As’ilatil Manahij Al-Jadidah. Syaikh Shalih Al-Fauzan.
3. At-Tatsabbut Fis Syari’ah Al-Islamiyah, Syaikh Rabi’ bin Hadi Al-Madkholi.
4. Maktabah Syamilah: Untuk pencarian hadits.
5. Dan rujukan-rujukan lainnya.





KETINGGIAN ALLOH DAN DALIL-DALILNYA
-----------------------------------

Segala puji bagi Alloh Rabb semesta alam dan semoga shalawat dan salam tercurahkan atas Nabi Muhammad, amma ba’du;


Ketinggian Alloh ('uluw) adalah salah satu sifat dzatiah (yaitu sifat yang tetap pada dzat Alloh). Sifat ini terbagi menjadi dua:
Pertama: Ketinggian sifat. Artinya: tidak ada satu sifat sempurnapun kecuali Alloh memi-liki sifat yang lebih tinggi dan sempurna darinya.
Kedua: Ketinggian dzat. Artinya bahwa Alloh tinggi dengan dzat-Nya di atas sege-nap makhluk-Nya.
Hal ini disyaratkan oleh Al-Qur'an, As-Sunnah, Ijma', akal dan fitrah.
Sesungguhnya Al-Qur'an dan As-Sunnah penuh dengan dalil yang secara jelas dan tegas menetapkan ketinggian Alloh dengan dzat-Nya di atas makhluk-Nya. Di antaranya:
Terkadang menyebutkan ketinggian, kebe-radaan di atas, istiwa' (bersemayam) di atas Asry dan keberadaan-Nya di atas langit. Se-perti firman-Nya:
Dan Alloh Maha Tinggi lagi Maha Besar. (Al-Baqarah: 255).
Sucikanlah nama Rabbmu Yang Maha Tinggi. (Al-A'laa: 1).
Mereka takut kepada Tuhan mereka yang di atas mereka. (An-Nahl: 50).
Alloh Yang Maha Pemurah, yang bersemayam di atas Arsy. (Thaahaa: 5).
Apakah kalian merasa aman terhadap Alloh yang di langit bahwa Dia akan menjungkir balikkan bumi bersama kalian? (Al-Mulk: 16).
Adapun dari As-Sunnah:
وَ الْعَرْشُ فَوْقَ ذَلِكَ وَ اللهُ فَوْقَ الْعَرْشِ
"Dan Arsy berada di atasnya, dan Alloh ber-ada diatas Arsy."
أَلاَ تَأْمَنُوْنِيْ وَ أَنَا أَمِيْنُ مَنْ فِي السَّمَاءِ
“Tidakkah kalian mempercayaiku aku se-dang aku adalah kepercayaan Alloh yang ada di atas langit?"
Terkadang menyebutkan naik dan terang-katnya sesuatu menuju-Nya, seperti::
Kepada-Nya lah naik perkataan-perkataan yang baik (Faathir: 10).
Malaikat-malaikat dan jibril naik (menghadap) kepada Alloh. (Al-Ma’arij: 4).
Tetapi, Alloh telah mengangkatnya (Isa) kepadaNya. (An-Nisa': 158).
Dan sabda Nabi :
وَ لاَ يَصْعَدُ إِلَى اللهِ إِلاَّ الطَّيِّبُ
“Tidaklah naik menuju Alloh kecuali hal yang baik.”
ثُمَّ يَعْرُجُ الَّذِيْنَ بَاتُوْا فِيْكُمْ إِلَى رَبِّهِمْ
“Kemudian mereka yang telah menginap di te ngah-tengah kalian naik menuju Rabb mereka.”
يُرْفَعُ إِلَيْهِ عَمَلُ اللَّيْلِ قَبْلَ عَمَلِ النَّهَارِ وَ عَمَلُ النَّهَارِ قَبْلَ عَمَلِ اللَّيْلِ
“Diangkat kepadaNya amalan malam hari sebelum amalan siang hari, dan amalan siang hari sebelum amalan malam hari.” [Diriwayatkan oleh Ahmad].
Terkadang menyebutkan turunnya sesuatu dariNya, dan lain-lain. Seperti firman-Nya:
(Al-Qur’an) Diturunkan dari Rabb semesta alam. (Al-Waqi'ah: 80).
Katakanlah: “Ruhul Qudus (jibril) menurunkan Al-Qur'an itu dari Rabbmu.” (An-Nahl: 102).
Dan sabda Nabi :
يَنْزِلُ رَبُّنَا إِلَى السَّمَاءِ الدُّنْيَا حِيْنَ يَبْقَى ثُلُثُ اللَّيْلِ اْلآخِرِ
“Rabb kami turun ke langit dunia ketika tersisa sepertiga malam terakhir.”
Dan masih banyak lagi ayat-ayat serta hadits-hadits lainnya yang mutawatir dari Nabi .
Adapun ijma': Sesungguhnya para sahabat, Tabi'in yang mengikuti mereka dengan ke baikan serta para imam Ahli Sunnah berse pakat bahwa Alloh Ta'ala berada di atas la ngit-Nya, di atas Arsy-Nya. Banyak sekali ucapan mereka tentang hal ini. Al-Auza'i ber kata: “Kami dan Tabi'in sepakat berkata: “Se-sungguhnya Alloh Ta'ala dzikruh berada di atas Arsy-Nya, dan kami mengimani sifat-si fat yang tercantum dalam As-Sunnah.”
Al-Auza'i mengucapkan hal ini setelah mun culnya Mazhab Jahmiyah yang meniadakan sifat Alloh dan ketinggian-Nya; agar orang-orang mengetahui bahwa Mazhab Salaf ber lawanan dengan Mazhab Jahmiyah.
Tidak seorangpun dari kalangan Salaf pernah mengatakan bahwa Alloh tidak di atas langit. Tidak pula mengatakan bahwa Alloh dengan dzat-Nya berada di setiap tempat. Tidak pula mengatakan bahwa semua tempat dibanding kan dengan Alloh adalah sama. Tidak pula mengatakan bahwa Alloh tidak berada di da-lam atau luar alam, tidak bersambung dan ti-dak terputus. Dan tidak pula mengatakan bahwasanya tidak diperbolehkan mengi-syaratkan dengan anggota tubuh ke arah Alloh, bahkan sebaliknya makhluk yang pa-ling mengenal-Nya (Rasulullah) telah mengi-syaratkan ke arah-Nya ketika Haji Wada' pada hari Arafah. Beliau mengangkat jari te lunjuknya ke arah langit dan berkata: "Ya Alloh, saksikanlah." Mempersaksikan Rabb-nya atas ikrar umatnya bahwa dia telah me-nyampaikan risalah.
Adapun akal: Sesungguhnya setiap akal se-hat mingisyaratkan wajibnya ketinggian Alloh dengan dzat-Nya di atas makhluk-Nya, dari dua sisi:
Pertama: 'Uluw (Tinggi) adalah sifat sem purna, dan Alloh Ta'aala wajib memiliki ke-sempurnaan mutlak dari segala segi, sehing-ga wajib menetapkan sifat 'uluw bagi Alloh.
Kedua: Lawan dari tinggi adalah rendah, dan rendah adalah sifat kekurangan, sedang Alloh suci dari segala sifat kekurangan, se-hingga wajib mensucikan-Nya dari sifat ren-dah dan menetapkan lawannya yaitu tinggi.
Adapun fitrah: Sesungguhnya Alloh Ta'aala memberi fitrah kepada seluruh makhluk, baik yang arab maupun non arab, bahkan binatang, untuk beriman kepada-Nya dan mengimani ketinggian-Nya. Tidak seorang hambapun menghaturkan do'a atau beri badah kepada Rabbnya melainkan dia mera-sakan adanya keharusan untuk memohon ke atas dan menghadapkan hatinya menuju la-ngit, tidak melirik kekiri dan ke kanan. Tidaklah menyimpang dari konsekuensi fit-rah ini melainkan orang yang dipalingkan oleh syaitan dan hawa nafsu.
Pernah Abul Ma'ali Al-Juwaini berkata da-lam majlisnya: "Alloh telah ada dan tidak ada sesuatu apapun, dan Dia sekarang tetap berada di atas tempat-Nya yang dulu." (Dia mengungkapkan pengingkaran atas berse-mayamnya Alloh di atas Arsy). Maka Abu Ja'far Al-Hamadani berkata: "Tidak usah me-nyinggung Arsy – karena hal itu ditetapkan oleh nash – tapi tolong beritahu kami tentang keharusan yang kami rasakan dalam hati. Tidak ada seorang berakalpun berkata: 'Yaa Alloh' kecuali dia merasakan dalam hatinya keharusan untuk memohon ke atas, tidak melirik ke kiri atau ke kanan. Bagaimana kami menepis hal ini?" Abul Ma'ali lantas berseru sambil menampar wajahnya sendiri, katanya: "Al-Hamadani telah membuatku bi ngung, Al-Hamadani membuatku bingung.”
Adapun firman Alloh Ta'ala yang berbunyi:
         
Dan Dia-lah Alloh, baik di langit maupun di bumi; Dia mengetahui apa yang kalian rahasiakan dan apa yang kalian lahirkan. (Al-An'am: 3).
Dan firman-Nya:
            
Dan Dia-lah Ilah di langit dan Ilah di bumi, dan Dia-lah Yang Maha Bijaksana lagi Maha Mengetahui. (Az-Zukhruf: 84).
(Kedua ayat ini) tidaklah memiliki makna bahwa Alloh berada di bumi sebagaimana Dia berada di atas langit. Barang siapa me-miliki anggapan seperti ini atau menukilnya dari salah seorang Salaf maka dia telah keliru dengan anggapannya dan berdusta dengan penukilannya.
Makna ayat pertama adalah: Bahwa Alloh di sembah di langit dan di bumi. Seluruh peng huni langit dan bumi menghamba kepada-Nya dan menyembah-Nya. Atau bisa pula dimaknakan: Alloh berada di atas langit, ke-mudian Dia memulai kalimat baru dengan firman-Nya:
Dan di bumi Dia mengetahui apa yang kalian sembunyikan dan apa yang kalian lahirkan. (Al-An'am: 3).
Artinya: Alloh mengetahui apa yang kalian sembunyikan dan apa yang kalian tampakkan di bumi, sesungguhnya keting-gian-Nya di atas langit tidaklah mengha langi-Nya untuk mengetahui apa yang ka-lian sembunyikan dan apa yang tampakkan di bumi.
Adapun makna ayat kedua: Bahwa Alloh adalah Ilah (yang disembah) di langit dan Ilah di bumi. Uluhiyah-Nya tetap di langit dan di bumi, meskipun Dia berada di atas la ngit. Sama artinya dengan ucapan seseorang: "Fulan adalah amir (pemimpin) di Makkah dan amir di Madinah; yaitu kepemim pinannya tetap di dua daerah tersebut, meski pun dia berada di salah satu dari kedua dae rah tersebut. Ini adalah ungkapan yang be-nar, baik di timbang dari segi bahasa mau pun ‘urfi. WAllohu a'lam.
Turunnya Alloh Ke Langit Dunia:
Dalam Shahihain, dari Abu Hurairah  di sebutkan bahwa Nabi  bersabda:
يَنْزِلُ رَبُّنَا إِلَى السَّمَاءِ الدُّنْيَا حِيْنَ يَبْقَى ثُلُثُ اللَّيْلِ اْلآخِرِ فَيَقُوْلُ مَنْ يَدْعُوْنِيْ فَأَسْتَجِيْبَ لَهُ مَنْ يَسْأَلُنِيْ فَأُعْطِيَهُ مَنْ يَسْتَغْفِرُنِيْ فَأَغْفِرَ لَهُ
"Rabb kami turun ke langit dunia ketika sepertiga malam terkhir dan berkata "Siapakah yang berdoa kepada-Ku niscaya Aku kabulkan? Siapakah yang meminta pada-Ku niscaya Aku penuhi? Siapakah yang memohon ampun kepada-Ku niscaya Aku ampuni?"
Hadits ini telah diriwayatkan dari Nabi  oleh sekitar dua puluh delapan orang sha-habat  dan Ahlus Sunnah Wal Jama’ah se-pakat untuk menerimanya.
Turunnya Alloh ke langit dunia adalah salah satu sifat fi'liyah yang berhubungan dengan kehendak dan hikmah-Nya. Turunnya Alloh adalah hakikat (bukan majaz), sesuai dengan keagungan dan kebesaran-Nya. Tidak dibe-narkan merubah maknanya menjadi: Pe rintah-Nya turun, rahmat-Nya turun atau sa-lah satu dan malaikat-Nya turun. Hal ini ba til dilihat dari beberapa sisi:
Pertama: Penafsiran itu menyelisihi konteks hadist, karena Nabi  menyadarkan "Turun" kepada Alloh. Sesungguhnya sesuatu itu ha nya disandarkan kepada pelaku yang me nimbulkannya atau melakukannya. Sehingga jika dialihkan kepada selain pelakunya, hal tersebut merupakan penyelewengan yang menyelisisi hukum asal.
Kedua: Menafsirkannya dengan makna ter sebut membuat kesimpulan bahwa ada ba gian yang terbuang dari hadits tersebut. Se dang hukum asalnya tidak ada yang ter buang alias lengkap.
Ketiga: Turunnya perintah-Nya atau rahmat-Nya tidak terbatas pada bagian malam ter sebut saja, namun perintah dan rahmat-Nya turun setiap waktu.
Jika ada yang berkata: Maksudnya adalah pe rintah khusus dan rahmat khusus, sehingga tidak mesti turun setiap waktu.
Jawabannya: Baik, anggap saja asumsi dan ta’wil ini benar. Namun coba perhatikan, hadits di atas mengisyaratkan bahwa batas turunnya adalah langit dunia (langit per-tama), lantas faidah apakah yang kita dapat kan dari turunnya rahmat ke langit dunia sampai-sampai Nabi  mengabarkannya ke pada kita?!
Keempat: Hadist di atas mengindikasikan bahwa yang turun tersebut berucap: "Siapa yang berdo'a kepada-Ku akan Aku penuhi? Siapa yang memohon ampun kepada-Ku akan Aku ampuni?” Hal ini tidak mungkin di ucapakan oleh seorangpun kecuali Alloh .
Menggabungkan Antara Nash-Nash Ten tang Ketinggian Alloh Dengan Dzat-Nya Dengan Nash-Nash Tentang Turunnya Alloh Ke Langit Dunia:
Ketinggian Alloh adalah salah sifat dzatiyah-Nya yang tidak mungkin terpisah kan dari-Nya. Sifat ini tidaklah menafikan kandungan nash-nash tentang turunnya Alloh ke langit dunia. Penyatuan antara ke-dua sifat ini dapat dilakukan sebagai berikut:
Pertama: Bahwa nash-nash (Al-Qur'an dan As-Sunnah)lah yang menyatukan antara keduanya, sedang nash-nash (Al-Qur'an dan As-Sunnah) tidaklah mengandung suatu hal yang mustahil.
Kedua: Bahwasanya Alloh, tidak ada suatu apapun yang menyamai-Nya dalam seluruh sifat-Nya, sehingga turunnya Alloh tidak sama seperti turunnya makhluk. Karenanya tidak bisa dikatakan bahwa hal ini menafikan ketinggian-Nya serta membatalkannya. Walllaahu a'alam.
(Dinukil dari: Fathu Rabbil Bariyyah Bitalkhis Al-Hamawiyah karya Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin rahimahulloh).





MENGHIDUPKAN KASIH SAYANG…
--------------------------

Ungkapan rasa gembira dan tasbih patut kita utarakan dengan semakin banyaknya saudara-saudara kita yang mulai kembali berusaha meniti jalan kebenaran. Semakin membanjirnya majelis-majelis ilmu yang kita lihat di beberapa tempat adalah salah satu bukti nyata semakin banyaknya para penuntut ilmu.
Mereka para penuntut ilmu itu berusaha terus-menerus dan begitu semangatnya dalam menuntut ilmu. Akan tetapi hal yang perlu kita ingatkan adalah agar mereka bersemangat juga dalam mengamalkannya, karena pada hari ini betapa banyak sekali orang yang berdakwah akan tetapi sangat sedikit sekali orang yang benar-benar mancurahkan perhatian untuk mengamalkannya. Salah satu contoh ada segelintir orang yang dengan bermodalkan semangat untuk masuk ke sebuah sekolah dia tidak malu untuk memalsukan berkas-berkasnya dengan merubah tanggal lahir menjadi lebih muda agar memenuhi syarat-syarat penerimaan siswa/ mahasiswa.
Dari kenyataan yang ada ini, ada hal yang perlu kami tekankan dan ingatkan terus menerus, khususnya pada diri kami dan saudara-saudara kami agar kita jangan melupakan suatu hal yang penting dan merupakan kewajiban, yaitu mengamalkan ilmu disamping kita mempelajari dan mendakwahkannya, yakni jangan sampai semangat menuntut ilmu dan berdakwah dapat mengalahkan semangat dalam mengamalkan ilmu, karena Alloh  telah mengancam orang-orang yang berilmu dan berdakwah akan tetapi tidak mengamalkannya.
Alloh  berfirman:
                  
“Wahai orang-orang yang beriman, kenapakah kamu mengatakan sesuatu yang tidak kamu kerjakan? Amat besar kebencian di sisi Allah bahwa kamu mengatakan apa-apa
yang tidak kamu kerjakan”. [QS. Ash-Shof: 2].
Berpijak dari kenyataan ini, maka kita juga patut bersedih karena sebagian para penuntut ilmu kita jumpai sudah bertahun-tahun menuntut ilmu akan tetapi mereka bakhil untuk meneteskan air matanya karena Alloh , mereka bakhil dalam mengamalkan ilmunya, mereka bakhil untuk mengunjungi saudaranya, bahkan hal yang sangat menyedihkan ketika kita akan bawakan perkataan para salaf tentang ditinggalkannya sunnah-sunnah mereka langsung menolak tidak mau mendengar bahkan menolak untuk berkunjung. Maka berhati-hatilah orang yang meremehkan dan menyelisihi syari’at akan ditimpa oleh fitnah dan adzab yang pedih.
Alloh  berfirman:
            
“Maka hendaklah orang-orang yang menyalahi perintah-Nya takut akan ditimpa cobaan atau ditimpa azab yang pedih”. [QS. An-Nur: 63].
Nabi  pernah bersabda tatkala menyebutkan tentang larangan meremehkan sesuatupun dari syari’at walaupun hal yang kita anggap kecil di mata kita.
عن أَبِى ذَرٍّ قَالَ قَالَ لِىَ النَّبِىُّ -صلى الله عليه وسلم- (( لاَ تَحْقِرَنَّ مِنَ الْمَعْرُوفِ شَيْئًا وَلَوْ أَنْ تَلْقَى أَخَاكَ بِوَجْهٍ طَلْقٍ )).
Dari Abu Dzar berkata; Nabi  pernah berkata kepadaku: “Janganlah kamu meremehkan sesuatupun dari kebaikan, walaupun dengan kamu menjumpai saudaramu dengan wajah yang ceria”. [HR. Muslim 8/37 no. 6857, At-Tirmidzi 4/274 no. 1833, Ahmad 3/344 no. 14751, dan dishohihkan oleh Syaikh Al-Albani di dalam Shohih Al-Jami’ no. 7634].
Bukankah kita pernah mendengar sebuah pepatah yang mengatakan Tak kenal maka tak sayang ? maka demikianlah hal dan kenyataannya apabila kita tidak saling kenal antara satu dan lainnya. Bukankah Alloh  dan RasulNya  menganjurkan kepada kita semua untuk saling berkasih sayang? Berkasih sayang kepada siapa saja; kepada orang Islam ataupun kafir, yang berilmu ataupun awam, kaya ataupun miskin, bahkan kepada hewanpun seperti kambing kita dianjurkan untuk mengasihinya.
Nabi  bersabda:
)) وَ الشَّاةُ إِنْ رَحِمْتَها رَحِمَكَ اللهُ ((
“Seekor kambing apabila kamu menyayanginya, maka Alloh akan menyayangimu”. [HR. Bukhori di dalam Al-Adabul Mufrod no. 373, Ath-Thobroni di dalam Al-Mu’jamus Shogir hal. 60, Ahmad 3/436, 5/34, Al-Hakim 3/586, Ibnu ‘Adi di dalam Al-Kamil 259/2, Abu Nu’aim di dalam Al-Hilyah 2/302, dan Ibnu ‘Asakir 6/257/1. dishohihkan oleh Syaikh Al-Albani di dalam Silsilah Al-Ahadits Ash-Shohihah 1/33 no. 26].
Allohumma, perhatikanlah hadits di atas, alangkah luas dan dalamnya ilmu di dalam Islam ini dan alangkah banyaknya pahala di dalamnya. Maka seorang Ahlussunnah ketika mereka mendengar sebuah hadits, mereka berusaha untuk mengamalkan sesuai kemampuannya dan tidak meremehkan sebuah haditspun ketika riwayat dan tafsirnya telah benar dan jelas serta tidak adanya pertentangan dengan riwayat yang lain.
Maka apabila kasih sayang itu tidak dapat terwujud kecuali dengan kita menyambung tali silaturahmi maka wajib hukumnya untuk kita berkunjung kepada saudara kita.
Para ulama mengatakan:
))مَا لاَ يَتِمُّ الوَاجِبُ إِلاَّ بِهِ فَهُوَ وَاجِبٌ((
“Apabila suatu yang wajib tidak dapat terwujud(sempurna) kecuali dengan suatu cara, maka cara itu dihukumi wajib pula”. [dilihat di dalam Irsyadul Fuhul ila Tahqiqil haq min ‘Ilmil Ushul 2/194 oleh Imam As-Syaukani, Al-Asybah Wan Nazhoir 2/90 oleh Imam As-Subki, Al-Bahrul Muhith 1/192 oleh Az-Zarkasyi, Risalah Jami’ah fi Ushulil Fiqh 1/18 oleh Syaikh Abdur Rahman As-Sa’di, At-Taqlid wal Ifta` wal Istifta` 1/155 oleh Syaikh Abdul Aziz Ar-Rojihi, dll]
Ketahuilah dan ingatlah bahwa Nabi kita yang mulia  pernah mengeluarkan sebuah perkataan yang patut kita camkan.
عَنْ أَبِى هُرَيْرَةَ عَنِ النَّبِىِّ -صلى الله عليه وسلم- )) أَنَّ رَجُلاً زَارَ أَخًا لَهُ فِى قَرْيَةٍ أُخْرَى فَأَرْصَدَ اللَّهُ لَهُ عَلَى مَدْرَجَتِهِ مَلَكًا فَلَمَّا أَتَى عَلَيْهِ قَالَ أَيْنَ تُرِيدُ قَالَ أُرِيدُ أَخًا لِى فِى هَذِهِ الْقَرْيَةِ. قَالَ هَلْ لَكَ عَلَيْهِ مِنْ نِعْمَةٍ تَرُبُّهَا قَالَ لاَ غَيْرَ أَنِّى أَحْبَبْتُهُ فِى اللَّهِ عَزَّ وَجَلَّ. قَالَ فَإِنِّى رَسُولُ اللَّهِ إِلَيْكَ بِأَنَّ اللَّهَ قَدْ أَحَبَّكَ كَمَا أَحْبَبْتَهُ فِيهِ ((.
Dari Abu Hurairoh , dari Nabi : “Bahwasanya ada seorang yang mengunjungi saudaranya di sebuah desa yang lain, maka Alloh mengutus seorang malaikat kepadanya di jalannya. Maka malaikat itu datang kepadanya dan berkata; ‘hendak kemanakah kamu?’ Orang itu menjawab; ‘Saya hendak menuju saudaraku di desa ini. Malaikat berkata; ‘apakah kamu memiliki suatu kesenangan untuknya yang kamu jaga?’ orang itu berkata; ‘Tidak, melainkan Saya hanya mencintainya karena Alloh ‘Azza wa Jalla. Malaikat itu berkata; ‘Ketahuilah bahwasanya Saya ini diutus oleh Alloh untuk menemuimu dan bahwasanya Alloh sungguh mencintaimu sebagaimana kamu mencintai saudaramu”. [HR. Muslim 8/12 no. 6714, Ahmad 2/408 no. 9280, Ibnu Hibban 2/331 no. 572. Dishohihkan oleh Syaikh Al-Albani di dalam Shohihut Targib wat Tarhib 2/348 no. 2577 dan di dalam Misykatul Mashobih 3/85 no. 5007].
Maka dari hadits ini dapat kita ambil pelajaran diantaranya; pertama, bahwasanya disyari’atkannya bagi kita untuk berziarah mengunjungi teman atau saudara, kedua; ikhlas di dalam berkunjung kepada teman atau saudara semata-mata karena Alloh  dan bukan untuk kepentingan-kepentingan dunia lainnya, karena kita jumpai sebagian para penuntut ilmu mereka mengadakan safari dakwah untuk suatu keperluan bukan tujuan untuk berziarah.
Alloh  berfirman di dalam hadits qudsi:
(( وَجَبَتْ مَحَبَّتِي لِلْمُتَحَابِّيْنَ فِيَّ ، وَالمُتَجَالِسِيْنَ فِيَّ ، وَالمُتَبَاذِلِيْنَ فِيَّ ،وَالمُتَزَاوِرِيْنَ فِيَّ ))
“KecintaanKu wajib diperoleh oleh; orang-orang yang saling mencintai karena Aku, orang-orang yang duduk bermajelis karena Aku, orang-orang yang saling berkorban(dengan jiwa raganya) karena Aku, dan orang-orang yang saling mengunjungi karena Aku”. [HR. Ahmad 5/233/274, Ath-Thobroni di dalam Al-Mu’jamul Kabir 20/80,81, Al-Hakim Di dalam Al-Mustadrok 4/186, Ibnu Hibban di dalam Shohih nya 2/335 no. 575. Dishohihkan oleh Syaikh Al-Albani di dalam Shohih Al-Jami’ no. 4331]
Maka seharusnya bagi seorang yang benar-benar beriman kepada Alloh  dan hari akhir memperhatikan hal yang sangat mulia ini dengan menyisihkan sedikit kesibukannya dan menjauhkan diri dari kebakhilan akan waktunya maka dari itu kalau tidak mampu mengunjungi saudara setiap tiga hari, maka hendaklah setiap pekan, atau setiap bulan, setiap tahun dan seterusnya atau apabila tidak bisa maka sekali seumur hidup atau kalau tidak bisa maka tunggulah sampai malaikat maut mengunjungimu untuk menjemput ajalmu.
Perhatikanlah para salaf mereka dapat menyisihkan waktu untuk berkunjung kepada saudaranya walaupun harus menempuh jarak yang jauh sekalipun karena boleh jadi kebaikan yang ada pada saudaranya belum didengarnya bahkan sampai-sampai ada sahabat yang jika belum mendengarkan hadits atau kebaikan dari saudaranya mengatakan; “Saya khawatir apabila saya meninggal lebih dahulu atau kamu yang meninggal”. [dilihat di dalam Al-Adabul Mufrod 1/337 oleh Imam Bukhori]
Sebuah contoh tauladan sebagaimana yang dilakukan oleh Imam besar, Imam yang tawadhu’, Imam Ahlissunah, Imam Ahmad tatkala safar dari Baghdad menuju daerah yang jauh bernama Ar-Ray hanya sekedar untuk ingin mengunjungi seseorang yang shaleh, zuhud, dan mengikuti kebenaran.
Hendaklah kita saling menyambung komunikasi dan tali silaturahmi dengan memperhatikan adab-adab yang telah diajarkan oleh Islam serta menjauhkan hal-hal yang dapat menimbulkan adanya permusuhan, memutus tali persaudaraan, kebencian, dan saling membelakangi.
Nabi  bersabda:
((لاَ تُقَاطِعُوا، وَلاَ تَدَابَرُوا، وَلاَ تَبَاغَضُوا، وَلاَ تَحَاسَدُوا، وَكُونُوا إِخْوَانًا كَمَا أَمَرَكُمُ اللهُ((
“Janganlah kalian saling memutus, janganlah kalian saling membelakangi, janganlah kalian saling membenci, janganlah kalian dengki, dan jadilah kalian bersaudara sebagaimana yang diperintahkan oleh Alloh”. [HR. Muslim 2563].
Wallohu a’lam. (Riza Firmansyah Abu Abdillah).





SHOLAT-SHOLAT SUNNAH YANG TERABAIKAN (2)
----------------------------------------

Seiring dengan jauhnya kita dari zaman Rosullulloh shallallohu 'alaihi wa sallam, ditambah lagi dengan bermunculannya para da’i-da’i karbitan bersama para mubalighnya yang berusaha keras untuk menyebarkan kesesatan dan kebid’ahannya di tengah-tengah umat islam, sehingga silau dan kaburlah bagi sebagian kaum muslimim tentang sunnah Nabinya shallallohu 'alaihi wa sallam akibat dari noda-noda yang mereka taburkan. Karena tidaklah muncul suatu bid’ah di muka bumi ini melainkan akan mematikan sunnah itu sendiri. Dari Ibnu Abbas radhiyallohu'anhuma mengatakan: “tidaklah datang kepada manusia suatu masa melainkan mereka akan membuat suatu kebid’ahan dan mematikan sunnah sehingga bid’ah menjadi hidup, sunnahpun menjadi mati” (diriwayatkan oleh Ibnu batthoh dalam al-Ibanah 1/178, al-Imam Al-lalika’I dalam Usul ‘Itiqod 1/92 dan disebutkan oleh imam at-Turtusi dalam al-Hawadits wal bida’ hal:117. Lihat al-La’ali al-Mansyuroh fi bayani ba’dhissunanil mahjuroh hal: 16, al-‘Itisom 1/33 )
Oleh karena itulah pada edisi kali ini kami mengetengahkan tema ini sebagai upaya menghidupkan kembali sunnah-sunnah yang telah banyak di tinggalkan dan dilalaikan oleh kebanyakan kaum muslimin, sekaligus tulisan ini sebagai kelanjutan apa yang pernah kami tulis pada tahun sebelumnya di buletin yang tercinta ini. Adapun diantara sholat-sholat sunnah yang banyak ditinggalkan yaitu:
Sholat Fajar.
Sholat fajar memiliki keutamaan yang sangat agung. Rosululloh shallallohu 'alaihi wa sallam bersabda: “dua rokaat fajar lebih mulia dari pada dunia dan isinya” ( HR. Muslim no. 1721, Abu dawud, Tirmidzi, dll) dan termasuk petunjuk Nabi shallallohu 'alaihi wa sallam untuk meringankan dua rokaat tersebut artinya tidak memanjangkan bacaannya. Aisyah menuturkan: “ adalah Nabi shallallohu 'alaihi wa sallam meringankan dua rokaat sebelum subuh sampai-sampai akau mengatakan; “apakah Nabi membaca ummul kitab (surah al-Fatihah- pen)" (HR. Bukhari 1771, Muslim 724). Abu Hurairoh mengatakan: “bahwasanya Nabi membaca pada dua rokaat sholat fajar dengan surah al-Kafirun dan al-Ikhlas”.(HR. Bukhari 618, Muslim 723)
Saudaraku yang dirahmati Alloh..!! setelah melaksanakan dua rokaat tersebut ada sebuah sunnah yang banyak kita meninggalkanya – kecuali yang dirahmati Alloh- baik karena kejahilan kita terhadap petunjuk Nabi kita n shallallohu 'alaihi wa sallam yaitu: berbaring sejenak. Dari 'Urwah bin Zubair bahwa A'isyah berkata: "adalah Rasululloh shallallohu 'alaihi wa sallam apabila muadzin mengumandangkan adzan sholat subuh beliau berdiri dua rakaat yang ringan sebelum sholat subuh kemudian berbaring ke arah kanan sampai muadzin datang untuk iqamat”. (HR. Bukhari 626, Muslim 736). Dalam hadits yang lain dari Abu Hurairoh radhiyallohu'anhu Rasululloh shallallohu 'alaihi wa sallam bersabda: “Apabila salah seorang diantara kalian sholat dua rakaat fajar maka hendaknya dia berbaring ke arah kanan”. (HR. Tirmidzi 420, Abu Dawud 1267, Ibnu Khuzaimah dalam shohihnya 1120 dan Ibnu Hibban dalam shohihnya 2468)
Sholat Taubat.
Sholat taubat disyariatkan dan hukumnya sunnah. Berdasarkan hadits berikut ini:
عن علي بن أبي طالب رضي الله عنه يقول : كنت رجلا إذا سمعت من رسول الله حديثا نفعي الله منه بماشاء أن ينفعني وإذا حدثني أحد من أصحابه استحلفته فإذا خلف صدقته قال وحدثني أبو بكر وصدق أبو بكر رضي الله عنه أنه قال: سمعت رسول الله يقول " مامن عبد يذنب ذنبا فيحسن الطهور ثم يقوم فيصلى ركعتين ثم يستغفر الله إلا غفر الله له ثم قرأ هذه الآية "                       
Dari Ali bin Abi Thalib berkata: "Saya adalah seorang yang apa bila mendengarkan hadits dari Rosululloh shallallohu 'alaihi wa sallam maka Alloh memberi manfaat yang di kehendakiNya dan apabila seorang dari sahabat bercerita padaku suatu hadits maka saya akan memintanya supaya bersumpah, apabila dia bersumpah saya membenarkannya. Dan Abu bakar telah bercerita kepadaku sedangkan beliau adalah orang yang paling jujur beliau berkata; 'saya mendengar Rasululloh shallallohu 'alaihi wa sallam bersabda: “Tidaklah seorang hamba melakukan suatu dosa kemudian berwudhu’ dengan baik lalu sholat dua rakaat dan memohon ampun kepada Alloh, kecuali Alloh mengampuninya. Kemudian Rosululloh shallallohu 'alaihi wa sallam membaca ayat: “dan orang-orang apabila melakukan perbuatan keji, mereka ingat kepada Alloh ….. hingga Akhir (QS. ali-Imron: 135 ) (HR.Abu Dwaud 1521, Tirmidzi 406,3006, Ibnu Majah 1395, Ibnu Khuzaimah dalam shohihnya 2/216, at-Thobari dalam Tafsirnya 3/96 hadits ini hasan sebagai mana di tegaskan oleh syaikh Al-Albani dalam al-Misykatul Mashobih 1324 )
Sholat Hajat.
Sholat hajat salah satu sholat yang banyak di tinggalkan oleh kaum muslimin seakan-akan hilang dari mereka. Sholat ini di lakukan tatkala seorang hamba memiliki hajat yang mendesak yang tidak menyelisihi syariat.
Dari Utsman bin Hunaif bahwasanya ada seorang laki-laki buta pernah datang kepada Rasululloh shallallohu 'alaihi wa sallam seraya berkata: 'berdo’alah kepada Alloh agar menyembuhkanku, Nabi bersabda jika engkau menginginkan demikian saya akan berdo’a akan tetapi jika engkau mau sabar itu lebih baik bagimu. Laki-laki itu menjawab: 'berdo’alah maka Nabi memerintahkan supaya berwudhu’ dengan sempurna dan sholat dua rakaat lalu berdo’a dengan do’a ini: 'Ya Alloh.! Aku memohon kepadamu dan menghadap kepadamu dengan Nabimu, Nabi Rahmat, sesungguhnya saya menghadap denganmu dengan Nabimu kepada Robbku agar terpenuhi hajat ku".[HR. Tirmidzi 3578, Ahmad 17279, An-Nasa`I, Ibnu Majah, dishohihkan oleh Al-Albani di dalam Shohih At-Targhib wa At-Tarhib 681]





HUKUM SEPUTAR KURBAN
--------------------

Sesungguhnya segala puji hanya milik Alloh, kami memuji-Nya dan memohon pertolongan serta ampunan kepada-Nya. Kami berlindung kepada Alloh dari kejahatan jiwa kami dan keburukan amal kami. Barangsiapa yang diberikan petunjuk oleh Alloh maka tiada seorangpun bisa menyesatkannya. Dan barangsiapa yang disesatkan-Nya maka tiada seorangpun yang bisa memberinya petunjuk hidayah. Aku bersaksi bahwa tiada sesembahan yang haq melainkan Alloh semata tanpa ada sekutu bagi-Nya. Dan aku bersaksi bahwa Muhammad adalah hamba dan Rosul utusan-Nya.
‘Amma Ba’du: Sesungguhnya mengunjungi Baitulloh dalam rangka menunaikan ibadah haji merupakan impian dan harapan setiap muslim. Namun, tentunya tidak setiap muslim memiliki kemampuan ataupun kesempatan untuk menunaikan salah satu rukun Islam yang agung ini. Oleh karena itulah Alloh Yang Maha Rahmat, menetapkan beragam ibadah yang bisa dipilih oleh hamba-hamba-Nya. Jika tidak bisa yang satu maka bisa melakukan yang lain yang ia mampu. Sesungguhnya Alloh tidaklah lupa. Tak ketinggalan ibadah di salah satu bulan Alloh yang suci ini, yaitu bulan Dzul Hijjah. Bulan yang disyari’atkan padanya ibadah haji. Alloh syari’atkan padanya amalan-amalan yang bisa dilakukan oleh orang-orang yang tidak berhaji. Berikut ini secara ringkas kami sebutkan amalan-amalan di bulan Dzul Hijjah:
1- Anjuran untuk beramal shalih pada sepuluh hari bulan Dzul Hijjah dan keutamaannya:
Rosululloh Shallallahu 'Alaihi Wasallam bersabda:
مَا مِنْ أَيَّامٍ اَلْعَمَلُ الصَّالِحُ فِيْهَا أَحَبُّ إِلَى اللهِ عَزَّ وَ جَلَّ مِنْ هَذِهِ اْلأَيَّامِ يَعْنِي أَيَّامَ الْعَشْر. قَالُوْا: يَا رَسُوْلَ اللهِ وَ لاَ الْجِهَاد فِي سَبِيْلِ الله؟ قَالَ: وَ لاَ الْجِهَاد فِي سَبِيْلِ الله إِلاَّ رَجُلٌ خَرَجَ بِنَفْسِهِ وَ مَالِهِ ثُمَّ لَمْ يَرْجِعْ مِنْ ذَلِكَ بِشَيْء
“Tidak ada hari-hari yang lebih dicintai oleh Alloh azza wa jalla untuk melakukan amal sholih padanya melebihi hari-hari ini.” Yaitu sepuluh hari pertama bulan Dzul Hijjah. Para sahabat bertanya: “Ya Rosululloh, biarpun jihad fi sabilillah?” Beliau menjawab: “Biarpun Jihad fi sabilillah. Kecuali jihad seseorang dengan harta dan jiwanya kemudian dia tidak kembali dengan sedikitpun darinya.” (Hadits shahih riwayat Bukhari dan lainnya dari hadits Ibnu Abbas Radhiyallahu 'Anhu. Silahkan lihat At-Targhib Wat Tarhib hadits nomor 1691).
2- Puasa di Hari Arafah (tanggal 9 Dzul Hijjah):
Rosululloh Shallallahu 'Alaihi Wasallam bersabda:
مَنْ صَامَ يَوْمَ عَرَفَة غُفِرَ لَهُ سَنَة أَمَامَه وَ سَنَة خَلْفَه
“Barangsiapa yang puasa pada hari Arofah maka diampuni baginya dosanya satu tahun yang akan datang dan satu tahun yang telah lewat.” (Hadits shohi lighoirihi diriwayatkan oleh Ath-Thoyalisi dari hadits Abu Sa’id Al-Khudri. Silahkan lihat At-Targhib Wat Tarhib hadits nomor 1479).
3- Berkurban:
Hukum Berkurban: Berkurban hukumnya sunnah, tidak wajib. Demikian Madzhab Jumhur dari para sahabat dan ulama’ seperti Malik, Syafi’i, Ahmad dan lainnya. Bahkan tidak ada riwayat yang shohih dari para sahabat bahwa berkurban itu wajib, yang ada hanya sebaliknya bahwa berkurban itu sunnah. Sebagaimana riwayat Abu Suraihah dia berkata: “Aku melihat Abu Bakr dan Umar tidak berkurban.” Dan Abu Mas’ud Al-Anshori Radhiyallahu 'Anhu berkata: “Aku benar-benar tidak berkurban padahal aku mampu. Sebab aku khawatir tetangga-tetanggaku menganggapnya wajib.” (Keduanya diriwayatkan oleh Abdur Rozzaq dan Baihaqi dengan sanad yang shahih).
Hewan-Hewan Yang Sah Untuk Dikurban:
1- Unta yang berumur lima tahun masuk tahun keenam. Satu ekor unta boleh untuk tujuh orang:
Rosululloh Shallallahu 'Alaihi Wasallam bersabda:
لاَ تَذْبَحُوا إِلاَّ مُسِنَّة إِلاَّ أَنْ يَعْسُر عَلَيْكُم فَتَذْبَحُوا جَذْعَة مِنَ الضَّأْن
“Jangan berkurban kecuali hewan (unta, sapi atau kambing) yang sudah gugur salah satu gigi depannya yang berjumlah empat. Jika kalian tidak bisa, maka boleh berkurban domba yang belum genap berumur satu tahun” (diriwayatkan oleh Muslim dari hadits Jabir Radhiyallahu 'Anhu nomor 1963). Pada unta, yang demikian itu berumur 5 tahun masuk tahun keenam.
Jabir bin Abdillah Radhiyallahu 'Anhu berkata: “Kami pernah berkurban bersama Rosululloh Shallallahu 'Alaihi Wasallam pada tahun Hudaibiyah sesekor unta untuk tujuh orang dan seekor sapi untuk tujuh orang.” (hadits riwayat Muslim nomor 1318).
2- Sapi yang berumur dua tahun masuk tahun ketiga, karena pada umur inilah salah satu gigi depannya gugur sebagaimana disyaratkan oleh hadits di atas. Dan boleh pula satu ekor sapi untuk tujuh orang sebagaimana hadits Jabir di atas.
3- Kambing yang berumur satu tahun masuk tahun kedua. Namun jika kesulitan mendapatkannya, boleh yang berumur enam bulan. Sebagaimana hadits Jabir di atas.
Peringatan:
Seekor kambing hanyalah untuk satu orang, tidak seperti pada unta dan sapi diperbolehkan untuk tujuh orang berkurban satu ekor sapi atau unta. Jadi apa yang dilakukan oleh sebagian kalangan, yaitu menarik iuran dari anak-anak didik mereka untuk membeli kambing kurban dengan alasan mendidik mereka untuk berkurban adalah tidak benar dan tidab bisa dihukumi sebagai hewan kurban karena bertentangan dengan dalil yang ada. Wallohu a’lam.
Cacat Yang Tidak Boleh Ada Pada Hewan Kurban dan Membuatnya Tidak Sah:
1- Buta sebelah yang jelas-jelas butanya. Bukan sekedar juling.
2- Sakit yang jelas-jelas sakitnya. Yang benar-benar mempengaruhi keseimbangan badan binatang tersebut. Sehingga tidak mau makan dan badannya menjadi lemah.
3- Pincang yang jelas-jelas pincangnya sehingga jalannya tidak seimbang.
4- Lemah atau kurus atau biasa disebut kering yang tidak lagi bersumsum. Sebab biasanya umurnya yang seperti ini umurnya sudah tua dan dagingnya tidak enak.
Semua cacat di atas disebutkan dalam hadits Barro’ bin ‘Azib Radhiyallahu 'Anhu bahwa Nabi Shallallahu 'Alaihi Wasallam bersabda:
أَرْبَعَةٌ لاَ يُجْزِيْنَ فِي اْلأَضَاحِي اَلْعَوْرَاء الْبَيِّن عَوْرُهَا وَ الْمَرِيْضَة الْبَيِّن مَرَضُهَا وَ الْعَرْجَاء الْبَيِّن ظَلْعُها وَ الْكَسِيْرَة الَّتِي لاَ تَنْقِي
“Empat hewan yang tidak sah untuk dikurban: Buta sebelah yang jelas-jelas butanya. Sakit yang jelas-jelas sakitnya. Pincang yang jelas-jelas pincangnya. Dan lemah atau kurus yang jelas-jelas lemah atau kurusnya.” (Shohih diriiwayatkan oleh Nasa’i: VII/ 215, Ibnu Majah: 3144 dan Ahmad: IV/ 284).
Cacat Yang Dimakruhkan Namun Tetap Sah Untuk Dikurban:
1- Telinganya terpotong semua atau sebagian.
2- Tanduknya patah atau sebagian besarnya.
Jika ada pada hewan kurban, maka kurbannya tetap sah karena Rosululloh membatasi hewan kurban yang tidak sah hanya pada empat hewan yang memiliki salah satu dari empat sifat di atas.
Cacat Yang Tidak Berpengaruh. Sebab tidak ada larangan, namun hanya mengurangi kesempurnaannya. Seperti tidak punya gigi, ekor terpotong, hidung terpotong dan lainnya.
Sifat Hewan Kurban Yang Sempurna:
1- Dimustahabkan memilih hewan kurban yang paling gemuk dan paling selamat dari cacat-cacat di atas.
2- Hewan kurban yang paling afdhol adalah Unta kemudian Sapi kemudian Kambing.
3- Hewan yang berbulu putih kemudian berbulu belang kemudian yang berbulu hitam.
4- Hewan jantan lebih afhdol dari yang betina.
Larangan bagi orang yang hendak berkurban:
Nabi Shallallahu 'Alaihi Wasallam bersabda:
إِذَا دَخَلَتِ الْعَشْرُ وَ أَرَادَ أَحَدُكُمْ أَنْ يُضَحِّيَ فَلاَ يَمُسَّ مِنْ شَعْرِهِ وَ بَشَرَهَ شَيْئًا
“Jika masuk sepuluh hari pertama (bulan Dzul Hijjah) dan salah seorang dari kalian hendak berkurban, maka janganlah dia mengambil rambutnya atau kulitnya sedikitpun.” (diriwayatkan oleh Muslim dari hadits Ummu Salamah rodhiyallohu ‘anha nomor 1967).
Berdasarkan hadits diatas tidak diperbolehkan bagi orang yang hendak berkurban untuk mencukur rambutnya, mencabut bulu ketiaknya atau bulu badan lainnya. Dan tidak diperbolehkan pula untuk memotong kukunya. Hukumnya berkisar antara haram dan makruh.
Hikmah larangan ini adalah agar dia tetap sempurna bagian badannya untuk bebas dari api neraka. Wallohu a’lam.
Waktu Berkurban:
Nabi Shallallahu 'Alaihi Wasallam bersabda:
إِنَّ أَوَّلَ مَا نَبْدَأُ بِهِ مِنْ يَوْمِنَا هَذَا أَنْ نُصَلِّيَ ثُمَّ نَرْجِعَ فَنَنْحَر فَمَن فَعَلَ هَذَا فَقَدْ أَصَابَ سُنَّتَنَا وَ مَنْ نَحَرَ فَإِنَّمَا هُوَ لَحْمٌ يُقَدِّمُهُ ِلأَهْلِهِ لَيْسَ مِنَ النُّسُكِ فِي شَيْءٍ
“Sesungguhnya hal pertama yang kami mulai di hari kita ini adalah shalat kemudian pulang dan menyembelih. Maka barangsiapa yang melakukan ini maka dia telah menepati sunnah kami. Namun barangsiapa yang telah menyembelih, sesungguhnya apa yang disembelihnya itu hanya daging biasa untuk keluarganya. Bukan termasuk hewan kurban sedikitpun.” (diriwayatkan oleh Bukhori dari hadits Anas bin Malik Radhiyallahu 'Anhu nomor 5546).
Jadi hewan kurban boleh disembelih mulai setelah selesai Shalat Hari Raya hingga tanggal tiga belas Dzul Hijjah. Wallohu a’lam.
Pemanfaatan Daging Kurban:
Alloh azza wa jalla berfirman:
        •             
Supaya mereka menyaksikan berbagai manfaat bagi mereka dan supaya mereka menyebut nama Allah pada hari yang Telah ditentukan atas rezki yang Allah Telah berikan kepada mereka berupa binatang ternak. Maka makanlah sebahagian daripadanya dan (sebahagian lagi) berikanlah untuk dimakan orang-orang yang sengsara dan fakir. (QS. Al-Hajj: 28).
Dari Salamah bin Akwa’ Radhiyallahu 'Anhu Nabi Shallallahu 'Alaihi Wasallam bersabda: “Barangsiapa di antara kalian yang berkurban, maka janganlah dia menyisakan dari dagingnya setelah tiga hari.”
Pada tahun berikutnya, para sahabat bertanya: “Ya Rosululloh, kami lakukan lagi seperti pada tahun kemarin?” beliau menjawab: “Makanlah, sedekahkanlah dan simpanlah. Adapun pada tahun kemarin itu karena orang-orang mengalami kesusahan. Karenanya aku ingin kalian memberikan bantuan.” (diriwayatkan oleh Bukhori: 5569 dan Muslim: 1974).
Jadi daging hewan kurban, pemanfaatannya untuk tiga hal: Dimakan sendiri, disedekahkan dan disimpan. Namun perlu diperhatikan bahwa perintah Rosululloh Shallallahu 'Alaihi Wasallam di atas bukanlah wajib, namun sunnah. Jika semuanya disedekahkan maka itu boleh. Wallohu a’lam.
Bentuk Pemanfaatan Hewan Kurban Yang Tidak Diperbolehkan:
1- Menjualnya. Baik itu menjual kulitnya, bulunya, dagingnya, tulangnya atau bagian-bagiannya yang lain.
2- Tidak boleh memberikan upah kepada tukang potong hewan kurban dari hewan kurban itu sendiri. Ali Radhiyallahu 'Anhu meriwayatkan bahwa Nabi Shallallahu 'Alaihi Wasallam pernah memerintahkannya untuk mengurus seekor unta. Untuk membagi-baginya semuanya: dagingnya, kulitnya dan pakaiannya. Serta jangan memberikan upah kepada tukang potongnya sedikitpun darinya.” (hadits riwayat Bukhori: 1717 dan Muslim: 1317).

Sumber Rujukan:
1- Shahih Fiqhis Sunnah. Abu Malik Kamal bin Sayyid Salim. Penerbit Maktabah Taufiqiyah, Mesir.
2- At-Targhib Wat Tarhib. Al-Hafizh Al-Mundziri. Tahqiq dan ta’liq Imam Al-Albani. Penerbit Maktabatul Ma’arif, Riyadh.
3- Majalah Al-Furqon. Edisi 4 th. Ke-7 1428/ 2007.
4- Kajian Ustadz Mizan Qudsiyah Lc. Malam Rabu, 25 Nopember 2008 M di Markaz As-Sunnah.








MEMETIK PELAJARAN DARI PERISTIWA TERBUNUHNYA SAHABAT KHUBAIB BIN 'ADI 
-----------------------------------------------------------------------

Ketika kita membuka lembaran sejarah kehidupan Rasululloh  bersama para sahabatnya akan kita temukan sebuah gambaran yang dipenuhi dengan mutiara kemuliaan serta lika-liku kehidupan yang mencengangkan bagi siapa yang merenunginya. Demikian, karena garis edar kehidupan mereka berada di bawah bimbingan dan naungan ilahi yang tercermin dalam perilaku dan budi pekerti mereka yang teramat mulia sehingga tidak akan pernah lapuk dan tidak pula akan pernah lekang meski zaman akan terus bergulir. Alloh  berfirman dalam surat Yusuf: 111
       
"Sesungguhnya pada kisah-kisah mereka itu terdapat pengajaran bagi orang-orang yang mempunyai akal".



Satu diantara lembaran-lembaran tersebut adalah peristiwa terbunuhnya sahabat Khubaib bin 'Adi  dalam sebuah tregedi memilukan namun meninggalkan goresan pelajaran yang tak terhingga nilainya bagi umat Islam yang mendambakan kemuliaan di dunia dan akhirat.

PENGGALAN KISAH
Memasuki tahun ke-4 hijriyah tepatnya pada bulan shofar , Sekelompok kaum yang berasal dari suku Adhol dan Qoroh datang ke hadapan Rasululloh  guna meminta agar dikirimkan orang yang akan mengajarkan mereka agama Islam. Melihat sikap antusias mereka untuk mengenal agama Islam, Rasululloh  memilih sepuluh orang sahabatnya untuk mengemban tugas yang mulia ini, diantaranya adalah; 'Ashim bin Tsabit, Martsad bin Abi Martsad, Abdulloh bin Thoriq, Zaid bin Datsinah, Khubaib bin 'Adi, dan beberapa orang sahabat lainnya yang kemudian beliau menunjuk 'Ashim bin Tsabit sebagai ketuanya (menurut salah satu pendapat).
Setelah segala perbekalan dan kebutuhan selama perjalanan dipersiapkan, merekapun mengayuh langkah untuk melaksanakan tugas ini dengan ditemani rombongan dari kedua suku tersebut. Namun manakala mereka sampai di sebuah tempat yang bernama Ar-Roji (daerah pinggiran Hijaz) yang merupakan sumber dan mata air bagi suku Hudzail, Sekelompok kaum tadi (Adhol dan Qoroh) melakukan pengkhianatan dengan meminta bantuan suku Hudzail untuk mengepung dan menghabisi utusan Rasululloh  yang berakhir dengan terbunuhnya delapan orang diantara mereka, termasuk ketuanya yakni 'Ashim bin Tsabit.
Adapun dua sahabat lainnya yaitu Zaid bin Datsinah dan Khubaib bin 'Adi, maka mereka ditawan dan diperjual belikan sebagai seorang budak di kota Mekah hingga jatuhlah Zaid bin Datsinah ke tangan Sofwan bin Umayyah lantas membunuhnya sebagai balas dendam atas kematian ayahnya pada perang Badar. Adapun Khubaib bin 'Adi maka beliau dibeli oleh Bani Harits (anak keturunan Harits bin Amir bin Naufal yang dibunuh oleh Khubaib bin 'Adi pada perang Badar).
Kini Khubaib bin 'Adi tinggal seorang diri dalam kurungan Bani Harits untuk menerima siksaan demi siksaan yang kemudian akan hukum mati oleh orang-orang kafir Quraisy. Hari yang ditentukan pun tiba, beliau diseret ke sebuah tempat lapang yang bernama Tan'im (lokasi Universitas 'Aisyah sekarang) untuk di hukum mati di depan masa, namun sebelum dimulai beliau mengajukan satu permintaan: "Bila kalian berkehendak, biarkan aku melakukan sholat dua roka'at dulu" , ucap beliau. Dan merekapun membiarkannya hingga selesai dalam waktu yang relatif cukup singkat kemudian berucap: "Andaikata kalian tidak akan mengira bahwasanya aku takut mati, tentulah aku akan sholat kembali". Setelah itu beliaupun mengucapkan sebuah syair yang semakin membuat mereka geram dan menjadikan darah-darah mereka panas mendidih. Ucap beliau:
* وَلَسْتُ أُبَالِي حِينَ أُقْتَلُ مُسْلِماً **
عَلى أَيِّ شِقّ كَانَ لِلَّهِ مَصْرَعِي
* وَذلِكَ في ذَاتِ الإِلهِ وَإِنْ يَشَأْ **
يُبَارِكْ عَلَى أَوْصَالِ شِلوٍ مُمَزَّعِ **
"Sungguh tiada aku peduli bila aku terbunuh sebagai seorang muslim. Di bagian manapun kematianku datang menjemput, bila semua itu semata karena Alloh demikian itu hanya untuk Dzat Ilahi, dan jika Dia berkehendak, Dia akan memberkahi setiap potongan tubuhku yang tercincang".[HR. Bukhori no. 3045]
Abu Sufyan (yang kala itu masih kafir) berkata kepadanya: "Apakah kamu suka jika seandainya Muhammad kami penggal batang lehernya lantas engkau kami bebaskan hingga bisa bersenang-senang dengan keluargamu?". Mendengar kelancangan Abu Sufyan akan diri Nabi Muhammad, tanpa gentar sedikitpun beliau berkata:
لا واللهِ ، ما يسرُّني أني في أهلي ، وأنَّ محمداً في مكانهِ الَّذِي هُوَ فيه تُصيبُهُ شَوْكَةٌ تُؤذِيه.
"Tidak, Demi Alloh sunnguh aku tidak akan pernah merasakan kebahagiaan bersama keluargaku sedangkan Muhammad di tempatnya terusik oleh sepotong duri yang mengganggunya" . Kemudian setelah beliau selesai mengucapkan kalimat tersebut, merekapun menyeretnya menuju sebatang kayu untuk disalib kemudian memotong satu persatu anggota tubuh beliau hingga beliau  menghembuskan nafas terakhir dalam keadaan ridho kepada Alloh . Mengenai peristiwa ini Sa'id bin Amir bin Hudzaim berkata: "Aku menyaksikan peristiwa terbunuhnya Khubaib bin 'Adi, dan sungguh orang-orang kafir Quraisy mencincang tubuh beliau" . Inilah tragedi pilu yang dialami oleh sahabat Kubaib bin 'Adi dalam memegang teguh agama yang mulia ini.

MUTIARA KISAH
Sebagaimana yang telah ditegaskan oleh Alloh  dalam ayat sebelumnya bahwasanya di dalam kisah orang-orang sholeh sebelum kita terdapat pelajaran yang terhingga nilainya bagi siapa yang mau menghayati dan memahaminya tak terkecuali pada kisah Khubaib bin 'Adi di atas. Berikut ini ada beberapa pelajaran yang bisa kita petik dari kisah ini diantaranya:

1. Kewajiban mencintai Rasululloh  di atas segalanya. Satu diantara tanda dan bukti sempurnanya iman seseorang adalah apabila ia mampu mencintai Rasululloh  di atas cinta dan loyalitas kepada orangtua, anak dan istri, serta harta benda lainnya.
Rasululloh  bersabda:
لاَ يُؤْمِنُ أَحَدُكُمْ حَتَّى أَكُونَ أَحَبَّ إِلَيْهِ مِنْ وَالِدِهِ وَوَلَدِهِ وَالنَّاسِ أَجْمَعِينَ.
"Tidaklah sempurna keimanan seorang dari kalian sampai aku lebih ia cintai daripada orangtua, anak dan manusia seluruhnya". [HR. Bukhori dan Muslim]
2. Ujian adalah sebuah kepastian manakala seseorang telah mengikrarkan keimanannya kepada Alloh dan RasulNya, maka satu hal yang perlu disadari yaitu bahwasanya ujian dan cobaan pasti akan menghampirinya. Hal ini Alloh tegaskan dalam firmanNya:

 ••     •      •           
"Apakah manusia itu mengira akan dibiarkan mengatakan kami telah beriman sedangkan mereka tidak diuji lagi?. Sesungguhnya kami telah menguji orang-orang sebelum mereka maka dengannya Alloh mengetahui orang-orang yang jujur dan orang-orang yang dusta".[QS. Al-'Ankabut: 2-3]
3. Tegar di atas al-Haq (kebenaran). Mengenai hal ini sahabat Khobbab bin Arot pernah mengadu pada Rasululloh  akan perihal beratnya ujian yang beliau alami dari orang-orang kafir Quraisy, maka Rasululloh  berkata untuk membangkitkan semangat para sahabtnya supaya mereka tetap kokoh menggenggam agama ini dengan menceritakan ujian dan cobaan yang menimpa orang-orang soleh terdahulu. Di Sabda beliau : "Sesungguhnya orang-orang sebelum kalian ada diantara mereka yang dipendam di dalam tanah kemudian diletakkan gergaji di atas kepalanya, namun semua itu tidak membuat mereka berpaling dari agamanya dan ada pula diantara mereka yang disisir dengan sisir besi sehingga daging mereka tepisah dari tulangnya namun ujian itu tidak juga membuat mereka meninggalkan agamanya. Dan sungguh (wahai sahabatku) Alloh akan menyempurnakan perkara (agama) ini hingga kalian akan menyaksikan ada orang yang berjalan dari Shon'a menuju Hadromaut tidak merasa takut kecuali kepada Alloh atau dari serigala yang akan memakan kambing-kambing mereka, akan tetapi kalian terburu-buru".[HR. Bukhori]
Kaum muslimin inilah sabda Rasululloh  kepada sahabatnya Khobbab bin Arot untuk membangkitkan semangatnya dalam memegang teguh agamanya meski badai ujian terus datang menerpa ayunan langkahnya. Dan dengan segala keterbatasan, mungkin hanya ini yang dapat kami ketengahkan pada lembaran kali ini, sekiranya goresan pena ini bisa menjadi pendorong bagi kita dalam menjalani agama yang mulia ini, terlebih bagi kita yang hidup di penghujung zaman dengan keterasingan Islam yang kian memuncak. Semoga
Ditulis oleh: Zakariya Abu Kholid At-Turi
Catatan dari Redaksi: Bahwasanya kisah ini kami hadirkan bukan dengan tujuan untuk membela gerakan Amrozi, Imam Samudra Cs yang memiliki pemahaman khowarij seperti tokoh-tokohnya; Salman Al-'Audah, Dr. Safar Hawali, Dr. Abdulloh Azzam, Usamah bin Laden, dan semisalnya. Bahkan kisah ini sebagai hujjah untuk menjelaskan kesalahan gerakan mereka. perhatikan manhaj (sikap/ metode cara beragama) salaf yang sejati dari sahabat Sa'id bin Amir bin Hudzaim  yang hanya diam (dengan menimbang maslahat dan mafsadat) ketika melihat kezholiman itu disamping ia tetap mengingkari di dalam hatinya dan tidak mengangkat senjata terlebih lagi mengadakan pengeboman di sana-sini secara tidak haq.
Muroja'ah oleh: Ust. Mizan Qudsiyah, Lc.






MENYAMBUT RAMADHAN
------------------

Segala puji bagi Alloh Robb semesta alam dan shalawat serta salam semoga tercurahkan atas Nabi Besar Muhammad beserta keluarga dan sahabat beliau. Amma ba’du:
Tujuan puasa adalah menahan diri dari nafsu syahwat, menghentikannya dari segala yang disenanginya dan menormalkan kekuatan syahwatnya. Untuk mengejar puncak kebahagiaan dan kenikmatan. Untuk menyambut kesuciannya yang menyimpan kehidupan abadinya.
Selain itu puasa melebur rasa lapar dan haus dari kekerasan dan gejolaknya. Mengingatkan jiwa akan keadaan perut kelaparan orang miskin. Mempersempit jalan setan dengan menyempitkan jalan makanan dan minuman. Menekan kekuatan anggota badan, agar tidak mudah digiring oleh kekuatan syahwat menuju apa-apa yang membahayakan kehidupan dunia dan akhiratnya. Dan puasa menenangkan setiap anggota badan dan setiap kekuatan.
Sesungguhnya puasa adalah tali kekang orang-orang yang bertakwa. Puasa adalah perisai orang-orang yang berperang melawan hawa nafsu dan setan. Puasa adalah olah raga bagi orang-orang yang senantiasa mengabdi dan mendekatkan diri kepada Alloh .
Puasa secara khusus adalah milik Alloh. Sesungguhnya seorang yang berpuasa tidak melakukan apa-apa. Dia hanya meninggalkan syahwatnya, makanan dan minumannya demi Alloh Robb yang diibadahinya. Dia meninggalkan segala yang disukai oleh nafsu karena lebih mengutamakan cinta dan keridhaan Alloh . Puasa adalah rahasia antara seorang hamba dengan Robbnya, tidak ada yang mengetahuinya melainkan Alloh. Mungkin manusia bisa melihatnya meninggalkan hal-hal yang membatalkan puasanya yang bersifat lahiriyah, tapi tidak ada yang tahu dia meninggalkan makan, minum dan syahwat karena Alloh. Inilah hakikat puasa.
Puasa memiliki pengaruh luar biasa dalam memelihara lahir dan batin seseorang. Puasa melindunginya dari pengaruh materi-materi berbahaya dan merusak. Puasa membuang materi-materi kotor yang mengganggu kesehatan. Sehingga puasa memelihara kesehatan hati dan anggota badan. Sesungguhnya puasa termasuk perkara terbesar yang membantu untuk bertakwa.
Alloh  berfirman:
              
Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertakwa. (QS. Al-Baqoroh: 183).
Bulan Ramadhan hanyalah beberapa hari tertentu, setelah itu Anda perlu menunggu satu tahun lagi untuk bertemu dengannya. Oleh karena itu manfaatkanlah bulan tersebut dengan mengingat hal-hal berikut:
1- Senantiasa menjaga keikhlasan.
Rosululloh  bersabda:
مَنْ صَامَ رَمَضَانَ إِيْمَانًا وَ احْتِسَابًا غُفِرَ لَهُ مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِهِ
“Barangsiapa yang berpuasa dengan keimanan dan mengharap pahala maka diampuni baginya dosanya yang telah lalu.” (muttafaq ‘alaih).
Berpuasa dengan keimanan dan mengharap pahala artinya meyakini kewajibannya dan mengharap pahalanya. Dengan hati yang lapang tanpa terpaksa, tanpa berat melaksanakannya dan tanpa menganggap lama hari-harinya.
2- Makan dan minumlah tanpa berlebihan.
Alloh  berfirman:
         
Makan dan minumlah, dan janganlah berlebih-lebihan. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berlebih-lebihan. (QS. Al-A’raaf: 31).
3- Ramadhan adalah bulan amal kebaikan dan dilipatgandakannya pahala.
Perlu diketahui bersama bahwa salah satu sebab dilipat gandakannya pahala sebuah amalan adalah kemuliaan waktu dikerjakannya amalan tersebut. Seperti bulan Ramadhan, dan Sepuluh Hari Dzul Hijjah. Dalam sebuah hadits yang diriwayatkan oleh At-Tirmidzi dari Anas bahwa Nabi  pernah ditanya tentang sedekah yang paling afdhal. Beliau menjawab: “Shadaqah di bulan Ramadhan.”
Dalam hadits riwayat Bukhari dan Muslim Nabi  bersabda:
عُمْرَةٌ فِيْ رَمَضَانَ تَعْدِلُ حَجَّةً أَوْ قَالَ حَجَّةً مَعِيْ
“Umrah di bulan Ramadhan menyamai haji.” Atau beliau bersabda: “Haji bersamaku.”
Beberapa Perkara Menjelang Ramadhan Yang Perlu Diperhatikan:
1- Merayakan malam Nishfu Sya’ban.
Imam Nawawi rohimahulloh berkata dalam Kitab Al-Majmu’: “Shalat yang dikenal dengan Shalat Ragha’ib, berjumlah dua belas raka’at dan dikerjakan antara Maghrib dan Isya’ pada malam Jum’at pertama bulan Rojab. Demikian pula shalat malam Nishfu Sya’ban yang berjumlah seratus raka’at. Kedua shalat ini merupakan bid’ah munkar. Jangan tertipu dengan disebutkannya kedua shalat ini kitab Quthul Qulub dan Ihya’ Ulumuddin. Jangan pula tertipu dengan hadits-hadits yang disebut sebagai dalil di dalamnya. Sesungguhnya semua itu batil. Jangan pula tertipu dengan sebagian ulama yang masih samar baginya hukumnya, sehingga menulis kitab yang memustahabkannya. Sesungguhnya dia salah dalam masalah ini.”Perhatikan hadits Abu Hurairah  yang diriwayatkan oleh Muslim berikut ini: Rosululloh  bersabda:
لاَ تَخُصُّوْا لَيْلَةَ الْجُمُعَةِ بِقِيَامٍ مِنْ بَيْنِ اللَّيَالِي وَ لاَ تَخُصُّوْا يَوْمَهَا بِالصِّيَامِ مِنْ بَيْنِ اْلأَيَّامِ إِلاَّ أَنْ يَكُوْنَ فِيْ صَوْمٍ يَصُوْمُهُ أَحَدُكُمْ
“Janganlah kalian mengkhususkan malam Jum’at untuk shalat malam tanpa malam yang lain. Jangan pula mengkhususkan siang harinya untuk puasa tanpa hari-hari yang lain. Kecuali puasa yang biasa dilakukan oleh salah seorang dari kalian.”
Seandainya pengkhususan satu malam tertentu untuk ibadah itu boleh, niscaya malam Jum’at tentu paling utama untuk dikhususkan. Karena keutamaan hari Jum’at.
2- Dimakruhkan puasa sunnah jika sudah pertengahan Sya’ban.
Abu Daud, At-Tirmidzi, Ibnu Majah dan lainnya meriwayatkan dengan sanad yang shahih dari Abu Hurairah  bahwa Nabi  bersabda:
إِذَا بَقِيَ نِصْفٌ مِنْ شَعْبَانَ فَلاَ تَصُوْمُوْا
“Jika telah tersisa setengah bulan dari Sya’ban, janganlah kalian puasa.”
3- Diharamkan puasa pada hari syak (hari yang tidak jelas, apakah sudah masuk Ramadhan apa belum).
Ammar bin Yasir radiyallahu 'anhuma berkata: “Barangsiapa yang berpuasa pada hari yang diragukan, maka dia telah bermaksiat kepada Abul Qosim (Rosululloh) .” Diriwayatkan oleh Abu Daud, At-Tirmidzi, Ibnu Majah dan An-Nasa'i dengan sanad yang hasan.
4- Cara menentukan masuknya bulan Ramadhan.
Dari Ibnu Abbas radiyallahu 'anhuma dia berkata: “Rosululloh  bersabda:
لاَ تَصُوْمُوْا قَبْلَ رَمَضَانَ صُوْمُوْا لِرُؤْيَتِهِ وَ أَفْطِرُوْا لِرُؤْيَتِهِ فَإِنْ حَالَتْ دُوْنَهُ غَيَايَةٌ فَأَكْمِلُوْا ثَلاَثِيْنَ يَوْمًا
“Jangan kalian puasa sebelum Ramadhan. Puasalah karena melihat bulan (Ramadhan) dan akhirilah Ramadhan karena melihat bulan (Syawal). Jika terhalang oleh mendung, maka sempurnakanlah tiga puluh hari.” Hadits hasan diriwayatkan oleh Abu Daud, At-Tirmidzi dan An-Nasa'i.
Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin rahimahullah berkata: “Yaitu jika dilihat oleh dua orang atau lebih. Berdasarkan sabda Rosululloh : “Jika terdapat dua orang saksi, maka puasalah dan berbukalah.”
Sumber:
1- Bahjatun Nazhirin Syarh Riyadus Shalihin, Syaikh Salim Ied Al-Hilali.
2- Fathu Dzil Jalali Wal Ikram, Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin.
3- Bughyatul Insan, Ibnu Rajab Al-Hanbali.
4- At-Tahdzir Minal Bida’, Syaikh Abdul Aziz bin Baz.
5- Durus Ramadhan, Syaikh Muhammad Ibrahim Al-Hamd.







PANDANGAN ISLAM TERHADAP BULAN SURO
-----------------------------------

Muharrom adalah bulan pertama dari kalender hijriyah yang telah disepakati oleh kholifah yang ke-dua Umar bin Al Khotthob  yang dikenal oleh orang jawa dengan sebutan suro adalah bulan yang keramat sehingga mereka tidak berani melakukan beberapa hajatan seperti pernikahan karena mereka berkeyakinan menikah pada bulan suro akan menimbulkan petaka dan kesengsaraan. Acara lainnya juga yang sudah menjadi tradisi orang jawa khususnya di solo yaitu mencari berkah kepada kerbau yang diberi nama dengan kyai slamet. Di lain tempat pada tanggal 1 sampai 10 muharrom kaum syi'ah terutama di Iran mengadakan suatu acara untuk memperingati kematian imam Husain bin Ali bin abi tholib di Karbala, mereka mengadakan pawai besar-besaran di jalan menuju ke al Husainiyah dengan membuka baju dan memukul-mukul dada dan punggungnya sampai luka memar dan diakhiri dengan acara puncaknya yaitu melukai kepalanya dengan pedang sampai berdarah.
Mereka yang melakukan ritual-ritual tersebut di atas dan mungkin masih banyak lagi ritual lainnya di masing-masing daerah seperti membuat makanan-makanan khusus dengan disertai keyakinan-keyakinan tertentu yang hal itu dilakukan oleh orang-orang islam sendiri yang pada dasarnya amalan-amalan itu bukan dari islam. Oleh karena itu kami berusaha mengajak para masyarakat agar benar-benar memegang ajaran islam sesuai dengan dalil-dalil yang sah dengan pemahaman para sahabat dan tidak terpengaruh dari hal-hal yang baru di dalam agama atau mengikuti cara-cara ibadah orang-orang yahudi dan kristen. Maka dalam hal ini islam memandang bahwa;

MUHARROM ADALAH BULAN YANG MULIA
Alloh  berfirman:
¨bÎ) no£‰Ïã Í‘qåk’¶9$# y‰ZÏã «!$# $oYøO$# uŽ|³tã #\�öky­ ’Îû
É=»tFÅ2 «!$# tPöqtƒ t,n=y{ ÏNºuq»yJ¡¡9$# šßö‘F{$#ur
!$pk÷]ÏB îpyèt/ö‘r& ×Pã�ãm 4 š�Ï9ºsŒ ßûïÏe$!$# ãNÍhŠs)ø9$# 4 Ÿxsù (#qßJÎ=ôàs? £`ÍkŽÏù öNà6|¡àÿRr& 4 ÇÌÏÈ
"Sesungguhnya bilangan bulan pada sisi Allah adalah dua belas bulan, dalam ketetapan Allah di waktu dia menciptakan langit dan bumi, di antaranya empat bulan haram. Itulah (ketetapan) agama yang lurus, Maka janganlah kamu menganiaya diri kamu dalam bulan yang empat itu".[QS. At-Taubah: 36]

Syaikh Abdurrohman bin Nashir As-Sa'di rahimahulloh menafsirkan: "Empat bulan tersebut adalah rojab, dzulqo'dah, dzulhijjah, dan muharrom. Dinamakan harom karena kemuliaan yang lebih dan diharamkannya peperangan pada bulan tersebut". [Taisir karim ar-Rohman fi tafsir al-kalam al-Mannan hal. 296]

Al-Hasan Al-Bashri rahimahulloh berkata: "Sesungguhnya Alloh membuka tahun dengan bulan harom (muharrom) dan menutupnya juga dengan bulan harom (dzulhijjah). Tidak ada bulan yang paling mulia di sisi Alloh setelah romadhon (selain bulan-bulan harom ini). Pada bulan muharrom ini terdapat hari yang pada hari itu terjadi peristiwa besar dan pertolongan yang nyata, menangnya kebenaran mengalahkan kebatilan, dimana Alloh telah menyelamatkan Nabi Musa  dan kaumnya serta menenggelamkan fir'aun dan kaumnya. Hari tersebut memiliki keutamaan yang agung dan kemuliaan yang abadi sejak dulu, dia adalah hari kesepuluh yang dinamakan asyuro'. [Durus 'aamm oleh Abdul Malik Al-Qosim hal. 10]
DISYARI'ATKANNYA PUASA ASYURO'
Dalil dari hadits
عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنَ عَبَّاسٍ - رضى الله عنهما - يَقُولُ حِينَ صَامَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- يَوْمَ عَاشُورَاءَ وَأَمَرَ بِصِيَامِهِ قَالُوا يَا رَسُولَ اللَّهِ إِنَّهُ يَوْمٌ تُعَظِّمُهُ الْيَهُودُ وَالنَّصَارَى. فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- « فَإِذَا كَانَ الْعَامُ الْمُقْبِلُ - إِنْ شَاءَ اللَّهُ - صُمْنَا الْيَوْمَ التَّاسِعَ ». قَالَ فَلَمْ يَأْتِ الْعَامُ الْمُقْبِلُ حَتَّى تُوُفِّىَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم-.
Dari Abdulloh bin 'Abbas , tatkala Rasululloh  puasa asyuro' dan memerintahkannya, para sahabat berkata: "Wahai Rasululloh, ini adalah hari yang diagungkan oleh Yahudi dan Nasrani (kristen)". Maka beliau bersabda: "Tahun depan insya Alloh kita akan berpuasa hari kesembilan". Ibnu 'Abbas berkata: "Tahun berikutnya belum datang sedangkan Rasululloh  meninggal". [HR. Muslim 2722, Abu Dawud 2447, dll]
Imam Nawawi Rahimahulloh berkata: "Jumhur ulama salaf dan kholaf berpendapat bahwa hari asyuro' adalah hari kesepuluh". [Syarh shohih Muslim 9 hal. 205]
Kesimpulan:
 Disunnahkan hukumnya melaksanakan puasa asyuro' yaitu pada tanggal 9 dan 10 muharrom berdasarkan jumhur ulama sebagaimana yang dikatakan oleh imam Nawawi di dalam Syarh Shohih Muslim halaman 205: "Asy-Syafi'i dan para sahabatnya, Ahmad, Ishaq bin Rahawiyah dan selainnya berpendapat disunnahkan untuk berpuasa hari kesembilan dan kesepuluh karena Nabi  berniat untuk berpuasa pada hari kesembilan disamping puasa pada hari kesepuluh".
Diperkuat lagi dengan perkataan Al-'Allamah Muhammad Shiddiq Hasan Khon rahimahulloh: "Kebanyakan para ulama menyunahkan untuk berpuasa pada hari 9 dan 10".[Raudhotun Nadiyyah hal. 558]

KEUTAMAAN PUASA ASYURO'

 Keutamaan yang agung setelah romadhon.
عَنْ ابْنِ عَبَّاسٍ - رضى الله عنهما - وَسُئِلَ عَنْ صِيَامِ يَوْمِ عَاشُورَاءَ. فَقَالَ مَا عَلِمْتُ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- صَامَ يَوْمًا يَطْلُبُ فَضْلَهُ عَلَى الأَيَّامِ إِلاَّ هَذَا الْيَوْمَ وَلاَ شَهْرًا إِلاَّ هَذَا الشَّهْرَ يَعْنِى رَمَضَانَ.
Ibnu 'Abbas  ditanya tentang puasa asyuro' dan menjawab: "Saya tidak mengetahui bahwa Rasululloh  berpuasa pada hari yang paling dicari keutamaannya selain hari ini (asyuro') dan bulan romadhon". [HR. Bukhori 2006, Muslim 2718-hadits di atas lafazh Muslim-, Shohih At-Targhib wat Tarhib 1019]

 Puasa Asyuro' menghapus dosa-dosa kecil setahun yang lalu.
وَسُئِلَ عَنْ صَوْمِ يَوْمِ عَاشُورَاءَ فَقَالَ « يُكَفِّرُ السَّنَةَ الْمَاضِيَةَ
Rasululloh  pernah ditanya tentang puasa asyuro' maka beliau menjawab: "Menghapuskan dosa setahun yang lalu". [HR. Muslim 2804, Ahmad 22570, At-Tirmidzi 757, An-Nasa`I 2800, dll]

 Puasa syuro' adalah puasa yang paling utama setelah puasa romadhon.
عَنْ أَبِى هُرَيْرَةَ - رضى الله عنه - قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- « أَفْضَلُ الصِّيَامِ بَعْدَ رَمَضَانَ شَهْرُ اللَّهِ الْمُحَرَّمُ وَأَفْضَلُ الصَّلاَةِ بَعْدَ الْفَرِيضَةِ صَلاَةُ اللَّيْلِ ».
Dari Abu Hurairoh  berkata, Rasululloh  bersabda: "Puasa yang paling afdhol setelah romadhon adalah bulan muharrom, dan sholat yang paling afdhol setelah sholat fardhu adalah sholat malam". [HR. Muslim 2812, Ahmad 8515]

HADITS-HADITS LEMAH DAN PALSU SEPUTAR ASYURO'

1.
( لَيْسَ لِيَوْمٍ فَضْلٌ عَلىَ يَوْمٍ فِي الصِّيَامِ إِلاَّ شَهْرُ رَمَضَانَ وَيَوْمُ عَاشُوْرَاءَ )
"Tidak ada suatu haripun yang memiliki keutamaan dalam puasa kecuali bulan romadhon dan hari asyuro'". [Mungkar. Lihat Silsilah Al-Ahadits Ad-Dho'ifah 285]
2.
( مَنِ اكْتَحَلَ بِالإِثْمِدِ يَوْمَ عَاشُوْرَاءَ لمَ ْيَرْمِدْ أَبَدًا )
"Barangsiapa yang memakai celak pada hari asyuro' maka dia tidak akan sakit mata selamanya". [Palsu. Silsilah Al-Ahadits Ad-Dho'ifah 624]
3.
( فَلْقُ البَحْرِ لِبَنِي إِسْرَائِيْلَ يَوْمَ عَاشُوْرَاءَ )
"Peristiwa terbelahnya lautan bagi Bani Israil adalah pada hari asyuro'". [Palsu. Silsilah Al-Ahadits Ad-Dho'ifah 1499]
4.
( عَاشُوْرَاءُ يَوْمَ التَّاسِعِ )
"Asyuro' adalah hari kesembilan". [Palsu. Silsilah Al-Ahadits Ad-Dho'ifah 3849]
5.
( عَاشُوْرَاءُ عِيْدُ نَبِيٍّ كَانَ قَبْلَكُمْ ، فَصُوْمُوْا أَنْتُمْ )
"Asyuro' adalah perayaan 'id nya nabi sebelum kalian, maka berpuasalah kalian". [Lemah. Silsilah Al-Ahadits Ad-Dho'ifah 3851]
6.
( مَنْ وَسَّعَ عَلَى عِيَالِهِ يَوْمَ عَاشُوْرَاءَ ؛ وَسَّعَ اللهُ عَلَيْهِ سَائِرَ سَنَتِهِ )
"Barangsiapa yang melapangkan keluarganya pada hari asyuro', maka Alloh akan melapangkan baginya pada seluruh tahunnya". [Lemah. Silsilah Al-Ahadits Ad-Dho'ifah 6824]
Disebutkan pula sebelumnya oleh imam Suyuthi tentang hadits-hadits semisal di atas bahwasanya riwayatnya palsu. Lihat Al-La`ali al-mashnu'ah fil ahadits al maudhu'ah oleh Jalaluddin as-Suyuthi 2/93, Tanzih as-Syari'ah al-marfu'ah oleh Abul Hasan Al-Kinani 2/148.

KOMENTAR PARA ULAMA'

Ibnul Hajj rahimahulloh berkata: ”Termasuk bid'ah asyuro' orang menyengaja mengeluarkan zakat di awal waktu dan diakhirnya. Dan mengkhususkan menyembelih ayam dan para wanita memakai inai (pacar)" [Al-Madkhol jilid 1]
Ibnul Qoyyim rahimahulloh berkata: "Diantara hadits-hadits yang batil adalah hadits tentang memakai celak pada hari asyuro', berhias, banyak berinfaq kepada keluarga, sholat, dan amalan-amalan lainnya yang memiliki keutamaan".
Ibnu Rojab rahimahulloh berkata: "Adapun dijadikannya hari asyuro' sebagai acara jamuan makan seperti yang dilakukan oleh syi'ah rofidhoh karena untuk memperingati terbunuhnya al-Husain bin Ali maka ini adalah amalan yang sia-sia sedangkan dia menyangka telah berbuat kebaikan".[Durus 'Aamm hal. 11-12]

PENUTUP
Mudah-mudahan Alloh  senantiasa membukakan mata hati kita untuk mengikuti dalil dan menjauhkan kita dari amalan-amalan batil yang dianggap baik oleh perasaan. Dan semoga kita tidak termasuk orang-orang yang Alloh  kabarkan di dalam ayatNya:
"Yaitu orang-orang yang Telah sia-sia perbuatannya dalam kehidupan dunia ini, sedangkan mereka menyangka bahwa mereka berbuat sebaik-baiknya".[QS. Al-Kahfi: 104]
Sumber bacaan: Latho-if al-Ma'arif oleh Ibnu Rojab, al-Mausu-ah Al-Fiqhiyyah Al-Muyassaroh oleh Masyhur Hasan Salman, Risalah fi ahadits syahrillah al-muharrom oleh Abdulloh al-Fauzan, al-Maktabah as-Syamilah, Majalah Al-Furqon Edisi 6 Th. I Muharrom 1422 dari makalah Ust. Abu Nu'aim-rahimahulloh-, dan lain-lain. Abu Abdillah rz






USHUL POKOK AJARAN AHLUSSUNNAH


Sepintas judul buletin kali ini kelihatannya sepele dan sudah kuno, akan tetapi ingatlah sesuatu yang dibangun di atas dasar yang kuat maka akan kuat pula tujuannya dan ingatlah bahwasanya dasar-dasar ilmu yang benar itu akan menghasilkan buah bagi pemiliknya yakni al-khosyah (rasa takut kepada Alloh ). Saya teringat dengan perkataan syaikh kami Dr. Abdulloh bin Zaid Al-Musallam bahwasanya masalah dasar-dasar tauhid hendaklah kalian baca di hadapan beberapa syaikh sebanyak 20 atau 30 kali –mudah-mudahan Alloh memudahkan kita dan insya Alloh akan kami uraikan dengan ringkas pada kesempatan yang terbatas ini yang sebenarnya pembahasan ini patut untuk dijelaskan lebih paten dan terperinci lagi-.
Ushul merupakan hal yang sangat penting yang apabila seseorang itu ingin mencapai tujuan kepada ilmu-ilmu sunnah dan lainnya tanpa mengetahui ushulnya maka dia tidak akan mendapatkannya.
Para ulama berkata:
مَنْ حُرِمَ الأُصُوْلُ حُرِمَ الوُصُوْلُ
“Barangsiapa yang tidak mendapatkan ushul maka dia tidak mendapatkan tujuan kepada (ilmu agama)”. [Syarh Manzhumah Al Qowa-id wal Ushul 1/11 oleh Syaikh Muhammad bin Sholih Al-Utsaimin]
Maka dari hal ini sangat disayangkan bagi orang yang mengaku dirinya sebagai ahlussunnah wal jama’ah akan tetapi pada hakekatnya tidak mendapatkan disiplin atau dasar-dasar ilmu ibarat orang yang mau membuat atap rumah akan tetapi tidak mempunyai pondasi dan tembok…(coba fikir…bisa berdiri apa tidak?).
Adapun pengertian ahlussunnah wal jama’ah mereka adalah para salaf (pendahulu umat islam dari kalangan para sahabat, tabi’in, dan orang-orang yang senantiasa mengikuti jejak mereka dengan baik (mengikuti secara zahir dan batin, perkataan dan perbuatan, dan cara beraqidah) sampai hari kiamat, berkumpul di atas kebenaran yang nyata dari al-Quran dan as-sunnah walaupun seorang diri. [Syarh Al-Aqidah Ath-Thohawiyah hal. 68 oleh Ibnu Abil ‘Izz, Ighotsatul Lahfan 1/70 oleh Al-Imam Ibnul Qoyyim Al-Jauziyah, Fathu Robbil Bariyyah bi talkhis Al-Hamawiyah hal. 10 oleh Syaikh Muhammad bin Sholih Al-Utsaimin,dl]
Adapun ushul-ushul pokok ajaran ahlussunnah wal jama’ah tersebut, sebagai berikut:
1. BERIMAN KEPADA ALLOH .
Beriman kepada Alloh  adalah mengimani secara pasti tanpa disertai keraguan bahwasanya Alloh  adalah Tuhan segala sesuatu sekaligus sebagai raja, bahwasanya hanya Dia-lah yang berhak disembah bukan selainNya di dasari dengan rasa cinta, tunduk dan merendahkan diri di hadapanNya, dan juga Dia telah tersifatkan dengan sifat-sifat yang sempurna dan memiliki nama-nama yang indah, dan tersucikan dari segala sifat-sifat yang kurang dan tercela.
Adapun iman kepada Alloh  mencakup 4(empat) perkara:
• Beriman dengan wujud Alloh .
Beriman dengan wujud Alloh  ditunjukkan dengan dalil fithrah, akal, syari`at, dan rasa atau pembuktian.
1. Dalil fithrah.
Nabi H bersabda:
( مَا مِنْ مَوْلُوْدٍ إِلاَّ يُوْلَدُ عَلَى الفِطْرَةِ, فَأَبَوَاهُ يُهَوِّدَانِهِ أَوْ يُنَصِّرَانِهِ أَوْ يُمَجِّسَانِهِ )
“Tidaklah seorang anak dilahirkan kecuali dia dilahirkan di atas fithrah. Kemudian kedua orang tuanyalah yang menjadikannya yahudi, nashrani, ataupun majusi”. [HR. al-Bukhari no. 1292,1293 Muslim no. 22,23, Ahmad no. 8164, Ibnu Hibban no. 132, dll]
2. Akal sehat.
karena sesuatu itu tidak dapat menciptakan dirinya sendiri dan dikarenakan juga sebelumnya mereka tidak ada. Maka jelaslah bahwasanya Alloh  adalah Dzat yang menciptakan mereka.
Alloh  berfirman:
“Apakah mereka diciptakan tanpa sesuatupun ataukah mereka yang menciptakan (diri mereka sendiri)?”. [QS. Ath-Thuur: 35]
3. Dalilsyari`at.
Adapun dalil syari`at yang menunjukkan wujudnya Alloh  bahwasanya kitab-kitab samawiyah(yang diturunkan dari atas langit) semuanya telah menyebutkan tentang hal itu.
4. Dalil rasa atau pembuktian.
bahwasanya kita mendengar dan menyaksikan orang-orang yang dikabulkan do’anya.
Alloh  berfirman:
“Dan (ingatlah kisah) Nuh, sebelum itu ketika dia berdoa, dan kami memperkenankan doanya, lalu kami selamatkan dia beserta keluarganya dari bencana yang besar”. [QS. Al-Anbiya’: 76]
• Beriman dengan rububiyah Alloh .
Beriman dengan rububiyah Alloh  maksudnya bahwasanya Dia adalah Tuhan sekaligus raja yang tidak ada yang dapat menciptakan kecuali hanya Dia tidak ada sekutu baginya dan tidak ada penolong.
Alloh  berfirman:
“Ingatlah, menciptakan dan memerintah hanyalah hak Alloh. Maha Suci Alloh, Tuhan semesta alam”. [QS. Al-A’raf: 54]
• Beriman dengan uluhiyah Alloh .
Beriman dengan uluhihyah Alloh  maksudnya adalah bahwasanya Dia adalah satu-satunya Tuhan yang paling berhak untuk disembah tidak ada sekutu baginya.
Alloh  berfirman:
“(Kuasa Alloh) yang demikian itu, adalah Karena Sesungguhnya Alloh, dialah (Tuhan) yang Haq dan Sesungguhnya apa saja yang mereka seru selain dari Alloh, Itulah yang batil, dan Sesungguhnya Alloh, dialah yang Maha Tinggi lagi Maha besar”. [QS. Al-Hajj: 62]
• Beriman dengan asma` dan sifat Alloh .
Beriman dengan asma` dan sifat Alloh  artinya bahwasanya kita menetapkan apa-apa yang ditetapkan oleh Alloh  bagi diriNya sendiri di dalam kitabNya atau sunnah RasulNya  berupa nama-nama dan sifat-sifat atas segi yang layak bagiNya tanpa merubah makna, menolak, menanyakan bagaimana, memisalkanNya.
Alloh  berfirman:
“Hanya milik Alloh asmaa-ul husna, Maka bermohonlah kepada-Nya dengan menyebut asmaa-ul husna itu dan tinggalkanlah orang-orang yang menyimpang dari kebenaran dalam (menyebut) nama-nama-Nya”. [QS. Al-A’raf: 180]
2. BERIMAN KEPADA MALAIKAT.
Malaikat adalah makhluk ghaib yang tidak memiliki kekhususan rububiyah ataupun uluhiyah sedikitpun, diciptakan oleh Alloh  dari cahaya, dijadikan oleh Alloh  sebagai hamba yang memiliki ketaatan yang sempurna dan kekuatan dalam menjalankan ibadah.
Beriman kepada para malaikat mengandung beberapa perkara:
- mengimani wujudnya.
- beriman kepada seluruh malaikat-malaikat yang telah disebutkan namanya seperti: Jibril, Mikail, Malik, Israfil, Malaikat Maut [Sebagian orang menyangka bahwasanya nama malaikat pencabut nyawa adalah ‘Izrail, akan tetapi ini tidak ada dasarnya baik dari al-Qur`an maupun dari riwayat yang shahih, dan yang benar adalah malakul maut (malaikat maut) sebagaimana yang tertera di dalam surat as-Sajdah: 11 dan di dalam hadits yang diriwayatkan oleh al-Bukhari, Muslim, dll. Lihat al-Bidayah wa an-Nihayah oleh. Ibnu Katsir 1/50.], dan juga yang belum disebutkan namanya seperti; malaikat yang ditugaskan untuk meniup ruh di dalam rahim seorang ibu.
- beriman dengan sifat-sifat penciptaannya, seperti jibril yang sayapnya berjumlah 600 sayap dan setiap sayap memenuhi ufuk langit.
- beriman dengan tugas-tugas yang dijalankan oleh para malaikat yang sudah disebutkan. Seperti malaikat jibril sebagai penyampai wahyu.
3. BERIMAN KEPADA KITAB-KITAB.
Maksudnya bahwa kita wajib beriman dengan seluruh kitab-kitab dan bahwasanya Alloh telah menurunkannya kepada para nabi dan rasul untuk menjelaskan hakikat tauhid dan mendakwahkannya.
Iman kepada kitab-kitab mengandung 4(empat) perkara:
- beriman bahwasanya kitab-kitab itu diturunkan oleh Alloh .
- beriman dengan apa-apa yang kita ketahui dari nama-namanya, seperti; al-Qur`an yang diturunkan kepada nabi Muhammad , Taurat yang diturunkan kepada Nabi Musa, Injil yang diturunkan kepada Nabi Isa, dan Zabur yang diturunkan kepada nabi Dawud, adapun yang kita tidak ketahui namanya maka kita beriman kepadanya secara keseluruhan.
- membenarkan kabar-kabar yang telah sah darinya, seperti kabar dari al-Qur`an, dan kabar-kabar yang belum diganti dan dirubah dari kitab-kitab yang telah lalu.
- beriman kepada hukum-hukum yang belum dihapus darinya, ridha dan menerimanya baik kita ketahui hikmahnya maupun yang kita tidak ketahui hikmahnya. Dan seluruh kitab-kitab yang terdahulu telah dihapus hukumnya dengan al-Qur`an.
Alloh  berfirman:
“Dan kami Telah turunkan kepadamu Al Quran dengan membawa kebenaran, membenarkan apa
yang sebelumnya, yaitu kitab-kitab (yang diturunkan sebelumnya) dan batu ujian terhadap kitab-kitab yang lain itu”. [QS. Al-Maidah: 48]
4. BERIMAN KEPADA PARA RASUL.
Maksud dari kata rasul adalah orang-orang yang diberikan wahyu kepadanya dari kalangan manusia dengan syari`at dan diperintahkan untuk menyampaikannya. Adapun nabi adalah orang yang diberikan wahyu akan tetapi tidak diperintahkan untuk menyampaikannya sementara waktu, Maka setiap rasul adalah nabi dan tidak semua nabi adalah rasul.
Seorang muslim wajib beriman kepada para nabi dan rasul baik yang sudah disebutkan nama-namanya ataupun yang tidak disebutkan nama-namanya karena jumlah mereka sangatlah banyak. Di dalam sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Ahmad di dalam Musnad nya no. 21546, 21552 bahwasanya Rasululloh  menyebutkan jumlah nabi adalah 124.000 orang, dan jumlah rasul 312 orang.
Para rasul dan nabi mereka adalah dari kalangan manusia yang tidak memiliki hak rububiyah bahkan uluhiyah sedikitpun. Maka tidak boleh bagi seseorang pun meminta pertolongan kepada mereka ataupun berdoa, mencari berkah, bertawassul dan semisalnya terlebih lagi kepada orang-orang yang dianggap wali.
Alloh  berfiman kepada nabiNya:
“Katakanlah: "Aku tidak berkuasa menarik kemanfaatan bagi diriku dan tidak (pula) menolak kemudharatan kecuali yang dikehendaki Alloh. dan sekiranya Aku mengetahui yang ghaib, tentulah Aku membuat kebajikan sebanyak-banyaknya dan Aku tidak akan ditimpa kemudharatan. Aku tidak lain hanyalah pemberi peringatan, dan pembawa berita gembira bagi orang-orang yang beriman".[QS. Al-A’rof: 188]
Beriman kepada para rasul mengandung beberapa perkara:
- beriman bahwa risalah mereka benar datangnya dari Alloh .
- beriman dengan nama-nama mereka yang telah dikabarkan di dalam dalil-dalil.
- mengamalkan syariat rasul yang diutus kepada kita sekaligus sebagai penutup para rasul yakni Muhammad  yang telah menghapus hukum-hukum syariat yang telah lalu.
5. BERIMAN KEPADA HARI AKHIR.
Arti dari hari akhir adalah hari kiamat yang pada hari itu dibangkitkannya manusia oleh Alloh  untuk dihisab dan diberikan balasan.
Dan beriman kepada hari akhir adalah termasuk rukun iman yang ke lima. Maka barangsiapa yang mendustakannya maka dia telah kafir.
Alloh  berfirman:
“Orang-orang yang kafir mengatakan bahwa mereka sekali-kali tidak akan dibangkitkan. Katakanlah: "Memang, demi Tuhanku, benar-benar kamu akan dibangkitkan, Kemudian akan diberitakan kepadamu apa yang Telah kamu kerjakan." yang demikian itu adalah mudah bagi Alloh”.[QS. At-Taghobun: 7]
Iman kepada hari akhir mengandung beberapa perkara, diantaranya:
- beriman kepada fitnah kubur yakni pertanyaan malaikat tentang tiga perkara; tentang siapa tuhanmu, apa agamamu, dan siapa nabimu. juga beriman kepada nikmat dan siksa kubur, adanya kiamat besar ,adanya mizan (timbangan), adanya lembaran-lembaran catatan amal, adanya hisab (perhitungan amal) dan balasan tatkala Alloh  menghisab amal perbuatan para hamba, beriman dengan adanya al-haudh (telaga), As-Shirot (jembatan), syafa’at, surga dan neraka dan bahwasanya surga dan neraka merupakan tempat yang abadi untuk para hamba. Adapun surga adalah sebuah tempat yang telah disediakan oleh Alloh  untuk para hambaNya yang bertaqwa. Adapun neraka adalah sebuah tempat yang disediakan oleh Alloh  untuk orang-orang yang bermaksiat dari kalangan orang-orang kafir, munafik, dan musyrik.
6. BERIMAN KEPADA QADHA’ DAN QADAR.
Beriman kepada takdir mengandung beberapa perkara:
- beriman bahwasanya Alloh  mengetahui keadaan para hambaNya. Alloh  berfirman di dalam surat al-Ankabut: 62:
“Sesungguhnya Alloh Maha mengetahui segala sesuatu”.
- beriman bahwasanya Alloh telah menulis taqdir para makhluqNya. Alloh  berfirman di dalam surat yasin ayat: 12. “dan segala sesuatu kami kumpulkan dalam Kitab Induk yang nyata (Lauh mahfuzh)”.
- beriman dengan kehendak Alloh . Alloh  berfirman di dalam surat At-Takwir ayat: 29: “Dan kamu tidak dapat menghendaki (menempuh jalan itu) kecuali apabila dikehendaki Alloh, Tuhan semesta alam”.
- beriman bahwa Alloh  adalah Sang Pencipta segala sesuatu. Alloh  berfirman di dalam surat Az-Zumar ayat 62:“Alloh menciptakan segala sesuatu dan dia memelihara segala sesuatu”. Abu Abdillah Rz
[Al-Aqidah Ash-Shohihah wa ma Yudhoodduha oleh Syaikh Bin Baz, Syarh Ushul Al-Iman oleh Syaikh Ibnu Utsaimin, Aqidah Al-Muslim oleh Dr. Sa’id Al-Qohthoni, ‘Alam Al-Malaikah al-Abror, dll].





WASIAT BERHARGA BAGI ORANG YANG KEMBALI KE SALAF


Segala puji bagi Alloh  atas segala nikmat-Nya yang melimpah. Segala nikmat yang telah Dia karuniakan atas umat ini secara umum. Dan atas Ahlus Sunnah Wal Jama’ah secara khusus. Dia terangi jalan mereka, sehingga mampu melihat dengan jelas dan menjadi tenang dengannya.
Bagaimana tidak demikian? Sesungguhnya mereka mengambil cahaya dari Kitabulloh dan Sunnah Nabi mereka  . Dengan dilandasi oleh pemahaman Salafus Shalih, dari kalangan para sahabat dan tabi’in yang merupakan generasi utama. Padahal banyak orang tersesat dari jalan ini. Banyak orang bingung untuk menjalani jalan ini. Sehingga mereka terjebak dan tenggelam dalam syubhat (ketidak jelasan) yang menyesatkan. Wal ‘iyaadzu billaah.
Meski demikian, alhamdulillah masih banyak orang tergerak untuk kembali kepada Alloh, di atas Manhaj (jalan) para Salafus Shalih. Lari meninggalkan kelompok-kelompok sesat dan syubhat-syubhat merusak. Yang membuat akal dan hati mereka menjadi sakit selama bertahun-tahun. Dan menghilangkan kekuatan mereka dalam masa yang panjang.
Keadaan merekapun berubah. Bukan orang partai, bukan pula pergerakan. Bukan Jama’ah Tabligh, bukan pula penganut tasawwuf. Bukan Ikhwanul Muslimin, bukan pula Sururi Quthbi. Namun menjadi pengikut Sunnah Nabi  .
Tidak diragukan lagi jika kembalinya mereka menuju Manhaj Salaf menggembirakan kalangan Ahlus Sunnah Wal Jama’ah. Karena Ahlus Sunnah Wal Jama’ahlah orang yang paling mengasihi manusia, seperti halnya mereka paling mengenal kebenaran.
Bagaimana mereka tidak bahagia? Sedangkan mereka sering mendengar sabda Nabi mereka  :
لَلَّهُ أَفْرَحُ بِتَوْبَةِ عَبْدِهِ مِنْ أَحَدِكُمْ سَقَطَ عَلَى بَعِيْرِهِ وَ قَدْ أَضَلَّهُ فِيْ أَرْضٍ فَلاَةٍ
“Sungguh Alloh lebih bahagia dengan taubat hamba-Nya daripada kebahagiaan salah seorang dari kalian yang menemukan untanya padahal dia telah kehilangannya di tengah padang.” [Diriwayatkan oleh Bukhari dari hadits Anas bin Malik  (6309) dan Muslim (6896). Ini merupakan lafazh riwayat Bukhari].
Dan juga sabda beliau  :
لاَ يُؤْمِنُ أَحَدُكُمْ حَتَّى يُحِبَّ ِلأَخِيْهِ مَا يُحِبُّ لِنَفْسِهِ
“Tidaklah sempurna iman salah seorang dari kalian hingga dia mencintai untuk saudaranya apa yang dia cintai untuk dirinya sendiri.” [Diriwayatkan oleh Bukhari (13) dan Muslim (162)].
Hanya saja, kebahagiaan ini disertai pula oleh rasa sedih dan kasihan terhadap keadaan sebagian orang yang bertaubat menuju Sunnah. Seperti kebingungan dan kegoncangan. Bisa disebabkan oleh banyaknya syubhat-syubhat (kerancuan) yang disebarkan oleh para pelaku kebatilan. Sehingga orang-orang yang bertaubat tersebut menjadi goyah. Dan bisa pula karena mereka tidak bertanya kepada ulama Ahlus Sunnah Wal Jama’ah dalam masalah tersebut.
Karena itulah kami menerbitkan risalah yang berisi wasiat-wasiat untuk orang-orang yang bertaubat menuju Sunnah ini.
Wasiat Pertama:
۞ Pujilah Alloh  atas nikmat sunnah ini dan bersyukurlah kepada-Nya.
Sesungguhnya nikmat sunnah ini merupakan nikmat yang sangat besar. Alloh berikan kepada orang yang dikehendaki-Nya. Maka baguslah dalam mensyukuri dan mengamalkannya. Ingatlah bahwa:
Betapa banyak orang yang tenggelam dalam syubhat (ketidak jelasan) tanpa dia tahu jalan keluarnya.
Betapa banyak orang terjebak nafsu syahwat tanpa dia tahu kapan dia akan bebas darinya.
Karena itu bersyukurlah kepada Alloh . Ketahuilah bahwa nikmat ini hanyalah datang dari Alloh  semata. Sesungguhnya Anda tidak memiliki kemampuan ataupun usaha untuk mendapatkannya, kecuali dengan pertolongan Alloh . Alloh  lah yang telah mengasihi Anda dan memberi Anda hidayah. Bersyukurlah bahwa Alloh  tidak mematikan Anda dalam keadaan tenggelam dalam syubhat atau syahwat. Hanya milik Alloh sajalah segala pujian di dunia dan di akhirat. Alloh lah yang telah menuntun Anda. Dia mudahkan untuk Anda orang yang menuntun Anda menuju Manhaj Salaf. Betapa banyak nikmat-Nya yang telah Dia berikan kepada kita semua. Alloh  berfirman:
       [إبراهيم: 34]
Dan jika kamu menghitung nikmat Allah. (QS. Ibrahim: 34).
Jangan sampai Anda lupa diri dan sombong. Ingatlah firman Alloh  :
       •  [النساء: 94]
Begitu jugalah Keadaan kamu dahulu, lalu Allah menganugerahkan nikmat-Nya atas kamu, Maka telitilah. (QS. An-Nisaa’: 94).
Jangan sampai Anda merendahkan orang lain yang diuji oleh Allah dengan kegelapan yang Anda telah diselamatkan oleh Alloh darinya. Sebaliknya, pujilah Alloh  bahwa Dia telah selamatkan Anda tanpa menimpakan kepada Anda apa yang menimpa mereka. Jika Anda melihat orang yang ditimpa ujian, katakanlah:
اَلْحَمْدُ ِللهِ الَّذِيْ عَافَانِيْ مِمَّا ابْتَلاَكَ بِهِ وَ فَضَّلَنِيْ عَلَى كَثِيْرٍ مِمَّنْ خَلَقَ تَفْضِيْلاً
“Segala puji bagi Alloh yang telah menyelamatkan aku dari apa yang menimpamu. Dan memberiku kelebihan di atas banyak makhluk.”
Berbelas kasihlah atas mereka. Berharaplah bahwa Alloh  akan memberikan kebaikan dan hidayah seperti yang telah diberikan-Nya kepada Anda.
Kemudian ketahuilah -semoga Alloh  memberimu taufiq- bahwa Anda haruslah menjalani sebab-sebab yang membantu Anda untuk memperbaiki taubat Anda dengan sunguhh-sungguh dan ikhlas. Hal pertama yang harus Anda mulai adalah:

Wasiat Kedua:
۞ Sesungguhnya ilmu merupakan perkara asasi dalam memperbaiki taubat Anda. Karena dua alasan:
Pertama: Umumnya kerancuan dan ketidak jelasan (syubhat) yang ada melekat dalam dada dan fikiran Anda. Jika Anda tidak mengoreksinya dengan ilmu yang bermanfaat, maka Anda akan mendapati diri Anda tidak lepas dari syubhat-syubhat ini dalam ucapan, perbuatan dan keadaan Anda, Bahkan dalam dakwah Anda. Seperti halnya kebanyakan orang-orang yang baru bertaubat kemudian langsung terjun ke medan dakwah. Merekapun menyerukan Dakwah Salafiyah, namun bercampur dengan syubhat-syubhat Ikhwanul Muslimin, ataupun Quthbiyah Takfiriyah (kelompok yang gemar dan gampang mengkafirkan umat) ataupun Sururiyah Hizbiyyah. Sehingga, bentuk luarnya Salafi namun rasa dan wanginya bukan. Akhirnya, dakwah salafiyah mereka mencakup kriteria-kritreria tertentu. Dasarnya syubhat-syubhat yang terbawa semenjak sebelum bertaubat dan belum diperbaiki.
Akhirnya ada yang mengajak untuk membentuk kekuatan dakwah, ada yang meninggalkan sebagian pokok (ushul) Manhaj Salaf, dengan alasan hal itu dapat mengeraskan hati atau memutuskan ikatan persaudaraan. Ada pula yang mendukung pemikiran Quthbiyah, ada yang mengajak kepada Hizbiyah (berkelompok dan fanatik kepadanya). Ada pula yang membawa pemikiran-pemikiran teroris. Semuanya atas nama Salafi. Hanya kepada Alloh  sajalah kita mengadu. Kita semua milik Alloh  dan kepada-Nya kita akan kembali.
Kedua: Bisa jadi Anda dipengaruhi oleh satu syubhat yang merubah jalan Anda dalam bertaubat menuju Sunnah. Akibatnya, Anda kebingungan atau malah mendakwahkan syubhat tersebut karena mengiranya sebagai kebenaran padahal kesesatan murni.
Betapa banyak orang-orang yang mengaku Alim Salafi mempermainkan para pemuda yang bertaubat menuju Alloh . Penyebabnya tidak lain hanyalah karena mereka tidak menuntut ilmu yang bermanfaat, tidak pula bertanya kepada Ulama' Ahlus Sunnah Wal Jama'ah.
Karenaitu wahai saudaraku yang bertaubat –semoga Alloh  memberi Anda taufik-...Anda harus menuntut ilmu yang bermanfaat. Karena itulah yang membuat taubat Anda benar dan meluruskan jalan Anda. Dengannya Anda akan selamat dari syubhat dan ketergelinciran, Anda akan selamat dari jerat-jerat dan perangkap dengan izin dan taufik Alloh .
Adapun dalil-dalil tentang keutamaan ilmu dan pemiliknya sangatlah banyak dan bukanlah suatu hal yang asing lagi. Saya sebutkan diantaranya firman Alloh :
                   
"Alloh menyatakan bahwasanya tidak ada Tuhan melainkan Dia (yang berhak disembah), yang menegakkan keadilan. Para Malaikat dan orang-orang yang berilmu (juga menyatakan yang demikian itu). tak ada Tuhan melainkan Dia (yang berhak disembah), yang Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana".[QS. Ali 'Imran: 18].
Demikian pula firman Alloh :
       
"Sesungguhnya yang takut kepada Alloh di antara hamba-hamba-Nya, hanyalah ulama. Sesungguhnya Allah Maha Perkasa lagi Maha Pengampun".[QS. Fthir: 28].
Dan firman Alloh :
         
"Niscaya Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman di antaramu dan orang-orang yang diberi ilmu pengetahuan beberapa derajat".[QS. Al-Mujaadilah: 11].
Demikian pula firamn Alloh  yang menyebutkan kepada Nabi-Nya  tentang Al-Kitab dan Hikmah yang telah diberikan-Nya kepadanya, serta pemeliharaan yang diberikan-Nya atasnya dari orang-orang yang ingin menyesatkannya.
Alloh  berfirman(artinya):
"Sekiranya bukan karena karunia Alloh dan rahmat-Nya kepadamu, tentulah segolongan dari mereka berkeinginan keras untuk menyesatkanmu. tetapi mereka tidak menyesatkan melainkan dirinya sendiri, dan mereka tidak dapat membahayakanmu sedikitpun kepadamu. dan (juga karena) Alloh telah menurunkan kitab dan Hikmah kepadamu, dan telah mengajarkan kepadamu apa yang belum kamu ketahui. dan adalah karunia Alloh sangat besar atasmu".[QS. An-Nisa': 113].
( Sumber: Al-Wshaya As-Saniyyah Lit Taa-ibiin ilas Salafiyyah. Karya: Abu Abdillah bin Ahmad bin Muhammad Asy-Syihhi ).

HADITS LEMAH DAN PALSU

1.
(( اُطْلبُوُا العِلْمَ وَ لَوْ باِلصِّيْنِ )) 2.
"Tuntutlah ilmu sampai ke negeri Cina"
Batil. Diriwayatkan oleh Ibnu 'Adi 207/2, Abu Nu'aim di dalam Akhbar Ashbahan 2/106, Ibnu 'Ulaik An-Naisaburi di dalam Al-Fawa-id 241/2, Abu Al-Qasim Al-Qushairi di dalam Al-Arbain 151/2, Al-Khathib di dalam At-Tarikh 9/364 dan di kitab Ar-Rihlah 1/2, Al-Baihaqi di dalam Al-Madkhal 241/324, Ibnu 'Abdil Barr di dalam Jami' Bayan Al-Ilmi 1/7-8, dan Adh-Dhiya' di dalam Al-Muntaqa 28/1 .[Lihat Silsilah Al-Ahadits Adh-Dhaifah wa Al Maudhu'ah oleh Imam Al-Bani 1/600 no.416].
2.
(( اِخْتِلاَفُ أُمَّتِي رَحْمَة ٌ ))

"Perselisihan Umatku adalah Rahmat"
Tidak ada asalnya. Al-'Allamah Ibnu Hazm berkata di dalam kitab Al-Ihkam fi Ushul Al-Ahkam 5/64 setelah mengisyaratkan bahwasanya dia itu bukanlah hadits: "Ini adalah termasuk perkataan yang paling rusak, karena seandainya ikhtilaf (perselisihan) itu rahmat niscaya ittifaq (kesepakatan) itu adalah kemurkaan, dan hal ini tidaklah patut dikatakan oleh seorang muslim".
"Kalau kiranya Al Quran itu bukan dari sisi Alloh, tentulah mereka mendapat pertentangan yang banyak di dalamnya."[QS. An-Nisa': 82]
Dan ayat di atas telah gamblang mengkhabarkan bahwa ikhtilaf itu bukanlah dari Alloh datangnya, maka mengapa hal itu dijadikan sebuah syari'at yang dengannya akan membendung beberapa permasalahan di dalam beragama?.[Lihat silsilah Al-Ahadits Adh-Dhaifah wa Al-Maudhu'ah 1/141 oleh Imam Al-Bani].
Adapun hadits yang sah datangnya dari Nabi  berbunyi:
(( الجَمَاعَةُ رَحْمَة ٌوَالفُرْقَة ُ عَذَابٌ ))
"Jama'ah itu adalah Rahmat sedangkan Furqoh(Perpecahan) itu adalah Adzab".
Hasan. Lihat As-Sunnah oleh Ibnu Abi 'Ashim 93, dan Silsilah Al-Ahadits Ash-Shahihah oleh Al-Imam Al-Bani 2/272.
3.
(( مَنْ غَسَلَ مَيْتًا فَأدَّى فِيْهِ الأمَانَةَ يَعْنِي سَتَرَ مَا يَكُوْنُ مِنْهُ عِنْدَ ذَلِكَ كَانَ مِنْ ذُنُوْبِهِ كَيَوْمٍ وَلَدَتْهُ أُمُّهُ ))
"Barangsiapa yang memandikan mayit kemudian menunaikan amanat yakni dia menutupi apa-apa yang ada pada mayat
tersebut maka dosanya(bersih) bagaikan hari dia dilahirkan oleh ibunya".
Dhaif Jiddan(Lemah sekali). [Lihat Silsilah Al-Ahadits Adh-Dhaifah wa Al-Maudhu'ah 3/369 no.1225, dan Dhaif At-Targhib wa At-Tarhib 2/208 oleh Imam Al-Bani].




WASIAT BERHARGA
BAGI ORANG-ORANG YANG KEMBALI KE SUNNAH (BAG. II)


Segala puji bagi Alloh Robb semesta alam dan sholawat serta salam semoga tercurahkan atas Nabi Muhammad , beserta keluarga, para sahabat dan orang-orang yang mengikuti mereka dengan kebaikan hingga hari kiamat.
Pada bagian pertama telah kita sebutkan 2 wasiat yang berisi dua langkah pertama yang mesti dilakukan oleh orang-orang yang kembali kepada Sunnah Rasululloh . Kedua wasiat itu yakni: Pertama: Mensyukuri nikmat Alloh , dan Kedua: Menuntut ilmu. Berikut ini wasiat selanjutnya, semoga Alloh  memberi kita taufik untuk mengamalkannya dan istiqomah di atasnya.
Wasiat Ketiga: Mulailah dengan mempelajari Ushul (pokok-pokok ajaran) Ahlus Sunnah Wal Jama’ah.
Saudaraku – semoga Alloh  memberi Anda taufik menuju ketaatan kepada-Nya – bahwa yang kami maksud dengan Ushul di sini bukan hanya Tauhid dengan ketiga bagiannya. Namun, termasuk pula pokok-pokok ajaran lainnya yang menjadi landasan Ahlus Sunnah Wal Jama’ah. Dan membedakan mereka dengan Ahli Bid’ah Wal Furqoh (para pelaku bid’ah lagi berpecah belah).
Ushul atau pokok yang kami maksud adalah seperti Al-Wala’ Wal Baro’ (loyalitas dan dan berlepas diri), Amar ma’ruf nahi munkar, sikap terhadap para Sahabat , menghormati dan membela mereka. Sikap terhadap pemerintah. Sikap terhadap para pelaku maksiat dan dosa besar. Sikap terhadap para pelaku bid’ah, membicarakan mereka dan bermu’amalah dengan mereka. Dan pokok-pokok lainnya yang menjadi landasan Ahlus Sunnah Wal Jama’ah. Mereka cantumkan semua itu dalam kitab-kitab akidah mereka. Untuk menampakkan kebenaran dan membedakan diri dengan orang-orang yang menyimpang, menebar fitnah, mengikuti hawa nafsu dan berpecah belah. Meskipun pada asalnya semua masalah itu merupakan amaliyah, bukan akidah.
Jika Anda menguasai masalah dan ushul ini, maka Anda – dengan izin Alloh  - telah terbentengi dalam menghadapi berbagai syubhat yang menyambar kiri kanan.
Namun, ketika banyak dari kalangan orang-orang yang bertaubat melalaikan masalah ini, tanpa mempelajari ushul atau pokok dan manhaj Ahlus Sunnah Wal Jama’ah dalam mengawali taubat mereka. Merekapun goyah tak tentu arah karena syubhat yang paling kecil sekalipun. Hanya kepada Alloh kita memohon keselamatan.
Bagi yang memperhatikan keadaan mereka akan mendapati banyak bentuk dan banyak contoh kebingungan tersebut. Di antaranya sebagai berikut:
Contoh Pertama: Anda akan mendapati seorang yang bertaubat, pada awal mula sangat bersemangat untuk menjauhi Ahli Bid’ah dan Furqah selama beberapa waktu. Kemudian tatkala dia mendangar sebuah syubhat yang dilontarkan oleh orang yang berkedok salafi, yang kesimpulannya:
Bahwa menjauhi Ahli Bid’ah, tidak bergaul dengan mereka adalah tidak benar. Dan hal itu menghilangkan banyak maslahat. Dan bahwasanya tidak seorangpun yang ma’shum (terjaga dari kesalahan) selain Rasululloh . Bahkan para sahabat  pun pernah salah.
Ketika dia mendengar syubhat seperti itu, muncul penyakit dalam hatinya. Dia menelan begitu saja syubhat itu lebih cepat dari ia menelan air. Akhirnya dia malah berkumpul dengan Ahli Bid’ah, lembek dalam menerapkan Ushul Salaf atas nama Salafiyyah. Hal ini terjadi tiada lain disebabkan oleh karena dia tidak mempelajari Al-Qur'an dan As-Sunnah berdasarkan pemahaman Salaf yang menjadi pendahulu umat ini. Tidak pula mempelajari Ushul atau Pokok-Pokok Ahlus Sunnah Wal Jama’ah. Sebab jika dia mempelajari perkara ini, niscaya dia akan mengetahui bahwa semua syubhat di atas adalah batil. Bertentangan dengan keadaan Ahlus Sunnah Wal Jama’ah bersama Ahlul Ahwa’ Wal Bida’, baik di zaman dahulu maupun sekarang. Niscaya dia akan mengetahui pula bahwa ucapan orang yang berkedok salafi itu bahwa tidak ada yang ma’shum selain Rasululloh , dan semua orang bisa salah. Dia akan mengetahui bahwa ucapan tersebut memang benar, namun dimaksudkan untuk kebatilan. Sebab Ahlus Sunnah Wal Jama’ah dari kalangan para sahabat dan orang-orang yang mengikuti mereka dengan kebaikan, jika salah seorang dari mereka salah, sesungguhnya kesalahan itu tidak muncul dari hawa nafsu. Bukan pula karena tidak pernah mempelajari dan meneliti Sunnah. Bukan pula karena menakwil nash-nash Al-Qur'an maupun As-Sunnah. Bukan pula karena mengikuti nash-nash Al-Qur'an dan As-Sunnah yang mutasyabih (samar). Seperti halnya para pelaku bid’ah. Namun penyebabnya adalah karena tidak tahu dalil. Atau dia mengetahuinya namun menganggapnya tidak shahih. Atau alasan-alasan lainnya yang merupakan uzur baginya.
Pada merekalah dan juga orang-orang yang mengikuti mereka dengan kebaikan diterapkan sabda Nabi :
“Jika seorang hakim memutuskan perkara dan berijtihad, kemudian dia benar, maka dia mendapatkan dua pahala. Namun jika memutuskan perkara dan berijtihad, kemudian dia salah, maka dia mendapatkan satu pahala.” [Diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim].
Berbeda dengan Ahlul Bid’ah Wal Furqoh. Sesungguhnya mereka tidak peduli dengan dalil. Mereka lebih mengedepankan akal mereka di atas dalil Al-Qur'an dan As-Sunnah. Bahkan mereka membuat ushul atau pokok ajaran sendiri yang bertentangan dengan Ushul Ahlus Sunnah Wal Jama’ah. Mereka ini tidaklah bisa diberikan udzur. Yaitu udzur yang dilontarkan oleh orang yang berkedok salafi itu. Tidaklah memasukkan mereka ini dalam deretan Ahlus Sunnah Wal Jama’ah melainkan orang yang jahil, atau pelaku bid’ah yang menentang.
Contoh Kedua: Terkadang pada awal taubatnya, seseorang bersemangat untuk membantah Ahli Bid’ah, namun tanpa rambu-rambu dan tanpa ilmu. Kemudian sikapnya tersebut berlangsung beberapa waktu. Sehingga ketika dia mendengar syubhat dari orang yang mengakut salafi:
Bahwa kritikan atau bantahan bukanlah manhaj (metode) atau jalan yang digariskan oleh Ahlus Sunnah Wal Jama’ah!
Dan bahwa kritikan atau bantahan membuat hati menjadi keras!!
Dan bahwa fulan pernah mengkritik beberapa jama’ah, akibatnya dia berbalik dan berubah keadaannya ke yang lebih buruk. Ketika dia mendengar syubhat ini, diapun berbalik dan mengingkari ushul atau pokok agung yang menjadi pondasi penegak agama ini. Bahkan bisa jadi Anda setelah itu melihatnya mengajak orang-orang untuk meninggalkan ushul ini dengan alasan bisa membuat hati menjadi keras. Yang benar adalah bahwa perkara ini merupakan ushul atau pokok yang agung. Tegak di atasnya agama yang lurus ini. Dan merupakan pintu kokoh yang melindungi Manhaj Ahlus Sunnah Wal Jama’ah dari penyelewengan. Lebih dari itu perkara ini merupakan ibadah yang agung. Mampu menambah iman seorang muslim. Tapi, ketika terpenuhi syarat-syaratnya: seperti ikhlas dan lainnya. Sehingga perkara ini tidak ada bedanya dengan ibadah lainnya, yaitu bisa menambah keimanan.
Maka aibnya bukanlah terletak pada Ushul atau Pokok ini. Namun sesungguhnya aibnya terletak orang yang menerapkan ushul ini tanpa rambu-rambu. Ketika syubhat mendapatkan sambutan dalam hatinya, dia malah mengingkari ushul ini. Bukannya mengingkari dirinya yang tidak menerapkan ushul ini dengan benar.
Karena itu, dalam diri para sahabat, tabi’ini dan orang-orang yang mengikuti mereka dengan kebaikan, tidaklah kita lihat melainkan kezuhudan, ketakwaan dan rasa takut kepada Alloh  serta kelembutan hati. Padahal mereka sering mengkritik dan mengomentari para rawi dan kelompok.
Abdullah bin Mubarok, Ahmad bin Hambal, Yahya bin Ma’in, Ali bin Madini, Abu Hatim Ar-Rozi, Al-Bukhori dan lainnya. Sejarah mereka disinari oleh kezuhudan, kewara’an, rasa takut dan ketakwaan.
Ketidak jelasan dan kebingungan ini disebabkan oleh tidak adanya keikhlasan dan kejujuran dalam bertaubat kepada Alloh . Serta tidak mempelajari ushul atau pokok ajaran Ahlus Sunnah Wal Jama’ah terlebih dahulu.
Karena itu – wahai saudaraku yang bertaubat – Anda harus waspada terhadap semisal ketergelinciran yang membahayakan ini. Ketahuilah bahwa tidak ada jalan selamat dari syubhat-syubhat dan ketergelinciran ini melainkan jika Alloh  memberikan Anda taufik dan Anda memulai dengan mempelajari ushul Ahlus Sunnah Wal Jama’ah. Bersemangatlah dalam masalah ini, kerahkan tenaga dan tanamkan azam yang kuat
Serta jujur dan ikhlaslah : Dan orang-orang yang berjihad untuk (mencari keridhaan) Kami, benar- benar akan Kami tunjukkan kepada mereka jalan-jalan kami. dan Sesungguhnya Allah benar-benar beserta orang-orang yang berbuat baik. (QS. Al-Ankabut: 69).
Yakinlah dengan firman Alloh ta'ala (artinya) : Dan Sesungguhnya kalau Kami perintahkan kepada mereka: "Bunuhlah dirimu atau keluarlah kamu dari kampungmu", niscaya mereka tidak akan melakukannya kecuali sebagian kecil dari mereka. dan Sesungguhnya kalau mereka melaksanakan pelajaran yang diberikan kepada mereka, tentulah hal yang demikian itu lebih baik bagi mereka dan lebih menguatkan (iman mereka), dan kalau demikian, pasti Kami berikan kepada mereka pahala yang besar dari sisi Kami, dan pasti Kami tunjuki mereka kepada jalan yang lurus. (QS. An-Nisa’: 66-68).
Hati-hatilah, jangan sampai lemah dan berbalik arah gara-gara sesuatu menimpanya di jalan Alloh. Jangan lupakan firman Alloh ta'ala:
Dan berapa banyaknya Nabi yang berperang bersama-sama mereka sejumlah besar dari pengikut (nya) yang bertakwa. mereka tidak menjadi lemah karena bencana yang menimpa mereka di jalan Allah, dan tidak lesu dan tidak (pula) menyerah (kepada musuh). Allah menyukai orang-orang yang sabar. (QS. Ali Imron: 146).
Wasiat Keempat: Jangan Mengambil Ilmu Kecuali Dari Orang Yang Dikenal Di Atas Sunnah.
Imam Muhammad bin Sirin berkata: “Sesungguhnya ilmu ini adalah agama. Maka lihatlah dari siapa kalian mengambil agama kalian.”
Beliau juga berkata: “Dahulu mereka (ulama Salaf-pent) tidak bertanya tentang sanad. Namun ketika terjadi fitnah, mereka berkata: “Sebutkan perawi-perawi kalian.” Jika dari Ahlus Sunnah, maka haditsnya diterima. Namun jika dari Ahli Bid’ah maka haditsnya tidak diterima.”
Ketika sebagian orang yang bertaubat melalaikan ushul dan rambu-rambu ini, mereka menjadi sasaran syubhat dan bahan permainan orang-orang bertopeng ilmu dan sunnah. Ketika seseorang datang, mengaku berilmu dan menampakkan diri memiliki hubungan dengan para ulama besar Ahlus Sunnah. Maka Anda mendapati saudara-saudara yang taubat ini berkumpul di sekelilingnya tanpa meneliti hakikat dan sepak terjangnya. Ketika dia melihat pengikutnya telah banyak dan para penggemarnya telah mabuk kepayang, dia mulai menampakkan apa yang selama ini dia sembunyikan. Diapun mulai mengajak untuk membangun kekuasaan atau lainnya yang bertentangan dengan ushul Ahlus Sunnah Wal Jama’ah.
Ketika itulah mereka yang bertaubat menjadi bingung. Dan mereka terbagi menjadi dua atau tiga bagian: ada yang mendukung, ada yang menentang dan ada yang netral. Sesungguhnya kebingungan ini terjadi karena dua sebab:
Pertama: Tidak mempelajari ilmu yang bermanfaat, terutama ilmu tentang ushul Ahlus Sunnah Wal Jama’ah. Padahal ilmu melindungi pemiliknya dari ketergelinciran.
Lupakah Anda bagaimana ilmu memelihara Abu Bakrah  pada Perang Jamal. Ketika orang-orang memajukan Ummul Mukminin Aisyah radiyallahu 'anha (sebagai pemimpin). Dia  berkata: “Alloh memelihara aku dengan satu hal yang aku dengar dari Rosulillah  ketika Kisra meninggal. Beliau bertanya: “Siapa yang mereka angkat sebagai penggantinya?” Para sahabat berkata: “Anak perempuannya.” Nabi  lantas bersabda: “Tidak akan beruntung satu kaum yang menyerahkan kekuasaannya kepada seorang wanita.”
Abu Bakrah berkata: “Ketika Aisyah datang – yaitu ke Basrah – aku mengingat sabda Rosulillah  ini. Maka Alloh pun memelihara aku dengannya.”
Kedua: Tidak merujuk kepada Ulama. Sebab yang paling utama adalah bertanya kepada Ulama dan para penuntut ilmu Ahlus Sunnah Wal Jama’ah yang mengenal orang yang ingin diambil ilmunya tersebut. Hendaklah bertanya:
“Apakah dia termasuk penuntut ilmu yang salafi ataukah bukan?”
“Apakah dia pernah belajar ilmu yang shahih sehingga pantas untuk belajar padanya ataukah tidak?”
Jika jawabannya tidak, maka perkaranya selesai walhamdulillah. Jika jawabannya Iya, maka bisa mengambil ilmu darinya namun tanpa ghuluw terhadapnya. Namun hendaklah menyikapinya sesuai dengan kedudukan dan martabatnya.
Ini merupakan point yang penting. Yaitu memilah antara Ulama’ Robbani yang merupakan rujukan ilmiah dan perkara-perkara baru. Seperti Imam Muhammad Nashiruddin Al-Albani, Imam Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz, Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin dan Syaikh Muqbil bin Hadi Al-Wadi’i rahimahumulloh. Demikian pula para ulama yang masih hidup seperti Syaikh Shalih Fauzan Al-Fauzan, Syaikh Rabi’ bin Hadi Al-Madkhali dan lainnya yang memiliki martabat ulama dan mufti dari kalangan Ahlus Sunnah Wal Jama’ah.
Termasuk pula memilah para penuntut ilmu robbani yang dikenal memiliki ilmu dan bahwa mereka berada di atas Sunnah, yang bisa dilihat dari tulisan-tulisan mereka dan rekomendasi para ulama untuk mereka.
Kemudian para penuntut ilmu yang berada di bawah mereka, yang dikenal salafi dan mampu mengajar.
Wasiat Kelima: Keharusan Untuk Kembali Kepada Ulama Senior Dalam Masalah-Masalah Besar dan Penting.
Kepada para ulama besar robbanilah kita kembali dalam masalah-masalah besar dan penting. Terutama yang mendatangkan maslahat bagi umat Islam. Jika Anda memperhatikan keadaan generasi awal dari kalangan Salafus Shalih, niscaya Anda akan mendapati mereka sangat bersemangat untuk merujuk kepada para ulama senior yang sezaman dengan mereka. Terutama dalam masalah hukum-hukum yang berkaitan dengan pembid’ahan dan pengkafiran.
Perhatikanlah Yahya bin Ya’mar Al-Bashri dan Humaid bin Abdurrahman Al-Himyari Al-Bashri. Ketika muncul Qadariyah di zaman mereka dan mulai tampak perbedaan antaranya dengan ushul Ahlus Sunnah Wal Jama’ah yang bisa membuat mereka (Qadariyah) dihukumi kafir, atau bid’ah atau dikeluarkan dari lingkaran Ahlus Sunnah Wal Jama’ah. Mereka berdua tidaklah tergesa-gesa dalam menghukumi mereka. Namun mereka mendatangi rujukan ilmiyah dari kalangan para ulama dan mufti, yaitu Abdullah bin Umar radiyallahu 'anhuma. Mereka berdua mengabarkan kepadanya tentang Qadariyah. Mereka sebutkan bahwa mereka menganggap tidak ada takdir, segala hal terjadi tiba-tiba. Ibnu Umarpun memberikan fatwa atas kesesatan dan penyimpangan Qadariyah.
Ibnu Umar berkata: “Jika engkau bertemu dengan mereka, katakanlah bahwa aku berlepas diri dari mereka dan mereka berlepas diri dariku. Demi Alloh yang dengan nama-Nya Abdullah bin Umar bersumpah, seandainya salah seorang dari mereka menyedekahkan emas seukuran gunung Uhud. Niscaya Alloh tidak akan menerimanya hingga mereka beriman kepada takdir.”
Kemudian, perhatikanlah Zubaid bin Harits Al-Yami. Ketika muncul Murji’ah di zamannya, dan dia melihat ada penyimpangan pada mereka terhadap Ushul Ahlus Sunnah Wal Jama’ah yang membuat mereka bisa dikeluarkan dari lingkaran Ahlus Sunnah Wal Jama’ah, dia tidaklah tergesa-gesa menghukumi mereka. Bahkan dia mendatangi rujukan ilmiyah di zamannya dari kalangan ulama dan mufti yang menimba ilmu dari para sahabat senior. Yaitu Abu Wa’il Syaqiq bin Salamah Al-Asadi Al-Kufi. Zubaid memberitahukan kepadanya tentang apa yang terjadi. Abu Wa’ilpun memberikan fatwa dengan nash dari Rosululloh  yang menunjukkan batilnya syubhat Murji’ah dan menyimpangnya mereka dari Sunnah. Zubaid berkata: “Ketika muncul Murji’ah, aku mendatangi Abu Wa’il dan menyebutkan hal itu padanya. Dia berkata: “Abdullah telah menyampaikan hadits kepadaku bahwa Nabi  bersabda:
“Mencerca seorang muslim adalah perbuatan fasik sedang membunuhnya adalah perbuatan kufur.”
Jika Anda bandingkan antara keadaan mereka bersama para ulama zaman mereka, dengan keadaan orang-orang bingung di zaman kita ini, niscaya Anda akan mendapatkan perbedaan yang sangat jauh.
Para Salaf berusaha keras untuk berada di atas rambu ini. Mereka tidak tergesa-gesa menghukumi orang yang terlihat menyimpang di zaman mereka. Hingga mereka mengajukan masalah tersebut kepada para ulama Ahlus Sunnah Wal Jama’ah. Ketika mereka telah mendengar fatwa, mereka pegang teguh fatwa tersebut dan memisahkan diri dengan para penyimpang yang menyelisihi Ahlus Sunnah Wal Jama’ah.
Adapun hari ini, akan jarang Anda dapati orang seperti itu. Sebaliknya yang Anda dapati adalah orang yang tidak menghiraukan ucapan para ulama yang mengingatkan untuk mewaspadai Ahlul Ahwa’ Wal Bida’. Mereka malah memerangi fatwa para ulama dan menyelewengkannya. Kita memohon keselamatan dari Alloh.
Sebagai penutup, kami nasihatkan kepada setiap orang yang menginginkan keselamatan dan kebahagiaan di dunia dan di akhirat untuk berpegang teguh dengan Manhaj Ahlus Sunnah Wal Jama’ah. Agar selamat dari segala syubhat yang menyesatkan. Hendaklah mereka jujur dalam bertaubat, mantap dan kokoh dalam menjalankan sebab yang membantu untuk istiqamah. Tawakkal kepada Alloh. Berserah dirilah kepada Alloh, berdo’alah kepadanya. Mintalah pertolongan dan taufik kepada-Nya.
(diterjemahkan secara bebas dari Al-Washaya As-Saniyyah Lit Ta’ibin Ilas Salafiyyah karya Abu Abdillah Ahmad bin Muhammad Asy-Syihhi).






AQIDAH KITA


AQIDAH merupakan dasar yang didirikan di atasnya amal ibadah. Setiap ummat, golongan (firqoh) memiliki aqidah masing-masing. Jikalau aqidahnya benar maka benar pula amal-amal ibadahnya yang lain, jikalau aqidahnya salah maka salah pula amal-amal ibadahnya yang lain. Karena segala sesuatu yang didirikan di atas yang benar adalah benar, dan apa-apa yang didirikan di atas kebatilan adalah batil. Oleh karena itu para Rasul -alaihimussalam- memulai dakwahnya dengan pembenaran aqidah terlebih dahulu. Dan kemudian memerintahkan mereka melaksanakan ibadah-ibadah yang lain setelah benarnya aqidah mereka.
    •        
"Dan sungguh kami telah mengutus seorang rasul kepada setiap ummat (untuk menyeru) "sembahlah Alloh dan jauhilah Thoguut...". QS. An-Nahl: 36
Mereka diajarkan aqidah yang benar dalam waktu yang cukup panjang sampai mereka benar-benar memahaminya setelah itu kemudian mereka diajarkan syariat-syariat yang lain.
Dan Nabi kita Muhammad  yang merupakan penutup para Nabi melakukan apa yang telah dilakukan oleh para Nabi sebelumnya, yaitu mengawali dakwahnya dengan pembenaran aqidah. Beliau mulai berdakwah di Mekkah selama tiga belas tahun yang diawali dengan pembenaran aqidah, memerintahkan mereka bertauhid dan melarang berbuat syirik. Kemudian setelah aqidah mereka benar Alloh  mewajibkan atas mereka sholat, zakat, puasa, haji, dan kemudian jihad fi sabilillah sampai agama ini benar-benar berdiri sempurna.
Demikian juga disaat Rasululloh  mengutus Muadz bin Jabal ke Yaman, Nabi  mewasiatkan kepadanya untuk memulai dakwahnya dengan pembenaran aqidah.
إِنَّكَ سَتَأْتِي قَوْمًا أَهْلَ كِتَابٍ فَإِذَا جِئْتَهُمْ فَادْعُهُمْ إِلَى أَنْ يَشْهَدُوا أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللَّهُ ، وَأَنَّ مُحَمَّدًا رَسُولُ اللهِ فَإِنْ هُمْ أَطَاعُوا لَكَ بِذَلِكَ فَأَخْبِرْهُمْ أَنَّ اللَّهَ قَدْ فَرَضَ عَلَيْهِمْ خَمْسَ صَلَوَاتٍ فِي كُلِّ يَوْمٍ وَلَيْلَةٍ فَإِنْ هُمْ أَطَاعُوا لَكَ بِذَلِكَ فَأَخْبِرْهُمْ أَنَّ اللَّهَ قَدْ فَرَضَ عَلَيْهِمْ صَدَقَةً تُؤْخَذُ مِنْ أَغْنِيَائِهِمْ فَتُرَدُّ عَلَى فُقَرَائِهِمْ فَإِنْ هُمْ أَطَاعُوا لَكَ بِذَلِكَ فَإِيَّاكَ وَكَرَائِمَ أَمْوَالِهِمْ وَاتَّقِ دَعْوَةَ الْمَظْلُومِ فَإِنَّهُ لَيْسَ بَيْنَهُ وَبَيْنَ اللهِ حِجَابٌ.
"(Hai Muadz) sungguh engkau akan mendatangi Ahli Kitab maka jika engkau mendatangi mereka, serulah mereka kepada persaksian bahwasanya tidak ada Tuhan yang berhak disembah selain Alloh dan Muhammad adalah utusan Alloh. Jikalau mereka menaatimu dalam hal tersebut, kabarkanlah pada mereka bahwa Alloh telah mewajibkan atas mereka sholat yang lima waktu di siang dan malam harinya. Jikalau mereka menaatimu dalam hal tersebut, kabarkanlah bahwa Alloh telah mewajibkan atas mereka zakat yang diambil dari orang-orang kaya diantara mereka dan kemudian diberikan kepada fakir miskin dari mereka. Dan jika mereka menaatimu akan hal tersebut, maka berhati-hatilah terhadap kekayaan yang mereka muliakan. Dan takutlah dari doa orang yang terzholimi karena tidak ada tabir penghalang antara dia dengan Alloh". [HR. Bukhori]
Hal yang pertama kali diwasiatkan oleh Nabi  kepada Muadz adalah kalimat tauhid (Aqidah) kemudian sholat dan zakat. Ini sekaligus menunjukkan bahwa sholat dan zakat tidak akan bermanfaat kalau tidak didasari dengan aqidah yang benar. Maka setiap dakwah yang tidak diawali dengan pembenaran aqidah maka itu adalah dakwah yang gagal yang tidak akan membuahkan hasil (di sisi Alloh -red).
Maka wajib bagi setiap Muslim untuk mempelajari aqidah ini, meyakini dan beragama dengannya. Dan kita menetapkan aqidah kita dengan Kitabulloh dan Sunnah Rasululloh  bukan atas dasar khurafat (mitos berbau syirik-red), taqlid buta (ikut-ikutan tanpa dalil yang sah), tidak pula dengan dasar ilmu mantiq (ilmu logika-red), perdebatan, dongeng-dongeng dan mimpi-mimpi akan tetapi aqidah kita harus berdasarkan Al-Qur'an, As-sunnah dan apa yang telah diamalkan oleh para salafussholeh (sahabat, tabi'in dan atbaut tabiin). Nabi kita  bersabda:
وَإِنَّ بَنِى إِسْرَائِيلَ تَفَرَّقَتْ عَلَى ثِنْتَيْنِ وَسَبْعِينَ مِلَّةً وَتَفْتَرِقُ أُمَّتِى عَلَى ثَلاَثٍ وَسَبْعِينَ مِلَّةً كُلُّهُمْ فِى النَّارِ إِلاَّ مِلَّةً وَاحِدَةً قَالُوا وَمَنْ هِىَ يَا رَسُولَ اللَّهِ قَالَ مَا أَنَا عَلَيْهِ وَأَصْحَابِى
"Sesungguhnya Bani Israel telah berpecah menjadi tujuh puluh dua golongan. Dan Ummatku akan berpecah menjadi tujuh puluh tiga golongan, seluruhnya di Neraka kecuali satu golongan. Mereka (Sahabat) bertanya: siapa mereka wahai Rasululloh? Rasul  berkata: Siapa saja yang berada di atas jalanku dan (jalan) sahabat-sahabatku". [HR. At-Tirmidzi]
إِنِّي تَارِكٌ فِيْكُمْ مَا إِنْ تَمَسَّكْتُمْ بِهِ لَنْ تَضِلُّوا بَعْدِي كِتَابَ اللهِ وَسُنَّتِي.
"Aku telah meninggalkan sesuatu yang jika kalian berpegang teguh dengannya maka kalian tidak akan tersesat, Kitabulloh dan Sunnah-ku". [HR. Malik, al-Hakim, ad-Daruquthni, dan al-Baihaqi]
Inilah dia Manhaj yang benar, jalan lurus yang Alloh  berfirman tentangnya:
•    •               
"Dan sungguh, inilah jalanku yang lurus. Maka ikutilah! Jangan kamu ikuti jalan-jalan yang akan mencerai-beraikanmu dari jalan-Nya. Demikianlah Dia memerintahkan kepadamu agar kamu bertaqwa". (QS. Al-An'am:153)
Dan Dia juga berfirman:
                         •           
"Dan berpegang teguhlah kamu semuanya pada tali (agama) Alloh, janganlah kamu bercerai-berai, dan ingatlah nikmat Alloh kepadamu ketika kamu dahulu bermusuhan lalu Alloh mempersatukan hatimu, sehingga dengan karunia-Nya kamu menjadi bersaudara, sedangkan ketika itu kamu berada di tepi jurang neraka, lalu Alloh menyelamatkan kamu darinya. Demikianlah Alloh menerangkan ayat-ayat-Nya kepadamu agar kamu mendapat petunjuk". [QS. Ali Imron:103]
Maka hanya tauhid yang benar dan aqidah yang selamatlah yang mampu menyatukan manusia dan itu pula yang telah menyatukan manusia di zaman Nabi Muhammad , yang telah menyatukan orang non arab dengan orang Arab, orang kulit hitam dengan kulit putih, orang timur dengan orang barat dan telah menyatukan para ummat dan kabilah-kabilah di atas aqidah yang satu, aqidah yang bersumberkan Al-Qur'an dan As-sunnah sebagaimana yang difirmankan olehNya:
                •            
"Dialah yang memberikan kekuatan kepadamu dengan pertolongan-Nya dan dengan dukungan kaum mukminin. Dan Dia (Alloh) yang mempersatukan hati mereka (orang-orang beriman). Walaupun kamu menginfakkan semua (kekayaan) yang berada di bumi, niscaya kamu tidak mampu mempersatukan hati mereka, tapi Alloh telah mempersatukan hati mereka. Sungguh Dia Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana". [QS.Al-Anfal: 62-63]
Sehingga tidak mungkin hati ini akan bersatu melainkan dengan Tauhid. Dan ummat ini tidak akan bersatu melainkan di atas Tauhid.
Imam Malik-rahimahulloh- berkata:
لَنْ يُصْلِحَ آخِرَ هَذِهِ الْأُمَّةِ إلَّا مَا أَصْلَحَ أَوَّلَهَا "Tidak akan jaya (bersatu di atas kebaikan) generasi akhir dari Ummat ini melainkan dengan kebaikan generasi pertama". [Iqtidho' as-Shirothil Mustaqim]
Sehingga dakwah apapun yang tidak berdiri diatas aqidah yang benar dan tidak meng-ishlah (membenahi) aqidah maka dakwah tersebut dakwah gagal yang justru akan memecah belah ummat.
Jika kita melupakan hal ini dan berusaha berkumpul di atas selain aqidah yang benar ini maka itu adalah usaha yang sia-sia karena hati kita ini tidak akan bersatu melainkan di atas aqidah yang benar yang bersumberkan Al-Qur'an dan As-sunnah (yang shohihah).
Inilah dia Aqidah Kita, dan inilah dia Agama kita, dan inilah dia Dakwah kita, dan inilah dia Sunnah Nabi kita , Manhaj kita, dan perjalanan Dakwah kita.¬¬¬__________
Dinukil dan diringkas oleh Ust. Abdulloh Husni, Lc.
dari kitab: Masodiruna fi talaqqi al'Aqidah Oleh Syaikh Dr. Soleh Fauzan Al Fauzan





SUNNAH-SUNNAH
SEPUTAR IDUL FITRI


 Menunaikan Zakat Fitri.
Dari Ibnu Umar Radhiyallahu 'Anhuma dia berkata:
فَرَضَ رَسُولُ اللَّهِ  زَكَاةَ الْفِطْرِ صَاعًا مِنْ تَمْرٍ، أَوْ صَاعًا مِنْ شَعِيرٍ عَلَى الْعَبْدِ وَالْحُرِّ، وَالذَّكَرِ وَالأُنْثَى، وَالصَّغِيرِ وَالْكَبِيرِ مِنَ الْمُسْلِمِينَ، وَأَمَرَ بِهَا أَنْ تُؤَدَّى قَبْلَ خُرُوجِ النَّاسِ إِلَى الصَّلاَةِ.
“Rasululloh  mewajibkan Zakat Fitri sebanyak satu sho’ kurma atau satu sho’ sya’ir atas budak dan orang merdeka, laki-laki dan perempuan, anak kecil dan orang dewasa dari kaum muslimin. Beliau memerintahkan untuk ditunaikan sebelum manusia keluar menuju sholat (ied).” [Diriwayatkan oleh Bukhari: 1503 dan Muslim: 2325].
Dari Ibnu Abbas Radhiyallahu 'Anhuma dia berkata:
فَرَضَ رَسُولُ اللَّهِ  زَكَاةَ الْفِطْرِ طُهْرَةً لِلصَّائِمِ مِنَ اللَّغْوِ وَالرَّفَثِ وَطُعْمَةً لِلْمَسَاكِينِ مَنْ أَدَّاهَا قَبْلَ الصَّلاَةِ فَهِىَ زَكَاةٌ مَقْبُولَةٌ وَمَنْ أَدَّاهَا بَعْدَ الصَّلاَةِ فَهِىَ صَدَقَةٌ مِنَ الصَّدَقَاتِ.
“Rasululloh  mewajibkan Zakat Fitri sebagai pembersih bagi orang yang puasa dari perbuatan sia-sia dan dosa, dan menjadi makanan bagi orang-orang mikin. Barang siapa yang menunaikannya sebelum sholat maka itu adalah zakat yang diterima dan barangsiapa yang menunaikannya setelah sholat maka itu adalah sedekah biasa.” [Hadits hasan diriwayatkan oleh Abu Daud: 1611 dan Ibnu Majah: 1827].
Faidah dari kedua atsar ini:
 Diwajibkan atas setiap muslim yang memiliki kelebihan makanan (melebihi kebutuhan sehari-harinya dan keluarganya) pada malam dan siang hari Idul Fitri.
 Zakat Fitri adalah berupa makanan pokok.
 Ukuran yang wajib dikeluarkan adalah 1 Sho’ = 2 ¼ kg beras, boleh juga 2,5 kg, atau 3 kg.
 Waktu diwajibkan mengeluarkannya adalah ketika matahari tenggelam pada tanggal 1 Syawal. Kemudian waktu utama (afdhol) adalah pada hari Idul Fitri, sebelum melakukan sholat id. Boleh pula mengeluarkannya sehari atau dua hari sebelum Idul Fitri. Sebagaimana riwayat Ibnu Umar Radhiyallahu 'Anhuma yang menyerahkan zakat kepada Amil Zakat dua hari sebelum Idul Fitri (Shohih Bukhori: 1440). “Adapun mengeluarkannya jauh lebih awal dari dua hari sebelum Idul Fitri, maka ini tidak ada dalilnya dan jauh dari waktu diwajibkannya zakat fitri, yaitu tenggelamnya matahari pada hari terakhir bulan Romadhon. Selain itu (jika dibayar jauh-jauh hari-pent) maka tujuan agar tersedianya zakat di hari Idul Fitri tidak tercapai, sebab zakat tersebut bisa habis dan dimakan jauh hari sebelum Idul Fitri.” (Syarh Sunan Abi Daud, Syaikh Abdul Muhsin Al-Abbad Hafizhohulloh).
 Zakat Fitri diserahkan kepada orang-orang miskin, yaitu orang yang tidak mendapati apa-apa atau kurang dari cukup.
Untuk lebih luas silahkan merujuk kepada referensi berikut: Asy-Syarhul Mumti’ ‘Ala Zadil Mustaqni’ karya Syaikh Ibnu Utsaimin Rahimahullah & Irwa’ul Ghalil karya Syaikh Al-Albani Rahimahullah.
 Menghidupkan malam Idul Fitri.
Adakah amalan khusus di malam Idul Fitri? Ibnu Qoyyim Al-Jauziyah Rahimahullah berkata: “Tidak ada riwayat yang shohih dari beliau () tentang menghidupkan malam Idul Fitri dan Idul Adha.” (Zadul Ma’ad: II/ 229).
Hadits-hadits tentang menghidupkan malam Idul Fitri atau Idul Adha:
1- مَنْ أَحْيَا لَيْلَتَي الْعِيْدَيْنِ إِيْمَانًا وَاحْتِسَابًا لَمْ يَمُتْ قَلْبُهُ حِيْنَ تَمُوْتُ الْقُلُوْبُ
“Barangsiapa yang menghidupkan malam dua Id (Idul Fitri dan Idul Adha-pent) dengan penuh keimanan dan menharap pahala, maka hatinya tidak akan mati ketika hati-hati manusia mati.”
Keterangan: Hadits Palsu. Silahkan lihat As-Silsilatul Ahadits Adh-Dho’ifah Wal Maudhu’ah nomor 5163, lihat pula hadits nomor 520.
2- مَنْ أَحْيَا اللَّيَالِيَ الْخَمْسَ وَجَبَتْ لَهُ الْجَنَّةُ لَيْلَةَ التَّرْوِيَة وَلَيْلَةَ عَرَفَةَ وَلَيْلَةَ النَّحْرِ وَلَيْلَةَ الْفِطْرِ وَلَيْلَةَ النِّصْفِ مِنْ شَعْبَان
“Barangsiapa yang menghidupkan lima malam, maka dia dijamin masuk surga: Malam Tarwiyah, Malam Arofah, Malam Idul Adha, Malam Idul Fitri dan Malam Nisfhu Sya’ban.”
Keterangan: Hadits Palsu. Silahkan lihat Dho’if At-Targhib Wat Tarhib, nomor 667 dan As-Silsilatul Ahadits Adh-Dho’ifah Wal Maudhu’ah nomor 667.
 Di manakah tempat sholat id?
Abu Sa’id Al-Khudri  berkata:
كَانَ رَسُولُ اللَّهِ  يَخْرُجُ يَوْمَ الْفِطْرِ وَالأَضْحَى إِلَى الْمُصَلَّى، فَأَوَّلُ شَىْءٍ يَبْدَأُ بِهِ الصَّلاَةُ ثُمَّ يَنْصَرِفُ، فَيَقُومُ مُقَابِلَ النَّاسِ، وَالنَّاسُ جُلُوسٌ عَلَى صُفُوفِهِمْ، فَيَعِظُهُمْ وَيُوصِيهِمْ وَيَأْمُرُهُمْ، فَإِنْ كَانَ يُرِيدُ أَنْ يَقْطَعَ بَعْثًا قَطَعَهُ، أَوْ يَأْمُرَ بِشَىْءٍ أَمَرَ بِهِ، ثُمَّ يَنْصَرِفُ. قَالَ أَبُو سَعِيدٍ فَلَمْ يَزَلِ النَّاسُ عَلَى ذَلِكَ ...
“Adalah Rasululloh , beliau keluar pada hari Fitri dan Adha menuju Musholla. Maka hal pertama yang beliau lakukan adalah sholat. Kemudian setelah selesai beliau berdiri menghadap manusia yang duduk di shaf-shaf mereka. Lalu beliau memberikan nasehat, wasiat dan perintah. Jika beliau ingin mengirim pasukan ke suatu tempat maka beliau lakukan. Jika beliau ingin memerintahkan sesuatu maka beliau perintahkan. Kemudian beliau pulang.” Abu Sa’id berkata: “Manusia tetap melakukan seperti itu ...” (Diriwayatkan oleh Bukhari: 956).
Musholla dalam hadits ini adalah sebagaimana diterangkan oleh Al-Hafizh Ibnu Hajar Rahimahullah: “Yaitu sebuah tempat di Madinah yang terkenal, berjarak seribu hasta dari pintu Masjid.” (Fathul Bari: III/ 378). Dan beliau menyebutkan bahwa tempat tersebut diberi tanda (III/ 403). Syaikh Al-Albani Rahimahullah menambahkan: “... ke arah timur dari Masjid Nabawi dekat Pekuburan Baqi’ ...” (Sholatul Idain Fil Musholla: 16).
Terdapat banyak hadits lain yang menunjukkan bahwa Nabi  senantiasa sholat di Musholla (tanah lapang yang disiapkan untuk sholat), kecuali jika ada hujan. Di antaranya hadits Abdulloh bin Umar Radhiyallahu 'Anhuma (Shohih Bukhari: 930), hadits Al-Barro’ bin Azib  (Shohih Bukhari: 933) dan hadits Ibnu Abbas  (Shohih Bukhari: 825). Sehingga para Ulama Hafizh dan Peneliti semisal Ibnu Qoyyim dan Ibnu Hajar Rohimahumalloh menegaskan bahwa tuntunan Nabi  dalam sholat hari raya adalah bertempat di Musholla. Dan ini adalah Madzhab Imam yang Empat. Silahkan merujuk ke referensi berikut: Zadul Ma’ad karya Ibnu Qoyyim Al-Jauziyah, Fathul Bari karya Ibnu Hajar, Sholatul Idain Fil Musholla karya Syaikh Al-Albani Rohimahumulloh dan Al-Qaulul Mubin Fi Akhtho’il Mushollin karya Syaikh Masyhur Hasan Salman Hafizhohulloh.
 Sunnah-sunnah ketika berangkat menuju tempat sholat.
Sarapan terlebih dahulu. Anas bin Malik  berkata: “Rasululloh  tidak berangkat ke Musholla pada hari id melainkan setelah makan beberapa biji kurma.” (Diriwayatkan oleh Bukhari: 910).
Disunnahkan melewati jalan yang berbeda ketika pergi dan pulang. Sebagaimana hadits Jabir  dia berkata:
كَانَ النَّبيُّ  إِذَا كَانَ يَوْمُ عِيْدٍ خَالَفَ الطَّرِيْقَ
“Nabi  pada hari Id melewati jalan yang berbeda.” (Diriwayatkan oleh Bukhari: 986). Di antara hikmahnya sebagaimana disebutkan oleh Ibnu Hajar Rahimahullah: “Agar jalan yang dilewati tersebut menjadi saksi baginya.” (Fathul Bari: III/ 416).
Disunnahkan pula untuk bertakbir sepanjang jalan menuju musholla hingga imam keluar. Diriwayatkan dari Ibnu Umar Radhiyallahu 'Anhuma bahwa Rasululloh  keluar pada dua hari id bersama Al-Fadhl bin Abbas, Abdulloh, Al-Abbas, Ali, Ja’far, Al-Hasan, Al-Husain, Usamah bin Zaid, Zaid bin Haritsah dan Aiman bin Ummi Aiman sambil mengeraskan suara beliau mengucapkan tahlil dan takbir. Beliau mengambil jalan para tukang besi hingga beliau sampai ke Musholla. Setelah selesai, beliau pulang melewati jalan para tukang sepatu hingga beliau sampai ke rumah. (Diriwayatkan oleh Al-Baihaqi: 686. Silahkan lihat Irwa’ul Ghalil, hadits nomor 650).
Namun harus diperhatikan bahwa takbir ini dilakukan sendiri-sendiri, bukan berjama’ah.
 Ucapan selamat Hari Raya.
Al-Hafizh Ibnu Hajar Rahimahullah berkata: “Kami meriwayatkan dalam Al-Muhamiliyat dengan sanad yang Hasan dari Jubair bin Nufair, dia berkata: “Para sahabat Rasululloh  jika mereka bertemu pada hari Id, mereka saling berkata satu sama lain: “Taqobballallohu Minna Wa Minka.” (Fathul Bari: III/ 372. Silahkan lihat pula Tamamul Minnah: 354-356).
Fadhilatus Syaikh Abdul Muhsin Al-Abbad Hafizhohulloh pernah ditanya: “Apa hukumnya berjabat tangan dan berpelukan setelah sholat id. Kebiasaan ini ada di daerah kami dimana orang-orang saling berjabat tangan dan berpelukan langsung setelah sholat id?” Jawaban beliau: “Inilah yang senantiasa dilakukan, karena merupakan kesempatan yang baik untuk ucapan selamat dan bergembira. Dan tampaknya itu tidaklah mengapa.”
Beliau juga ditanya tentang kartu ucapan selamat, jawaban beliau: “Ucapan selamat hari raya hukumnya boleh dan ada dalilnya. Jika ditulis itupun tidak mengapa. Kami tidak tahu ada yang menjadikannya tidak boleh.” (Syarh Sunan Abi Daud, Maktabah Syamilah).
Namun wajib diperhatikan bahwa hal ini berlaku untuk sesama jenis dan mahrom.
Tambahan tentang masalah ini silahkan lihat Al-Mughni (II/ 295-296), Majmu’ Fatawa Ibnu Baz (13/ 25) & Asy-Syarhul Mumti’ (V/ 171). Wallohu ta’ala a’lam bish showab. Abu Abbas




FADHILAH DAN IBRAH DI BULAN DZULHIJJAH
--------------------------------------

Alhamdulillah. Shalawat dan salam semoga tetap tercurahkan kepada Nabi kita Nabi Muhammad sayyidul mursalin. Wa ba’du:
Hari dan bulan silih berganti dengan cepat. Dan perputaran masa telah membawa kita sampai pada bulan terakhir dari bulan-bulan hijriah. Sebuah bulan yang penuh dengan keutamaan dan pelajaran. Di antara keutamaan tersebut:
1. Sepuluh hari pertama adalah hari-hari yang sedikit tapi penuh pahala
Usia umat Muhammad tidaklah sepanjang usia umat-umat sebelum mereka. Namun Allah Yang Maha adil dan Maha bijak telah memberikan kelebihan kepada umat ini, di antaranya dengan menjadikan amal shalih di sebagian waktu dan sebagian tempat bernilai besar. Di antara contohnya adalah sepuluh hari pertama Bulan Dzulhijjah.
Sepuluh hari pertama Bulan Dzulhijjah adalah hari-hari yang paling afdhal, sebagaimana diterangkan oleh Ibnul Qayyim rahimahullah. Allah subhanahu wata’ala pun telah bersumpah dengan sepuluh malam pertama Dzulhijjah, sebagaimana sumpahNya dalam al-Qur`an,
وَالْفَجْرِ . وَلَيَالٍ عَشْرٍ
“Demi waktu fajar. Dan demi malam-malam sepuluh (pertama Dzulhijjah).”
Al-Fajr: 1-2
Pada sepuluh hari pertama Dzulhijjah, amal shalih amat dicintai Allah azza wajalla. Sebagaimana sabda Nabi ,
“Tidaklah ada hari-hari yang mana amal shalih padanya lebih dicintai Allah daripada hari-hari ini.” Maksud beliau sepuluh hari pertama dzulhijjah. Para sahabat bertanya, Wahai Rasulullah, meskipun jihad fi sabilillah?” Beliau menjawab, “Ya. Meskipun jihad fisabilillah. Kecuali seseorang yang keluar berjihad dengan jiwa dan hartanya, lalu tidak kembali dengan sedikitpun dari itu (mati syahid).” HR. Bukhari
Allahu Akbar! Hari-hari yang sangat sedikit, tapi sarat dengan kebajikan..
Betapa agung dan utamanya!
Maka, hendaklah kita memperbanyak amal shalih pada hari-hari kita ini, baik berupa shalat, puasa, sedekah dan memberi makan, silaturahim, dzikir dan baca al-Qur`an, berdoa, thalabul ilmi, dan amal-amal shalih lainnya.
Disebutkan, bahwa Abu Hurairah dan Ibnu Umar radhiallahu ‘anhuma pada hari-hari sepuluh pertama Dzulhijjah pernah keluar ke pasar, mereka berdua bertakbir, maka orang-orang di pasar pun ikut bertakbir. HR. Bukhari
Kemudian, tepatnya pada tanggal 9 Dzulhijjah, ketika jema`ah haji sedang wuquf di Padang Arafah, disunnahkan melakukan Puasa Arafah. Rasulullah  pernah ditanya tentang Puasa Arafah, beliau menjawab,
يُكَفِّرُ السَّنَةَ الْمَاضِيَةَ وَالْبَاقِيَةَ
“Puasa Arafah menghapus dosa-dosa kecil setahun yang lalu dan setahun yang akan datang.” HR. Muslim
Juga, pada hari-hari ini, tepatnya pada tanggal 10 nanti, akan ada hari raya kedua umat Islam berikut
ibadah qurban.
2. Ibadah Haji ke Baitullah
Cukuplah sebuah keutamaan bagi Bulan Dzulhijjah dengan keberadaan ibadah haji padanya. Yaitu sebuah ibadah yang merupakan syiar agung Islam, dan merupakan rukun kelima Agama Islam, yang tidak akan tegak Islam seseorang kecuali dengannya. Sebuah perjalanan ibadah yang penuh dengan pelajaran, bagi orang-orang yang merenungkannya. Sebagaimana yang ditegaskan oleh Allah azza wajalla berkaitan tentang ibadah haji,
وَأَذِّنْ فِي النَّاسِ بِالْحَجِّ يَأْتُوكَ رِجَالًا وَعَلَى كُلِّ ضَامِرٍ يَأْتِينَ مِنْ
كُلِّ فَجٍّ عَمِيقٍ . لِيَشْهَدُوا مَنَافِعَ لَهُمْ .. (الحج: 27،28)
“Serukan kepada mereka agar berhaji niscaya mereka akan datang dengan berjalan kaki dan mengendarai unta yang kurus dari segenap penjuru yang jauh, agar mereka dapat menyaksikan (mengambil) berbagai faidah bagi diri mereka.” Al-Hajj: 28
a. Haji dan Pengukuhan Tauhid
Pelajaran paling pertama dan paling utama dari manasik haji yang harus kita ketahui dan kita renungkan bersama, bahwa ibadah haji adalah wujud nyata dari tauhid. Dimana ibadah haji yang merupakan warisan Nabi Ibrahim, sejak pertama kali dibangun adalah dibangun di atas asas mentauhidkan Allah dan perang terhadap kesyirikan.
Yaitu ketika Allah menunjukkan kepada Nabi Ibrahim posisi Ka’bah untuk kemudian dibangun, Allah menjadikan pengukuhan tauhid serta perang terhadap kesyirikan sebagai pondasi utama dan tujuan utama pembangunannya. Allah subhanahu wata’ala berfirman,
وَإِذْ بَوَّأْنَا لِإِبْرَاهِيمَ مَكَانَ الْبَيْتِ أَنْ لَا تُشْرِكْ بِي شَيْئًا وَطَهِّرْ بَيْتِيَ
لِلطَّائِفِينَ وَالْقَائِمِينَ وَالرُّكَّعِ السُّجُودِ. )الحج: 26(
“Dan ingatlah ketika Kami tunjukkan kepada Ibrahim lokasi Baitullah, agar jangan kamu mensekutukanKu dengan sesuatu apa pun, dan bersihkanlah dia (dari kesyirikan, bid’ah, dan kotoran) bagi orang-orang yang thawaf, yang shalat, ruku’ dan sujud.” Al-Hajj: 26
Demikianlah. Maka seluruh rangkaian manasik haji, mulai dari awal sampai akhir, adalah realisasi tauhid. Sebagai contoh, talbiah, yang merupakan syi’ar utama ibadah haji, dan yang selalu didengungkan oleh jema’ah haji, adalah kesaksian dan pengikraran terhadap tauhid.
Salah satu lafazh talbiah yang paling masyhur adalah,
لَبَّيْكَ اللَّهُمَّ لَبَّيْكَ ، لَبَّيْكَ لا شَرِيكَ لَكَ لَبَّيْكَ
إِنَّ الْحَمْدَ وَالنِّعْمَةَ لَكَ وَالْمُلْكَ ، لا شَرِيكَ لَكَ
Pada penggalan pertama talbiah di atas, terkandung ikrar terhadap tauhid uluhiah. Dimana maksudnya: ya Allah, kami menyambut panggilanMu, dengan penuh tulus dan ta’at kepadaMu, tanpa riya dan sum’ah, tidak ada sekutu bagiMu.
Kemudian pada penggalan kedua, terkandung ikrar terhadap rububiah Allah dan asma washshifatNya. Yang mana maksudnya: sungguh segala pujian dengan sifat-sifat sempurna adalah milikMu, segala bentuk karunia dan kekuasaan adalah milikMu. Tidak ada satu sekutu pun bagiMu.
Lihatlah! Kendati jelasnya pesan tauhid dalam ibadah haji, dan bahkan dalam lafazh talbiah yang selalu didengungkan dan diperdengarkan di banyak tempat dan kesempatan, namun sebagian besar kaum muslimin enggan kecuali mencemari kejernihan tauhidnya serta mensekutukan Allah.
b. Haji dan kewajiban mengikuti dalil
Islam adalah jalan hidup yang Allah gariskan untuk hamba-hambaNya, dan disampaikan serta diterangkan melalui lisan rasul utusanNya, Muhammad .
Berangkat dari ini, maka praktek Islam yang benar adalah yang sesuai dengan keterangan Allah dan RasulNya, sebagaimana terangkum dalam Kitab Allah dan Hadits NabiNya. Pesan kewajiban mengikuti dalil terlihat jelas dalam pidato haji yang disampaikan oleh Nabi  di Arafah. Beliau berpidato, "... dan telah aku tinggalkan pada kalian sesuatu yang kalian tidak akan tersesat bila berpegang dengannya, yaitu Kitab Allah." HR. Muslim
Juga dalam sabda beliau yang masyhur, ketika mengarahkan umat Islam bagaimana seharusnya mereka berhaji,
خُذُوا عَنِّي مَنَاسِككُمْ
"Hendaklah kalian mengambil (tata cara) manasik haji kalian hanya dariku." HR. Muslim
Sahabat Umar bin Khatthab  lebih menegaskan lagi, bahwa pelaksanaan manasik haji tidak lebih daripada mengamalkan dalil. Sebagai salah satu contoh: syari’at lari kecil (ramal) pada tiga putaran pertama thawaf. Umar berkata, "Apa perlunya lari kecil pada tiga putaran pertama thawaf sekarang ini; dahulu itu kita lakukan untuk memperlihatkan (kekuatan kita) pada orang-orang musyrik, dan sekarang mereka telah Allah binasakan?! Hanya saja, itu adalah sesuatu yang dilakukan Rasulullah, maka kita pun tidak meninggalkannya." HR. Bukhari
Juga ketika dia hendak mencium Hajar Aswad, dia berkata, "Sungguh aku tahu kamu hanyalah batu yang tidak dapat memberi manfaat dan mudarat. Kiranya aku tidak melihat Rasulullah menciummu, pasti aku tidak akan menciummu." Muttafaq 'alaih
Contoh lainnya: mengusap rukun (sisi) Ka’bah ketika thawaf. Yang dipraktekkan oleh Nabi adalah hanya mengusap hajar aswad dan rukun yamani. Maka para sahabat yang mulia, sebagai generasi terbaik dari umat ini, pun hanya membataskan diri dengan mengusap keduanya saja, dan mengingkari mereka yang mengusap seluruh rukun Ka’bah, karena hanya itulah yang ada dalilnya. Sebagaimana dalam Musnad Imam Ahmad.
c. Haji dan semangat berkurban
Berbicara ibadah haji tidak akan lepas dari ibadah qurban, dan ketika berbicara tentang ibadah qurban akan mengingatkan kita dengan kisah Nabi Ibrahim dan puteranya Nabi Isma’il, sebagaimana yang terangkum dalam Surat ash-Shaffat ayat 100-108.
Yaitu manakala usia Nabi Ibrahim telah beranjak senja, sementara dia belum dikaruniai seorang buah hati yang akan meneruskan dakwah mulianya. Maka dia pun bersimpuh kepada Allah, berdoa “Ya Rabbi, karuniailah aku anak shalih.” Maka Allah pun menganugerahinya putra cerdas bernama Isma’il. Betapa bahagianya beliau! Terlebih ketika usia anaknya telah beranjak dewasa. Namun, pada saat-saat indah itu, Allah mengujinya dengan ujiang yang teramat berat. “Manakala usianya telah sampai pada (usia) berjalan, dia berkata, ‘Anakku, aku melihat dalam mimpiku bahwa aku menyembelihmu.’” Ini tentunya adalah perintah dari Allah, karena mimpi para Nabi adalah wahyu. Mengetahui itu adalah wahyu dari Allah, dengan penuh iman dan rasa ta’at Isma’il menjawab, “Wahai bapakku, laksanakanlah apa yang kamu diperintahkan…”
Semenjak saat itulah ibadah qurban disyari’atkan dan berlanjut hingga datangnya Islam. Lihatlah saudaraku! Anda yang telah Allah berikan kelebihan harta! Renungkan sifat rela berkorban, bahkan mengorbankan anak dan nyawa sendiri, sebagaimana yang diperlihatkan oleh Nabi Ibrahim dan putranya Nabi Isma’il.
Sifat mau berkorban dan berinfaq, baik mengorbankan jiwa bahkan orang tercinta sekali pun, ataupun menginfaqkan sebagian harta, haruslah semakin dipupuk sekarang ini, terlebih pada masa-masa ini banyak umat Islam yang ditimpa musibah dan ujian, banyak lembaga dan yayasan-yayasan yang mendakwahkan dakwah yang haq membutuhkan uluran tangan, banyak di antara anak-anak kita yang cerdas dan berpotensi tidak bisa belajar karena tersandung biaya, dan banyak dari anak-anak dan wanita-wanita tua yang ditinggal suaminya hidup dengan menyedihkan. Secara khusus, kepada Anda, wahai orang-orang yang Allah titipkan hak-hak mereka melalui Anda, kami arahkan renungan ini.
3. Dzulhijjah bulan intropeksi diri
Tahun ini akan ditutup bersamaan dengan berakhirnya Bulan Dzulhijjah, lalu lembaran tahun baru akan dibuka bersamaan dengan kedatangan Muharam. Tapi, siapakah di antara kita yang tahu dirinya akan tetap bertahan hingga tahun depan? Tidak ada yang tahu, bahkan mungkin ajal akan datang menjemput sebelum berakhirnya Dzulhijjah. Namun, satu hal sudah pasti, dengan berlalu Dzulhijjah berarti jatah hidup kita di dunia ini telah berkurang.
Untuk menutup buletin ini, camkan perkatan Umar bin al-Khatthab berikut ini, “Intropeksi dan perhitungkanlah diri-diri kalian sebelum kelak kalian akan dihisab. Timbang-timbanglah diri kalian sebelum kalian ditimbang. Sesungguhnya mengintropeksi diri pada saat ini lebih mudah daripada dihisab kelak. Dan berhiaslah untuk Akhirat, ketika kalian dihadapkan kepada Allah, pada hari yang tidak akan tersembunyi sesuatupun kecuali akan tampak.” (Az-Zuhd, Imam Ahmad)
Semoga kita tidak termasuk dari mereka yang disebutkan dalam ayat berikut,
حَتَّى إِذَا جَاءَ أَحَدَهُمُ الْمَوْتُ قَالَ رَبِّ ارْجِعُونِ . لَعَلِّي أَعْمَلُ صَالِحًا فِيمَا تَرَكْتُ .. (المؤمنون: 99، 100)
“Hingga apabila datang kematian kepada salah seorang mereka, dia berkata, ‘Ya Tuhanku! Kembalikan aku (ke dunia), agar aku beramal shalih (sebagai ganti) pada apa yang telah aku tinggalkan..”
Wallahu a’lam.
Sumber bacaan: Zaadul Hajij, DR. Fakhruddin al-Muhissi, Majallah Ummati edisi 29 Dzulhijjah 1427 H, dan lain-lain.
Ditulis oleh Ust. Jamaluddin, Lc
Muroja’ah oleh Ust. Mizan Qudsiah, Lc




MANHAJ DAN AQIDAH IMAM SYAFI'I
------------------------------
Segala puji bagi Alloh Ta'ala, semoga shalawat dan salam senantiasa tercurahkan kepada Nabi akhir zaman Muhammad Shallallohu 'alaihi wasallam beserta para sahabatnya.
Nama Imam Syafi'i sudah tidak asing lagi di kalangan kaum muslimin terutama di Indonesia. Beliau adalah salah satu imam dari imam-imam ahlussunnah wal jama'ah. Mencintai dan membelanya adalah suatu kemestian yaitu dengan cara mengkaji dan mengamalkan syariat islam yang beliau yakini murni berdasarkan pemahaman para sahabat bukan dengan bertaklid buta dan fanatik kepada beliau. Semoga Alloh merahmati beliau. Amin

BIOGRAFI SINGKAT IMAM SYAFI'I
Ketahuilah saudaraku bahwa nama beliau adalah bukan Syafi'i akan tetapi ini adalah disandarkan kepada nasab beliau. Adapun nama beliau adalah Muhammad bin Idris bin al-Abbas bin Utsman bin Syafi' bin Sa`ib bin Ubaid bin Abdi Yazid bin Hasyim bin Al-Muttholib bin Abdi Manaf bin Qushi bin Kilab bin Murroh bin Ka'b bin Lu`ai bin Gholib Abu Abdillah Al-Qurosyi Asy-Syafi'i Al-Makki.
Lahir pada tahun 150 Hijriyah dan wafat pada tahun 204 hijriyah.
[Manhaj Imam Asy-Syafi'i Rahimahulloh Fi Itsbatil Aqidah oleh Dr. Muhammad bin Abdul Wahhab Al-Aqil]

USHUL IMAM SYAFI'I DALAM MENETAPKAN AQIDAH
1-Berpegang teguh kepada Al-Qur`an dan As-Sunnah.
Imam Syafi'i berkata: "Semua yang telah saya sifatkan walaupun hal itu sudah saya sebutkan ataupun belum saya sebutkan beserta hukum-hukum dapat dicukupkan dengan hukum Alloh dan hukum Rasululloh 'alaihissholatu wassalam kemudian hukumnya orang-orang muslimin (para sahabat) sebagai dalil bahwasanya tidak boleh bagi orang-orang yang menganggap dirinya berilmu menjadi seorang hakim atau mufti kemudian berhukum, dan tidak juga berfatwa kecuali dengan khabar yang lazim yakni Al-Qur`an dan As-Sunnah serta apa-apa yang dikatakan oleh para Ulama yang mereka tidak berselisih padanya atau qiyas atas sebagian ini. Dan tidak boleh baginya berhukum dan berftawa dengan istihsan apabila hal itu belum diwajibkan dan tidak juga pada salah satu makna-makna ini. [Ad Durrul Mantsur 8/363]
Kemudian Imam Syafi'i menyebutkan dalil-dalil tentang wajibnya berhukum dengan Al-Qur`an dan As-Sunnah dan tidak boleh bagi seorangpun menyelisihi keduanya.
Alloh mengatakan kepada Nabi-Nya:
•               
"Ikutilah apa yang telah diwahyukan kepadamu dari Tuhanmu; tidak ada Tuhan selain Dia; dan berpalinglah dari orang-orang musyrik."QS. Al-An'am: 106
Dan Firman-Nya:
         
"Dan hendaklah kamu memutuskan perkara di antara mereka menurut apa yang diturunkan Allah, dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu mereka."QS. Al-Ma`idah: 49
[Al-Umm 7/298]

2-Pandangan Imam Syafi'i terhadap hadits Ahad.
Hadits ahad (menurut bahasa) adalah hadits yang diriwayatkan oleh seorang rawi (periwayat). Adapun menurut istilah adalah yang tidak sampai kepada derajat mutawatir. [Nuzhatun Nazhor fi Syarh Nukhbatil Fikar fi Mustholah ahli Atsar]
Adapun Imam Syafi'i menyebutnya sebagai ilmu khosshoh (khobar ahad) sehingga dapat disimpulkan bahwasanya Imam Syafi'i menerima hadits ahad selagi terpenuhinya 5 syarat dan hal ini telah dikumpulkan oleh para Ulama diantaranya Syaikh Ahmad Muhammad Syakir rahimahulloh ketika menelaah perkataan Imam Syafi'i di dalam kitab Al-Umm 7/2-38.
Diantara 5 syarat diterimanya hadit ahad menurut Imam Syafi'i adalah:
1.Bersambungnya sanad.
2.Keadilan para periwayat (Muslim, berakal, dan tidak fasik).
3.Diharuskan bagi para periwayat menjaga hafalannya.
4.Selamat dari syudzudz yakni seorang perawi yang terpercaya menyelisihi orang yang lebih terpercaya darinya.
5.Selamat dari cacat yang tercela.
[Syuruthul Hadits Ikhtishor Ulumil Hadits halaman.10, Tadribur Rowi hal.22, Lamahatun Fi Ushulil Hadits hal.11]

3-Mengagungkan pemahaman para Sahabat Nabi Shallallohu 'alaihi wasallam.
Imam Syafi'i berkata: "…apabila tidak didapatkan dari para imam, maka dengan (pemahaman) para Sahabat Rasululloh Shallallohu 'alaihi wasallam dari suatu perkara agama maka kita pegang perkataan mereka (sahabat). Dan ittiba' (meneladani) mereka lebih utama daripada meneladani orang-orang setelah mereka." [Al-Umm 7/265]

4-Memperingati umat akan bahaya bid'ah dan ilmu kalam.
Imam Syafi'i berkata: "Hukumanku kepada ahli kalam agar mereka dipukul dengan pelepah kurma dan sandal, kemudian di letakkan di atas onta lalu dibawa keliling di sekitar keluarga dan sukunya lalu mereka disebut-sebut. Ini adalah balasan bagi orang yang meninggalkan Al-Qur`an dan As-Sunnah kemudian dia mengambil (ilmu) kalam." [Manaqib Asy-Syafi'i oleh al-Baihaqi 1/462]
Imam Syafi'i berkata di dalam kitab Ar-Risalah halaman 25: "Hal ini menunjukkan bahwasanya tidak boleh bagi seseorang selain Rasululloh Shallallohu 'alai wasallam berkata dengan kesimpulannya sendiri tidak pula dengan menganggap baik perkara menurut dia, dikarenakan menganggap baik suatu perkara menurut dirinya sendiri adalah suatu hal yang dibuat-buat sedangkan tidak ada contoh sebelumnya."
Beliau juga berkata: "Barangsiapa yang menganggap baik sebuah perkara (menurut pehamannya sendiri) maka sungguh dia adalah sang pembuat syari'at."[As-Sunan Wal Mubtada'at halaman 6]

AQIDAH IMAM SYAFI'I BAHWASANYA ALLOH DI ATAS LANGIT
Imam syafi'i telah meriwayatkan di dalam kitabnya Al-Umm pada fasal Bab 'Itqi al-Mu'minah fizh Zhihar ketika menyampaikan hadits 'Amr bin Al-Hakam tentang seorang gadis (budak) yang ditanya oleh Rasululloh Shallallohu 'alaihi wasallam: "Dimanakah Alloh?", Gadis (budak) itu menjawab: "Di atas langit", Rasululloh berkata: "Siapakah Saya?", Dia menjawab: "Anda adalah utusan Alloh", Rasululloh berkata (kepada majikannya): "Bebaskanlah dia".
Imam Ibnul Qoyyim Al-Jauziyah Rahimahulloh di dalam kitabnya Ijtima' Juyusy Al-Islamiyyah halaman 165 membawakan perkataan Imam Syafi'i Rahimahulloh berkata: "…Dan bahwasanya Alloh Ta'ala berada di atas Arsy-Nya di atas langit…".

MASALAH KUBURAN MENURUT IMAM SYAFI'I
Imam Syafi'i berkata: "Saya menyukai agar kuburan tidak ditambah dengan tanah dari selainnya dan tidak pula terlalu tinggi, Dan hanyalah yang Saya sukai apabila ditinggikan di atas dataran tanah hanya sejengkal atau semisalnya. Saya juga menyukai kuburan yang tidak dibangun dengan sesuatu di atasnya, tidak pula dipoles dengan kapur karena hal itu menyerupai perhiasan dan kesombongan, tidak boleh orang yang mati diperlakukan (kuburannya) dengan amalan tersebut karena Saya tidak pernah melihat kuburannya para Sahabat Muhajirin dan Anshor dipoles dengan kapur. Berkata (periwayat),'Dari Thowus bahwasanya Rasululloh Shallallohu 'alaihi wasallam telah melarang kuburan untuk dibangun dan dipolesi kapur".[Al-Umm oleh Imam Syafi'i 1/277]

RUQYAH (JAMPI-JAMPI) MENURUT IMAM SYAFI'I
Imam Syafi'i ketika ditanya tentang Ruqyah menjawab: "Tidak mengapa bagi seseorang meruqyah (menjampi) dengan Al-Qur`an dan apa-apa yang dia ketahui dari dzikir kepada Alloh".[Al-Umm 7/228]
Imam An-Nawawi sebagai salah satu pengikut setia mazhab Syafi'i ketika mengomentari sebuah hadits di dalam kitabnya Syarhun Nawawi 'Ala Muslim 7/332.
وعَنْ عَائِشَةَ رضى الله عنها أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ - صلى الله عليه وسلم - كَانَ إِذَا اشْتَكَى يَقْرَأُ عَلَى نَفْسِهِ بِالْمُعَوِّذَاتِ وَيَنْفُثُ ، فَلَمَّا اشْتَدَّ وَجَعُهُ كُنْتُ أَقْرَأُ عَلَيْهِ وَأَمْسَحُ بِيَدِهِ رَجَاءَ بَرَكَتِهَا
Dari 'Aisyah Radhiyallohu 'anha bahwasanya Rasululloh Shallallohu 'alaihi wasallam apabila merasakan sakit Beliau membacakan bagi dirinya ayat-ayat mu'awwidzat (ayat-ayat tentang meminta perlindungan) kemudian meludah. Tatkala sakitnya bertambah, Saya membacakan atasnya dan mengusap tangannya karena ingin mendapatkan berkahnya".[HR. Bukhori nomor 5016]
Dia (Imam An-Nawawi) berkata: "Pada hadits ini menunjukkan disunnahkannya meruqyah dengan Al-Qur`an dan Dzikir-dzikir. Adapun ketika beliau meruqyah dengan ayat-ayat mu'awwadzat dikarenakan ayat-ayat tersebut telah mencakup perlindungan dari segala hal yang dibenci baik secara global dan terperinci. Di dalamnya terdapat Isti'adzah (mohon perlindungan) dari kejahatan makhluq maka mencakuplah beberapa hal contohnya dari kejahatan wanita-wanita tukang sihir yang menghembus pada buhul-buhul (yakni jampi-jampi mengandung kesyirikan), dari kejahatan sihir-sihir, dari kejahatan orang-orang yang hasad, Dari kejahatan (bisikan) syaitan yang biasa bersembunyi. Wallohu a'lam".
Disebutkan di dalam fatwa Idarotul Ifta' wal Buhuts Asy-Syar'iyyah Kuwait bahwa Jumhur para ahli fiqih menyimpulkan tentang bolehnya ruqyah dengan empat (4) syarat:
1.Ruqyah (jampi) itu haruslah dari Al-Qur`an, asma' dan sifatNya serta riwayat yang shohih dari Nabi Shallallohu 'alaihi wasallam.
2.Ruqyah itu haruslah dapat difahami maknanya dan tidak boleh menggunakan garis-garis, rumus-rumus (gambar-gambar dengan tulisan arab seperti yang banyak beredar di kalangan Pak Kyai, Tuan Guru, Paranormal, dll*) yang tidak dapat difahami maknanya.
3.Bagi orang yang meruqyah dan diruqyah harus berkeyakinan bahwasanya ruqyah tersebut tidak dapat berpengaruh dengan dzat sendirinya akan tetapi pengaruhnya adalah semata-mata atas izin dari Alloh Ta'ala dan kemampuanNya.
4.Ruqyah (jampi) tersebut tidak boleh mengandung kesyirikan dan maksiat.
[At-Tadawi Bil Qur`anil Karim Bainal Iltizam wat Tajawuz]


KOREKSI TERHADAP AMALAN-AMALAN
DI BULAN ROJAB
------------------------------

Dengan memanjatkan puji syukur kepada Alloh yang Maha Tinggi di atas segala mahkluknya, kemudian ucapan sholawat dan salam buat Nabi kita yang mulia, Nabi Muhammad shallallohu'alaihi wa sallam yang telah Mi’raj ( naik ) menghadap Alloh dalam rangka menjemput perintah Sholat wajib lima waktu.
Manakala di suatu daerah berkembang ilmu yang bersandar kepada al-Qur’an dan as-sunnah maka di sana akan terbit cahaya keimanan dan sunnah, serta akan terlihat dengan jelas tanda-tanda tauhid. Dan sebaliknya apabila yang ada berupa kejahilan (kebodohan) maka cahaya sunnah akan terbenam sehingga terkuburlah tanda-tanda tauhid dan keimanan. Beragam kesyirikan, tradisi jahiliyah, bid’ah dan khurafat akan berkembang yang pada akhirnya muncullah bemacam cobaan, bala', malapetaka dan kesusahan.
Sebagai bentuk nasihat kepada kaum muslimin, kami ingin mengajak para pembaca yang kami cintai untuk mengetahui amalan-amalan yang dianggap ibadah yang dikerjakan khusus di bulan Rojab namun pada hakikatnya hal itu adalah amalan-amalan bid’ah yang tertolak di sisi Alloh Ta’ala. Dari 'Aisyah –Radhiyallohu'anha- berkata; Rasululloh shallallohu'alaihi wa sallam bersabda:
مَنْ صَنَعَ أَمْراً عَلَى غَيْرِ أَمْرِنَا فَهُوَ رَدٌّ
“Barangsiapa yang membuat suatu perkara (dalam agama) yang tidak ada padanya urusan kami maka tertolak” (HR: Abu Dawud dan Ibnu Majah dishohhihkan oleh al-Albani dalam Tharghib wa tarhib no. 49)
Definisi Rojab
Secara bahasa: diambil dari kata رَجِبَ الرَّجُلُ رَجَبًا Artinya: mengagungkan dan memuliakan. Rojab adalah sebuah bulan, dinamakan dengan Rojab dikarenakan mereka dahulu sangat mengagungkannya pada masa jahiliyah dengan tidak menghalalkan perang pada bulan tersebut. (Qomusul Muhith 1/74 )
Keutamaan Rojab
Dari Abu Bakroh radhiyallohu'anhu bahwasanya Nabi shallallohu'alaihi wa sallam bersabda: "Sesungguhnya zaman itu berputar sebagaimana keadaannya tatkala Alloh menciptakan langit dan bumi, setahun ada 12 bulan diantaranya terdapat empat bulan Harom, tiga bulan berturut-turut yaitu: Dzul Qo’dah, Dzulhijjah, Muharrom dan Rojab mudhor yang terletak antara Jumadil akhir dan Sya’ban". (HR. Bukhori 4662)
Amalan-amalan Bid’ah di bulan Rojab
Di antara amalan-amalan yang tidak ada contohnya dari Rasululloh shallallohu'alaihi wa sallam dan para sahabatnya yang dilakukan oleh sebagian kaum muslimin di bulan rojab yang pada akhirnya tertolak oleh syari'at walaupun dilaksanakan dengan penuh keikhlasan. Diantaranya adalah:
~ Sholat Roghoib
Sholat roghoib adalah: Sholat yang dilakukan pada malam jum’at pertama bulan rojab, tepatnya antara sholat maghrib dan Isya’ dengan didahului puasa pada hari kamisnya, dikerjakan dengan dua belas raka’at, pada setiap raka’at membaca surat al-fatihah sekali, surah al-Qodr tiga kali dan surah al-ikhlas dua belas kali… dan seterusnya.
Jadi kesimpulannya adalah: apa yang disebutkan oleh Imam Ibnu Rojab rahimahulloh dalam kitab Lathoiful Ma’arif hal: 213 berkata: “Adapun sholat, maka tidak ada yang shohih pada bulan rojab (sholat yang dikhususkan) dan hadis-hadits yang di riwayatkan tentang keutamaan sholat Rohgoib di malam jum’at pertama pada bulan rojab adalah dusta, bathil dan tidak shohih dan ini adalah sholat bid’ah menurut jumhur (mayoritas) para ulama”
~ Mengkhususkan puasa di bulan Rojab
Termasuk bid’ah rojab adalah: mengkhususkan puasa pada bulan tersebut karena tidak ada hadits yang mendukungnya.
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahulloh berkata: ”Adapun mengkhususkan puasa di bulan rojab maka seluruh hadits-haditsnya adalah lemah dan palsu, para Ulama' tidak menjadikannya sebagai sandaran sedikitpun”. (Majmu’ fatawa 25/290)
Imam Ibnu Rojab al-Hanbali berkata: “Adapun puasa maka tidak ada yang shohih sedikitpun dari Nabi shallallohu'alaihi wa sallam tidak pula dari sahabatnya mengenai keutamaan puasa rojab dengan menghususkanya. (Lathoiful Ma’arif: 213 )
Kesimpulan dari perkataan para Ulama' di atas adalah tidak boleh mengkhususkan puasa pada bulan rojab sebagai pengagungan terhadapnya, sedangkan apabila seseorang telah terbiasa atau rutin berpuasa sunnah (puasa Dawud, puasa senin kamis dan semisalnya) maka tidaklah mengapa.
~ Sembelihan Rojab (Rabu Bontong)
Termasuk adat jahiliyah dahulu adalah menyembelih hewan di bulan rojab sebagai pengagungan terhadapnya, disebabkan rojab merupakan awal bulan harom sebagaimana yang dikatakan oleh Imam Tirmidzi di dalam Sunannya 4/96. Tatkala Islam datang secara tegas telah membatalkan acara sembelihan rojab serta mengharamkannya sebagaimana dijelaskan di dalam hadits yang diriwayatkan dari jalan sahabat Abu Hurairoh radhiyallohu'anhu, Rasululloh shallallohu'alaihi wa sallam bersabda:
لاَفَرَعَ وَلاَعَتِيْرَةَ
“ Tidak ada Faro’ dan Athiroh” (HR. Bukhari dan Muslim)
Faro’ artinya Onta yang disembelih oleh orang-orang jahiliyah yang diperuntukkan bagi tuhan-tuhan, kemudian mereka makan dagingnya lalu kulitnya dilemparkan ke pohon. Athiroh artinya sembelihan pada sepuluh hari pertama bulan rojab". (lihat Aunul Ma’bud 7/341, 8/24)
~ Perayaan Isra’ Mi’raj
Tidak diragukan lagi, bahwa Isra’ mi’raj merupakan tanda-tanda kebesaran Alloh yang Maha Agung yang menunjukkan atas kebenaran RasulNya Muhammad shallallohu'alaihi wa sallam dan keagungan kedudukannya di sisi Tuhannya dan membuktikan atas kehebatan Alloh dan kebesaran kekuasaannya atas semua makhukNya. Alloh Ta'ala berfirman:
                      
“Maha suci Allah, yang telah memperjalankan hamba-Nya pada suatu malam dari Al Masjidil Haram ke Al Masjidil Aqsha yang telah Kami berkahi sekelilingnya agar Kami perlihatkan kepadanya sebagian dari tanda-tanda (kebesaran) Kami. Sesungguhnya Dia adalah Maha mendengar lagi Maha mengetahui.”(QS. Al-Israa’: 1)
Akan tetapi di Negeri yang kita cintai ini setiap tanggal dua puluh tujuh rojab (27) perayaan Isra’ Mi’raj sudah merupakan sesuatu yang tidak terlupakan di masyarakat kita sekarang bahkan hari tersebut menjadi hari libur Nasional, padahal dalam tinjauan sejarah tetang waktu terjadinya Isra’ Mi’raj masih diperselisihkan oleh para ulama', jangankan tanggalnya, bulannya saja masih diperselisihkan sampai saat ini. Al-Hafizh Ibnu Hajar al-Asqolani memaparkan perselisihan tersebut dalam kitabnya Fathul Bari 7/203 sampai mencapai lebih dari sepuluh pendapat.!! Ada yang berpendapat bahwa Isra’ Mi’raj terjadi pada bulan Romadhon, Syawwal, Robi’ul Awwal, Robi’ul akhir dan sebagainya. Intinya malam Isra’ Mi’raj tidak diketahui waktu terjadinya karena semua riwayat tentangnya tidak ada yang shohih menurut pakar ilmu hadits –Wallohu a’lam- hanya Allohlah yang mengetahui kelalaian manusia terhadap waktu terjadinya, kalaulah memang diketahui waktu terjadinya tetap tidak boleh bagi kaum muslimin mengkhususkannya dengan ibadah dan perayaan karena hal itu tidak pernah dilakukan oleh Nabi dan para sahabatnya, seandainya di syari'atkan pastilah Nabi shallallohu'alaihi wa sallam menjelaskannya kepada ummatnya baik dengan perkataan ataupun perbuatan. Ahlussunnah wal jama’ah mengimani dan meyakini peristiwa Isra’ Mi’raj dan sekaligus bukti yang sangat kuat tentang ketinggian zat Alloh berada di atas Arsy-Nya, akan tetapi sayang seribu sayang, aneh tapi nyata sebagian saudara-saudara kita kaum muslimin yang merayakan peristiwa ini dengan membacakan kisah-kisah palsu tentang Isra’ Mi’raj tidak mempercayai tetang bersemayamnya Alloh di atas Arsy. Hanya Allohlah tempat mengadu dan meminta petunjuk agar menunjuki kita kepada jalan kebenaran yaitu al-Qur’an dan as-Sunnnah dengan pemahaman salafussholih( para sahabat, tabi’in dan atba’uttabi’in ).
Penyusun ; Ust. Abu Hanin
Muroja'ah; Ust. Abu Abdillah Riza
Sumber bacaan:
Lathoiful Ma’arif oleh Ibnu Rojab al-Hambali, Atsar al-Ibadah fi hayatil Muslin oleh Abdul Muhsin al-Badr, al-Majmu’ al-Muhtaroh, Shohih Targhib wa Tarhib, Majalah al-Furqon edisi 12 Th 1, Bahaya bid’ah terhadap kesempurnaan islam.

0 komentar:

Cari Artikel Hidayahsalaf