BULAN SYA’BAN ANTARA SUNNAH DAN BID’AH
Oleh: Abu Umar Wira Bachrun Al
Bankawy
Pendahuluan
Sebentar lagi kita akan meninggalkan bulan Rajab dan masuk ke bulan Sya’ban. Tulisan ringkas ini akan membahas beberapa perkara penting yang berkaitan dengan bulan ini, mulai dari sebab penamaan bulan Sya’ban sampai pembahasan sunnah dan bid’ah seputar bulan ini.
Alasan kenapa Bulan Sya’ban
dinamakan Sya’ban
Al Imam Ibnu Katsir rahimahullah menyebutkan dalam tafsir beliau (4/1655),
“As Sakhawi rahimahullah mengatakan
bahwa Sya’ban (dalam bahasa Arab artinya berpencar atau bercabang -pen) berasal
dari berpencar atau berpisahnya para kabilah Arab untuk berperang. Mereka
lalu berkumpul pada dua atau lebih regu pasukan.”
Al Hafizh Ibnu Hajar menyebutkan di
dalam Fathul Bari (5/743),
“Bulan Sya’ban disebut sya’ban
karena pada bulan tersebut para kabilah Arab saling berpencar untuk mencari air
atau untuk melakukan penyerbuan kepada kabilah yang lain setelah mereka keluar
dari bulan Rajab (yang diharamkan untuk berperang di dalamnya). Dan yang tujuan
untuk berperang inilah yang lebih mendekati kebenaran dari tujuan yang pertama
(untuk mencari air). “[1]
Sya’ban adalah Gerbang Ramadhan
Bulan Ramadhan adalah bulan penuh
ampunan dari Allah ta’ala. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,
مَنْ
صَامَ رَمَضَانَ إِيمَانًا وَاحْتِسَابًا غُفِرَ لَهُ مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِهِ
“Barangsiapa yang berpuasa di bulan
Ramadhan dengan penuh keimanan dan mengharap pahala dari Allah, maka akan
diampuni dosa-dosanya yang telah berlalu.” (Muttafaqun ‘alaihi dari Abu
Hurairah radhiyallahu ‘anhu)
Untuk mencapai ampunan yang Allah
janjikan maka diperlukan kesungguh-sungguhan, persiapan dan latihan terlebih
dahulu di bulan Sya’ban. Oleh karena itu Rasulullah shallallahu ‘alaihi
wasallam banyak melakukan ibadah puasa di bulan Sya’ban sebagai persiapan untuk
memasuki Ramadhan.
Dari ‘Aisyah radhiyallaahu ‘anha,
beliau berkata,
لَمْ
يكن النبي – صلى الله عليه وسلم – يَصُومُ مِنْ شَهْرٍ أكْثَرَ مِنْ شَعْبَانَ ،
فَإنَّهُ كَانَ يَصُومُ شَعْبَانَ كُلَّهُ
“Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam
tidak pernah berpuasa dalam suatu bulan lebih banyak daripada bulan Sya’ban.
Dahulu beliau berpuasa pada bulan Sya’ban seluruhnya.” (Muttafaq ‘alaihi)
Tanpa persiapan yang matang
sebelumnya, seseorang bisa jadi akan melewatkan bulan Ramadhan sebagaimana
bulan-bulan lainnya, tidak diampuni dosanya wal ‘iyadzu billah. [2]
Sunnah-sunnah di Bulan Sya’ban
Ada beberapa sunnah di bulan Sya’ban yang hendaknya diperhatikan:
1.
Memperbanyak
Puasa di Bulan Sya’ban
2.
Sebagaimana hadits ‘Aisyah
radhiyallaahu ‘anha yang telah berlalu, beliau berkata,
لَمْ
يكن النبي – صلى الله عليه وسلم – يَصُومُ مِنْ شَهْرٍ أكْثَرَ مِنْ شَعْبَانَ ،
فَإنَّهُ كَانَ يَصُومُ شَعْبَانَ كُلَّهُ
“Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam
tidak pernah berpuasa dalam suatu bulan lebih banyak daripada bulan Sya’ban.
Dahulu beliau berpuasa pada bulan Sya’ban seluruhnya.” (Muttafaq ‘alaihi)
Maksud ucapan beliau radhiyallahu ‘anha “… berpuasa pada bulan Sya’ban
seluruhnya” adalah beliau berpuasa pada mayoritas hari di bulan Sya’ban, bukan
pada keseluruhan harinya, karena Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam tidaklah
pernah berpuasa sebulan penuh kecuali pada bulan Ramadhan. [3]
Oleh karena itu sudah sepantasnya bagi seorang muslim untuk memperbanyak
puasa di bulan Sya’ban ini lebih banyak daripada puasa-puasa di bulan lainnya. Para ulama menjelaskan bahwa hikmah dari puasa Sya’ban ini
adalah agar seseorang menjadikannya dengan bulan Ramadhan seperti shalat
rawatib dan shalat wajib (maksudnya agar dia menjadikan puasa di bulan Sya’ban
ini sebagai ibadah tambahan sebelum dia masuk ke dalam puasa Ramadhan – pen.)
[4]
2. Menghitung Hari Bulan Sya’ban
Dari Abu Hurairah radhiyallahu
‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,
صُومُوا
لِرُؤْيَتِهِ، وَأفْطِرُوا لِرُؤيَتِهِ، فَإنْ غَبِيَ عَلَيْكُمْ ، فَأكمِلُوا
عِدَّةَ شَعْبَانَ ثَلاَثِينَ
“Berpuasalah kalian ketika melihat
hilal dan berbukalah ketika melihatnya. Apabila hilal tersebut tertutup atas
kalian, maka sempurnakanlah bilangan Sya’ban menjadi tigapuluh hari.”
(Muttafaqun ‘alaihi)
Sudah sepantasnya kaum muslimin
menghitung bulan Sya’ban sebagai persiapan sebelum memasuki Ramadhan. Karena
satu bulan itu terkadang dua puluh sembilan hari dan terkadang tigapuluh hari,
maka puasa itu dimulai ketika melihat hilal bulan Ramadhan. Jika terhalang awan
hendaknya menyempurnakan bulan Sya’ban menjadi tiga puluh hari. Karena Allah
menciptakan langit-langit dan bumi serta menjadikan tempat-tempat tertentu agar
manusia mengetahui jumlah tahun dan hisab. Satu bulan tidak akan lebih dari
tiga puluh hari. [5]
3. Tidak Mendahului Ramadhan dengan
Puasa Satu atau Dua Hari Sebelumnya
Dari Abu Hurairah radhiyallahu
‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,
لاَ
يَتَقَدَّمَنَّ أَحَدُكُم رَمَضَانَ بِصَوْمِ يَوْمٍ أَوْ يَوْمَيْنِ ، إِلاَّ أنْ
يَكُونَ رَجُلٌ كَانَ يَصُومُ صَومَهُ ، فَليَصُمْ ذَلِكَ اليَوْمَ
“Janganlah salah seorang di antara
kalian mendahului Ramadhan dengan melakukan puasa satu atau dua hari sebelumnya
kecuali seorang yang telah rutin berpuasa maka hendaknya dia tetap berpuasa
pada hari tersebut.” (Muttafaqun ‘alaihi)
Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam
melarang seseorang untuk mendahului Ramadhan dengan berpuasa sehari atau dua
hari sebelumnya. Kecuali apa yang sudah menjadi rutinitas seseorang. Misalnya
seseorang yang sudah terbiasa berpuasa di hari Senin, ketika puasanya
bertabrakan dengan satu atau dua hari sebelum Ramadhan maka tidak mengapa
baginya untuk berpuasa. [6]
4. Tidak Berpuasa pada Hari yang
Diragukan
Dari ‘Ammar bin Yasir radhiyallahu
‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,
مَنْ
صَامَ اليَوْمَ الَّذِي يُشَكُّ فِيهِ ، فَقَدْ عَصَى أَبَا القَاسِمِ – صلى الله
عليه وسلم -
“Barangsiapa yang berpuasa pada hari
yang diragukan, maka sesungguhnya dia telah bermaksiat kepada Abul Qosim (yaitu
Rasulullah –pen) shallallahu ‘alaihi wasallam.” (HR. Abu Dawud dan At Tirmidzi,
dan At Tirmidzi mengatakan, “Hadits hasan shahih.” Dishahihkan oleh Al Albani
di Shahih Abi Dawud no. 2022)
Yaumus syak (hari yang diragukan)
adalah hari ketigapuluh dari bulan Sya’ban apabila hilal tertutup mendung atau
karena langit berawan pada malam sebelumnya. Para ulama berbeda pendapat
tentang larangan ini apakah sifatnya pengharaman atau makruh. Dan yang kuat
dari pendapat para ulama adalah pengharamannya. [7]
Faidah:
Di dalam sebuah hadits dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,
إِذَا
بَقِيَ نِصْفُ مِنْ شَعْبَانَ فَلاَ تَصُوْمُوْا
“Ketika masih tersisa separuh dari
bulan Sya’ban, maka janganlah kalian berpuasa.” (HR. At Tirmidzi, beliau
berkata “Hasan shahih.”)
Asy Syaikh Muhammad bin Shalih Al
Utsaimin mengatakan [8],
“Meski At Tirmidzi mengatakan bahwa
hadits ini adalah hasan shahih, akan tetapi hadits ini adalah hadits yang
lemah. Al Imam Ahmad mengatakan bahwa hadits ini syadz[9].
Hadits ini menyelisihi riwayat Abu
Hurairah radhiyallahu ‘anhu di mana Nabi bersabda,
“Janganlah salah seorang di antara
kalian mendahului Ramadhan dengan melakukan puasa satu atau dua hari
sebelumnya.”
Dipahami dari sini bahwa boleh berpuasa pada tiga hari sebelum Ramadhan,
atau empat hari, atau bahkan sepuluh hari sebelumnya.
Kalau pun haditsnya shahih,
maka larangan di sini bukanlah bersifat pengharaman, hanya saja dimakruhkan
sebagaimana pendapat sebagian ulama. Kecuali apabila dia sudah memiliki
rutinitas puasa, maka hendaknya dia tetap pada rutinitasnya tersebut meski di
paruh kedua bulan Sya’ban.
Dengan demikian, puasa pada kondisi
ini terbagi menjadi tiga:
1. Setelah pertengahan Sya’ban sampai tanggal dua puluh delapan, maka ini
hukumnya makruh kecuali bagi yang sudah punya rutinitas puasa. Akan tetapi pendapat ini dibangun atas anggapan bahwa hadits
larangan puasa tersebut shahih. Al Imam Ahmad tidaklah menshahihkan hadits ini,
maka dengan demikian tidaklah dimakruhkan sama sekali.
2. Satu atau dua hari sebelum
Ramadhan, maka ini hukumnya haram kecuali bagi yang sudah punya rutinitas berpuasa
sebelumnya.
3. Pada yaumus syak, hari yang
diragukan. Maka ini haram secara mutlak. Tidak boleh berpuasa pada hari syak
karena Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam telah melarangnya.
Bid’ah-bid’ah pada Bulan Sya’ban
Bid’ah secara bahasa artinya perkara
yang baru dibuat. Adapun secara syar’i, bid’ah artinya jalan atau metodologi
baru dalam yang agama yang menyerupai syariat yang dimaksudkan dengannya untuk
berlebih-lebihan dalam beribadah kepada Allah ta’ala. [10]
Bid’ah hukumnya haram. Allah ta’ala
berfirman,
أَمْ
لَهُمْ شُرَكَاءُ شَرَعُوا لَهُمْ مِنَ الدِّينِ مَا لَمْ يَأْذَنْ بِهِ اللَّهُ
“Apakah mereka mempunyai
sembahan-sembahan selain Allah yang mensyariatkan untuk mereka agama yang tidak
diizinkan Allah?” (Asy Syura: 21)
Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam
bersabda,
مَنْ
عَمِلَ عَمَلاً لَيْسَ عَلَيهِ أمرُنا فَهُوَ رَدٌّ
“Barangsiapa yang beramal dengan
sebuah amalan yang bukan dari ajaran kami maka amalan itu akan tertolak.”
(Muttafaqun ‘alaih dari ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha)
Beliau juga bersabda,
وَشّرُّ
الْأُمُوْرِ مُحْدَثَاتُهَا وَكُلًّ مُحْدَثَةٍ بِدْعَةٌ وَكُلُّ بِدْعَةٍ
ضَلاَلَةٌ وَكُلُّ ضَلاَلَةٍ فِيْ النَّارِ
“Sejelek-jelek perkara adalah
perkara yang baru (dalam agama). Semua perkara yang baru dalam agama adalah
bid’ah, dan semua bid’ah adalah kesesatan, dan semua kesesatan tempatnya di
neraka.” (HR. An Nasa’i, Ibnu Majah dari Jabir bin Abdillah radhiyallahu
‘anhuma. Dishahihkan oleh Al Albani dalam Al Irwa’ No. 608)
Sahabat Hudzaifah radhiyallahu ‘anhu
berkata,
كُلُّ
بِدْعَةٍ ضَلاَلَةٌ وَ إِنْ رَآهاَ النَّاسُ حَسَنَةً
“Setiap bid’ah adalah sesat,
meskipun oleh manusia hal itu dianggap sebuah kebaikan.”
Dan di antara bid’ah yang tersebar
di kalangan manusia pada bulan Sya’ban adalah:
1. Peringatan Malam Nisfu Sya’ban
Asy Syaikh Abdul Aziz bin Baaz
rahimahullah, Mufti Kerajaan Saudi Arabia mengatakan,
“Di antara bid’ah yang biasa
dilakukan oleh banyak orang ialah bid’ah upacara peringatan malam Nisfu Sya’ban
dan mengkhususkan pada hari tersebut dengan puasa tertentu. Padahal tidak ada
satu pun dalil yang dapat dijadikan sandaran. Memang ada hadits-hadits tentang
keutamaan malam tersebut, akan tetapi hadits-hadits tersebut adalah hadits yang
lemah sehingga tidak dapat dijadikan landasan. Adapun hadits-hadits yang
berkenaan dengan keutamaan shalat pada hari itu adalah hadits yang palsu.
Dalam hal ini, banyak di antara para
ulama yang menyebutkan tentang lemahnya hadits-hadits yang berkenaan dengan
pengkhususan puasa dan keutamaan shalat pada hari Nisfu Sya’ban.
Al Hafizh Ibnu Rajab dalam kitab
beliau Lathaiful Ma’arif mengatakan bahwa perayaan malam Nisfu Sya’ban adalah
bid’ah dan hadits-hadits yang menerangkan keutamaannya lemah. Hadits-hadits
lemah bisa diamalkan dalam ibadah jika asalnya didukung oleh hadits-hadits
shahih, sedangkan upacara perayaan malam Nisfu Sya’ban tidak ada dasar hadits
yang shahih sehingga tidak bisa didukung dengan dalil hadits- hadits
dhaif.”[11]
2. Nyekar/Ziarah Qubur
Ziarah qubur pada asalnya adalah perkara yang disyariatkan. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,
Ziarah qubur pada asalnya adalah perkara yang disyariatkan. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,
إِنِّي
نَهَيْتُكُمْ عَنْ زِيَارَةِ الْقُبُوْرِ فَزُوْرُوْهَا, فَإِنَّ فِيْهَا
عِبْرَةً, وَلاَ تَقُوْلُوا مَا يُسْخِطُ الرَّبُّ
“Sesungguhnya dulu aku melarang
kalian dari ziarah kubur. Maka sekarang ziarahilah kuburan, karena dalam ziarah
kubur ada pelajaran. Namun jangan kalian mengeluarkan ucapan yang membuat Rabb
kalian murka.” (HR. Ahmad dan yang selainnya dari Ali radhiyallahu ‘anhu.
Dishahihkan oleh Asy Syaikh Al Albani dalam Silsilah Ash Shahihah no. 886)
Beliau juga bersabda,
فَزُوْرُوْا
الْقُبُوْرَ, فَإِنَّهَا تُذَكِّرُ الْمَوْتَ
“Ziarahilah kuburan karena
sesungguhnya ziarah kubur itu mengingatkan kepada kematian.” (HR. Muslim dari
Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu)
Al Imam Ash Shan’ani mengatakan,
“Hadits-hadits ini menunjukkan
disyariatkannya ziarah kubur, menerangkan hikmahnya, dan dilakukannya dalam
rangka mengambil pelajaran. Maka bila dalam ziarah kubur tidak tercapai hal ini
berarti ziarah itu bukanlah ziarah yang diinginkan secara syar’i.” [12]
Akan tetapi, mengkhususkan ziarah kubur pada bulan Sya’ban, atau menjelang
Ramadhan adalah perkara yang tidak pernah dituntunkan di dalam syariat.
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah mengatakan,
“Bahkan di sebagian kuburan, orang-orang berkumpul di sekitarnya pada hari tertentu dalam setahun, mereka melakukan perjalanan jauh ke kuburan tersebut baik pada bulan Muharram, Rajab, Sya’ban, Dzulhijjah atau di bulan selainnya. Sebagian mereka berkumpul pada hari ‘Asyura (10 Muharram), sebagiannya lagi pada hari Arafah, yang lainnya pada hari Nisfu Sya’ban dan sebagian lagi di waktu yang berbeda. Mereka mengkhususkan hari tertentu dalam setahun untuk mengunjungi kuburan tersebut.” [13]
“Bahkan di sebagian kuburan, orang-orang berkumpul di sekitarnya pada hari tertentu dalam setahun, mereka melakukan perjalanan jauh ke kuburan tersebut baik pada bulan Muharram, Rajab, Sya’ban, Dzulhijjah atau di bulan selainnya. Sebagian mereka berkumpul pada hari ‘Asyura (10 Muharram), sebagiannya lagi pada hari Arafah, yang lainnya pada hari Nisfu Sya’ban dan sebagian lagi di waktu yang berbeda. Mereka mengkhususkan hari tertentu dalam setahun untuk mengunjungi kuburan tersebut.” [13]
Perkara ini dilarang karena tidak
ada tuntunannya di dalam agama. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,
مَنْ
عَمِلَ عَمَلاً لَيْسَ عَلَيهِ أمرُنا فَهُوَ رَدٌّ
“Barangsiapa yang beramal dengan
sebuah amalan yang bukan dari ajaran kami maka amalan itu akan tertolak.”
(Muttafaqun ‘alaih dari ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha)
Selain itu beliau juga melarang untuk
melakukan safar untuk berziarah kecuali ke tiga masjid. Dari Abu Said Al Khudri
radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,
لاَ
تَشُدُّوا الرِّحاَلَ إِلاَّ إِلَى ثَلاَثَةِ مَساَجِدَ. مَسْجِدِي هَذاَ
وَالْمَسْجِدِ الْحَراَمِ وَالْمَسْجِدِ اْلأَقْصَى
“Janganlah kalian bepergian
(mengadakan safar dengan tujuan ibadah) kecuali kepada tiga masjid: Masjidku
ini, Masjid Al Haram, dan Masjid Al Aqsha.” (Muttafaqun ‘alaihi)
Pelarangan ini semakin keras apabila
ziarah tersebut diiringi dengan tawasul atau berdoa meminta kepada kuburan yang
diziarahi. Allah berfirman,
وَأَنَّ
الْمَساَجِدَ ِللهِ فَلاَ تَدْعُوا مَعَ اللهِ أَحَدا
“Dan bahwa masjid-masjid itu milik
Allah maka janganlah kalian berdoa kepada seorangpun bersama Allah.” (Al Jin:
18)
Apabila seseorang berdoa kepada selain Allah, maka sesungguhnya dia telah
terjatuh ke dalam perbuatan syirik yang tidak diampuni oleh Allah subhanahu
wata’ala. Allah berfirman,
إِنَّ
اللهَ لاَ يَغْفِرُ أَنْ يُشْرَكَ بِهِ وَيَغْفِرُ ماَ دُوْنَ ذَلِكَ لِمَنْ
يَشآءُ
“Sesungguhnya Allah tidak akan
mengampuni dosa syirik dan Dia mengampuni segala dosa yang selain dari syirik
itu bagi siapa yang dikehendaki-Nya.” (An Nisa: 48)
3. Shalat Alfiyah
Di dalam kitab beliau Al Bida’ Al
Hauliyyah, ketika menyebutkan tentang bid’ahnya shalat Alfiyah di Bulan
Sya’ban, Asy Syaikh Abdullah At Tuwaijiri mengatakan,
“Shalat bid’ah ini dinamakan Shalat
Alfiyah karena di dalamnya dibacakan surat Al Ikhlash sebanyak seribu kali.
Jumlah raka’atnya seratus, dan pada setiap rakaat dibacakan surat Al Ikhlas
sepuluh kali.
Tata cara shalat ini dan pahala
amalannya telah diriwayatkan dari banyak jalan sebagaimana yang telah
disebutkan oleh Ibnul jauzi dalam kitab beliau Al Maudhu’at (kumpulan
hadits-hadits palsu). Beliau berkata,
“Kami tidaklah ragu lagi kalau
hadits ini benar-benar palsu. Kebanyakan perawi hadits ini dalam tiga jalannya
adalah para majahil (tidak diketahui ketsiqahan/kebenaran riwayatnya), dan di
dalam terdapat rawi yang sangat lemah, sehingga haditsnya tidaklah teranggap
sama sekali.” [14]
4. Padusan
Padusan adalah acara mandi bersama
yang dilakukan pada akhir bulan Sya’ban, menjelang masuknya bulan Ramadhan.
Biasanya orang-orang berkumpul di sungai, danau, air terjun atau kolam, lalu
mandi bersama dengan keyakinan perkara tersebut akan membersihkan dosa-dosa
mereka sebelum mereka masuk ke dalam bulan Ramadhan.
Di sebagian tempat, acara
mandi-mandi ini dilakukan dengan mengguyurkan air dari dalam bejana yang telah
dicampur dengan berbagai kembang dan jeruk limau.
Acara seperti ini memiliki
kemungkaran dari berbagai sisi:
a.
Merupakan bid’ah yang tidak pernah diajarkan oleh Rasulullah shallallahu
‘alaihi wasallam dan tidak pernah pula dikerjakan oleh generasi awal Islam, dan
telah berlalu penjelasan tentang keharamannya.
b. Di
dalamnya terdapat keyakinan yang rusak bahwa dengan acara mandi-mandi tersebut
akan membersihkan dosa-dosa. Ini adalah keyakinan yang keliru karena
sesungguhnya dosa-dosa tidaklah akan terhapus dengan acara mandi seperti itu.
Dosa-dosa akan terhapus dengan taubat, meminta ampunan dari Allah serta
memperbanyak amalan shalih.
Allah ta’ala berfirman,
يَا
أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا تُوبُوا إِلَى اللَّهِ تَوْبَةً نَصُوحًا عَسَى رَبُّكُمْ
أَنْ يُكَفِّرَ عَنْكُمْ سَيِّئَاتِكُمْ وَيُدْخِلَكُمْ جَنَّاتٍ تَجْرِي مِنْ
تَحْتِهَا الأنْهَارُ
“Hai orang-orang yang beriman,
bertobatlah kepada Allah dengan taubat yang semurni-murninya, mudah-mudahan
Rabb kalian akan menghapus kesalahan-kesalahan kalian dan memasukkan kalian ke
dalam surga yang mengalir di bawahnya sungai-sungai.” (At Tahrim: 8)
وَمَنْ
يُؤْمِنْ بِاللَّهِ وَيَعْمَلْ صَالِحًا يُكَفِّرْ عَنْهُ سَيِّئَاتِهِ
“Dan barang siapa yang beriman
kepada Allah dan mengerjakan amal shalih niscaya Allah akan menghapus
kesalahan-kesalahannya.” (At Taghabun: 9)
c.
Di dalam acara semacam ini juga terjadi ikhtilath, campur baur antara laki-laki
dan perempuan yang bukan mahram dengan tujuan yang jelek, maka ini tidak
diragukan lagi keharamannya. [15]
5. Sedekah Ruwah
Di beberapa tempat di Indonesia ,
sering diadakan sedekah ruwah. Sedekah ruwah adalah acara kenduri (makan-makan)
yang tujuannya adalah mengumpulkan orang banyak untuk kemudian membacakan
tahlil dan surat Yasin untuk kemudian dihadiahkan kepada arwah orang tua dan
karib kerabat yang telah meninggal dunia. Acara ini juga termasuk bid’ah
yang tidak pernah dituntunkan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam.
Kemungkaran di dalam acara ini juga bertambah apabila diiringi dengan kurafat,
keyakinan yang batil bahwa arwah orang yang telah meninggal ikut hadir untuk
mengunjungi saudara-saudaranya yang masih hidup. Wallahul
musta’an.
Peringatan:
Selain perkara yang disebutkan di atas, masih ada tradisi yang sebaiknya juga ditinggalkan. Tradisi tersebut adalah bermaaf-maafan sebelum memasuki bulan Ramadhan. Kalau memang seseorang punya kesalahan terhadap orang tua, karib kerabat, atau teman-temannya maka hendaknya dia segera meminta maaf, tidak perlu mengkhususkan sebelum masuk bulan puasa karena yang demikian menyelisihi sunnah.[16]
Selain perkara yang disebutkan di atas, masih ada tradisi yang sebaiknya juga ditinggalkan. Tradisi tersebut adalah bermaaf-maafan sebelum memasuki bulan Ramadhan. Kalau memang seseorang punya kesalahan terhadap orang tua, karib kerabat, atau teman-temannya maka hendaknya dia segera meminta maaf, tidak perlu mengkhususkan sebelum masuk bulan puasa karena yang demikian menyelisihi sunnah.[16]
Untuk mendukung kegiatan saling
memaafkan sebelum Ramadhan ini, sebagian orang membawakan hadits yang bunyinya,
“Ya Allah tolong abaikan puasa ummat
Muhammad, apabila sebelum memasuki bulan Ramadhan dia tidak melakukan hal-hal
yang berikut: Tidak memohon maaf terlebih dahulu kepada kedua orang tuanya
(jika masih ada); Tidak berma’afan terlebih dahulu antara suami istri; Tidak
berma’afan terlebih dahulu dengan orang-orang sekitarnya. Dan barang siapa yang
menyambut bulan Ramadhan dengan suka cita , maka diharamkan kulitnya tersentuh
api neraka.”
Hadits ini wallahu a’lam datangnya
darimana, siapa sahabat perawinya, diriwayatkan di kitab apa, bagaimana keadaan
sanadnya.
Apabila hadits ini adalah buatan
orang, kemudian disandarkan kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam,
maka ditakutkan dia akan terjatuh ke dalam sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi
wasallam,
مَنْ
كَذَبَ عَلَيَّ مُتَعَمِّدًا فَلْيَتَبَوَّأْ مَقْعَدَهُ مِنَ النَّارِ
“Barangsiapa yang dengan sengaja
berdusta atas kami, maka hendaknya dia mengambil tempat duduknya dari api
neraka.” (Muttafaqun ‘alaih dari hadits Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu)
Adapun hadits yang mirip dengan
hadits tersebut, lafazhnya adalah sebagai berikut,
أَنَّ
النَّبِي صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ رَقَى الْمِنْبَر فَقَال: “آمين، آمين،
آمين” قِيْلَ لَهُ : يَا رَسَوْلَ اللهِ! مَا كُنْتَ تَصْنَعْ هَذَا؟ فَقَالَ: ”
قَالَ لِيْ جِبْرِيْلُ : رَغِمَ أَنْفُ عَبْدٍ أَدْرَكَ أَبَوْيْهِ أَوْ
أَحَدَهُمَا لَمْ يُدْخِلْهُ الْجَنَّةَ. قُلْتُ: آمين. ثم قال: رَغِمَ أَنْفُ
عَبْدٍ دَخَلَ عَلَيْهِ رَمَضَانُ لَمْ يَغْفِرْ لَهُ. فقُلْتُ : آمين. ثُمَّ
قَالَ : رَغِمَ أَنْفُ امرئ ذُكِرْتَ عِنْدَهُ فَلَمْ يُصَلِّ عَلَيْكَ، فقُلْتُ:
آمين “.
Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam
naik ke atas mimbar kemudian berkata, “Amin, amin, amin”.
Para sahabat bertanya, “Ya
Rasulullah, kenapa engkau mengatakan perkara tersebut?”
Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
“Jibril berkata kepadaku, ‘Celaka seorang hamba yang mendapatkan kedua orang tuanya atau salah seorang dari keduanya masih hidup akan tetapi tidak memasukkan dia ke surga dan katakanlah amin!’ Maka kukatakan, ‘Amin.’”
“Jibril berkata kepadaku, ‘Celaka seorang hamba yang mendapatkan kedua orang tuanya atau salah seorang dari keduanya masih hidup akan tetapi tidak memasukkan dia ke surga dan katakanlah amin!’ Maka kukatakan, ‘Amin.’”
Kemudian Jibril berkata lagi,
‘Celaka seorang hamba yang masuk bulan Ramadhan tetapi keluar dari bulan
Ramadhan tidak diampuni dosanya oleh Allah dan katakanlah amin!’ Maka aku
katakan, ‘Amin’.
Kemudian Jibril berkata,
‘Wahai Muhammad, celaka seseorang yang jika disebut namamu namun dia tidak bershalawat kepadamu dan katakanlah amin!’ Maka kukatakan, ‘Amin.’” (HR. Al Bukhari dalam Adabul Mufrad, dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu. Asy Syaikh Al Albani mengatakan bahwa haditsnya hasan shahih).
‘Wahai Muhammad, celaka seseorang yang jika disebut namamu namun dia tidak bershalawat kepadamu dan katakanlah amin!’ Maka kukatakan, ‘Amin.’” (HR. Al Bukhari dalam Adabul Mufrad, dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu. Asy Syaikh Al Albani mengatakan bahwa haditsnya hasan shahih).
Penutup
Demikianlah sedikit pembahasan yang berkaitan dengan bulan Sya’ban. Semoga Allah jadikan sebagai amalan shalih bagi penulis dan bisa memberikan manfaat bagi kaum muslimin. Wallahu ta’ala a’lam, semoga shalawat dan salam tercurah pada junjungan kita Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam.
(Ditulis pada hari Rabu tanggal 23
Rajab 1433 H – bertepatan dengan 13 Juni 2012 di Darul hadits Syihir,
Hadramaut. Semoga Allah senantiasa menjaga dan mengokohkannya)
Catatan kaki:
[1] Sya’ban Fadhail wa Ahkam, Abu Nafi’ Salim Al Kilali, hal. 1
[2] Faidah dari Muhadharah bertema Hal Al Muslim fi Sya’ban (Rajab 1432 H), Abu Hasyim Asy Syihri
[3] Fathul Bari, Ibnu Hajar Al Asqalani (4/214)
[4] Syarh Riyadhis Shalihin, Asy Syaikh Muhammad bin Shalih Al Utsaimin (3/408)
[5] Shifat Shaumin Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, Asy Syaikh Salim Al Hilali dan Asy Syaikh Ali Hasan Al Halabi, hal. 27
[6] Syarh Riyadhis Shalihin, Asy Syaikh Muhammad bin Shalih Al Utsaimin (3/393)
[7] Idem (3/394).
[8] Idem (3/394-395).
[9] Hadits syadz adalah hadits yang diriwayatkan oleh rawi yang tsiqah, akan tetapi menyelisihi rawi lain yang lebih tsiqah atau menyelisihi sekelompok rawi yang lebih banyak jumlahnya.
[10] Al I’tisham, Al Imam Asy Syatibi (1/26)
[11] At Tahdzir minal Bida’, Asy Syaikh Abdul Aziz bin Baaz hal. 20
[12] Subulus Salam, Al Imam Ash Shan’ani (2/114).
[13] Iqtidha’ Sirathil Mustaqim, Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah, hal. 257.
[14] Al Bida’ Al Hauliyyah, Asy Syaikh Abdullah At Tuwaijiri, hal 291.
[15] At Tahdzir minal Ikhtilath, Syaikhuna Abdullah bin Al Mar’ie bin Buraik, hal 3.
[16] Demikian penjelasan dari guru kami Asy Syaikh Abdullah bin Umar Al Mar’ie ketika ditanya hukum bermaaf-maafan sebelum masuk Ramadhan. Beliau menjawab, “Apabila seseorang memang memiliki kesalahan maka hendaknya dia segera meminta maaf. Namun mengkhususkannya pada waktu sebelum masuk Ramadhan maka ini khilafus sunnah, menyelisihi sunnah.” Wallahu ‘alam
[1] Sya’ban Fadhail wa Ahkam, Abu Nafi’ Salim Al Kilali, hal. 1
[2] Faidah dari Muhadharah bertema Hal Al Muslim fi Sya’ban (Rajab 1432 H), Abu Hasyim Asy Syihri
[3] Fathul Bari, Ibnu Hajar Al Asqalani (4/214)
[4] Syarh Riyadhis Shalihin, Asy Syaikh Muhammad bin Shalih Al Utsaimin (3/408)
[5] Shifat Shaumin Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, Asy Syaikh Salim Al Hilali dan Asy Syaikh Ali Hasan Al Halabi, hal. 27
[6] Syarh Riyadhis Shalihin, Asy Syaikh Muhammad bin Shalih Al Utsaimin (3/393)
[7] Idem (3/394).
[8] Idem (3/394-395).
[9] Hadits syadz adalah hadits yang diriwayatkan oleh rawi yang tsiqah, akan tetapi menyelisihi rawi lain yang lebih tsiqah atau menyelisihi sekelompok rawi yang lebih banyak jumlahnya.
[10] Al I’tisham, Al Imam Asy Syatibi (1/26)
[11] At Tahdzir minal Bida’, Asy Syaikh Abdul Aziz bin Baaz hal. 20
[12] Subulus Salam, Al Imam Ash Shan’ani (2/114).
[13] Iqtidha’ Sirathil Mustaqim, Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah, hal. 257.
[14] Al Bida’ Al Hauliyyah, Asy Syaikh Abdullah At Tuwaijiri, hal 291.
[15] At Tahdzir minal Ikhtilath, Syaikhuna Abdullah bin Al Mar’ie bin Buraik, hal 3.
[16] Demikian penjelasan dari guru kami Asy Syaikh Abdullah bin Umar Al Mar’ie ketika ditanya hukum bermaaf-maafan sebelum masuk Ramadhan. Beliau menjawab, “Apabila seseorang memang memiliki kesalahan maka hendaknya dia segera meminta maaf. Namun mengkhususkannya pada waktu sebelum masuk Ramadhan maka ini khilafus sunnah, menyelisihi sunnah.” Wallahu ‘alam
http://www.darussalaf.or.id/
0 komentar:
Posting Komentar