Menduduki Jabatan Keagamaan
oleh Syaikh Abdul Aziz bin Baaz
Soal:
Banyak penuntut ilmu yang menghindar dari jabatan-jabatan keagamaan. Apakah faktor yang mendorong mereka untuk melakukannya? Dan apa nasehat Anda kepada mereka? Sebagaimana diketahui bahwa banyak penuntut ilmu di sekolah-sekolah agama mencari jalan untuk melepaskan diri dari jabatan kehakiman dengan cara-cara yang beraneka ragam. Apakah nasehat anda kepada mereka?
Banyak penuntut ilmu yang menghindar dari jabatan-jabatan keagamaan. Apakah faktor yang mendorong mereka untuk melakukannya? Dan apa nasehat Anda kepada mereka? Sebagaimana diketahui bahwa banyak penuntut ilmu di sekolah-sekolah agama mencari jalan untuk melepaskan diri dari jabatan kehakiman dengan cara-cara yang beraneka ragam. Apakah nasehat anda kepada mereka?
Jawab:
Jabatan-jabatan keagamaan yang berupa kehakiman, pengajaran, fatwa, ceramah merupakan kedudukan yang mulia dan penting. Kaum muslimin sangat membutuhkannya. Apabila para ulama berlepas diri dari jabatan-jabatan itu, maka orang-orang yang jahil-lah yang akan mendudukinya, sehingga mereka sesat dan menyesatkan. Sehingga orang yang dibutuhkan sebagai ulama dan ahli fiqh, wajib menduduki jabatan itu. Karena jabatan-jabatan yang berupa kehakiman, pendidikan, ceramah dan dakwah kepada Allah subhanahu wata’ala atau yang semisalnya, hukumnya adalah fardhu kifayah.
Jabatan-jabatan keagamaan yang berupa kehakiman, pengajaran, fatwa, ceramah merupakan kedudukan yang mulia dan penting. Kaum muslimin sangat membutuhkannya. Apabila para ulama berlepas diri dari jabatan-jabatan itu, maka orang-orang yang jahil-lah yang akan mendudukinya, sehingga mereka sesat dan menyesatkan. Sehingga orang yang dibutuhkan sebagai ulama dan ahli fiqh, wajib menduduki jabatan itu. Karena jabatan-jabatan yang berupa kehakiman, pendidikan, ceramah dan dakwah kepada Allah subhanahu wata’ala atau yang semisalnya, hukumnya adalah fardhu kifayah.
Apabila telah tertentu atas seseorang (di mana hanya dia yang
pantas mendudukinya, ed.) maka wajib baginya dan tidak boleh baginya untuk
meminta udzur dan menolak. Namun, apabila ada orang yang dianggap mencukupi
untuk bisa melakukannya maka tidak wajib baginya menduduki posisi ini dan
hendaknya dia mempertimbangkan apa yang mengandung maslahat (apakah dia
menerima atau menolaknya, ed.). Sebagaimana Allah subhanahu wata’ala firmankan
ketika menceritakan tentang Nabi Yusuf ‘alaihis salam bahwa beliau berkata
kepada raja Mesir,
اجْعَلْنِي عَلَى خَزَائِنِ الأرْضِ إِنِّي حَفِيظٌ عَلِيمٌ (٥٥)
“Jadikanlah aku bendaharawan negara (Mesir); sesungguhnya aku
adalah orang yang pandai menjaga, lagi berpengetahuan.” (Yusuf: 55)
Ketika Nabi Yusuf memandang adanya maslahat apabila menduduki jabatan
itu maka beliau memintanya, padahal beliau adalah seorang Nabi dan Rasul yang
mulia, dan para Nabi adalah manusia yang terbaik. Namun, Nabi Yusuf ‘alaihis
salam meminta kedudukan tersebut demi perbaikan penduduk Mesir, dan agar beliau
bisa berdakwah kepada kebenaran.
Sehingga apabila seorang penuntut ilmu melihat adanya maslahat untuk
menduduki suatu jabatan, hendaknya dia minta posisi tersebut dan rela
menerimanya, baik jabatan dalam bidang hukum, pengajaran, pemerintahan atau
yang lainnya. Tetapi hendaknya dia bertujuan untuk perbaikan dankebaikan, bukan
untuk mencari keduniaan. Ia hanya menginginkan wajah Allah subhanahu wata’ala,
tempat kembali yang baik di akherat serta memberi manfaat manusia dalam perkara
agama mereka. Itulah tujuan yang pertama, setelah itu untuk memberi manfaat dalam
perkara dunia mereka.
Dia tidak rela kalau yang menduduki posisi-posisi tersebut adalah
orang-orang yang bodoh dan fasiq. Apabila dia diminta untuk menduduki suatu
jabatan yang baik dan memandang bahwa dirinya mampu serta memiliki kekuatan
maka penuhilah permintaan itu. Dan hendaknya dia memperbaiki niatnya,
mengerahkan semua kemampuannya dan janganlah dia mengatakan: “Aku khawatir ini
dan itu.”
Dengan niat yang baik dan kejujuran dalam beramal, dia akan diberi
taufik oleh Allah subhanahu wata’ala dan ditolong dalam pekerjaannya. Sehingga
apabila Allah subhanahu wata’ala memperbaiki niatnya kemudian orang tersebut
mengeluarkan segenap kemampuannya untuk kebaikan, maka niscaya Allah subhanahu
wata’ala akan memberi taufik kepadanya.
Berkaitan dengan permasalahan ini terdapat hadits dari ‘Utsman bin Abi
Al ‘Ash Ats-Tsaqafi radhiyallahu ‘anhu, dia berkata, “Wahai Rasulullah,
jadikanlah aku imam bagi kaumku!” Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam
bersabda,
أَنْتَ إمَامُهُمْ واقْتَدِ بِأَضْعَفِهِمْ وَاتَّخِذْ مُؤَذِّناً لاَ
يَأْخُذْ عَلَى أَذَانِهِمْ أََجْرًا
“Engkaulah imam mereka! Perhatikan orang yang paling lemah di antaramereka,
dan tunjuklah seseorang sebagai muadzin. Dan janganlah dia mengambil upah atas
adzannya tersebut!” (HR. Al Imam Ahmad dan Ahlu As Sunan dengan sanad yang
shahih)
Dalam hadits ini, beliau radhiyallahu ‘anhu meminta posisi sebagai imam
kaumnya karena dia memandang adanya maslahat yang syar’i, yaitu untuk
mengarahkan mereka kepada kebaikan, mengajari mereka perkara agama, memerintahkan
mereka kepada perkara yang ma’ruf dan melarang dari kemungkaran, sebagaimana
yang telah dilakukan Nabi Yusuf radhiyallahu ‘anhu.
Para ulama berkata, “Meminta suatu kekuasaan dan kedudukan hanyalah
dilarang apabila tidak ada faktor yang mendorong untuk itu. Karena hal itu
merupakan perkara yang berbahaya, sebagaimana disebutkan dalam sebuah hadits
yang melarang untuk meminta jabatan. Namun tatkala ada faktor yang mendorong
untuk itu dan terdapat maslahat yang syar’i untuk memintanya, maka dibolehkan
berdasarkan kisah Nabi Yusuf ‘alaihis salam dan hadits ‘Utsman radhiyallahu
‘anhu di atas.
(Sumber: http://ulamasunnah.wordpress.com dinukil
dari kitab Masuliyati Thalibil Ilm karya Syaikh bin Baaz, edisi Indonesia Ada
Tanggung Jawab di Pundakmu, penerjemah: Abu Luqman Abdullah, penerbit Al Husna,
Jogjakarta)
http://ulamasunnah.wordpress.com/
0 komentar:
Posting Komentar