Semangat Para
Ulama Salaf Dalam Menuntut Ilmu
Para
ulama salaf telah memberi contoh terbaik dan teladan yang agung tentang
bagaimana bersemangat dalam menuntut ilmu agama, meraihnya serta rindu
kepadanya. Marilah wahai saudaraku tercinta, mengembara bersama kami untuk
memetik mawar-mawar mereka.
Abdun bin Humaid berkata, ketika
pertama kali duduk, Yahya bin Ma’in bertanya kepada saya tentang sebuah hadits.
Saya sampaikan kepadanya, “haddatsana Hammad bin Salamah ‘an …“,
Yahya bin Ma’in pun memotong “seandainya engkau membacakan hadits dari kitabmu
niscaya itu lebih baik dan lebih kuat (validitasnya)”. Lalu aku katakan, “kalau
demikian saya akan pergi untuk mengambil kitab saya”. Tiba-tiba Yahya bin Ma’in
memegang bajuku dan berkata, “kalau begitu bacakan saja dari hafalanmu, karena
saya khawatir tidak bertemu anda lagi (maksudnya ia khawatir Abdun bin Humaid
wafat ketika mengambil kitab)”. Maka aku pun membacakannya dari hafalanku, lalu
saya pergi mengambil kitabku dan membacakannya lagi (Al Jami’ li Akhlaqir
Rawi Wa Adabis Sami’, Al Khatbib Al Baghdadi).
Syaikh Abdullah bin Hamud Az Zubaidi belajar kepada
Syaikh Abu Ali Al Qaali. Abu
Ali memiliki kandang ternak di samping rumahnya. Beliau mengikat tunggangannya
di sana. Suatu ketika, murid beliau, Abdullah bin Hamud Az Zubaidi, tidur di
kandang ternaknya agar bisa mendahului murid-murid yang lain menjumpai sang
guru sebelum mereka datang. Agar bisa mengajukan pertanyaan sebanyak mungkin
sebelum orang berdatangan. Allah mentakdirkan Abu Ali keluar dari rumahnya
sebelum terbit fajar. Az Zubaidi mengetahui hal tersebut dan langsung berdiri
mengikutinya di kegelapan malam. Merasa dirinya dibuntuti oleh seseorang dan
khawatir kalau itu seorang pencuri yang ingin mencelakai dirinya, Abu Ali
berteriak, “celaka, siapa anda?”. Az Zubaidi berkata, “aku muridmu, Az
Zubaidi”. Abu Ali berkata, “sejak kapan anda membuntuti saya? Demi Allah tidak
ada di muka bumi ini orang yang lebih tahu
tentang ilmu Nahwu selain anda, maka pergilah tinggalkan saya” (Inaabatur
Ruwat ‘ala Anbain Nuhaat, Al Qifthi, 2/119).
Bayangkan!
Semoga Allah menjaga anda wahai pembaca sekalian, betapa menggelora semangat Az
Zubaidi untuk menuntut ilmu dan meraihnya. Kemauan keras yang membuat seorang
murid rela tidur bersama ternaj agar bisa cepat menemui gurunya dan mengambil ilmu darinya. Bagaimana kita
bisa dibandingkan dengan mereka?
Syu’bah
bin Hajjaj datang menemui Khalid Al Hadza’ rahimahumallah. Lalu
Syu’bah bin Hajjaj berkata, “wahai Abu Munazil, engkau memiliki hadits tentang
ini dan itu, tolong ajari saya hadits tersebut”. Khalid ketika itu sedang sakit
dan berkata, “saya sedang sakit”. Syu’bah berkata, “hanya satu hadits saja,
tolong ajarkan kepadaku”. Khalid kemudian menyampaikan hadits tersebut. Setelah
selesai, Syu’bah berkata kepadanya, “sekarang, anda boleh mati jika anda mau” (Syarafu
Ash-habil Hadits, Al Khatib Al Baghdadi, 116).
Ja’far bin Durustuwaih berkata, “kami harus mengambil
tempat duduk di sebuah majelis sejak ashar untuk mengikuti kajian esok hari,
karena saking padatnya pengajian Ali bin Al Madini. Kami menempatinya sepanjang
malam karena khawatir esoknya tidak mendapatkan tempat untuk mendengarkan
kajiannya karena saking penuh sesaknya manusia. Saya melihat seorang yang sudah
tua di majelis tersebut buang air kecil di jubahnya karena khawatir tempat
duduknya diambil apabila ia berdiri untuk buang air” (Al Jami’ li Akhlaqir
Rawi wa Adabis Sami’, Al Khatib Al Baghdadi, 2/199).
Kisah
seperti ini tidaklah mengherankan karena tempat kajian bukan di masjid tetapi
di salah satu tempat yang luas di tengah kota atau di pinggirnya. Murid yang
cerdas ini sedang menunggu kehadiran gurunya untuk menyampaikan pelajaran
selain di waktu shalat, seperti shalat Shubuh atau Ashar atau antara Zhuhur dan
Ashar. Dia ingin kencing namun takut kalau dia berdiri dari tempat duduknya
maka akan diduduki oleh orang lain. Jadi dia kencingi jubahnya, dan tidak ada
seorang pun yang melihat auratnya. Tempat kajian biasanya besar dan luas. Dia
mengeluarkan jubahnya dan melipatnya. Ketika pelajaran usai, ia tumpahkan air
seni dari jubahnya, kemudian mencucinya. Apa yang asing dari hal ini?
Abu
Hatim berkata, saya mendengar Al Muzani mengatakan, Imam Asy Syafi’i pernah
ditanya, “bagaimana semangatmu dalam menuntut ilmu?”. Beliau menjawab, “saya
mendengar kalimat yang sebelumnya tidak pernah saya dengar. Maka anggota tubuh
saya yang lain ingin memiliki pandangan untuk bisa menikmati ilmu tersebut
sebagaimana yang dirasakan telinga”. Lalu beliau ditanya lagi, “bagaimana
kerakusan anda terhadap ilmu?”. Beliau menjawab, “seperti rakusnya orang
penimbun harta, yang mencapai kepuasan dengan hartanya”. Ditanya lagi,
“bagaimana anda mencarinya?”. Beliau menjawab, “sebagaimana seorang ibu mencari
anaknya yang hilang, yang ia tidak memiliki anak lain selain dia” (Tawaalit
Ta’sis bin Manaqibi Muhammad bin Idris, Ibnu Hajar Al Asqalani, 106).
Ibnu
Jandal Al Qurthubi berkata, saya pernah belajar pada Ibnu Mujahid. Suatu hari
saya mendatanginya sebelum fajar agar saya bisa duduk lebih dekat dengannya.
Ketika saya sampai di gerbang pintu yang menghubungkan ke majelisnya, saya
dapati pintu itu tertutup dan saya kesulitan membukanya. Saya berkata dalam
hati, “Subhaanallah, saya sudah datang sepagi ini tapi tetap saja tidak bisa
duduk di dekatnya?”. Kemudian saya melihat sebuah terowongan di samping rumahnya.
Saya membuka dan masuk ke dalamnya. (Itu adalah sebuah terowongan di dalam
tanah, saya masuk agar bisa sampai ke ujung terowongan hingga keluar darinya
menuju ke majelis ilmu). Ketika sampai di pertengahan terowongan yang semakin
menyempit, saya tidak bisa keluar ataupun kembali. Maka saya mencoba melebarkan
terowongan selebar-lebarnya agar bisa keluar. Pakaian saya terkoyak, dinding
terowongan membekas di tubuh saya, dan sebagian daging badan saya terkelupas.
Allah menolong saya untuk bisa keluar darinya, mendapatkan majelis Syaikh dan
menghadirinya. Sementara saya dalam keadaan yang sangat memalukan seperti itu (Inaabatur
Ruwat ‘ala Anbain Nuhaat, Al Qifthi, 2/363 dengan saduran).
Sa’id
bin Jubair berkata, “saya pernah bersama Ibnu ‘Abbas radhiallahu’anhuma berjalan
di salah satu jalan di Mekkah pada malam hari. Dia mengajari saya beberapa
hadits dan saya menulisnya di atas kendaraan dan paginya saya menulisnya
kembali di kertas” (Sunan Ad Darimi, 1/105).
Imam
Asy Syafi’i berkata, “saya seorang yatim yang tinggal bersama ibu saya. Ia
menyerahkan saya ke kuttab (sekolah yang ada di masjid). Dia
tidak memiliki sesuatu yang bisa diberikan kepada sang pengajar sebagai upahnya
mengajari saya. Saya mendengar hadits atau pelajaran dari sang pengajar,
kemudian saya menghafalnya. Ibu saya tidak memiliki sesuatu untuk membeli
kertas. Maka setiap saya menemukan sebuah tulang putih, saya mengambilnya dan
menulis di atasnya. Apabila sudah penuh tulisannya, saya menaruhnya di dalam
botol yang sudah tua” (Jami’u Bayanil Ilmi wa Fadhilihi, Ibnu ‘Abdil
Barr, 1/98).
Salim
Ar Razy menceritakan bahwa Syaikh Hamid Al Isfirayaini pada awalnya adalah
seorang penjaga (satpam) di sebuah rumah. Beliau belajar ilmu dengan cahaya
lampu di tempat jaganya karena terlalu fakir dan tidak mampu membeli minyak
tanah untuk lampunya. Beliau makan dari gajinya sebagai penjaga (Thabaqatus
Syafi’iyah Al Kubra, Tajuddin As Subki, 4/61).
Ibnu
Asakir ketika menyebutkan biografi seorang hamba yang shalih, Abu Manshur
Muhammad bin Husain An Naisaburi, beliau berkata, “beliau (Abu Manshur) adalah
orang yang selalu giat dan semangat dalam belajar. Meski dalam keadaan faqir
dan tidak punya. Sampai-sampai beliau menulis pelajarannya dan mengulangi
membacanya di bawah cahaya rembulan. Karena tidak punya sesuatu untuk membeli
minyak tanah. Walaupun beliau dalam keadaan faqir, namun beliau selalu hidup
wara’ dan tidak mengambil harta yang syubhat sedikitpun” (Tabyiin Kidzbil
Muftari, Ibnu Asakir Ad Dimasyqi).
—
Ditulis
ulang dari buku “102 Kiat Agar Semangat Belajar Agama Membara“, hal
30-33, terbitan Elba – Surabaya, merupakan terjemahan dari kitab Kaifa
Tatahammas fi Thalabil Ilmis Syar’i karya Abul Qa’qa Muhammad bin
Shalih Alu Abdillah
Artikel Muslim.Or.id
0 komentar:
Posting Komentar