Studi Kaidah Fiqh (Bag. II)
KAEDAH-KAEDAH BESAR
Kaedah Pertama
إِنَّمَا الأَعْمَالُ بِالنِّيَّاتِ
Amal Perbuatan Itu Tergantung pada Niatnya
Lafadz
diatas adalah petikan dari sebuah hadits Rosululloh yang sangat masyhur
dari Umar bin Khothob
عن عُمَرَ بْنَ الْخَطَّابِ – رضى
الله عنه – قَالَ سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ – صلى الله عليه وسلم – يَقُولُ «
إِنَّمَا الأَعْمَالُ بِالنِّيَّاتِ ، وَإِنَّمَا لِكُلِّ امْرِئٍ مَا نَوَى ، فَمَنْ كَانَتْ هِجْرَتُهُ إِلَى دُنْيَا يُصِيبُهَا أَوْ
إِلَى امْرَأَةٍ يَنْكِحُهَا فَهِجْرَتُهُ إِلَى مَا هَاجَرَ إِلَيْهِ
Dari
Umar bin Khothob berkata : “Saya mendengar Rosululloh bersabda : “Sesungguhnya
amal perbuatan itu tergantung pada niatnya, dan sesungguhnya setiap orang itu
tergantung terhadap apa yang dia niatkan, maka barang siapa yang
hijrohnya untuk Alloh dan Rosul Nya maka hijrohnya itu untuk Alloh dan
Rosul Nya, dan barangsiapa yang hijrohnya untuk mendapatkan dunia maka dia akan
mendapatkannya atau hijrohnya untuk seorang wanita maka dia akan menikahinya,
maka hijrohnya itu tergantung pada apa yang dia hijroh untuknya.”
(HR.
Bukhori 1, Muslim 1907)
Kaedah
dengan lafazh di atas lebih saya utamakan untuk dijadikan sebagai sebuah kaedah
daripada lafadl yang sangat masyhur yaitu :
الأُمُوْرُ بِمَقَاصِدِهَا
“Semua
perkara itu tergantung pada tujuannya.”
Hal
ini minimalnya disebabkan oleh dua hal, yaitu :
1.
Lafazh di atas adalah lafazh syar’i, dan bagaimanapun juga sebuah lafadl(baca;
lafazh) yang terdapat dalam al Kitab dan as Sunnah itu lebih dikedepankan serta
diutamakan daripada lainnya.
Sebagai
sebuah contoh adalah apa yang ditegaskan oleh Syaikh Muhammad bin Sholih
Al Utsaimin bahwa menggunakan lafadl tamtsil itu lebih bagus
daripada lafadl tasybih 1,
hal ini dikarenakan lafadl yang terdapat dalam al
Qur’an adalah tamtsil, sebagaimana firman Alloh Ta’ala :
لَيْسَ كَمِثْلِهِ شَيْءٌ
“Tiada
sesuatupun yang serupa dengan Alloh.” (QS. Asy Syuro : 11)
(Lihat
Syarah Qowaid Mutsla hal : 66)
Oleh
karena itu para ulama’ faroidl saat mengungkapkan adanya orang yang meninggal
dunia dengan lafadl : “إِذَا هَلَكَ هَالِكٌ “ yang secara leterlek bahasa
Indonesia berarti : Apabila ada orang yang binasa, dan mereka tidak menggunakan
bahasa yang kedengarannya lebih halus misalkan : “ إِذَا
تُوُفِّيَ رَجُلٌ “ yang
artinya adalah : “Apabila ada seseorang yang wafat.” Hal ini disebabkan karena
bahasa al Qur’an menggunakan ungkapan yang pertama, sebagaimana firman Nya :
إِنِ امْرُؤٌ هَلَكَ لَيْسَ لَهُ
وَلَدٌ وَلَهُ أُخْتٌ فَلَهَا نِصْفُ مَا تَرَكَ
“Jika
seorang meninggal dunia, dan dia tidak mempunyai anak dan mempunyai saudara
perempuan maka bagi saudaranya yang perempuan tersebut setengah dari harta yang
ditinggalkannya.”
(QS.
An Nisa’ : 176)
2.
Lafadl tersebut diatas adalah apa yang diungkapkan oleh Rosululloh, sedangkan
beliau adalah seseorang yang diberikan oleh Alloh Jawami’ul kalim yaitu sebuah
ucapan yang pendek lafadlnya namun mengandung makna yang sangat banyak.
Sebagaimana sabdanya Rosululloh :
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ أَنَّ
رَسُوْلُ اللهِ قَالَ : فُضِّلْتُ عَلَى الْأَنْبِيَاءِ بِسِتٍّ : أُعْطِيْتُ
جَوَامِعَ الْكَلِمِ
….”
Dari
Abu Huroiroh bahwasanya Rosululloh bersabda : “Saya diberi keutamaan diatas
para nabi dengan enam perkara, yaitu : Saya diberi jawami’ul kalim,…” (HR.
Muslim 523)
Oleh
karena itulah maka Imam As Subki berkata saat menerangkan kaedah : “الأُمُوْرُ بِمَقَاصِدِهَا “ : “Dan yang lebih bagus daripada lafadl ini adalah ucapan
seseorang yang diberi jawami’ul kalim yaitu : “إِنَّمَا
الأَعْمَالُ بِالنِّيَّاتِ “
(Lihat Al Asybah wan Nadlo’ir oleh As Subki 1/54)
.
II.
Urgensi kaedah ini
Kaedah
ini adalah sebuah kaedah yang sangat penting, masuk di dalamnya semua
permasalahan agama.
Imam
Ibnu Rojab saat menerangkan hadits Umar diatas berkata:
“Dua
kalimat ini adalah dua kalimat yang mencakup semua hal, dan merupakan sebuah
kaedah yang universal, tidak ada sesuatupun yang keluar darinya.”
(Lihat
Jami’ Ulum wal Hikam hal : 12)
Cukuplah
untuk mengetahui pentingnya kaedah ini adalah apa yang dikatakan olehImam Asy
Syathibi :
“Sesungguhnya
amal perbuatan itu tergantung pada niatnya, dan sebuah tujuan itu dijadikan
sandaran dalam menghukumi sebuah perbuatan, baik yang berupa ibadah maupun adat 2,
dalil-dalil tentang masalah ini sangat banyak tidak bisa terhitung, dan
cukuplah bagimu bahwasannya niat itu membedakan antara perbuatan yang merupakan
adat ataupun ibadah, niat juga yang membedakan apakah ibadah ini wajib ataukah
bukan wajib, juga dalam masalah adat, apakah dia itu merupakan adat yang wajib
ataukah sunnah, mubah, makruh ataukah sampai tingkat keharaman, juga sah dan
tidaknya serta hukum-hukum lainnya yang berhubungan dengan hal ini.” (Lihat Al
Muwafaqot 2/323)
Imam
Al Khothobi saat menerangkan hadits Umar diatas pun berkata:
“Hadits
ini adalah salah satu dasar pokok dalam agama, banyak hukum yang tergabung
didalamnya. Maknanya adalah bahwasannya sah tidaknya amal perbuatan dalam
agama ini tergantung pada niatnya, dan sesungguhnya niat itulah yang membedakan
mana yang sah dengan yang tidak sah dalam sebuah amal perbuatan.”
(I’lamul
Hadits oleh Imam Al Khothobi 1/112)
III.
Beberapa masalah yang berhubungan dengan niat
A.
Pengertian niat
Secara bahasa,
niat adalah bentuk mashdar dari akar kata نَوَى يَنْوِيْ yang
maknanya adalah bermaksud atau bertekad untuk melakukan
sesuatu. (Lihat Lisanul Arob Ibnu Ibnu Mandhur bab نوى)
Sedangkan
secara istilah, makna niat adalah berkehendak untuk menjalankan ketaatan
kepada Alloh dengan melakukan atau meninggalkan sesuatu. (Lihat Asybah wan
Nadzo’ir oleh Ibnu Nujaim hlm : 29)
B.
Tempat niat
Tidak
ada perselisihan dikalangan para ulama’ bahwa tempatnya niat adalah didalam
hati.
Syaikhul
islam Ibnu Taimiyyah berkata :
“Tempat
niat itu di hati, bukan di lisan berdasarkan kesepakatan para
ulama’.”
“Ini
berlaku untuk semua ibadah, baik itu thoharoh, sholat, zakat, puasa, haji,
memerdekakan budak, jihad maupun lainnya.”
(Majmu’
Rosa’il Kubro 1/243)
Oleh
karena itu kalau ada seseorang yang melafazkan niatnya dengan lisan, namun apa
yang dia lafadzkan itu berbeda dengan yang terdapat dalam hatinya, maka yang
dianggap sebagai niatnya adalah apa yang terdapat dalam hatinya bukan lisannya,
demikian juga kalau seseorang melafadzkan niat dengan lisannya, namun dalam
hatinya tidak ada niat sama sekali, maka niatnya tidak sah. Demikianlah yang
dikatakan olehSyaikhul Islam Ibnu Taimiyyah. Beliau berkata :
“Seandainya
seseorang mengucapkan dengan lisannya berbeda dengan apa yang dia niatkan dalam
hatinya, maka yang dianggap adalah yang dia niatkan bukan yang dia ucapkan, dan
seandainya seseorang mengucapkan dengan lisannya namun tidak ada niat dalam
hatinya maka niat tersebut tidak sah. Hal ini berdasarkan kesepakatan para
ulama’, karena niat itu adalah kehendak dan tekad yang terdapat dalam hati.”
Untuk
sedikit meluaskan masalah ini silahkan lihat:
Zadul
Ma’ad 1/196,
Ighotsatul
Lahfan 1/134,
Syarhul
Mumti’ 1/159, dan lainnya
C.
Fungsi niat
Fungsi
niat ada dua :
Pertama :
Membedakan antara adat dengan ibadah
Karena
hampir semua bentuk ibadah mempunyai kemiripan dengan yang berupa adat.
Misalnya :
Puasa,
yang hakekatnya adalah menahan diri dari makan, minum dan jima’ serta semua
yang membatalkan dari terbit fajar sampai terbenamnya matahari. Perbuatan ini
mungkin saja dilakukan oleh seseorang karena sedang berpuasa, tapi juga mungkin
dilakukan oleh seseorang karena sedang diet, atau akan menjalani operasi atau
sebab lainnya, maka untuk membedakan antara keduanya harus dibedakan dengan
niatnya. Kalau dia berniat puasa, maka dia adalah ibadah, sedangkan kalau
diniatkan untuk lainnya maka dia adalah adat dan bukan ibadah.
Contoh
lain berwudlu, yang hakekatnya membasuh dan mengusap anggota badan tertentu
dengan cara tertentu. Perbuatan semacam ini bisa dilakukan seseorang karena
akan menjalankan sholat, namun bisa juga dilakukan oleh seseorang hanya karena
ingin mendinginkan badan. Maka yang pertama menjadi ibadah dan yang keduanya
hanyalah adat belaka dan bukan ibadah.
Kedua :Membedakan
antara satu ibadah dengan ibadah lainnya
Hal
ini dikarenakan satu jenis ibadah itu bisa bermacam-macam. Ambil misal
tentang sholat, sholat itu ada yang wajib dan ada yang sunnah, sedangkan yang
wajib ada berbagai macam begitu pula dengan yang sunnah, maka untuk membedakan
antara keduanya maka wajib menentukannya dengan niat.
Begitu
pula masalah puasa, ada yang wajib dan ada yang sunnah. Kalau ada seseorang
yang puasa pada hari Senin pada bulan Syawal, maka mungkin itu puasa hari
Senin, atau puasa enam hari bulan Syawal atau mungkin puasa qodlo Romadhon atau
mungkin puasa kaffaroh dan masih ada kemungkinan lainnya, maka untuk menentukan
salah satunya harus dengan niat.
.
D.
Macam-macam niat
Niat
ada dua macam :
1.
Niat amal
Yang
dimaksud dengan niat amal adalah bahwasannya dalam mengerjakan sebuah amal
perbuatan harus diniati dengan niat tertentu tentang apa jenis dan macam dari
ibadah tersebut. Yang atas dasar inilah, maka tidak akan sah sebuah jenis cara
bersuci, sholat, zakat dan ibadah lainnya kecuali dengan adanya niat, seseorang
harus meniatkan ibadah tersebut, dan jika ibadah itu terdapat berbagai jenis
dan macamnya, maka harus menentukan macam dan jenis apa ibadah tersebut.
Sebagai sebuah contoh adalah sholat, maka seseorang harus menentukan dengan niatnya
apakah dia sholat wajib ataukah sunnah, dan jika sholat itu wajib maka harus
ditentukan apakah itu sholat dhuhur ataukah ashar dan seterusnya.
Niat
inilah yang juga membedakan antara adat dengan ibadah. Sebagai sebuah contoh
bahwasannya mandi itu bisa cuma berfungsi untuk membersihkan badan saja, namun
bisa juga untuk menghilangkan hadats besar, itu semua tergantung pada niatnya.
Fungsi
niat amal ini untuk menentukan apakah amal perbuatan ini sah ataukah tidak.
2.
Niat ma’mul lahu (untuk siapakah amal perbuatan tersebut ditujukan ?)
Dan
inilah yang kita sebut dengan ikhlas, yaitu harus meniatkan semua amal
perbuatan itu hanya untuk Alloh Ta’ala saja bukan lainnya. Alloh berfirman :
وَمَا أُمِرُوا إِلَّا لِيَعْبُدُوا اللَّهَ مُخْلِصِينَ لَهُ
الدِّينَ
“Dan
tidaklah mereka diperintahkan kecuali untuk beribadah kepada Alloh dengan
mengikhlaskan agama hanya kepada Nya.” (QS. Al Bayyinah : 5)
Dan
niat yang ini untuk menentukan apakah amal perbuatan itu diterima oleh Alloh
ataukah tidak. (Lihat Bahjah Qulubil Abror oleh Syaikh Abdur Rohman As Sa’di
hal : 6,7)
IV.
Contoh penerapan kaedah
Kaedah
ini mencakup semua permasalahan hukum syar’i, namun cukuplah sebagai sebuah
gambaran, saya sebutkan beberapa contoh penerapannya, yaitu :
Barang
siapa yang membunuh seorang muslim tanpa ada sebab syar’i yang membolehkannya,
maka kalau dia melakukannya karena unsur kesengajaan maka ada hukum tersendiri,
sedangkan kalau tanpa sengaja maka hukumannya pun lain.
Barang
siapa yang mengambil sebuah barang yang terjatuh dijalanan dengan niat untuk
dimilikinya, maka dia itu disebut Ghosib (orang yang mengambil harta
orang lain dengan jalan haram), yang karena itu maka dia wajib untuk
mengembalikannya, kalau benda itu rusak ditangannya, baik rusaknya karena
kesengajaan dari dia ataukah tidak, namun kalau dia mengambilnya dengan niat
untuk menyimpannya dan akan mengembalikannya kepada pemiliknya maka dia menjadi
seorang amin (orang yang mendapatkan kepercayaan untuk menjaga sebuah benda),
maka atas dasar ini dia itu tidak menggantinya meskipun rusak ditangannya
kecuali kalau sengaja dia merusaknya. (Lihat Al Wajiz Fi Idlohi Qowaidil Fiqh
oleh DR. Muhammad Shidqi hal : 124)
Orang
yang makan, kalau dia berniat dengan makannya untuk bisa menjalankan ibadah
kepada Alloh, maka makannya berubah menjadi ibadah yang berpahala, namun kalau
tidak berniat sama sekali dan cuma karena sudah kebiasaannya dia makan, maka
dia tidak mendapatkan apa-apa. Begitu juga amal perbuatan lain yang asalnya
mubah. (Lihat Bahjah Qulubil Abror hal : 14)
Barang
siapa yang menjual anggur atau lainnya dengan niat untuk dijadikan sesuatu yang
haram, seperti akan dijadikan sebagai khomer, maka hukumnya haram, sedangkan
kalau tidak ada niat dan tujuan seperti itu maka hukumnya halal
Seseorang
yang dititipi sebuah barang untuk dijaganya, lalu dia memakainya, maka berarti
dia telah berbuat melampaui batas terhadap benda tersebut, yang mana dia harus
menggantinya apabila rusak. Lalu jika dia menyimpannya kembali tapi dengan niat
akan memakainya kembali maka dia tetap wajib menggantinya apabila rusak
ditangannya meskipun tanpa ada unsur kesengajaan darinya. Namun kalau setelah
dia pakai itu lalu dia simpan kembali dengan niat tidak akan memakainya
lagi, maka dia tidak menggantinya kalau rusak tanpa ada unsur kesengajaan
darinya.
Kalau
ada seseorang yang tidur sebelum dhuhur, lalu bangun saat jam satu siang, namun
dia menyangka kalau saat itu sudah jam lima sore, kemudian dia sholat empat
rokaat dengan niat sholat ashar, maka sholatnya tidak sah dan dia harus
mengulang sholat dhuhur lagi, juga dia harus mengerjakan sholat ashar kalau
sudah masuk waktunya. Tidak sahnya sholat dhuhur karena dia berniat sholat
ashar dan bukan sholat dhuhur, sedangkan tidak sah sholat asharnya karena belum
masuk waktunya. Namun kalau dia sholat tadi dengan niat sholat dhuhur maka
sholatnya sah.
Faedah
:
Sebagian
orang ada yang menyalahgunakan kaedah ini, mereka mengatakan bahwa semua amal
perbuatan itu tergantung niatnya, baik amal tersebut baik ataupun jelek. Yang
atas dasar ini mereka mengatakan bahwa orang yang melakukan perayaan maulid
nabi misalnya, akan mendapatkan pahala karena niatnya untuk mengungkapkan rasa
cinta kepada Rosululloh, juga orang yang mencuri bisa saja mendapatkan pahala
kalau dia berniat untuk membantu orang yang faqir dengan hasil curiannya. Dan
masih banyak gambaran salah lainnya dari kaedah ini.
Untuk
menjawab hal ini cukup, saya katakan beberapa point berikut :
Wajib
bagi seorang muslim kalau ingin menghukumi sebuah masalah, jangan hanya
mengambil satu atau dua buah dalil serta meninggalkan lainnya, namun hendaklah
dia melihat semua dalil syar’i yang berhubungan dengan masalahnya lalu baru dia
hukumi.
Berdalil
dengan kaedah ini untuk hal diatas adalah sebuah kesalahan fatal, karena kaedah
ini cuma untuk menjelaskan salah satu pokok dan dasar bisa diterimanya sebuah
amal, yaitu masalah ikhlash kepada Alloh Ta’ala dalam semua amal perbuatan yang
dilakukannya. Dan masih ada satu pokok lagi yang harus dipenuhi, yaitu
mengikuti sunnah Rosululloh dalam apa yang dia kerjakan. Berdasarkan
sabda Rosululloh :
عَنْ عَائِشَةَ قَالَتْ : قَالَ
رَسُوْلُ اللهِ : مَنْ عَمِلَ عَمَلًا لَيْسَ عَلَيْهِ أَمْرُنَا فَهُوَ رَدٌّ
Dari
Aisyah berkata : “Rosululloh bersabda : “Barang siapa yang melakukan sebuah
amal perbuatan yang tidak ada contohnya dari kami maka amal perbuatan itu
tertolak.” (HR. Muslim : 1718)
Kaedah
diatas adalah timbangan amalan bathin sedangkan hadits Aisyah adalah timbangan
amal perbuatan dhohir. (Lihat Ilmu Ushulil Bida’ oleh Syaikh Ali bin Hasan hal
: 59 dan Bahjah Qulubil Abror hal : 10)
Alangkah
bagusnya apa yang dikatakan oleh Imam Ibnul Qoyyim : “Sebagian ulama’ salaf
berkata :
“Tidak
ada satupun amal perbuatan kecuali akan dipertanyakan dua hal, yaitu (1)kenapa dan
untuk siapa engkau lakukan amal perbuatan ini, serta (2) bagaimanaengkau
melakukannya ?
(Lihat
Mawaridul Aman min Muntaqo Ighitsatyul Lahfan hal : 35)
Pertanyaan
kenapa, adalah untuk menanyakan masalah niat.
Sedangkan
pertanyaan bagaimana, adalah untuk menanyakan sesuai dan tidaknya amal
perbuatan tersebut dengan sunnah Rosululloh.
V.
Pengecualian dari kaedah ini
Ada
beberapa permasalahan fiqhiyah yang keluar dari kaedah diatas, diantaranya
adalah :
Kalau
ada seseorang yang membunuh orang yang dia akan mewarisi hartanya dengan niat
supaya bisa cepat mendapatkan harta warisan, maka dia tidak bisa
mendapatkannya, sebagai hukuman atas perbuatannya.
Kalau
ada seorang suami yang menceraikan istrinya saat sakit menjelang kematian
dengan niat agar istrinya tersebut tidak mewarisi hartanya, maka si istri tetap
mewarisinya.
Dan
beberapa masalah lain yang mirip dengan ini.
Maka
masalah ini tidak dilihat niatnya, bahkan dihukumi dengan kebalikan dari
niatnya yang jelek tersebut.
Namun
kalau kita cermati, sebenarnya masalah yang saya katakan pengecualian ini
tercakup dalam sebuah kaedah fiqhiyyah lainnya yaitu :
مَنِ اسْتَعْجَلَ شَيْئًا قَبْلَ
أَوَانِهِ عُوْقِبَ بِحِرْمَانِهِ
“Barang
siapa yang mempercepat sesuatu sebelum waktunya, maka dia diharamkan untuk mendapatkannya.”
Yang
insya Alloh penjelasan mengenai kaedah ini kita bahas pada bab tersendiri.
Wallahu
a’lam
Disalin
oleh http://hidayahsalaf.blogspot.com/
Dari
artikel [ www.ahmadsabiq.com ]
—bersambung—
Lihat
Artikel Sebelumnya:
CATATAN
KAKI:
1 Maksudnya
adalah dalam masalah tauhid asma’ dan sifat, dimana ahlus sunnah sepakat
mengatakan menetapkan nama dan sifat Alloh tanpa tahrif, takyif, ta’thil dan
tamtsil.
2 Yang
dimaksud dengan adat disini adalah semua yang diluar ibadah, maka
masuk didalamnya bab akad, seluruh permasalahan muamalat sampaipun masalah
jinayat. (Lihat Jamharoh Al Qowaid fiqhiyyah oleh DR. Ali Ahmad An Nadawi
1/130)
0 komentar:
Posting Komentar