KEYAKINAN SYI’AH TENTANG NIKAH MUT’AH (BACA; ZINA/ PELACURAN BERKEDOK NIKAH) BESERTA SUMBERNYA
1.
Syi’ah meyakini mut’ah sebagai salah satu dasar pokok (ushul) agama, dan orang
yang mengingkarinya dianggap sebagai orang yang ingkar terhadap agama.
2.
Syi’ah menganggap mut’ah sebagai salah satu keutamaan agama dan dapat meredam
murka Tuhan.
(Sumber: Tafsir
Minhaj Ash-Shadiqin, karya Al-Kasyani, 2/493).
3.
Menurut Syi’ah seorang wanita yang dimut’ah akan diampuni dosanya.
(Sumber:
Kitab Man Laa Yahdhuruhu Al-Faqih, 3/366).
4.
Syi’ah menganggap mut’ah sebagai salah satu sebab terbesar dan utama seseorang
masuk ke dalam surga, bahkan dapat mengangkat derajat mereka hingga mereka
mampu menyamai kedudukan para nabi di surga.
(Sumber:
Kitab Man Laa Yahdhuruhu Al-Faqih, 3/366).
5.
Syi’ah selalu menyebutkan bahwa orang yang berpaling dari mut’ah akan berkurang
pahalanya pada hari kiamat, mereka katakan: “Barangsiapa keluar dari dunia
(meninggal) sedangkan dia belum pernah melakukan mut’ah maka pada hari kiamat
dia datang dalam keadaan pincang yakni terputus salah satu anggota badanya.”
(Sumber: Tafsir
Minhaj Ash-Shadiqin, 2/495).
6.
Tidak ada batasan jumlah wanita yang dimut’ah, seorang laki-laki dapat
melakukan mut’ah dengan wanita sesukanya sekalipun mencapai seribu wanita atau
lebih.
(Sumber: Al-Istibshar, karya
Ath-Thusi, 3/143 dan Tahdzib Al-Ahkam, 7/259)
7.
Syi’ah beranggapan boleh melakukan mut’ah dengan
gadis sekalipun tanpa
izin dari walinya dan tanpa ada saksi atasnya.
(Sumber: Syarai’
Al-Ahkam, karya Najmuddin Al-Hulli 2/186 dan Tahdzib
Al-Ahkam, 7/254).
8.
Dalam Syi’ah diperbolehkan melakukan mut’ah dengan
anak perempuan kecil yang belum baligh, dimana umurnya tidak kurang dari
sepuluh tahun.
(Sumber: Al-Istibshar, karya
Ath-Thusi, 3/145 dan Al-Kafi fi Al-Quru’, 5/463).
9.
Dalam Syi’ah diperbolehkan liwath dengannya (perempuan
kecil) dengan cara mendatanginya di bagian
belakangnya (duburnya).
(Sumber: Al-Istibshar, karya
Ath-Thusi, 3/243 dan Tahdzib Al-Ahkam, 7/514).
10.
Syi’ah memandang tidak perlu
menanyakan terlebih dahulu kepada wanita yang akan dinikahi secara mut’ah,
apakah wanita itu telah bersuami atau wanita pelacur.
(Sumber: Al-Istibshar, karya
Ath-Thusi, 3/145 dan Al-Kafi fi Al-Quru’, 5/463).
11.
Mereka juga beranggapan bahwa batasan minimal dalam
melakukan mut’ah bisa dilakukan dengan sekali tidur saja bersama wanita, mereka
menamakanya dengan (meminjamkan kemaluan).
(Sumber: Al-Istibshar, karya
Ath-Thusi, 3/151 dan Al-Kafi fi Al-Quru’, 5/460).
12.
Wanita yang dinikahi secara mut’ah tidak mendapatkan harta waris dan tidak pula
dapat mewariskan harta.
(Sumber: Al-Mut’ah
wa Masyru’iyatuha fi Al-Islam, karya sejumlah ulama Syi’ah, hal 116-121
dan Tahrir Al-Wasilah, karya Al-Khomeini, 2/288).
http://hidayahsalaf.blogspot.com/
0 komentar:
Posting Komentar