بسم الله
الرحمن الرحيم
RENUNGAN TENTANG AGUNGNYA KEDUDUKAN ILMU
الحمد لله، والصلاة والسلام على رسول الله وآله
وصحبه أجمعين، أما بعد
Tulisan ringkas (?) ini anggap saja
sebagai pengetuk hati para ikhwah penuntut ilmu agama, yang mungkin sedang
terlena sehingga mereka kurang menyadari agungnya kemuliaan jalan ilmu yang
sedang mereka tempuh, bahkan malah menyibukkan diri dan memberikan perhatian
besar pada kebanggaan-kebanggaan duniawi yang semu dan rendah, yang hanya
sepantasnya dilakukan oleh orang-orang awam yang jauh dari bimbingan ilmu.
Padahal kalau seandainya mereka benar-benar menyadari tingginya kedudukan ilmu
ini niscaya mereka tidak akan menoleh sedikitpun pada kebanggaan-kebanggaan
semu tsb. Oleh karena itulah Allah I memerintahkan orang-orang yang berilmu untuk
berbangga dan merasa cukup dengan kemuliaan ilmu yang mereka miliki, yang itu
jauh lebih baik dan mulia dibandingkan semua kemewahan duniawi yang berlomba-lomba dikumpulkan oleh kebanyakan
manusia, Allah Y berfirman:
@è% È@ôÒxÿÎ/ «!$# ¾ÏmÏFuH÷qtÎ/ur y7Ï9ºxÎ7sù (#qãmtøÿuù=sù uqèd ×öyz $£JÏiB tbqãèyJøgs ÇÎÑÈ
“Katakanlah:
"Dengan kurnia Allah dan rahmat-Nya, hendaklah dengan itu mereka
(orang-orang yang berilmu) bergembira (berbangga), kurnia Allah dan rahmat-Nya
itu adalah lebih baik dari apa (kemewahan duniawi) yang dikumpulkan (oleh
manusia)" (QS Yunus:58).
Ketika
menerangkan ayat ini Ibnul Qayyim berkata: Sungguh Allah I telah
memerintahkan kepada orang-orang yang berilmu untuk merasa bangga (gembira)
dengan (ilmu) yang Allah Y anugrahkan kepada mereka, dan Allah I nyatakan bahwa
anugrah tsb sungguh lebih baik daripada (kemewahan dunia) yang dikumpulkan oleh
(kebanyakan) manusia, dalam firmannya – kemudian beliau menyebutkan ayat tsb di
atas – dan beliau menambahkan:”Karunia Allah” (dalam ayat ini) ditafsirkan
(oleh para ulama ahli tafsir) dengan “keimanan”, sedangkan “Rahmat Allah”
ditafsirkan dengan “Al Qur-an”, yang keduanya (keimanan dan Al Qur-an) adalah ilmu
yang bermanfaat dan amalan shaleh, sekaligus keduanya merupakan petunjuk
dan agama yang benar (yang dibawa oleh Rasulullah r seperti yang
Allah sebutkan dalam QS Ash Shaff: 9), dan keduanya adalah ilmu dan amal yang
paling agung[1].
Di antara agungnya keutamaan ilmu yang
mungkin bisa menjadi renungan bagi kita semua adalah apa yang disebutkan oleh
Ibnul Qayyim sewaktu beliau menerangkan makna hadits Qudsi yang diriwayatkan
oleh Imam Al Bukhari (no.6502) bahwa Allah I berfirman: (( Barangsiapa
yang memusuhi wali (kekasih)-Ku maka sungguh Aku telah menyatakan perang (permusuhan)
kepadanya, …)), bahwa “pewaris para Nabi r (orang-orang yang berilmu) adalah pimpinan para wali
(kekasih) Allah U”[2].
Hal ini sangat jelas sekali, karena dalam Al Qur-an Allah I sendiri yang
menjelaskan dua sifat utama yang dimiliki para wali-Nya, yaitu keimanan dan
ketakwaan, dalam firman-Nya:
Iwr& cÎ) uä!$uÏ9÷rr& «!$# w êöqyz óOÎgøn=tæ wur öNèd cqçRtøts ÇÏËÈ úïÏ%©!$# (#qãZtB#uä (#qçR%2ur cqà)Gt ÇÏÌÈ
“Ketahuilah,
Sesungguhnya wali-wali Allah itu, tidak ada kekhawatiran terhadap mereka dan
tidak (pula) mereka bersedih hati, (yaitu) orang-orang yang beriman dan mereka
selalu bertakwa” (QS Yunus:62-63).
Dan
kedua sifat ini (iman dan takwa) tidak akan mungkin didapatkan kecuali dengan
ilmu, karena “Iman” itu hakikatnya adalah ilmu yang bermanfaat dan amalan shaleh
– seperti ucapan Ibnul Qayyim di atas –, sebagaimana “Takwa” salah satu rukun
utamanya adalah ilmu yang bermanfaat[3].
Oleh karena agungnya kedudukan orang-orang
yang berilmu inilah, Allah Y menjadikan kecintaan dan penghormatan kepada mereka
sebagai bagian dari agama dan ibadah untuk mendekatkan diri kepada Allah I, sebagaimana
ucapan seorang sahabat besar yang mulia Ali bin abi Thalib t: “Mencintai
orang yang berilmu adalah (termasuk) agama (ibadah) untuk mendekatkan diri
kepada Allah I”[4],
bahkan lebih dari pada itu, Allah menjadikan sikap membenci, mencela atau
menghinakan orang yang berilmu – karena ilmu agama yang mereka bawa, bukan
karena tingkah laku atau kepribadian mereka semata-mata – sebagai perbuatan
dosa yang sangat besar, bahkan salah satu perbuatan yang bisa membatalkan
keislaman seseorang[5],
berdasarkan Firman-Nya:
ûÈõs9ur óOßgtFø9r'y Æä9qà)us9 $yJ¯RÎ) $¨Zà2 ÞÚqèwU Ü=yèù=tRur 4 ö@è% «!$$Î/r& ¾ÏmÏG»t#uäur ¾Ï&Î!qßuur óOçFYä. crâäÌöktJó¡n@ ÇÏÎÈ w (#râÉtG÷ès? ôs% Länöxÿx. y÷èt/ óOä3ÏY»yJÎ) 4
“Dan
jika kamu tanyakan kepada mereka (tentang apa yang mereka lakukan itu),
tentulah mereka akan manjawab, "Sesungguhnya kami hanyalah bersenda gurau
dan bermain-main saja”, Katakanlah: "Apakah dengan Allah, ayat-ayat-Nya dan
rasul-Nya kamu berolok-olok?, Tidak usah kamu minta maaf, Karena kamu telah
menjadi kafir sesudah beriman” (QS At Taubah 65-66).
Demikian juga karena agungnya kedudukan
mereka, Allah I menjadikan hati orang-orang yang beriman senantiasa
dipenuhi rasa cinta dan penghormatan terhadap orang-orang yang berilmu, karena
Allah Y jika mencintai seorang hamba maka Dia akan menjadikan
semua makhluk-Nya yang ada di langit dan di bumi mencintai hamba tsb. Dalam
hadits yang shahih riwayat Imam Al Bukhari (no. 3037, 5693 dan 7047) dan Imam
Muslim (no. 2637-157) dari Abu Hurairah t bahwa Rasulullah r bersabda: “Jika
Allah I mencintai seorang hamba, Dia akan memanggil Jibril
dan berfirman: “Sesungguhnya Aku mencintai si fulan, maka cintailah dia!”, maka
Jibrilpun mencintai hamba tsb, kemudian Jibril menyeru kepada penduduk langit
(para malaikat): “Sesungguhnya Allah mencintai si fulan maka kalian cintailah
dia!”, maka penduduk langitpun mencintainya, kemudian dijadikan bagi hamba tsb
penerimaan (kecintaan dalam hati) pada penduduk bumi”. Dalam hadits lain
Rasulullah r bersabda: “Sesungguhnya para Malaikat merendahkan
sayap-sayap mereka karena keridhaan mereka terhadap orang yang menuntut ilmu,
dan sesungguhnya semua makhluk yang ada di langit dan di bumi, sampai ikan di
dalam lautan benar-benar akan (memanjatkan doa) memintakan pengampunan (kepada
Allah) untuk orang yang berilmu”[6].
Kecintaan dan penghormatan yang Allah I jadikan bagi
orang-orang yang berilmu ilmu, adalah kecintaan dan penghormatan yang
benar-benar murni bersumber dari dalam hati manusia, lain halnya dengan
penghormatan manusia kepada orang yang memiliki harta atau kekuasaan misalnya,
yang hanya berupa penghormatan dalam bentuk lahiriyah, yang bahkan terkadang
diiringi dengan kebencian dalam hati. Sehingga wajar kalau kita dapati para
ulama ahlus sunnah demikian dicintai dan dihormati oleh orang-orang yang
shaleh, bahkan setelah mereka wafatpun mereka tetap dipuji dan selalu didoakan
dengan kebaikan, padahal banyak di antara mereka yang tidak memiliki harta atau
kekuasaan duniawi. Hal ini dikarenakan adanya suatu keistimewaan yang Allah I jadikan pada
ilmu agama, yaitu kemampuan dan kekuatan untuk menundukkan dan menguasai hati
manusia, sehingga menjadikan hati mereka tunduk kepada orang yang membawa ilmu
tsb, yang semua ini tidak ada pada harta atau kekuasaan duniawi. Oleh karena
itulah dalam banyak ayat Al Qur-an[7]
Allah I menamakan dalil-dalil ilmiyah dari Al Qur-an dan
Sunnah dengan nama “Sulthan” (sesuatu yang memiliki kekuatan dan
kemampuan menundukkan), berkata Ibnu ‘Abbas t: “Semua
(lafazh) sulthan dalam Al Qur-an (artinya) adalah Hujjah
(dalil/argumantasi ilmiyah dari wahyu Allah I)[8].
Sebagai penutup, untuk memperjelas dan
melengkapi keterangan di atas, kami akan bawakan beberapa atsar (riwayat) dari
biografi para ulama Ahlus sunnah, yang menunjukkan kepada kita besarnya
kecintaan dan penghormatan manusia kepada orang-orang yang berilmu, yang bahkan
melebihi penghormatan mereka kepada orang-orang yang memiliki harta dan
kekuasaan duniawi:
-
Atsar yang diriwayatkan oleh Imam Muslim dalam “Shahihnya” (1/559) (no.817)
dari ‘Amir bin Waatsilah bahwa Naafi’ bin ‘Abdil Haarits – yang dijadikan oleh
‘Umar bin Al khaththab t sebagai gubernur wilayah Mekkah – pernah menemui ‘Umar
di daerah ‘Asfan, maka ‘Umar bertanya kepadanya: Siapa yang engkau jadikan
penggantimu memimpin penduduk lembah itu (Mekkah)? Naafi’ berkata: Ibnu Abza[9].
‘Umar bertanya (lagi): Siapa Ibnu Abza itu? Naafi’ berkata: (Dia adalah) salah
seorang bekas budak dari kalangan kami. (Maka) ‘Umar berkata: Engkau menjadikan
seorang bekas budak yang memimpin mereka? Naafi’ berkata: (Aku memilih dia karena)
dia adalah seorang yang (ahli) membaca Al Qur-an dan memiliki ilmu tentang
syariat islam. (Maka) ‘Umar berkata: Ketahuilah, sungguh Nabi r pernah
bersabda: “Sesungguhnya Allah akan meninggikan (derajat) suatu kaum dengan
kitab (Al Qur-an) ini[10]
dan akan merendahkan (derajat) kaum lainnya dengan kitab ini[11]
(pula)”.
- Dalam kitab “Siyaru a’laamin
nubala’” (2/437) Imam Adz Dzahaby membawakan sebuah Atsar dari Abu Salamah
bahwa suatu hari Ibnu ‘Abbas t bangkit menuju ke arah Zaid bin Tsabit t kemudian
memegang (menuntun) hewan tunggangan beliau, maka Zaid berkata: Menyingkirlah
wahai putra paman Rasulullah r! Ibnu ‘Abbas pun berkata: Sungguh beginilah (cara)
kami memperlakukan orang-orang yang berilmu dan lebih senior di antara kami.
- Atsar
yang diriwayatkan oleh Imam Ibnul Jauzy dalam kitab beliau “Shifatush shafwah”
(2/212) dalam biografi seorang Imam besar dari kalangan Tabi’in, ‘Atha’ bin Abi
Rabah, dari Ibrahim bin Ishak Al Harby dia berkata: ‘Atha’ bin Abi Rabah
dulunya adalah seorang budak (berkulit) hitam milik seorang wanita penduduk
Mekkah, (bentuk) hidungnya seperti kacang tanah. (Suatu hari) Amirul mu’minin
(khalifah) Sulaiman bin ‘Abdil Malik bersama dua putranya datang menemui beliau
(untuk bertanya tentang masalah manasik haji), kemudian duduklah mereka bertiga
menghadap beliau yang (pada waktu itu) sedang melakukan shalat (sunnah),
setelah selesai shalat (barulah) beliau menghadap kearah mereka, maka tidak
henti-hentinya mereka bertanya kepada beliau tentang manasik haji, sampai
(akhirnya) beliau memunggungi mereka, kemudian Sulaiman bin ‘Abdil Malik
berkata kepada kedua putranya: Berdirilah, maka mereka pun berdiri, lalu dia
berkata: Wahai kedua putraku, janganlah kalian malas dalam menuntut ilmu,
karena sungguh aku tidak bisa melupakan (bagaimana) hinanya kita di hadapan
budak (berkulit) hitam ini.
-
Atsar yang diriwayatkan diriwayatkan oleh Imam Abul Hajjaj dalam kitab beliau
“Tahdziibul kamaal” (5/169, cet.
muassatur risaalah) dalam biografi Imam ‘Atha’ bin Abi Rabah, dari Al Ashma’i
dia berkata: (Suatu hari) ‘Atha’ bin Abi Rabah masuk (ke istana menemui) ‘Abdul
Malik bin Marwan (Khalifah) yang (pada waktu itu) sedang duduk di atas
singgasananya dan di sekelilingnya para pembesar dari setiap suku, kejadian ini
(berlangsung) di Mekkah ketika ‘Abdul Malik (menunaikan ibadah) haji di masa
pemerintahannya. Maka ketika ‘Abdul Malik melihat ‘Atha’, dia (langsung) berdiri
(menyambut) dan mengucapkan salam kepadanya, (bahkan) kemudian dia mendudukkan
‘Atha’ bersamanya di atas singgasana, lalu dia duduk dihadapan ‘Atha’ dan
berkata kepadanya: Wahai Abu Muhammad (‘Atha’), apa keperluanmu? Maka ‘Atha’
berkata: Wahai Amirul mu’minin, bertakwalah kepada Allah di tanah haram Allah
(Mekkah) dan tanah haram Rasul-Nya r serta perhatikanlah kemakmurannya. Bertakwalah kepada
Allah terhadap keturunan (para sahabat) Muhajirin dan Anshar, karena
sesungguhnya dengan sebab merekalah engkau (bisa) mencapai kedudukan ini.
Bertakwalah kepada Allah terhadap para pejuang islam yang berjihad di garis
perbatasan, karena sesungguhnya mereka adalah benteng (pelindung) kaum
muslimin. Perhatikanlah keadaan kaum, karena engkau sendirilah yang akan
dimintai pertanggungjawaban tentang mereka. Bertakwalah kepada Allah terhadap
orang-orang ada di depan pintumu (yang ingin menemuimu), janganlah engkau
melalaikan mereka dan menutup pintumu di hadapan mereka (tidak mau menemui
mereka). Maka ‘Abdul Malik menjawab: Akan aku lakukan. Kemudian ‘Atha’ bangkit
dan (ingin) pergi, tapi ‘Abdul Malik menahannya dan berkata: Wahai Abu
Muhammad, yang engau minta tadi adalah kebutuhan orang lain dan kami telah
penuhi kebutuhan itu, kebutuhanmu sendiri apa? Maka ‘Atha’ berkata: Aku tidak
punya kebutuhan apapun kepada makhluk. Kemudian dia keluar, lalu ‘Abdul Malik
berkata: Ini adalah kemuliaan (yang sesungguhnya), ini adalah kedudukan tinggi
(yang sebenarnya).
- Atsar
yang juga diriwayatkan oleh Imam Adz Dzhaby dalam “Siyaru a’lamin nubala”
(8/384) dalam biogarafi seorang Imam besar dari kalangan Atba’ut tabi’in,
‘Abdullah bin Al Mubarak, dari Asy’ats bin Syu’bah Al Mishshiishy dia berkata:
(Suatu hari Khalifah) Harun Ar Rasyid berkunjung ke (daerah) Ar Raqqah, (kemudian
datang ‘Abdullah bin Al Mubarak), maka orang-orang pun berlarian di belakang
‘Abdullah bin Al Mubarak sehingga sandal-sandal mereka terlepas dan debu
beterbangan. Maka (ketika itu) budak wanita (yang telah mempunyai anak) dari
Harun Ar Rasyid menengok dari bangunan tinggi pada sebuah istana (yang terbuat
dari) papan dan berkata: Ada
apa? Orang-orang pun menjwab: (Ada )
seorang yang berilmu (‘Abdullah bin Al Mubarak) dari Khurasan (baru) datang.
Maka wanita tsb berkata: Demi Allah, inilah kerajaan (kekuasaan yang
sebenarnya), bukan (seperti) kekuasaan Harun Ar Rasyid yang tidak mampu
menghimpun manusia kecuali (dengan bantuan) para prajurit dan pengawal.
- Atsar[12]
yang diriwayatkan oleh Imam Abul Hajjaj Al Mizzy dalam kitab beliau “Tahdziibul
kamaal” (5/169) dalam biografi Imam ‘Atha’ bin Abi Rabah, dari Muhammad bin
Muslim Az Zuhry dia berkata: Aku (pernah) datang menemui (khalifah) ‘Abdul
Malik bin Marwan, lalu dia bertanya: Dari mana engkau datang wahai Zuhry? Aku
menjawab: Dari Mekkah. Dia bertanya (lagi): Siapa yang engkau tinggalkan (di sana ) memimpin Mekkah dan
penduduknya? Aku menjawab: ‘Atha’ bin Abi Rabah. Dia berkata: (Apakah) dia dari
(kalangan) orang Arab (asli) atau dari (kalangan) orang-orang bekas budak? (Maka)
aku menjawab: (Dia) dari kalangan bekas budak. Dia berkata (lagi): Dengan apa
dia memimpin mereka? Aku menjawab: Dengan agama (ketaatan beribadah) dan
riwayat (pengetahuan tentang hadits Nabi r). (Maka) dia berkata: Sesungguhnya orang yang taat
beribadah dan memiliki pengetahuan tentang hadits Nabi r memang pantas
untuk memimpin (manusia), siapakah yang memimpin penduduk Yaman? Aku menjawab:
Thaawus bin Kaisan. Dia bertanya (lagi): (Apakah) dia dari (kalangan) orang
Arab (asli) atau dari (kalangan) orang-orang bekas budak? (Maka) aku menjawab:
(Dia) dari kalangan bekas budak. Dia berkata (lagi): Dengan apa dia memimpin
mereka? Aku menjawab: Dengan apa yang dimiliki ‘Atha’. (Maka) dia berkata:
Sungguh dia pantas untuk itu, siapakah yang memimpin penduduk Mesir? Aku
menjawab: Yazid bin abi Habiib. Dia bertanya (lagi): (Apakah) dia dari
(kalangan) orang Arab (asli) atau dari (kalangan) orang-orang bekas budak?
(Maka) aku menjawab: (Dia) dari kalangan bekas budak. Dia bertanya (lagi):
Siapakah yang memimpin penduduk Syam? Aku menjawab: Makhul. Dia bertanya
(lagi): (Apakah) dia dari (kalangan) orang Arab (asli) atau dari (kalangan)
orang-orang bekas budak? (Maka) aku menjawab: (Dia) dari kalangan bekas budak,
(dulunya) dia seorang budak dari (suku) Nauby kemudian dibebaskan oleh seorang
wanita dari (suku) Hudzail. (Kemudian) dia bertanya: Siapakah yang memimpin
penduduk Jazirah? Aku menjawab: Maimun bin Mihran. Dia bertanya (lagi):
(Apakah) dia dari (kalangan) orang Arab (asli) atau dari (kalangan) orang-orang
bekas budak? Aku menjawab: (Dia)
dari kalangan bekas budak. Dia bertanya (lagi): Siapakah yang memimpin penduduk
Khurasan? Aku menjawab: Adh Dhahhak bin Muzahim. Dia bertanya (lagi): (Apakah)
dia dari (kalangan) orang Arab (asli) atau dari (kalangan) orang-orang bekas
budak? Aku menjawab: (Dia) dari kalangan bekas budak. (Kemudian) dia bertanya
(lagi): Siapakah yang memimpin penduduk Bashrah? Aku menjawab: Al Hasan Al
Bashry. Dia bertanya (lagi): (Apakah) dia dari (kalangan) orang Arab (asli)
atau dari (kalangan) orang-orang bekas budak? Aku menjawab: (Dia) dari kalangan
bekas budak. (Akhirnya) dia berkata: Celaka engkau, lalu siapa yang memimpin
penduduk Kufah? Aku menjawab: Ibrahim An Nakha’i. Dia bertanya (lagi): (Apakah)
dia dari (kalangan) orang Arab (asli) atau dari (kalangan) orang-orang bekas
budak? Aku menjawab: (Dia) dari (kalangan) orang Arab (asli). (Maka) dia
berkata: Celakah engkau Wahai Zuhri, engkau telah membuatku merasa lega (dengan
ucapanmu yang terakhir), demi Allah sungguh orang-orang bekas budak akan
memimpin orang-orang Arab (Asli) di negeri (Arab) ini sehingga (nantinya)
mereka akan berceramah di atas mimbar-mimbar dan dan orang-orang arab (duduk
mendengarkan) di bawah mimbar. (Maka) akupun berkata: Wahai Amirul mu’minin,
(semua itu sebabnya) tidak lain adalah diin (agama), barangsiapa yang
menjaganya maka dia akan menjadi pemimpin (umat), dan barangsiapa yang tidak
menghiraukannya maka dia akan direndahkan.
وصلى الله وسلم وبارك على نبينا محمد وآله وصحبه
أجمعين، وآخر دعوانا الحمد لله رب العالمين.
Madinah, 7 Shafar 1428 H (24 feb 2007)
Abdullah
bin Taslim Al Buthany
[1] Kitab “Miftahu daaris sa’aadah” (1/227, cet. Daaru
ibnil Qayyim dan Daaru ibni ‘Affaan, Penyunting: Sykh Ali Hasan Al Halaby).
[2] Kitab “Miftahu daaris sa’aadah” (1/262).
[3] Lihat kitab “Manhajul Anbiyaa’ fii tazkiyatin nufuus”
(hal.100), tulisan Sykh Salim bin ‘Ied Al Hilaly.
[4] Diriwayatkan oleh Abu Nu’aim dalam “Hilyatul auliya’”
(1/79-80) dan Al Khatiib Al Bagdaady dalam “Al Faqiih wal mutafaqqih” (1/49-50)
dan dishahihkan oleh Al Khatiib sendiri, Ibnu ‘Abdil Barr, Ibnu Katsir dll.
[5] Lihat keterangan Sykh Muhammad Hamid Al Faqiy dan
Sykh Bin Baz ttg masalah ini pada catatan kaki kitab “Fathul Majid” (hal. 417,
cet. Dar Ibnu Hazm).
[6] Hadits hasan Riwayat Ahmad (5/196), Abu Dawud (no.
3641 dan 3542), At Tirmidzi (no. 2682) dll, dengan sanad yang saling
menguatkan, sebagaimana penjelasan Ibnu Hajar dalam “Fathul Baari” (1/160).
[7] Lihat misalnya QS Yunus:68, QS An Najm:23, QS Ash
Shaaffaat:156 dll.
[8] Lihat kitab “Miftahu daaris sa’aadah” (1/243-244).
[9] Nama lengkapnya Sa’id bin ‘Abdir Rahman bin Abza Al
Khuza’i maulaahum Al Kuufy, beliau adalah seorang dari kalangan Tabi’in yang tsiqah
(terpercaya) dalam meriwayatkan hadits (Lihat kitab “Taqriibut tahdziib” hal.
188, cet. daaru Ibni Rajab).
[10] Yaitu dengan mengimani, mengagungkan dan mengamalkan
kandungan maknanya secara ikhlas (kitab “Faidhul Qadiir” 2/302).
[11] Yaitu dengan tidak mengimani dan mengamalkan
kandungannya (ibid).
[12] Sanad atsar ini sangat lemah, karena ada seorang
perawinya yang bernama Al Walid bin Muhammad Al Muwaqqary, Ibnu Hajar
mensifatinya sebagai seorang yang matruk (ditinggalkan riwayatnya),
Lihat kitab “Taqriibut tahdziib” (hal. 539).
0 komentar:
Posting Komentar