MANTAN PENDETA ROMA
MENJADI AHLUS SUNNAH
Oleh : Syaikh Amjad
bin Imron Salhub
Segala puji bagi
Allah. Semoga shalawat serta salam tetap terlimpahkan atas Rasulullah, keluarga
dan para sahabatnya, serta siapa saja yang mengikuti sunnahnya dan menjadikan
ajarannya sebagai petunjuk sampai hari kiamat.
Sejarah Islam, baik
yang dulu maupun sekarang senantiasa menceritakan kepada kita, contoh-contoh
indah dari orang-orang yang mendapatkan petunjuk, mereka memiliki semangat yang
begitu tinggi dalam mencari agama yang benar. Untuk itulah, mereka mencurahkan
segenap jiwa dan mengorbankan milik mereka yang berharga, sehingga mereka
dijadikan permisalan, dan sebagai bukti bagi Allah atas makhluk-Nya.
Sesungguhnya siapa
saja yang bersegera mencari kebenaran, berlandaskan keikhlasan karena Allah
Ta’aala, pasti Dia ‘Azza Wa Jalla akan menunjukinya kepada kebenaran tersebut,
dan akan dianugerahkan kepadanya nikmat terbesar di alam nyata ini, yaitu
kenikmatan Islam. Semoga Allah merahmati syaikh kami al-Albani yang sering mengulang-ngulangi
perkataan:
الْحَمْدُ
لِلَّهِ عَلَى نِعْمَةِ اْلإِسْلاَمِ وَالسُنَّةِ
Segala puji bagi
Allah atas nikmat Islam dan as-Sunnah
Diantara kalimat
mutiara ulama salaf adalah:
إِنَّ مِنْ
نِعْمَةِ اللهِ عَلَى اْلأَعْجَمِيِّ وَ الشَابِ إِذَا نَسَكَ أَنْ يُوَافِيَ
صَاحِبَ سُنَّةٍ فَيَحْمِلَهُ عَلَيْهَا
Sesungguhnya diantara
nikmat Allah atas orang ‘ajam dan pemuda adalah, ketika dia beribadah bertemu
dengan pengibar sunnah, kemudian dia membimbingnya kepada sunnah Rasulullah.
أَشْهَدُ
أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ وَأَنَّ مُحَمَّدًا رَسُوْلُ اللهِ
Saya bersaksi bahwa
tiada sesembahan yang berhak disembah dengan benar kecuali Allah, dan saya
bersaksi bahwa Muhammad adalah utusan-Nya
Inilah kalimat
tauhid, kalimat yang baik, kunci surga. Kalimat inilah stasiun pertama dari
jalan panjang yang penuh dengan onak dan duri, kalimat taqwa bukanlah kalimat
yang mudah bagi seorang insan yang ingin menggerakkan lisannya untuk
mengucapkannya, demikian juga ketika dia ingin mengeluarkannya dari hatinya
yang paling dalam. Karena, ketika seorang insan ingin mengeluarkannya dari
hatinya yang paling dalam, maka dia harus mengetahui terlebih dahulu, bahwa
kalimat itu keluar dengan seizin Allah Ta’aala.
Demikianlah yang
dialami oleh Ibrahim (dulu bernama Danial) -semoga Allah memeliharanya,
meluruskannya diatas jalan keistiqomahan, serta menutup lembaran hidupnya
diatas Islam-.
Inilah dia yang akan
menceritakan kepada kita, bagaimana dia meninggalkan agama kaumnya (Nashrani)
menuju Islam, dan bagaimana dia telah mengorbankan kekayaan ayahnya serta
kemewahan hidupnya, di suatu jalan (hakekat terbesar), demi mencari kebebasan
akal dan jiwa.
Ibrahim (dulu bernama
Danial) -semoga Allah memeliharanya, dan mengokohkannya diatas jalan
keistiqomahan- menceritakan:
Saya adalah seorang
lelaki dari keluarga Roma, seorang anak dari keluarga kaya, semasa kecil, saya
hidup dengan kemewahan dan kemakmuran. Demikianlah, kulalui masa kecilku.
Ketika masa remajapun, saya banyak menghabiskan waktu dengan kemewahan bersama
teman-temanku, ketika itu saya memiliki sebuah mobil mewah dan uang, sehingga
saya bisa memiliki segala sesuatu dan tidak pernah kekurangan.
Akan tetapi sejak
kecil, saya senantiasa merasa bahwa dalam kehidupan ini ada yang kurang, dan
saya yakin bahwa ada sesuatu yang salah di dalam hidupku, serta suatu
kekosongan yang harus kupenuhi, karena semua sarana kehidupan ini bukanlah
tujuanku. Saya mulai tertarik dengan agama, dan mulailah kubaca Injil, pergi ke
gereja, serta kusibukkan diriku dengan membaca buku-buku agama Kristen. Dari
buku-buku yang kubaca tersebut, mulai kudapatkan sebagian jawaban atas berbagai
pertanyaanku, akan tetapi tetap saja belum sempurna.
Dahulu saya bangun
pagi setiap hari dan pergi ke pantai, saya merenungi laut sambil membaca
buku-buku dan shalat. Setelah dua bulan dari permulaan hidupku ini, saya merasa
mantap bahwa saya tidak mampu terus menerus menjalani hidupku seperti biasanya
setelah beragama, ketika itu, saya mendatangi ayahku dan kukabarkan kepadanya
bahwa saya tidak bisa melanjutkan bekerja dengannya, saya juga pergi mendatangi
ibu dan saudari-saudariku dan kukabarkan kepada mereka bahwa saya telah
mengambil keputusan untuk meninggalkan mereka.
Kemudian kusiapkan
tasku lalu naik kereta tanpa kuketahui ke mana saya hendak pergi, hingga saya
tiba di kota
Polon, kemudian saya masuk ke ad-dir (Istilah untuk gereja yang terpencil
dipedalaman. – pent.) disana, lalu naik gunung yang tinggi. Saya menetap di
gunung selama kira-kira sebulan, saya tidak berbicara dengan siapapun, saya
hanya membaca dan beribadah.
Sekitar tiga tahun,
saya senantiasa berpindah-pindah dari satu ad-dir ke ad-dir yang lain, saya
membaca dan beribadah, kebalikannya para pendeta yang tidak bisa meninggalkan
ad-dir mereka, karena saya tidak pernah memberikan janji untuk menjadi seorang
pendeta di suatu ad-dir tertentu, dan janji tersebut akan menghalangiku untuk
keluar masuk darinya.
Setelah itu, saya
memutuskan untuk berkeliling ke pelbagai negeri, maka saya memulai perjalanan
panjangku dari Italia melalui Slovania, Hungaria, Nimsa, Romania, Bulgaria,
Turki, Iran, Pakistan, dari sana menuju India. Semua perjalanan ini saya tempuh
melalui jalur darat. Saya mendengar suara adzan di Turki, dan saya sudah pernah
mendengarnya di Kairo (Mesir) pada perjalananku sebelumnya, akan tetapi kali
ini sangat berkesan, sehingga saya mencintainya.
Dalam perjalanan
pulang, saya bertemu dengan seorang muslim Syi’ah di perbatasan Iran dan
Pakistan, dia dan temannya menjamuku dan mulai menjelaskan kepadaku tentang
Islam versi Syi’ah, keduanya menyebutkan Imam Duabelas dan mereka tidak
menjelaskan kepadaku tentang Islam dengan sebenarnya, bahkan mereka menfokuskan
pada ajaran Syi’ah dan Imam Ali z,
serta tentang penantian mereka terhadap seorang Imam yang ikhlas, yang akan
datang untuk membebaskan manusia.
Semua diskusi tesebut
sama sekali tidak menarik perhatianku, dan saya belum mendapatkan jawaban atas
berbagai pertanyaanku dalam rangka mencari hakekat kebenaran. Orang Syi’ah itu
menawarkan kepadaku untuk mempelajari Islam di kota
Qum, Iran, selama tiga bulan tanpa
dipungut biaya, akan tetapi saya memilih untuk melanjutkan perjalananku dan
kutinggalkan mereka.
Kemudian saya menuju
India, dan ketika saya turun dari kereta, pertama yang kulihat adalah manusia
yang membawa kendi-kendi di pagi hari sekali dengan berlari-lari kecil menuju
ke dalam kota, maka kuikuti mereka dan saya melihat mereka berthowaf
mengelilingi sapi betina yang terbuat dari emas, ketika itu saya sadar bahwa
India bukanlah tempat yang kucari.
Setelah itu, saya
kembali ke Italia dan dirawat di rumah sakit selama sebulan penuh, hampir saja
saya meninggal dikarenakan penyakit yang saya derita ketika di India,
akan tetapi Allah telah menyelamatkanku. Alhamdulillah.
Saya keluar dari
rumah sakit menuju rumah, dan mulailah saya berfikir tentang langkah-langkah
yang akan saya ambil setelah perjalanan panjang ini, maka saya memutuskan untuk
terus dalam jalanku mencari hakekat kebenaran. Saya kembali ke ad-dir dan
mulailah kujalani kehidupan seorang pendeta di sebuah ad-dir di Roma. Pada waktu
itu saya telah diminta oleh para pembesar pendeta disana untuk memberikan
kalimat dan janji. Pada malam itu, saya berfikir panjang, dan keesokan harinya
saya memutuskan untuk tidak memberikan janji kepada mereka lalu kutinggalkan
ad-dir tersebut.
Saya merasa ada
sesuatu yang mendorongku untuk keluar dari ad-dir, setelah itu saya menuju
al-Quds karena saya beriman akan kesuciannya. Maka mulailah saya berpergian
menuju al-Quds melalui jalur darat melewati berbagai negeri, sampai akhirnya
saya tiba di Siria, Lebanon, Oman, dan al-Quds, saya tinggal disana seminggu,
kemudian saya kembali ke Italia, maka bertambahlah pertanyaan-pertanyaanku,
saya kembali ke rumah lalu kubuka Injil.
Pada kesempatan ini,
saya merasa berkewajiban untuk membaca Injil dari permulaannya, maka saya
memulai dari Taurat, menelusuri kisah-kisah para nabi bani Israel. Pada tahap
ini mulai nampak jelas di dalam diriku makna-makna kerasulan hakiki yang Allah
mengutus kepadanya, mulailah saya merasakannya, sehingga muncullah berbagai
pertanyaan yang belum saya dapatkan jawabannya, saya berusaha menemukan jawaban
atas berbagai pertanyaan tersebut dari perpustakaanku yang penuh dengan
buku-buku tentang Injil dan Taurat.
Pada saat itu, saya
teringat suara adzan yang pernah kudengar ketika berkeliling ke berbagai negeri
serta pengetahuanku bahwa kaum muslimin beriman terhadap Tuhan yang satu, tiada
sesembahan yang berhak disembah selain Dia. Dan inilah yang dulu saya yakini,
maka saya berkomitmen : Saya harus berkenalan dengan Islam, kemudian mulailah
kukumpulkan buku-buku tentang Islam, diantara yang saya miliki adalah
terjemahan al-Qur’an dalam bahasa Italia, yang pernah saya beli ketika
berkeliling ke berbagai negeri.
Setelah kutelaah
buku-buku tersebut, saya berkesimpulan bahwa Islam tidak seperti yang dipahami
oleh mayoritas orang-orang barat, yaitu sebagai agama pembunuh, perampok dan
teroris akan tetapi yang saya dapati adalah Islam itu agama kasih sayang dan
petunjuk, serta sangat dekat dengan makna hakiki dari Taurat dan Injil.
Kemudian saya
putuskan untuk kembali ke al-Quds, karena saya yakin bahwa al-Quds adalah
tempat turunnya kerasulan terdahulu, akan tetapi kali ini saya menaiki pesawat
terbang dari Italia menuju al-Quds. Saya turun di tempat turunnya para pendeta
dan peziarah dibawah panduan hause bus Armenia di daerah negeri kuno. Di dalam
tasku, saya tidak membawa sesuatu kecuali sedikit pakaian, terjemahan
al-Qur’an, Injil dan Taurat. Kemudian saya mulai membaca lebih banyak lagi dan
lebih banyak lagi, saya membandingkan kandungan al-Qur’an dengan isi Taurat dan
Injil, sehingga saya berkesimpulan bahwa kandungan al-Qur’an sangat dekat
dengan ajaran Musa dan Isa ‘alaihimassalaam yang asli.
Selanjutnya saya
mulai berdialog dengan kaum muslimin untuk menanyakan kepada mereka tentang Islam,
sampai akhirnya saya bertemu dengan sahabatku yang mulia Wasiim Hujair, kami
berbincang-bincang tentang Islam. Saya juga banyak bertemu dengan teman-teman,
mereka menjelaskan kepada saya tentang Islam. Setelah itu, saudara Wasiim
mengatakan kepadaku bahwa dia akan mengadakan suatu pertemuan antara saya
dengan salah seorang dari teman-temannya para da’i.
Pertemuan itu
berlangsung dengan saudara yang mulia Amjad Salhub, kemudian terjadilah
perbincangan yang bagus tentang agama Islam. Diantara perkara yang paling
mempengaruhiku adalah kisah sabahat yang mulia, Salman al-Farisi z, karena di dalamnya ada kemiripan dengan
ceritaku tentang pencarian hakekat kebenaran.
Kami berkumpul lagi
dalam pertemuan yang lain dengan saudara Amjad beserta teman-temannya, diantaranya
fadhilatusy Syaikh Hisyam al-‘Arif –hafidhohulloh-, maka berlangsunglah dialog
tentang Islam dan keagungannya, kebetulan ketika itu saya memiliki beberapa
pertanyaan yang kemudian dijawab oleh Syaikh.
Setelah itu, saya
terus menerus berkomunikasi dengan saudara Amjad yang dengan sabar menjelaskan
jawaban atas mayoritas pertanyaan-pertanyaanku. Pada saat seperti itu di depan
saya ada dua pilihan, antara saya mengikuti kebenaran atau menolaknya, dan saya
sama sekali tidak sanggup menolak kebenaran tersebut setelah saya meyakini
bahwa Islam adalah jalan yang benar.
Pada saat itu juga,
saya merasakan bahwa waktu untuk mengucapkan kalimat tauhid dan syahadat telah
tiba. Ternyata tiba-tiba saudara Amjad mendatangiku bertepatan dengan waktu
dikumandangkannya adzan untuk shalat dhuhur. Waktu itu benar-benar telah tiba,
sehingga tiada pilihan bagiku kecuali saya mengucapkan :
أَشْهَدُ
أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ وَأَنَّ مُحَمَّدًا رَسُوْلُ اللهِ
Saya bersaksi bahwa
tiada sesembahan yang berhak disembah dengan benar kecuali Allah, dan saya
bersaksi bahwa Muhammad adalah utusan-Nya
Maka
serta merta saudara Amjad memelukku dengan pelukan yang ramah, seraya
memberikan ucapan selamat atas keIslamanku, kemudian kami sujud syukur sebagai
ungkapan terima kasih kepada Allah atas anugerah nikmat ini. Kemudian saya
diminta mandi ([1] Sebagaimana hadits Qoish bin ‘Ashim, Ketika beliau
masuk Islam, Rasulullah memerintahkannya untuk mandi dengan air yang dicampur
bidara. (HR. An-Nasai, at-Turmudzi dan Abu Daud. Dishohihkan oleh al-Albani
dalam al-Irwaa’ (128).)) dan berangkat ke al-Masjid al-Aqsho untuk menunaikan
shalat dhuhur,
Di tempat tersebut
setelah shalat, saya menemui jamaah shalat dengan syahadat, yaitu persaksian
kebenaran dan tauhid yang telah Allah anugerahkan kepadaku. Setelah saya
mengetahui bahwa siapa saja yang masuk Islam wajib baginya berkhitan, maka
segala puji dan anugerah milik Allah, saya tunaikan kewajiban berkhitan
tersebut sebagai bentuk meneladani bapaknya para nabi, yaitu Ibrahim q yang melakukan khitan pada usia 80 tahun
(Sebagaimana Rasulullah n bersabda :
Ibrahim berkhitan ketika umur 80 tahun dengan “al-Qoduum” (nama alat atau
tempat).( HR. Al-Bukhori (3356) dan Muslim (2370).)).
Itulah diriku, saya
telah memulai hidup baru dibawah naungan agama kebenaran, agama yang penuh
dengan kasih sayang dan cahaya. Saya senantiasa menuntut ilmu agama dari kitab
Allah Ta’aala dan sunnah Rasulullah n
sesuai dengan manhaj salaf (pendahulu) umat ini, dari kalangan para sahabat g beserta siapa saja yang mengikuti mereka
dengan baik sampai hari kiamat.
Segala puji bagi
Allah atas anugerah Islam dan as-Sunnah.
Dialihbahasakan
oleh Abu Zahro Imam Wahyudi Lc. dari majalah ad-Da’wah as-Salafiyah-Palestina
edisi perdana, Muharram 1427 H halaman: 21-24.
0 komentar:
Posting Komentar