yufid.com

Minggu, 20 Maret 2011

BULETIN AS-SUNNAH LOMBOK TIMUR

Posted by Abu Abdillah Riza Firmansyah On 03.12 No comments
HATI HATILAH WAHAI PARA DA'I
ANDA TENGAH BERLEMAH LEMBUT ATAUKAH BERMUDAHANAH ?

           •        
Katakanlah: “Inilah jalan (agama) ku, aku dan orang-orang yang mengikutiku mengajak (kamu) kepada Allah dengan hujjah yang nyata, Maha suci Allah, dan aku tiada Termasuk orang-orang yang musyrik.” (QS. Yusuf: 108).
Ayat di atas menegaskan bahwa dakwah Nabi  tegak di atas ilmu, bukan berdasarkan semangat ataupun kepintaran berbicara semata. Demikianlah Manhaj Dakwah Nabi  yang telah Alloh  gariskan bagi setiap da’i yang meniti jejak beliau hingga hari kiamat. Yaitu seorang da’i (juru dakwah) harus: Pertama memiliki ilmu dalam dirinya dan kedua memiliki ilmu tentang apa yang didakwahkannya. Sesungguhnya orang yang jahil tidak layak untuk memajukan diri berdakwah, sebab dia hanya akan merusak lebih banyak daripada melakukan perbaikan.
Namun, ternyata terlalu banyak orang yang salah cara dalam cemburu terhadap agamanya (demikian kita berhusnu zhon kepada mereka). Sehingga mereka beramai-ramai mengambil andil dalam tugas yang mulia ini. Namun, sayangnya tanpa ilmu. Hanya bermodal ghiroh, semangat dan kemampuan menyihir pendengar. Hingga muncullah berbagai kerancuan dan bahkan talbis dalam dakwah yang mulia ini. Disebabkan oleh orang yang tidak memahami dengan benar Manhaj Dakwah Nabawiyah (jika tidak mau dikatakan tidak pernah belajar sama sekali).
Ada satu perkara yang harus diperjelas karena banyak da’i yang mentalbis masalah ini dan bahkan menjadikannya senjata untuk menyerang para da’i yang berusaha menegakkan Manhaj Nabawi, berdakwah sesuai aturannya yang telah baku. Perkara tersebut adalah Ar-Rifqu (اَلرِّفْقُ) yang diterjemahkan dengan Lemah Lembut dalam berdakwah.
Pengertian Ar-Rifqu.
Ar-Rifqu secara bahasa adalah lemah lembut, lawan dari kasar. Ar-Rifqu bisa juga disebut Mudaroh (اَلْمُدَارَاةُ) dan sangat berlawanan dengan Mudahanah (اَلْمُدَاهَنَةُ).
Mudaroh adalah menghindari mafsadah (kerusakan) dan kejahatan dengan ucapan yang lembut atau meninggalkan kekerasan dan sikap kasar, atau berpaling dari orang jahat jika ditakutkan kejahatannya atau terjadinya hal yang lebih besar dari kejahatan yang sedang dilakukan.
Imam Bukhori رحمه الله mencantumkan satu bab dalam Shohihnya “Bab Mudaroh kepada manusia.” Kemudian mencantumkan hadits Aisyah bahwa seorang lelaki meminta untuk bertemu dengan Rosululloh . Beliaupun berkata: “Izinkan dia. Sungguh dia anak keluarga yang jelek – atau sungguh dia saudara keluarga yang jelek –“ namun ketika dia masuk, beliau berkata halus padanya. Aisyah berkata: “Akupun berkata kepada beliau: “Wahai Rosululloh, tadi Anda berkata begini dan begitu namun Anda berkata halus padanya.” Beliaupun bersabda:
أَيْ عَائِشَةُ إِنَّ شَرَّ النَّاسِ مَنْزِلَةً عِنْدَ اللهِ مَنْ تَرَكَهُ – أَوْ وَدَعَهُ – النَّاسُ اتِّقَاءَ فُحْشِهِ
“Wahai Aisyah, sesungguhnya seburuk-buruk manusia adalah yang dihindari oleh manusia karena khawatir akan kejahatannya.”
Nabi  telah berbuat mudarah dengan orang tadi ketika dia menemui Nabi  -padahal orang itu jahat- karena beliau menginginkan kemaslahatan agama. Maka hal itu menunjukkan bahwa mudarah tidak bertentangan dengan al-wala' wal bara', kalau memang mengandung kemaslahatan lebih banyak dalam bentuk menolak kejahatan atau menundukkan hatinya atau memperkecil dan memperingan kejahatan.
Ini adalah salah satu metode dalam berdakwah kepada Allah. Termasuk di dalamnya adalah mudarah Nabi  terhadap orang-orang munafik karena khawatir akan kejahatan mereka dan untuk menundukkan hati mereka dan orang lain.
Sedangkan Mudahanah artinya berpura-pura, menyerah dan meninggalkan kewajiban amar ma'ruf nahi mungkar serta melalaikan hal tersebut karena tujuan duniawi atau ambisi pribadi. Maka berbaik hati, bermurah hati atau berteman dengan ahli maksiat ketika mereka berada dalam kemaksiatannya, sementara ia tidak melakukan pengingkaran padahal ia mampu kelakukannya maka itulah mudahanah.
Ibnu Baththol رحمه الله berkata: “Sebagian menyangka bahwa Mudaroh sama dengan Mudahanah, padahal itu salah. Sebab Mudaroh dianjurkan sedangkan Mudahanah diharamkan. Bedanya adalah Mudahanah berasal dari kata Dihan yaitu orang yang secara zhahir lain namun menyembunyikan keadaan batinnya. Ditafsirkan oleh para ulama bahwa Mudahanah adalah bergaul dengan orang fasik dan menampakkan keridhoan dengan keadaannya tanpa mengingkarinya.
Sedangkan Mudaroh adalah lemah lembut kepada orang jahil dalam mengajarinya dan terhadap orang fasik ketika melarang perbuatannya, tanpa keras, dimana dia tidak menampakkan keadaannya, serta mengingkarinya dengan kata dan perbuatan yang halus. Terlebih ketika dibutuhkan untuk lemah lembut kepadanya dan lainnya.”
Pelajaran dari Dakwah Rosul .
Pertama: Anas bin Malik  bercerita: “Ketika kami tengah berada di Masjid bersama Rosululloh , tiba-tiba datang seorang Badui. Sekonyong-konyong dia kencing di dalam masjid. Para sahabat Rosululloh  pun berseru: “Berhenti!!” Rosululloh  berkata: “Jangan dihentikan, biarkan dia.” Para sahabatpun lantas membiarkannya hingga lelaki itu selesai kencing. Kemudian Rosululloh  memanggilnya dan bersabda:
إِنَّ هَذِهِ الْمَسَاجِدَ لاَ تَصْلُحُ لِشَيْءٍ مِنْ هَذَا الْبَوْلِ وَ لاَ الْقَذَرِ إِنَّمَا هِيَ لِذِكْرِ اللهِ وَ الصَّلاَةِ وَ قِرَاءَةِ الْقُرْآنِ
“Sesungguhnya masjid-masjid ini sama sekali tidak pantas untuk kencing ataupun kotoran. Sesungguhnya masjid itu hanya untuk berdzikir mengingat Alloh, sholat dan membaca Al-Qur’an.”
Anas  berkata: “Kemudian beliau memerintahkan seorang yang hadir untuk mengambil seember air dan menyiram bekas kencing lelaki badui tersebut.” (HR. Bukhori I/ 322 dan Muslim: I/ 236).
Perhatikanlah, ketika beliau berlemah lembut dengan lelaki badui tersebut (dan memang orang-orang badui terkenal keras dan jahil) apakah beliau tidak mengingkari perbuatannya dan menjelaskan yang benar kepadanya? Justru beliau tetap memberikan penjelasan. Hanya saja beliau membiarkannya untuk tetap kencing karena maslahat yang jelas. Maslahat yang kembali kepada masjid dan lelaki itu sendiri. Bukan seperti sebagian da’i sekarang ini yang membungkus mudahanah dengan ar-rifq, membiarkan kemungkaran untuk maslahat pribadi. Sekali lagi wahai para da’i, apakah Rosululloh  tidak mengingkari perbuatannya dan menjelaskan kebenaran?
Kedua: Mu’awiyah bin Hakam As-Sullami  bercerita: “Ketika aku sholat bersama Rosululloh , seorang ma’mum tiba-tiba bersin. Akupun berkata: “Yarhamukalloh” orang-orang lantas memelototi aku. Akupun berkata: “Hey, kenapa kalian melihat aku seperti itu?” Mereka lantas memukul paha-paha mereka. Akupun mengerti kalau mereka menyuruhku diam, akhirnya aku diam. Ketika Rosululloh  selesai sholat, demi Alloh aku tidak pernah melihat seorang guru sebelum beliau ataupun sesudahnya yang lebih baik dari beliau. Demi Alloh beliau tidaklah membentak aku, tidak pula memukul aku ataupun mencerca aku. Beliau berkata:
إِنَّ هَذِهِ الصَّلاَةَ لاَ يَصْلُحُ فِيْهَا شَيْءٌ مِنْ كَلاَمِ النَّاسِ إِنَّمَا هُوَ التَّسْبِيْحُ وَ التَّكْبِيْرُ وَ قِرَاءَةُ الْقُرْآنِ
“Sesungguhnya shalat ini tidak pantas ada omongan manusia di dalamnya. Sholat itu tidak lain hanya tasbih, takbir dan membaca Al-Qur’an.” (HR. Muslim: I/ 381).
Sekali lagi perhatikanlah, apakah Rosululloh  tidak mengingkari perbuatannya dan menjelaskan kebenaran padanya? Sekali lagi bandingkanlah dengan para da’i yang mentalbis Mudahanah dengan Ar-Rifq.
Ketiga: Umar bin Abi Salamah  berkata: “Dahulu waktu aku kecil dan dalam asuhan Rosululloh , tanganku meraih makanan pada wadah ke semua arah. Rosululloh  lantas berkata kepadaku:
يَا غُلاَمُ سَمِّ اللهَ وَ كُلْ بِيَمِيْنِكَ وَ كُلْ مِمَّا يَلِيْكَ
“Wahai anak kecil, bacalah Bismillah. Kemudian makanlah dengan tangan kananmu dan makanlah apa yang dekat darimu.”
Sejak itu, seperti itulah cara makanku.” (HR. Bukhori: 5376 dan Muslim: 2022).
Sekali lagi, apakah beliau  tidak mengingkari perbuatannya dan menjelaskan yang benar padanya? Dan perlu Anda ingat wahai para da’i akan kaidah penting dalam berdakwah:
لاَ يَجُوْزُ تَأْخِيْرُ الْبَيَانِ عَنْ وَقْتِ الْحَاجَةِ
“Tidak boleh menunda penjelasan dari waktu dibutuhkannya penjelasan tersebut.”
Demikianlah beberapa contoh dari sekian banyak contoh dari metode Dakwah Rosululloh , mari kita sama-sama pahami dengan benar. Wallo waliyyut taufiq.
Mereka bilang kami keras.
Di sini kami nukilkan ucapan Syaikh Jamilurrohman رحمه الله panglima Jama’atul Jihad di Afganistan yang salafi. Ucapan beliau ini kami nukilkan untuk menjawab tuduhan atas Dakwah Salafiyah. Beliau رحمه الله pernah ditanya: “Ada yang bilang bahwa metode dakwah Anda dalam mengajak kepada akidah yang benar adalah keras dan membuat orang takut.” Beliau Menjawab: “Kami mengetahui bahwa salah satu hal yang wajib dalam berdakwah adalah memperhatikan keadaan orang yang didakwahi. Dan memilih metode lemah lembut bukan keras ataupun menakuti. Alloh Ta’ala berfirman:
        
Maka berbicaralah kamu berdua kepadanya dengan kata-kata yang lemah lembut, Mudah-mudahan ia ingat atau takut.” (QS. Thoha: 44).
Alloh Ta’ala juga berfirman:
               
Maka disebabkan rahmat dari Allah-lah kamu Berlaku lemah lembut terhadap mereka. Sekiranya kamu bersikap keras lagi berhati kasar, tentulah mereka menjauhkan diri dari sekelilingmu. (QS. Ali Imron: 159).
Dan Alloh  juga berfirman:
            
Serulah (manusia) kepada jalan Tuhan-mu dengan hikmah dan pelajaran yang baik dan bantahlah mereka dengan cara yang baik. (QS. An-Nahl: 125).
Kami tidaklah keluar dari batasan-batasan itu demi mengagungkan perintah Alloh  dan mengikuti para nabi-Nya ‘alaihimus sholatu was salam. Maka orang-orang yang menuduh kami keras, jika mereka termasuk orang-orang yang berpegang kepada akidah yang benar dan mengetahui wajibnya berdakwah kepada tauhid, serta menunaikan haknya, mengambil sikap yang benar dan jelas di mana manusia mengenali akidah dan dakwah mereka. Namun mereka menganggap metode kami keras, maka mereka wajib memperbaikinya dan membimbing kami kepada metode yang sesuai. Karena kami tidaklah mengklaim bahwa metode kami bagus dan unggul dalam berdakwah hingga taraf tertinggi yang harus menjadi pijakan dakwah. Sebab yang seperti itu adalah para Nabi ‘alaihimus salam. Karena mereka ma’shum dalam menyampaikan dakwah dan mengemban risalah dengan jaminan dari Alloh, dan mereka dikuatkan dengan wahyu dari Alloh. Bagaimanapun kami mengaku dan yakin bahwa akidah kami benar dan mendakwahkannya wajib, kami tetap wajib untuk memilih metode dakwah yang kami ketahui mengumpulkan segala sisi yang tepat, dikemasi dengan sebab-sebab yang mendatangkan sambutan dari manusia.
Namun, jika mereka (orang-orang yang menuduh-pent.) termasuk orang-orang menentang akidah dan dakwah, atau menentang dakwah itu sendiri. Maka tidaklah tuduhan mereka itu dimaksudkan kecuali untuk menentang inti dakwah dan memeranginya dengan metode yang busuk. Maka kami katakan kepada mereka: Mari kita membahas inti permasalahannya, yaitu masalah akidah dan dakwah. Kemudian setelah tuntas dan sepakat, kita membahas metode dakwah. Kita pilih secara sepakat metode yang kalian ridhoi. Adapun jika kalian menyelisihi kami dari akar masalah, atau kalian memilih sikap diam dan mudahanah, maka tidak selayaknya kalian menuduh metode dakwah yang benar. Sebaliknya, periksalah diri kalian sebelum kalian memeriksa orang lain.
Setelah jelas apa yang telah disebutkan tentang si penuduh, kami katakan bahwa para pengekor bid’ah dan hawa nafsu selalu melawan Ahlus Sunnah dengan keras dan kasar. Mereka mengkafirkan para penyelisih dengan hawa nafsu dan mengeluarkan mereka dari agama. Mereka tidak sholat di belakangnya bahkan mereka membolehkannya dan memfatwakan bolehnya membunuh mereka. Mereka menggerakkan orang awam untuk membunuh dan mengganggu mereka. Ini jelas bagi setiap orang yang mengenal keadaan para pelaku bid’ah dari zaman dahulu.” (Dinukil dari Ma’alim Al-Manhaj An-Nabawi halaman 21-23 karya Syaikh Muhammad Musa Alu Nashr حفظه الله).
Demikianlah wahai saudaraku, wahai para da’i. Semoga bisa dijadikan pelajaran. Wallohu a’lam.

















ADAKAH TAUHID HAKIMIYAH !?


[Syaikh Muhammad Nashiruddin Al-Albani]
Syaikh Muhammad Nashiruddin Al-Albani ditanya : "Wahai Syaikh kami –semoga Alloh  memberkahimu- para ulama salaf -semoga rahmat Allah atas mereka-menyebutkan bahwa tauhid ada tiga macam yaitu ; Uluhiyah, Rububiyah dan Asma wa Sifat. Maka, apakah dibenarkan jika kita mengucapkan bahwa di sana terdapat tauhid yang keempat yaitu 'Tauhid Hakimiyah' atau 'Tauhidul Hukum ?'
Beliau menjawab : "Al-Hakimiyah adalah bagian dari 'Tauhid Uluhiyah". Mereka yang mendengung-dengungkan kalimat yang 'muhdats' tadi di zaman ini bukanlah untuk mengajari kaum muslimin tentang tauhid yang dibawa oleh para nabi dan para rasul seluruhnya, melainkan hanyalah sebagai senjata politik. Karena itu aku akan tetap menyatakan untuk kalian apa yang telah aku ucapkan tadi, walaupun sebenarnya sudah berulang kali ditanyakan dan berulang kali aku menjawabnya. Atau kalau kau suka kita lewatkan saja apa yang sedang kita bahas. Dalam satu kesempatan seperti ini aku telah menyampaikan pendukung apa yang telah aku ucapkan tadi bahwa penggunaan kata 'hakimiyah' adalah pelengkap dakwah politik yang merupakan ciri khas beberapa 'hizb-hizb' yang ada pada hari ini. Pada kesempatan ini aku sampaikan satu kisah yang terjadi antara aku dengan salah seorang 'khatib' di salah satu masjid di Damaskus. Pada hari Jum'at dia berkhutbah yang seluruhnya berkisar tentang 'hakimiyah' bagi Alloh  . Kemudian dia keliru dalam salah satu masalah fiqh. Ketika selesai sahalat Jum'at aku maju kepadanya, aku ucapkan salam kepadanya dan aku katakan kepadanya : "Wahai saudaraku engkau berbuat seperti ini dan hal itu adalah menyelisihi sunnah". Dia menjawab : "Aku adalah orang yang bermadzhab Hanafi yang berpendapat dengan apa yang aku kerjakan itu". Aku berkata : "SubhanAlloh ', engkau berkhutbah bahwa 'hakimiyah' milik Alloh  kalian menggunakan kata itu hanya sekedar untuk memerangi orang-orang yang kalian anggap sebagai hakim-hakim yang telah kafir karena tidak berhukum dengan syari'at Islam. Sedangkan kalian lupa pada diri kalian sendiri bahwa 'hakimiyah' itupun mencakup setiap muslim. Maka mengapa sekarang ketika kusebutkan kepadamu bahwa Rasul berbuat seperti ini, engkau mengatakan bahwa madzhabku demikian. Berarti engkau menyelisihi apa yang kau dakwahkan. Maka, kalau saja tidak karena mereka mengambil kata tersebut sebagai pengantar dakwah politik, tentu kami akan katakan : "Inilah dagangan kami kembali kepada kami".
Adapun dakwah yang manusia kami seru kepadanya di sana terdapat 'hakimiyah' dan selain 'hakimiyah' yaitu 'tauhid uluhiyah' sebagai tauhid ibadah yang termasuk di dalamnya apa yang mereka dengung-dengungkan. Atas apa yang kalian sebut-sebut ketika kalian mendengung-dengungkan 'tauhid hakimiyah', maka kami menyebarkan hadits Hudzaifah Ibnul Yaman bahwa Nabi membacakan kepada para sahabatnya ayat-ayat mulia.
       
"Artinya : Mereka menjadikan pendeta-pendeta mereka dan ahli-ahli ibadah mereka sebagai rabb-rabb selain Allah" [At-Taubah : 31]
Adi bin Hatim Ath-Tha'i mengatakan : "Demi Alloh, wahai Rasululloh, kami tidak pernah menjadikan mereka sebagai rabb-rabb selain Alloh ". Maka beliau bersabda : " Bukankah jika mereka mengharamkan untuk kalian apa yang halal, maka kalian mengharamkannya ; dan jika mereka menghalalkan untuk kalian perkara yang haram maka kalian menghalalkannya ?" Dia berkata : "Kalau demikian memang terjadi". Maka Rasululloh bersabda : "Itulah berarti kalian menjadikan mereka sebagai rabb-rabb selain Alloh ".
Kami juga yang menyebarkan hadits ini sampai kepada orang-orang lain hingga kemudian mereka mengembangkan dari 'tauhid uluhiyah' atau tauhid ibadah dengan penamaan yang bid'ah dengan tujuan politik. Maka saya tidak berpendapat adanya istilah seperti ini. Kalau saja mereka mengucapkannya hanya dengan pengakuan tanpa mengamalkan konsekuensinya sebagaimana yang aku sebutkan tadi bahwa dia sudah termasuk dalam tauhid ibadah, tetapi kamu lihat mereka beribadah kepada Alloh  sesuai dengan apa yang mereka sepakati.
Dan jika dikatakan sebagaimana yang kita sebut dalam kisah tadi bahwa amal ini menyelisihi sunnah atau menyelisihi ucapan Rasul, dia berkata : "Ini Madzhabku". 'Alhakimiyah bagi Alloh  bukan berarti hanya menentang orang-orang kafir dan musyrik saja, akan tetapi juga menentang orang-orang yang melanggar hukum seperti orang-orang yang beribadah kepada Alloh  tanpa sesuai dengan apa yang datang dari Alloh  dalam kitab-Nya dan dari Nabi-Nya  dalam sunnahnya.
Inilah yang ada dalam benakku tentang jawaban terhadap pertanyaan seperti ini.
[Disalin dari Harian Al-Muslimun, Kuwait, no 639, Jum’at , 25 Dzulhijjah 1417H].

[Fatwa Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin]
Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin, anggota Haiah Kibaril Ulama dan
dosen di Fakultas Syari'ah dan Ushuluddien di kota Qashim, Saudi Arabia, ketika ditanya tentang permasalahan ini (Tauhid Hakimiyah), beliau menjawab :
"Barangsiapa menganggap bahwa ada bagian keempat dalam (pembagian) tauhid yang disebut 'tauhid hakimiyah', maka orang tersebut dianggap 'mubtadi'. Ini adalah pembagian yang diada-adakan dan timbul dari seorang 'jahil' yang tidak paham tentang perkara aqidah dan agama sedikitpun. Yang demikian itu karena 'al-hakimiyah' termasuk dalam tauhid 'rububiyah' dari sisi bahwasanya Alloh  menghukum dengan apa-apa yang Dia kehendaki. Ia juga termasuk dalam tauhid 'uluhiyah' (dari sisi), karena setiap hamba wajib beribadah kepada Alloh  dengan hukum Alloh . Dengan demikian 'hakimiyah' tidak keluar dari tiga jenis tauhid, yaitu tauhid 'rububiyyah' tauhid 'uluhiyah' dan tauhid 'asma wa sifat'. Ketika beliau ditanya tentang cara membantah mereka, beliau menjawab : "Saya membantah mereka dengan bertanya kepada mereka : Apa makna 'al-hakimiyah ?' Tidak lain mereka akan mengatakan : 'inil hukmu illa lillah (tidak ada hukum selain hukum Alloh ). Padahal ini adalah tauhid 'rububiyah' Alloh . Dia adalah 'Ar-Rabb' (Yang Memelihara), 'Al-Khaliq' (Yang Menciptakan), 'Al-Malik' (Yang Memiliki), 'Al-Mudabbir' (Yang Mengatur segala urusan). Adapun tentang maksud dan niat ucapan mereka ini, sesungguhnya kita tidak mengetahuinya, maka kita tidak bisa memastikannya.[Disalin dari Harian Al-Muslimun, Kuwait, no 639, Jum’at , 25 Dzulhijjah 1417H].

[Fatwa Hai'ah Kibaril Ulama' Saudi Arabia]
Syaikh Suhaib Hasan Abdul Ghafar, ketua Jum'iyatul Qur'an Karim di London, mengajukan pertanyaan kepada Hai'ah Kibaril Ulama' di kerajaan Saudi Arabia. Di antara pertanyaannya yaitu : "Beberapa juru dakwah mulai memperhatikan dan menganggap penting sebutan 'Tauhid Hakimiyah' sebagai tambahan dari tiga macam tauhid yang sudah dikenal. Apakah Tauhid Ini termasuk dalam pembagian tauhid yang tiga tersebut ? Haruskah kita menjadikannya bagian tersendiri, sehingga kita wajib mengutamakannya ? Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab telah mengutamakan Tauhid Uluhiyah pada masanya, ketika beliau melihat manusia sangat kurang dalam tauhid ini. Imam Ahmad pada masanya juga mengutamakan Tauhid Asma wa Sifat saat beliau melihat kenyataan bahwa manusia sangat kurang dalam sisi tauhid ini. Adapun sekarang, manusia mulai kurang dalam mengamalkan Tauhid Hakimiyah. Oleh karena itu wajibkah kita utamakan sisi tauhid ini. Benarkah ucapan seperti ini ?”
Hai'ah Kibaril Ulama menjawab pertanyaan tersebut sebagai berikut : Tauhid itu ada tiga macam yaitu ; Tauhid Rububiyah, Tauhid Uluhiyah dan Tauhid Asma wa Sifat. Tidak dijumpai di sana macam yang keempat.
Adapun berhukum dengan apa-apa yang Alloh  turunkan itu termasuk di dalam Tauhid Uluhiyah. Karena hal itu termasuk salah satu macam ibadah kepada Alloh . Setiap macam ibadah termasuk dalam Tauhid Uluhiyah. Oleh karena itu, menjadikan Hakimiyah sebagai macam tauhid tersendiri adalah perbuatan muhdats (bid'ah) yang tidak pernah diucapkan oleh seorang pun dari para imam sepengetahuan kami. Bahkan (-dari tiga macam pembagian tauhid di atas, red-) ada di antara para imam tersebut meringkas pembagian tauhid menjadi dua macam, yaitu Tauhid Al-Ilmi Al- I'Tiqadi (Tauhid dalam Pengenalan dan Penetapan) yaitu Tauhid Rububiyah dan Asma wa Sifat dan yang kedua Tauhid Al-Iradi Ath-Thalabi (Tauhid dalam Meminta dan Menunjukkan) yaitu Tauhid Uluhiyah. Dan sebagian mereka ada yang merincinya menjadi tiga macam sebagaimana telah lewat. Wallohu a'lam.. [Disalin dari Harian Al-Muslimun, Kuwait, no 639, Jum’at , 25 Dzulhijjah 1417H].

[Fatwa Syaikh Abdul Aziz bin Abdillah Alu Syaikh]
Syaikh Abdul Aziz bin Abdillah Alu Syaikh, anggota Haiah Kibarul Ulama di Saudi Arabia dan wakil (sekarang Ketua) Mufti' umum urusan fatwa, berkata tentang permaslahan ini. Ketika seorang muslim memperhatikan kitab Alloh  dan sunnah Rasul-Nya , dia akan mendapati bahwa tauhid ada tiga macam.
[1]. Tauhid rububiyah yang juga diyakini oleh kaum musyrikin seluruhnya dan tidak ada seorangpun yang menentangnya, yaitu keyakinan bahwa Alloh  adalah Rabb dan Khaliq (Pencipta) segala sesuatu. Semua jiwa diciptakan di atas tauhid ini. Bahkan Fir'aun yang berkata : 'Ana Rabbukumul A'la (Aku adalah Rabb kalian yang paling tinggi)' (sesungguhnya juga meyakini akan hal ini -pen). Alloh  berfirman tentang Fir'aun.
"Artinya : Mereka (Fir'aun dan kaummnya) mendustakan (risalah yang dibawa oleh Nabi Musa) karena kedhaliman (syirik) dan kesombongannya. Sedangkan jiwa-jiwa mereka meyakininya" [An-Naml : 14]
[2]. Apa yang ada dalam kitab Allah berupa penjelasan nama-nama Alloh  dan sifat-sifat-Nya dalam firman-Nya Ta'ala.
"Artinya : Alloh memiliki nama-nama yang paling baik, maka berdo'alah kalian kepada Alloh dengannya" [Al-A'raaf : 180]
Begitu pula sifat-sifat Allah di dalam kitab-Nya. Alloh  mensifati diri-Nya dengan beberapa sifat dan menamai diri-Nya dengan beberapa nama. Dan termasuk konsekwensi iman adalah 'engkau mengimani nama-nama Alloh  dan sifat-sifat-Nya'.
[3]. Tauhid yang didakwahkan oleh para rasul kepada umat-umat mereka adalah mengikhlaskan agama hanya untuk Alloh  dan mengesakan Alloh  dalam segala bentuk ibadah.
Adapun tentang 'al-hakimiyah', apabila yang dimaksud adalah berhukum dengan syariat Alloh , maka termasuk konsekwensi tauhid seorang hamba kepada Alloh  dan pemurnian ibadah hanya kepada Alloh  adalah berhukum dengan syari'at-Nya. Barang siapa meyakini bahwa Alloh  itu Satu, Esa, Tunggal, Tempat bergantung, tidak ada sesembahan yang berhak untuk diibadahi selain-Nya, maka wajib atasnya berhukum dengan syariat-Nya dan menerima agama-Nya serta tidak menolak sedikitpun dari perkara itu. Dengan demikian, termasuk beriman kepada Alloh  adalah berhukum dengan syari'at-Nya, melaksanakan perintah-perintah-Nya, meninggalkan dan menjauhi larangan-larangan-Nya serta berhukum dengan syari'at Alloh  dalam setiap keadaan. Jika demikian halnya maksud 'al-hakimiyah' berarti termasuk dalam tauhid uluhiyah dan tidak boleh menjadikan 'al-hakimiyah' sebagai bagian khusus yang dipisahkan karena ia termasuk bagian dalam tauhid ibadah. [Disalin dengan ringkas dari Harian Al-Muslimun, Kuwait, no 639, Jum’at , 25 Dzulhijjah 1417

HATI-HATILAH MEMILIH GURU


Sesungguhnya segala puji hanya milik Alloh; kami memuji-Nya, memohon pertolongan dan ampunan kepada-Nya. Kami berlindung kepada Alloh dari kejahatan jiwa-jiwa kami dan keburukan amal-amal kami. Barangsiapa yang diberi petunjuk oleh Alloh niscaya tiada yang dapat menyesatkannya. Dan barangsiapa yang disesatkan-Nya niscaya tiada yang dapat memberinya petunjuk. Aku bersaksi bahwa tiada sesembahan yang haq melainkan Alloh semata tanpa ada sekutu bagi-Nya. Dan aku bersaksi bahwa Muhammad adalah hamba dan Rosul utusan-Nya. Amma ba’du:
Wasiat dan Pelajaran Berharga Salafus Sholih:
Muhammad bin Sirin Rohimahulloh berkata: “Sesungguhnya ilmu ini adalah agama maka hendaklah kalian meneliti dari siapa kalian mengambil agama kalian.”
Beliau Rohimahulloh juga berkata: “Dahulu mereka (Salafus Sholih) tidak pernah menanyakan tentang isnad (rangkaian para penyampai hadits secara berantai sampai kepada sumbernya). Namun tatkala terjadi fitnah (ketidak jelasan), mereka berkata: “Sebutkan dari siapa saja kalian menukil.” Maka diteliti, jika sumbernya berasal dari Ahlus Sunnah mereka menerima haditsnya. Jika berasal dari Ahli Bid’ah mereka tidak mengambil haditsnya.”
Abuz Zinad Rohimahulloh berkata: “Di Madinah aku bertemu dengan seratus orang (ulama), semua mereka orang yang dipercaya namun hadits tidak diambil dari mereka. Sebab dikatakan bahwa mereka bukan ahlinya.”
Ketiga ucapan ini terdapat dalam Mukaddimah Shahih Muslim, Bab Bayan Annal Isnad Minad Diin.
Dari ketiga riwayat ini bisa diambil beberapa faidah di antaranya:
1. Telitinya para ulama Salaf dalam mengambil ilmu. Padahal mereka adalah para ulama besar. Zaman mereka dekat dengan zaman Rosululloh  dan para sahabat .
2. Mereka selalu mengambil ilmu dari ahlinya. Meskipun seseorang dikenal amanah, namun jika bukan ahlinya maka mereka tetap tidak mengambil ilmu darinya. Lantas bagaimana jika orang tersebut suka berbohong demi sampai kepada tujuannya? Atau mengorbankan Sunnah demi memuluskan niat yang ingin dicapainya?
Karena itu, berangkat dari wasiat dan pelajaran berharga para panutan kita ini kami katakan:
Hati-Hatilah Terhadap Hal-Hal Berikut:
A. Orang yang menggugurkan sebagian Sunnah untuk mencapai tujuan. Dengan alasan untuk berlemah lembut atau maslahat dakwah.
Contohnya:
- Toleran dalam membahas akidah, seperti tidak menyinggung masalah di mana Alloh.
- Ikut terseret dalam amalan bid’ah, seperti memimpin doa setelah selesai acara-acara dan menghadiri Maulid.
Ini menunjukkan kekurang fahamannya tentang Manhaj Dakwah. Adakah maslahat yang lebih besar daripada memperkuat akidah, terutama dalam masalah “Di mana Alloh” yang orang model ini dan kita sama-sama mengetahui penyimpangan mayoritas kaum muslimin di dalamnya? Padahal Rosululloh  menjadikan masalah ini sebagai tolak ukur keimanan seseorang, sebagaimana hadits yang sudah sering kita dengar dan baca. Tentang budak Mu’awiyah bin Hakam As-Sullami  yang ditanya tentang dua hal: Di mana Alloh dan siapakah Muhammad ? Ketika jawabannya Alloh di atas langit dan Muhammad adalah Rosul utusan Alloh, Rosululloh  bersabda:
أَعْتِقْهَا فَإِنَّهَا مُؤْمِنَةٌ
“Merdekakanlah dia, sesungguhnya dia wanita yang beriman.” (Shahih Muslim: 836).
Dan adakah mudharat yang lebih besar dari matinya sebuah Sunnah dan hidupnya sebuah Bid’ah? Jangan sampai ada yang mengganggap bahwa Hikmah dalam Dakwah menuntut untuk selalu toleransi selama itu mendatangkan maslahat dakwah, sebagaimana anggapan sebagian da’i yang bermodal semangat namun ilmu kurang. Sungguh ini merupakan cela dalam bermanhaj. Banyak sekali contoh perkara-perkara yang tidak ditolerir oleh Nabi . Silahkan baca tafsir surat Al-Kafirun. Kemudian ketika orang-orang Quraisy meminta supaya dikhususkan tempat duduk mereka dari kaum muslimin yang lemah-lemah, turunlah ayat 52 surat Al-An’am. Kemudian kisah Abu Bakr  yang tidak mentolerir orang-orang yang menolak untuk membayar zakat, padahal masa itu masa genting di mana banyak bangsa arab yang murtad. Namun ternyata Abu Bakr  tetap memutuskan untuk memerangi mereka. Dan masih banyak lagi contoh dalam Sejarah hidup Nabi  dan para Sahabat . Silahkan dikaji.
B. Enggan menamai diri Salafi dan memfatwakan agar tidak usah menggunakan istilah Salafi, dengan alasan bahwa hal tersebut bisa membuat orang lari dari dakwah. Atau merupakan salah satu bentuk pengkotakan umat.
Apakah istilah Salafi yang merupakan penisbatan diri kepada Salafus Sholih  merupakan suatu hal tercela?
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah Rohimahulloh berkata dalam Majmu’ Fatawa (IV/ 149): “Tidaklah tercela orang yang menampakkan Madzhab Salaf dan menisbatkan diri kepadanya. Bahkan wajib menerima hal itu darinya dengan ittifaq (kesepakatan ulama). Karena sesungguhnya tidaklah Madzhab Salaf melainkan kebenaran.”
Sesungguhnya penisbatan kepada Salaf perkara yang harus, agar jelas mana salafi yang haq dengan yang hanya berkedok di belakangnya. Agar tidak ada kesamaran bagi setiap orang yang mengikuti jejak Salaf. Jika madzhab-madzhab menyimpang dan kelompok-kelompok sesat dan menyesatkan bertaburan di mana-mana, maka Ahlul Haq (orang-orang yang berpegang kepada kebenaran) menyiarkan nisbat mereka kepada Salaf dengan tujuan untuk berlepas diri dari orang-orang yang menyelisihi mereka. Alloh ta’ala berfirman kepada Nabi-Nya  dan kaum mukminin: Jika mereka berpaling Maka Katakanlah kepada mereka: “Saksikanlah, bahwa Kami adalah orang-orang yang berserah diri (kepada Alloh).” (QS. Ali Imron: 64).
Jika orang yang seperti di atas pemikirannya adil, kenapa dia tidak menghapus istilah-istilah seperti Asy-Syafi’iyah, Al-Malikiyah, An-Nahdhiyah dst yang tentunya dia sendiri tidak mungkin mengatakan penisbatan mereka lebih mulia dari penisbatan kepada Salafus Sholih .
Kemudian perlu orang macam ini membuka mata, bahwa Dakwah Sunnah – walhamdulillah – telah menyebar dan telah dikenal orang. Maka masih takutkah Anda memperkenalkan diri wahai saudaraku?
C. Orang yang tidak menghargai orang-orang berilmu.
Rosululloh  bersabda:
لَيْسَ مِنَّا مَنْ لَمْ يُجِلَّ كَبِيْرَنَا وَيَرْحَمْ صَغِيْرَنَا وَيَعْرِفْ لِعَالِمِنَا حَقَّهُ
“Bukan termasuk golongan kami orang yang tidak menghormati orang tua di antara kami, tidak mengasihi anak kecil di antara kami dan tidak mengenal hak orang alim di antara kami.” (HR. Al-Hakim dengan sanad yang hasan. Takhrij At-Targhib: I/ 46).
‘Aun bin Abdillah Rohimahulloh berkata: “Dikatakan bahwa jika engkau bisa hendaklah engkau menjadi orang alim. Jika tidak bisa maka jadilah penuntut ilmu. Jika engkau bukan penuntut ilmu maka cintailah mereka (ulama dan penuntut ilmu). Jika engkau tidak mencintai mereka maka janganlah membenci mereka.” (Diriwayatkan oleh Abu Khaitsamah An-Nasa’i dalam Kitabul Ilmi, Atsar nomor 2).
Namun hadirlah segelintir orang di zaman ini memperkeruh kejernihan hubungan murid dengan gurunya. Mereka menyebut ustadz-ustadz dengan julukan-julukan yang buruk, atau sifat-sifat yang buruk, atau dengan mengatakan “Si Fulan” atau dalam bahasa lomboknya “Lo Fulan” atau dengan hanya menyebut namanya saja dengan maksud merendahkan. Padahal dari ustadz-ustadz tersebutlah orang-orang ini mengenal Sunnah. Wallohul Musta’an.
D. Orang yang menyerukan tatsabbut (meniliti) ketika ada seorang dari kalangan Ahlul Ilmi memberikan kritik ataupun memberikan peringatan kepada umat akan suatu kesalahan yang berkaitan dengan seseorang atau kelompok.
Ucapan ini (ajakan untuk tatsabbut) merupakan “Ucapan yang haq namun dimaksudkan untuk kebatilan.” Sebab ucapan ini mengandung beberapa kerusakan di antaranya:
1. Menolak berita yang disampaikan oleh seorang yang terpercaya meskipun dari kalangan Ahlul Ilmi. Padahal kaidah mengatakan: “Hukum asal seorang ulama adalah ‘adil (tidak fasik).” Yang artinya apa yang mereka sampaikan bisa dipercaya.berdasarkan sabda Rosululloh :
يَحْمِلُ هَذَا الدِّيْنَ مِنْ كُلِّ خَلْفٍ عُدُوْلُهُ
“Yang membawa agama ini dari setiap generasi adalah orang-orang yang adil (tidak fasik).” (Hadits hasan lighairihi riwayat Al-Uqaili dalam Dhu’afa’ul Kabir: I/ 26 dan Ibnu Abi Khuzaimah dalam Al-Jarh Wat Ta’dil: II/ 17. Lihat: Basha’ir Dzawis Syaraf).
2. Menolak Khabar Ahad (berita yang hanya disampaikan oleh satu orang saja).
3. Pada prakteknya, para penyeru tatsabbut ini tidak hanya menolak berita satu orang, namun berita banyak orang dari kalangan Ahlul Ilmi. Tidakkah ini minimal menunjukkan ketidak percayaan kepada Ahlul Ilmi? Lantas siapakah yang bisa dipercaya jika mereka tidak bisa dipercaya?
4. Menimbulkan keraguan dan ketidak percayaan umat terhadap para ulama dan penuntut ilmu yang menyuarakan kebenaran.
E. Orang yang menjauhi para ulama dan penuntut ilmu senior.
Rosululloh  bersabda:
اَلْبَرَكَةُ مَعَ اْلأَكَابِرِ
“Keberkahan itu bersama orang-orang tua.” (Mauridh Azh-Zham’an: I/ 473).
Akibatnya, dia mengambil ilmu bukan kepada ahlinya. Padahal Rosululloh  telah bersabda:
إِنَّ مِنْ أَشْرَاطِ السَّاعَةِ أَنْ يُلْتَمَسَ الْعِلْمُ عِنْدَ اْلأَصَاغِرِ
“Di antara tanda-tanda hari kiamat adalah menuntut ilmu dari ahli bid’ah.” (Silsilah Hadits Shahih nomor 695).
F. Orang yang tetap menjalin hubungan dengan sosok, lembaga, yayasan atau lainnya yang telah diingatkan oleh para Ahlul Ilmi untuk dihindari. Dan malah membelanya. Penyebab dari hal ini adalah point C, D dan E. Terlebih jika ada kesombongan dan niat yang buruk. Wal ‘iyaadzubillah.
G. Orang yang tidak pernah punya pendirian tetap. Kemarin menentang partai namun sekarang ikut berpartai ria. Kemarin mencela sebuah kelompok yang dikenal menyimpang, namun hari ini bergandengan tangan. Kesimpulannya, sikap berubah sesuai selera dan keadaan. Padahal salah satu tanda pengikut Manhaj Yang Haq adalah tegak di atas manhajnya, baik dalam keadaan senang, susah, giat, terpaksa ataupun ketika hak-haknya dilalaikan. Berbeda dengan orang yang tidak memiliki pijakan dan asas yang tetap ataupun permanen. Terkadang dia menyeleweng ketika susah, dan terkadang mendengar dan taat ketika lapang. Berdasarkan sabda Rosululloh :
عَلَيْكَ بِالسَّمْعِ وَ الطَّاعَةِ فِي عُسْرِكَ وَ يُسْرِكَ وَ مَنْشَطِكَ وَ مَكْرَهِكَ وَ أَثَرَةٍ عَلَيْكَ
“Wajib atasmu untuk mendengar dan taat (kepada penguasa). Baik pada masa sulitmu atau pada masa senangmu. Baik pada waktu engkau giat maupun tidak senang. Dan ketika pemimpinmu lebih mementingkan dirinya dan melupakan hakmu.” (Diriwayatkan oleh Muslim: 3419).
Seruan:
Alloh Ta’ala berfirman:
       
Maka Tanyakanlah olehmu kepada orang-orang yang berilmu, jika kamu tiada mengetahui. (QS. Al-Anbiya’: 7).
Maka bagi setiap orang yang belum mengetahui hakikat sebuah perkara yang berkaitan dengan agamanya, atau masih ragu di dalamnya, hendaklah dia segera bertanya kepada orang yang berilmu. Semoga Alloh memberikan kita semua taufik untuk membedakan kebenaran dengan kebatilan.
Daftar Pustaka:
1. Shahih Muslim Bisyarhin Nawawi.
2. Al-Ajwibah An-Nafi’ah ‘An As’ilatil Manahij Al-Jadidah. Syaikh Shalih Al-Fauzan.
3. At-Tatsabbut Fis Syari’ah Al-Islamiyah, Syaikh Rabi’ bin Hadi Al-Madkholi.
4. Maktabah Syamilah: Untuk pencarian hadits.
5. Dan rujukan-rujukan lainnya.










KETINGGIAN ALLOH DAN DALIL-DALILNYA

Segala puji bagi Alloh Rabb semesta alam dan semoga shalawat dan salam tercurahkan atas Nabi Muhammad, amma ba’du;


Ketinggian Alloh ('uluw) adalah salah satu sifat dzatiah (yaitu sifat yang tetap pada dzat Alloh). Sifat ini terbagi menjadi dua:
Pertama: Ketinggian sifat. Artinya: tidak ada satu sifat sempurnapun kecuali Alloh memi-liki sifat yang lebih tinggi dan sempurna darinya.
Kedua: Ketinggian dzat. Artinya bahwa Alloh tinggi dengan dzat-Nya di atas sege-nap makhluk-Nya.
Hal ini disyaratkan oleh Al-Qur'an, As-Sunnah, Ijma', akal dan fitrah.
Sesungguhnya Al-Qur'an dan As-Sunnah penuh dengan dalil yang secara jelas dan tegas menetapkan ketinggian Alloh dengan dzat-Nya di atas makhluk-Nya. Di antaranya:
Terkadang menyebutkan ketinggian, kebe-radaan di atas, istiwa' (bersemayam) di atas Asry dan keberadaan-Nya di atas langit. Se-perti firman-Nya:
Dan Alloh Maha Tinggi lagi Maha Besar. (Al-Baqarah: 255).
Sucikanlah nama Rabbmu Yang Maha Tinggi. (Al-A'laa: 1).
Mereka takut kepada Tuhan mereka yang di atas mereka. (An-Nahl: 50).
Alloh Yang Maha Pemurah, yang bersemayam di atas Arsy. (Thaahaa: 5).
Apakah kalian merasa aman terhadap Alloh yang di langit bahwa Dia akan menjungkir balikkan bumi bersama kalian? (Al-Mulk: 16).
Adapun dari As-Sunnah:
وَ الْعَرْشُ فَوْقَ ذَلِكَ وَ اللهُ فَوْقَ الْعَرْشِ
"Dan Arsy berada di atasnya, dan Alloh ber-ada diatas Arsy."
أَلاَ تَأْمَنُوْنِيْ وَ أَنَا أَمِيْنُ مَنْ فِي السَّمَاءِ
“Tidakkah kalian mempercayaiku aku se-dang aku adalah kepercayaan Alloh yang ada di atas langit?"
Terkadang menyebutkan naik dan terang-katnya sesuatu menuju-Nya, seperti::
Kepada-Nya lah naik perkataan-perkataan yang baik (Faathir: 10).
Malaikat-malaikat dan jibril naik (menghadap) kepada Alloh. (Al-Ma’arij: 4).
Tetapi, Alloh telah mengangkatnya (Isa) kepadaNya. (An-Nisa': 158).
Dan sabda Nabi :
وَ لاَ يَصْعَدُ إِلَى اللهِ إِلاَّ الطَّيِّبُ
“Tidaklah naik menuju Alloh kecuali hal yang baik.”
ثُمَّ يَعْرُجُ الَّذِيْنَ بَاتُوْا فِيْكُمْ إِلَى رَبِّهِمْ
“Kemudian mereka yang telah menginap di te ngah-tengah kalian naik menuju Rabb mereka.”
يُرْفَعُ إِلَيْهِ عَمَلُ اللَّيْلِ قَبْلَ عَمَلِ النَّهَارِ وَ عَمَلُ النَّهَارِ قَبْلَ عَمَلِ اللَّيْلِ
“Diangkat kepadaNya amalan malam hari sebelum amalan siang hari, dan amalan siang hari sebelum amalan malam hari.” [Diriwayatkan oleh Ahmad].
Terkadang menyebutkan turunnya sesuatu dariNya, dan lain-lain. Seperti firman-Nya:
(Al-Qur’an) Diturunkan dari Rabb semesta alam. (Al-Waqi'ah: 80).
Katakanlah: “Ruhul Qudus (jibril) menurunkan Al-Qur'an itu dari Rabbmu.” (An-Nahl: 102).
Dan sabda Nabi :
يَنْزِلُ رَبُّنَا إِلَى السَّمَاءِ الدُّنْيَا حِيْنَ يَبْقَى ثُلُثُ اللَّيْلِ اْلآخِرِ
“Rabb kami turun ke langit dunia ketika tersisa sepertiga malam terakhir.”
Dan masih banyak lagi ayat-ayat serta hadits-hadits lainnya yang mutawatir dari Nabi .
Adapun ijma': Sesungguhnya para sahabat, Tabi'in yang mengikuti mereka dengan ke baikan serta para imam Ahli Sunnah berse pakat bahwa Alloh Ta'ala berada di atas la ngit-Nya, di atas Arsy-Nya. Banyak sekali ucapan mereka tentang hal ini. Al-Auza'i ber kata: “Kami dan Tabi'in sepakat berkata: “Se-sungguhnya Alloh Ta'ala dzikruh berada di atas Arsy-Nya, dan kami mengimani sifat-si fat yang tercantum dalam As-Sunnah.”
Al-Auza'i mengucapkan hal ini setelah mun culnya Mazhab Jahmiyah yang meniadakan sifat Alloh dan ketinggian-Nya; agar orang-orang mengetahui bahwa Mazhab Salaf ber lawanan dengan Mazhab Jahmiyah.
Tidak seorangpun dari kalangan Salaf pernah mengatakan bahwa Alloh tidak di atas langit. Tidak pula mengatakan bahwa Alloh dengan dzat-Nya berada di setiap tempat. Tidak pula mengatakan bahwa semua tempat dibanding kan dengan Alloh adalah sama. Tidak pula mengatakan bahwa Alloh tidak berada di da-lam atau luar alam, tidak bersambung dan ti-dak terputus. Dan tidak pula mengatakan bahwasanya tidak diperbolehkan mengi-syaratkan dengan anggota tubuh ke arah Alloh, bahkan sebaliknya makhluk yang pa-ling mengenal-Nya (Rasulullah) telah mengi-syaratkan ke arah-Nya ketika Haji Wada' pada hari Arafah. Beliau mengangkat jari te lunjuknya ke arah langit dan berkata: "Ya Alloh, saksikanlah." Mempersaksikan Rabb-nya atas ikrar umatnya bahwa dia telah me-nyampaikan risalah.
Adapun akal: Sesungguhnya setiap akal se-hat mingisyaratkan wajibnya ketinggian Alloh dengan dzat-Nya di atas makhluk-Nya, dari dua sisi:
Pertama: 'Uluw (Tinggi) adalah sifat sem purna, dan Alloh Ta'aala wajib memiliki ke-sempurnaan mutlak dari segala segi, sehing-ga wajib menetapkan sifat 'uluw bagi Alloh.
Kedua: Lawan dari tinggi adalah rendah, dan rendah adalah sifat kekurangan, sedang Alloh suci dari segala sifat kekurangan, se-hingga wajib mensucikan-Nya dari sifat ren-dah dan menetapkan lawannya yaitu tinggi.
Adapun fitrah: Sesungguhnya Alloh Ta'aala memberi fitrah kepada seluruh makhluk, baik yang arab maupun non arab, bahkan binatang, untuk beriman kepada-Nya dan mengimani ketinggian-Nya. Tidak seorang hambapun menghaturkan do'a atau beri badah kepada Rabbnya melainkan dia mera-sakan adanya keharusan untuk memohon ke atas dan menghadapkan hatinya menuju la-ngit, tidak melirik kekiri dan ke kanan. Tidaklah menyimpang dari konsekuensi fit-rah ini melainkan orang yang dipalingkan oleh syaitan dan hawa nafsu.
Pernah Abul Ma'ali Al-Juwaini berkata da-lam majlisnya: "Alloh telah ada dan tidak ada sesuatu apapun, dan Dia sekarang tetap berada di atas tempat-Nya yang dulu." (Dia mengungkapkan pengingkaran atas berse-mayamnya Alloh di atas Arsy). Maka Abu Ja'far Al-Hamadani berkata: "Tidak usah me-nyinggung Arsy – karena hal itu ditetapkan oleh nash – tapi tolong beritahu kami tentang keharusan yang kami rasakan dalam hati. Tidak ada seorang berakalpun berkata: 'Yaa Alloh' kecuali dia merasakan dalam hatinya keharusan untuk memohon ke atas, tidak melirik ke kiri atau ke kanan. Bagaimana kami menepis hal ini?" Abul Ma'ali lantas berseru sambil menampar wajahnya sendiri, katanya: "Al-Hamadani telah membuatku bi ngung, Al-Hamadani membuatku bingung.”
Adapun firman Alloh Ta'ala yang berbunyi:
         
Dan Dia-lah Alloh, baik di langit maupun di bumi; Dia mengetahui apa yang kalian rahasiakan dan apa yang kalian lahirkan. (Al-An'am: 3).
Dan firman-Nya:
            
Dan Dia-lah Ilah di langit dan Ilah di bumi, dan Dia-lah Yang Maha Bijaksana lagi Maha Mengetahui. (Az-Zukhruf: 84).
(Kedua ayat ini) tidaklah memiliki makna bahwa Alloh berada di bumi sebagaimana Dia berada di atas langit. Barang siapa me-miliki anggapan seperti ini atau menukilnya dari salah seorang Salaf maka dia telah keliru dengan anggapannya dan berdusta dengan penukilannya.
Makna ayat pertama adalah: Bahwa Alloh di sembah di langit dan di bumi. Seluruh peng huni langit dan bumi menghamba kepada-Nya dan menyembah-Nya. Atau bisa pula dimaknakan: Alloh berada di atas langit, ke-mudian Dia memulai kalimat baru dengan firman-Nya:
Dan di bumi Dia mengetahui apa yang kalian sembunyikan dan apa yang kalian lahirkan. (Al-An'am: 3).
Artinya: Alloh mengetahui apa yang kalian sembunyikan dan apa yang kalian tampakkan di bumi, sesungguhnya keting-gian-Nya di atas langit tidaklah mengha langi-Nya untuk mengetahui apa yang ka-lian sembunyikan dan apa yang tampakkan di bumi.
Adapun makna ayat kedua: Bahwa Alloh adalah Ilah (yang disembah) di langit dan Ilah di bumi. Uluhiyah-Nya tetap di langit dan di bumi, meskipun Dia berada di atas la ngit. Sama artinya dengan ucapan seseorang: "Fulan adalah amir (pemimpin) di Makkah dan amir di Madinah; yaitu kepemim pinannya tetap di dua daerah tersebut, meski pun dia berada di salah satu dari kedua dae rah tersebut. Ini adalah ungkapan yang be-nar, baik di timbang dari segi bahasa mau pun ‘urfi. WAllohu a'lam.
Turunnya Alloh Ke Langit Dunia:
Dalam Shahihain, dari Abu Hurairah  di sebutkan bahwa Nabi  bersabda:
يَنْزِلُ رَبُّنَا إِلَى السَّمَاءِ الدُّنْيَا حِيْنَ يَبْقَى ثُلُثُ اللَّيْلِ اْلآخِرِ فَيَقُوْلُ مَنْ يَدْعُوْنِيْ فَأَسْتَجِيْبَ لَهُ مَنْ يَسْأَلُنِيْ فَأُعْطِيَهُ مَنْ يَسْتَغْفِرُنِيْ فَأَغْفِرَ لَهُ
"Rabb kami turun ke langit dunia ketika sepertiga malam terkhir dan berkata "Siapakah yang berdoa kepada-Ku niscaya Aku kabulkan? Siapakah yang meminta pada-Ku niscaya Aku penuhi? Siapakah yang memohon ampun kepada-Ku niscaya Aku ampuni?"
Hadits ini telah diriwayatkan dari Nabi  oleh sekitar dua puluh delapan orang sha-habat  dan Ahlus Sunnah Wal Jama’ah se-pakat untuk menerimanya.
Turunnya Alloh ke langit dunia adalah salah satu sifat fi'liyah yang berhubungan dengan kehendak dan hikmah-Nya. Turunnya Alloh adalah hakikat (bukan majaz), sesuai dengan keagungan dan kebesaran-Nya. Tidak dibe-narkan merubah maknanya menjadi: Pe rintah-Nya turun, rahmat-Nya turun atau sa-lah satu dan malaikat-Nya turun. Hal ini ba til dilihat dari beberapa sisi:
Pertama: Penafsiran itu menyelisihi konteks hadist, karena Nabi  menyadarkan "Turun" kepada Alloh. Sesungguhnya sesuatu itu ha nya disandarkan kepada pelaku yang me nimbulkannya atau melakukannya. Sehingga jika dialihkan kepada selain pelakunya, hal tersebut merupakan penyelewengan yang menyelisisi hukum asal.
Kedua: Menafsirkannya dengan makna ter sebut membuat kesimpulan bahwa ada ba gian yang terbuang dari hadits tersebut. Se dang hukum asalnya tidak ada yang ter buang alias lengkap.
Ketiga: Turunnya perintah-Nya atau rahmat-Nya tidak terbatas pada bagian malam ter sebut saja, namun perintah dan rahmat-Nya turun setiap waktu.
Jika ada yang berkata: Maksudnya adalah pe rintah khusus dan rahmat khusus, sehingga tidak mesti turun setiap waktu.
Jawabannya: Baik, anggap saja asumsi dan ta’wil ini benar. Namun coba perhatikan, hadits di atas mengisyaratkan bahwa batas turunnya adalah langit dunia (langit per-tama), lantas faidah apakah yang kita dapat kan dari turunnya rahmat ke langit dunia sampai-sampai Nabi  mengabarkannya ke pada kita?!
Keempat: Hadist di atas mengindikasikan bahwa yang turun tersebut berucap: "Siapa yang berdo'a kepada-Ku akan Aku penuhi? Siapa yang memohon ampun kepada-Ku akan Aku ampuni?” Hal ini tidak mungkin di ucapakan oleh seorangpun kecuali Alloh .
Menggabungkan Antara Nash-Nash Ten tang Ketinggian Alloh Dengan Dzat-Nya Dengan Nash-Nash Tentang Turunnya Alloh Ke Langit Dunia:
Ketinggian Alloh adalah salah sifat dzatiyah-Nya yang tidak mungkin terpisah kan dari-Nya. Sifat ini tidaklah menafikan kandungan nash-nash tentang turunnya Alloh ke langit dunia. Penyatuan antara ke-dua sifat ini dapat dilakukan sebagai berikut:
Pertama: Bahwa nash-nash (Al-Qur'an dan As-Sunnah)lah yang menyatukan antara keduanya, sedang nash-nash (Al-Qur'an dan As-Sunnah) tidaklah mengandung suatu hal yang mustahil.
Kedua: Bahwasanya Alloh, tidak ada suatu apapun yang menyamai-Nya dalam seluruh sifat-Nya, sehingga turunnya Alloh tidak sama seperti turunnya makhluk. Karenanya tidak bisa dikatakan bahwa hal ini menafikan ketinggian-Nya serta membatalkannya. Walllaahu a'alam.
(Dinukil dari: Fathu Rabbil Bariyyah Bitalkhis Al-Hamawiyah karya Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin rahimahulloh).





MENGHIDUPKAN KASIH SAYANG…


Ungkapan rasa gembira dan tasbih patut kita utarakan dengan semakin banyaknya saudara-saudara kita yang mulai kembali berusaha meniti jalan kebenaran. Semakin membanjirnya majelis-majelis ilmu yang kita lihat di beberapa tempat adalah salah satu bukti nyata semakin banyaknya para penuntut ilmu.
Mereka para penuntut ilmu itu berusaha terus-menerus dan begitu semangatnya dalam menuntut ilmu. Akan tetapi hal yang perlu kita ingatkan adalah agar mereka bersemangat juga dalam mengamalkannya, karena pada hari ini betapa banyak sekali orang yang berdakwah akan tetapi sangat sedikit sekali orang yang benar-benar mancurahkan perhatian untuk mengamalkannya. Salah satu contoh ada segelintir orang yang dengan bermodalkan semangat untuk masuk ke sebuah sekolah dia tidak malu untuk memalsukan berkas-berkasnya dengan merubah tanggal lahir menjadi lebih muda agar memenuhi syarat-syarat penerimaan siswa/ mahasiswa.
Dari kenyataan yang ada ini, ada hal yang perlu kami tekankan dan ingatkan terus menerus, khususnya pada diri kami dan saudara-saudara kami agar kita jangan melupakan suatu hal yang penting dan merupakan kewajiban, yaitu mengamalkan ilmu disamping kita mempelajari dan mendakwahkannya, yakni jangan sampai semangat menuntut ilmu dan berdakwah dapat mengalahkan semangat dalam mengamalkan ilmu, karena Alloh  telah mengancam orang-orang yang berilmu dan berdakwah akan tetapi tidak mengamalkannya.
Alloh  berfirman:
                  
“Wahai orang-orang yang beriman, kenapakah kamu mengatakan sesuatu yang tidak kamu kerjakan? Amat besar kebencian di sisi Allah bahwa kamu mengatakan apa-apa
yang tidak kamu kerjakan”. [QS. Ash-Shof: 2].
Berpijak dari kenyataan ini, maka kita juga patut bersedih karena sebagian para penuntut ilmu kita jumpai sudah bertahun-tahun menuntut ilmu akan tetapi mereka bakhil untuk meneteskan air matanya karena Alloh , mereka bakhil dalam mengamalkan ilmunya, mereka bakhil untuk mengunjungi saudaranya, bahkan hal yang sangat menyedihkan ketika kita akan bawakan perkataan para salaf tentang ditinggalkannya sunnah-sunnah mereka langsung menolak tidak mau mendengar bahkan menolak untuk berkunjung. Maka berhati-hatilah orang yang meremehkan dan menyelisihi syari’at akan ditimpa oleh fitnah dan adzab yang pedih.
Alloh  berfirman:
            
“Maka hendaklah orang-orang yang menyalahi perintah-Nya takut akan ditimpa cobaan atau ditimpa azab yang pedih”. [QS. An-Nur: 63].
Nabi  pernah bersabda tatkala menyebutkan tentang larangan meremehkan sesuatupun dari syari’at walaupun hal yang kita anggap kecil di mata kita.
عن أَبِى ذَرٍّ قَالَ قَالَ لِىَ النَّبِىُّ -صلى الله عليه وسلم- (( لاَ تَحْقِرَنَّ مِنَ الْمَعْرُوفِ شَيْئًا وَلَوْ أَنْ تَلْقَى أَخَاكَ بِوَجْهٍ طَلْقٍ )).
Dari Abu Dzar berkata; Nabi  pernah berkata kepadaku: “Janganlah kamu meremehkan sesuatupun dari kebaikan, walaupun dengan kamu menjumpai saudaramu dengan wajah yang ceria”. [HR. Muslim 8/37 no. 6857, At-Tirmidzi 4/274 no. 1833, Ahmad 3/344 no. 14751, dan dishohihkan oleh Syaikh Al-Albani di dalam Shohih Al-Jami’ no. 7634].
Bukankah kita pernah mendengar sebuah pepatah yang mengatakan Tak kenal maka tak sayang ? maka demikianlah hal dan kenyataannya apabila kita tidak saling kenal antara satu dan lainnya. Bukankah Alloh  dan RasulNya  menganjurkan kepada kita semua untuk saling berkasih sayang? Berkasih sayang kepada siapa saja; kepada orang Islam ataupun kafir, yang berilmu ataupun awam, kaya ataupun miskin, bahkan kepada hewanpun seperti kambing kita dianjurkan untuk mengasihinya.
Nabi  bersabda:
)) وَ الشَّاةُ إِنْ رَحِمْتَها رَحِمَكَ اللهُ ((
“Seekor kambing apabila kamu menyayanginya, maka Alloh akan menyayangimu”. [HR. Bukhori di dalam Al-Adabul Mufrod no. 373, Ath-Thobroni di dalam Al-Mu’jamus Shogir hal. 60, Ahmad 3/436, 5/34, Al-Hakim 3/586, Ibnu ‘Adi di dalam Al-Kamil 259/2, Abu Nu’aim di dalam Al-Hilyah 2/302, dan Ibnu ‘Asakir 6/257/1. dishohihkan oleh Syaikh Al-Albani di dalam Silsilah Al-Ahadits Ash-Shohihah 1/33 no. 26].
Allohumma, perhatikanlah hadits di atas, alangkah luas dan dalamnya ilmu di dalam Islam ini dan alangkah banyaknya pahala di dalamnya. Maka seorang Ahlussunnah ketika mereka mendengar sebuah hadits, mereka berusaha untuk mengamalkan sesuai kemampuannya dan tidak meremehkan sebuah haditspun ketika riwayat dan tafsirnya telah benar dan jelas serta tidak adanya pertentangan dengan riwayat yang lain.
Maka apabila kasih sayang itu tidak dapat terwujud kecuali dengan kita menyambung tali silaturahmi maka wajib hukumnya untuk kita berkunjung kepada saudara kita.
Para ulama mengatakan:
))مَا لاَ يَتِمُّ الوَاجِبُ إِلاَّ بِهِ فَهُوَ وَاجِبٌ((
“Apabila suatu yang wajib tidak dapat terwujud(sempurna) kecuali dengan suatu cara, maka cara itu dihukumi wajib pula”. [dilihat di dalam Irsyadul Fuhul ila Tahqiqil haq min ‘Ilmil Ushul 2/194 oleh Imam As-Syaukani, Al-Asybah Wan Nazhoir 2/90 oleh Imam As-Subki, Al-Bahrul Muhith 1/192 oleh Az-Zarkasyi, Risalah Jami’ah fi Ushulil Fiqh 1/18 oleh Syaikh Abdur Rahman As-Sa’di, At-Taqlid wal Ifta` wal Istifta` 1/155 oleh Syaikh Abdul Aziz Ar-Rojihi, dll]
Ketahuilah dan ingatlah bahwa Nabi kita yang mulia  pernah mengeluarkan sebuah perkataan yang patut kita camkan.
عَنْ أَبِى هُرَيْرَةَ عَنِ النَّبِىِّ -صلى الله عليه وسلم- )) أَنَّ رَجُلاً زَارَ أَخًا لَهُ فِى قَرْيَةٍ أُخْرَى فَأَرْصَدَ اللَّهُ لَهُ عَلَى مَدْرَجَتِهِ مَلَكًا فَلَمَّا أَتَى عَلَيْهِ قَالَ أَيْنَ تُرِيدُ قَالَ أُرِيدُ أَخًا لِى فِى هَذِهِ الْقَرْيَةِ. قَالَ هَلْ لَكَ عَلَيْهِ مِنْ نِعْمَةٍ تَرُبُّهَا قَالَ لاَ غَيْرَ أَنِّى أَحْبَبْتُهُ فِى اللَّهِ عَزَّ وَجَلَّ. قَالَ فَإِنِّى رَسُولُ اللَّهِ إِلَيْكَ بِأَنَّ اللَّهَ قَدْ أَحَبَّكَ كَمَا أَحْبَبْتَهُ فِيهِ ((.
Dari Abu Hurairoh , dari Nabi : “Bahwasanya ada seorang yang mengunjungi saudaranya di sebuah desa yang lain, maka Alloh mengutus seorang malaikat kepadanya di jalannya. Maka malaikat itu datang kepadanya dan berkata; ‘hendak kemanakah kamu?’ Orang itu menjawab; ‘Saya hendak menuju saudaraku di desa ini. Malaikat berkata; ‘apakah kamu memiliki suatu kesenangan untuknya yang kamu jaga?’ orang itu berkata; ‘Tidak, melainkan Saya hanya mencintainya karena Alloh ‘Azza wa Jalla. Malaikat itu berkata; ‘Ketahuilah bahwasanya Saya ini diutus oleh Alloh untuk menemuimu dan bahwasanya Alloh sungguh mencintaimu sebagaimana kamu mencintai saudaramu”. [HR. Muslim 8/12 no. 6714, Ahmad 2/408 no. 9280, Ibnu Hibban 2/331 no. 572. Dishohihkan oleh Syaikh Al-Albani di dalam Shohihut Targib wat Tarhib 2/348 no. 2577 dan di dalam Misykatul Mashobih 3/85 no. 5007].
Maka dari hadits ini dapat kita ambil pelajaran diantaranya; pertama, bahwasanya disyari’atkannya bagi kita untuk berziarah mengunjungi teman atau saudara, kedua; ikhlas di dalam berkunjung kepada teman atau saudara semata-mata karena Alloh  dan bukan untuk kepentingan-kepentingan dunia lainnya, karena kita jumpai sebagian para penuntut ilmu mereka mengadakan safari dakwah untuk suatu keperluan bukan tujuan untuk berziarah.
Alloh  berfirman di dalam hadits qudsi:
(( وَجَبَتْ مَحَبَّتِي لِلْمُتَحَابِّيْنَ فِيَّ ، وَالمُتَجَالِسِيْنَ فِيَّ ، وَالمُتَبَاذِلِيْنَ فِيَّ ،وَالمُتَزَاوِرِيْنَ فِيَّ ))
“KecintaanKu wajib diperoleh oleh; orang-orang yang saling mencintai karena Aku, orang-orang yang duduk bermajelis karena Aku, orang-orang yang saling berkorban(dengan jiwa raganya) karena Aku, dan orang-orang yang saling mengunjungi karena Aku”. [HR. Ahmad 5/233/274, Ath-Thobroni di dalam Al-Mu’jamul Kabir 20/80,81, Al-Hakim Di dalam Al-Mustadrok 4/186, Ibnu Hibban di dalam Shohih nya 2/335 no. 575. Dishohihkan oleh Syaikh Al-Albani di dalam Shohih Al-Jami’ no. 4331]
Maka seharusnya bagi seorang yang benar-benar beriman kepada Alloh  dan hari akhir memperhatikan hal yang sangat mulia ini dengan menyisihkan sedikit kesibukannya dan menjauhkan diri dari kebakhilan akan waktunya maka dari itu kalau tidak mampu mengunjungi saudara setiap tiga hari, maka hendaklah setiap pekan, atau setiap bulan, setiap tahun dan seterusnya atau apabila tidak bisa maka sekali seumur hidup atau kalau tidak bisa maka tunggulah sampai malaikat maut mengunjungimu untuk menjemput ajalmu.
Perhatikanlah para salaf mereka dapat menyisihkan waktu untuk berkunjung kepada saudaranya walaupun harus menempuh jarak yang jauh sekalipun karena boleh jadi kebaikan yang ada pada saudaranya belum didengarnya bahkan sampai-sampai ada sahabat yang jika belum mendengarkan hadits atau kebaikan dari saudaranya mengatakan; “Saya khawatir apabila saya meninggal lebih dahulu atau kamu yang meninggal”. [dilihat di dalam Al-Adabul Mufrod 1/337 oleh Imam Bukhori]
Sebuah contoh tauladan sebagaimana yang dilakukan oleh Imam besar, Imam yang tawadhu’, Imam Ahlissunah, Imam Ahmad tatkala safar dari Baghdad menuju daerah yang jauh bernama Ar-Ray hanya sekedar untuk ingin mengunjungi seseorang yang shaleh, zuhud, dan mengikuti kebenaran.
Hendaklah kita saling menyambung komunikasi dan tali silaturahmi dengan memperhatikan adab-adab yang telah diajarkan oleh Islam serta menjauhkan hal-hal yang dapat menimbulkan adanya permusuhan, memutus tali persaudaraan, kebencian, dan saling membelakangi.
Nabi  bersabda:
((لاَ تُقَاطِعُوا، وَلاَ تَدَابَرُوا، وَلاَ تَبَاغَضُوا، وَلاَ تَحَاسَدُوا، وَكُونُوا إِخْوَانًا كَمَا أَمَرَكُمُ اللهُ((
“Janganlah kalian saling memutus, janganlah kalian saling membelakangi, janganlah kalian saling membenci, janganlah kalian dengki, dan jadilah kalian bersaudara sebagaimana yang diperintahkan oleh Alloh”. [HR. Muslim 2563].
Wallohu a’lam. (Riza Firmansyah Abu Abdillah).






HUKUM SEPUTAR KURBAN


Sesungguhnya segala puji hanya milik Alloh, kami memuji-Nya dan memohon pertolongan serta ampunan kepada-Nya. Kami berlindung kepada Alloh dari kejahatan jiwa kami dan keburukan amal kami. Barangsiapa yang diberikan petunjuk oleh Alloh maka tiada seorangpun bisa menyesatkannya. Dan barangsiapa yang disesatkan-Nya maka tiada seorangpun yang bisa memberinya petunjuk hidayah. Aku bersaksi bahwa tiada sesembahan yang haq melainkan Alloh semata tanpa ada sekutu bagi-Nya. Dan aku bersaksi bahwa Muhammad adalah hamba dan Rosul utusan-Nya.
‘Amma Ba’du: Sesungguhnya mengunjungi Baitulloh dalam rangka menunaikan ibadah haji merupakan impian dan harapan setiap muslim. Namun, tentunya tidak setiap muslim memiliki kemampuan ataupun kesempatan untuk menunaikan salah satu rukun Islam yang agung ini. Oleh karena itulah Alloh Yang Maha Rahmat, menetapkan beragam ibadah yang bisa dipilih oleh hamba-hamba-Nya. Jika tidak bisa yang satu maka bisa melakukan yang lain yang ia mampu. Sesungguhnya Alloh tidaklah lupa. Tak ketinggalan ibadah di salah satu bulan Alloh yang suci ini, yaitu bulan Dzul Hijjah. Bulan yang disyari’atkan padanya ibadah haji. Alloh syari’atkan padanya amalan-amalan yang bisa dilakukan oleh orang-orang yang tidak berhaji. Berikut ini secara ringkas kami sebutkan amalan-amalan di bulan Dzul Hijjah:
1- Anjuran untuk beramal shalih pada sepuluh hari bulan Dzul Hijjah dan keutamaannya:
Rosululloh Shallallahu 'Alaihi Wasallam bersabda:
مَا مِنْ أَيَّامٍ اَلْعَمَلُ الصَّالِحُ فِيْهَا أَحَبُّ إِلَى اللهِ عَزَّ وَ جَلَّ مِنْ هَذِهِ اْلأَيَّامِ يَعْنِي أَيَّامَ الْعَشْر. قَالُوْا: يَا رَسُوْلَ اللهِ وَ لاَ الْجِهَاد فِي سَبِيْلِ الله؟ قَالَ: وَ لاَ الْجِهَاد فِي سَبِيْلِ الله إِلاَّ رَجُلٌ خَرَجَ بِنَفْسِهِ وَ مَالِهِ ثُمَّ لَمْ يَرْجِعْ مِنْ ذَلِكَ بِشَيْء
“Tidak ada hari-hari yang lebih dicintai oleh Alloh azza wa jalla untuk melakukan amal sholih padanya melebihi hari-hari ini.” Yaitu sepuluh hari pertama bulan Dzul Hijjah. Para sahabat bertanya: “Ya Rosululloh, biarpun jihad fi sabilillah?” Beliau menjawab: “Biarpun Jihad fi sabilillah. Kecuali jihad seseorang dengan harta dan jiwanya kemudian dia tidak kembali dengan sedikitpun darinya.” (Hadits shahih riwayat Bukhari dan lainnya dari hadits Ibnu Abbas Radhiyallahu 'Anhu. Silahkan lihat At-Targhib Wat Tarhib hadits nomor 1691).
2- Puasa di Hari Arafah (tanggal 9 Dzul Hijjah):
Rosululloh Shallallahu 'Alaihi Wasallam bersabda:
مَنْ صَامَ يَوْمَ عَرَفَة غُفِرَ لَهُ سَنَة أَمَامَه وَ سَنَة خَلْفَه
“Barangsiapa yang puasa pada hari Arofah maka diampuni baginya dosanya satu tahun yang akan datang dan satu tahun yang telah lewat.” (Hadits shohi lighoirihi diriwayatkan oleh Ath-Thoyalisi dari hadits Abu Sa’id Al-Khudri. Silahkan lihat At-Targhib Wat Tarhib hadits nomor 1479).
3- Berkurban:
Hukum Berkurban: Berkurban hukumnya sunnah, tidak wajib. Demikian Madzhab Jumhur dari para sahabat dan ulama’ seperti Malik, Syafi’i, Ahmad dan lainnya. Bahkan tidak ada riwayat yang shohih dari para sahabat bahwa berkurban itu wajib, yang ada hanya sebaliknya bahwa berkurban itu sunnah. Sebagaimana riwayat Abu Suraihah dia berkata: “Aku melihat Abu Bakr dan Umar tidak berkurban.” Dan Abu Mas’ud Al-Anshori Radhiyallahu 'Anhu berkata: “Aku benar-benar tidak berkurban padahal aku mampu. Sebab aku khawatir tetangga-tetanggaku menganggapnya wajib.” (Keduanya diriwayatkan oleh Abdur Rozzaq dan Baihaqi dengan sanad yang shahih).
Hewan-Hewan Yang Sah Untuk Dikurban:
1- Unta yang berumur lima tahun masuk tahun keenam. Satu ekor unta boleh untuk tujuh orang:
Rosululloh Shallallahu 'Alaihi Wasallam bersabda:
لاَ تَذْبَحُوا إِلاَّ مُسِنَّة إِلاَّ أَنْ يَعْسُر عَلَيْكُم فَتَذْبَحُوا جَذْعَة مِنَ الضَّأْن
“Jangan berkurban kecuali hewan (unta, sapi atau kambing) yang sudah gugur salah satu gigi depannya yang berjumlah empat. Jika kalian tidak bisa, maka boleh berkurban domba yang belum genap berumur satu tahun” (diriwayatkan oleh Muslim dari hadits Jabir Radhiyallahu 'Anhu nomor 1963). Pada unta, yang demikian itu berumur 5 tahun masuk tahun keenam.
Jabir bin Abdillah Radhiyallahu 'Anhu berkata: “Kami pernah berkurban bersama Rosululloh Shallallahu 'Alaihi Wasallam pada tahun Hudaibiyah sesekor unta untuk tujuh orang dan seekor sapi untuk tujuh orang.” (hadits riwayat Muslim nomor 1318).
2- Sapi yang berumur dua tahun masuk tahun ketiga, karena pada umur inilah salah satu gigi depannya gugur sebagaimana disyaratkan oleh hadits di atas. Dan boleh pula satu ekor sapi untuk tujuh orang sebagaimana hadits Jabir di atas.
3- Kambing yang berumur satu tahun masuk tahun kedua. Namun jika kesulitan mendapatkannya, boleh yang berumur enam bulan. Sebagaimana hadits Jabir di atas.
Peringatan:
Seekor kambing hanyalah untuk satu orang, tidak seperti pada unta dan sapi diperbolehkan untuk tujuh orang berkurban satu ekor sapi atau unta. Jadi apa yang dilakukan oleh sebagian kalangan, yaitu menarik iuran dari anak-anak didik mereka untuk membeli kambing kurban dengan alasan mendidik mereka untuk berkurban adalah tidak benar dan tidab bisa dihukumi sebagai hewan kurban karena bertentangan dengan dalil yang ada. Wallohu a’lam.
Cacat Yang Tidak Boleh Ada Pada Hewan Kurban dan Membuatnya Tidak Sah:
1- Buta sebelah yang jelas-jelas butanya. Bukan sekedar juling.
2- Sakit yang jelas-jelas sakitnya. Yang benar-benar mempengaruhi keseimbangan badan binatang tersebut. Sehingga tidak mau makan dan badannya menjadi lemah.
3- Pincang yang jelas-jelas pincangnya sehingga jalannya tidak seimbang.
4- Lemah atau kurus atau biasa disebut kering yang tidak lagi bersumsum. Sebab biasanya umurnya yang seperti ini umurnya sudah tua dan dagingnya tidak enak.
Semua cacat di atas disebutkan dalam hadits Barro’ bin ‘Azib Radhiyallahu 'Anhu bahwa Nabi Shallallahu 'Alaihi Wasallam bersabda:
أَرْبَعَةٌ لاَ يُجْزِيْنَ فِي اْلأَضَاحِي اَلْعَوْرَاء الْبَيِّن عَوْرُهَا وَ الْمَرِيْضَة الْبَيِّن مَرَضُهَا وَ الْعَرْجَاء الْبَيِّن ظَلْعُها وَ الْكَسِيْرَة الَّتِي لاَ تَنْقِي
“Empat hewan yang tidak sah untuk dikurban: Buta sebelah yang jelas-jelas butanya. Sakit yang jelas-jelas sakitnya. Pincang yang jelas-jelas pincangnya. Dan lemah atau kurus yang jelas-jelas lemah atau kurusnya.” (Shohih diriiwayatkan oleh Nasa’i: VII/ 215, Ibnu Majah: 3144 dan Ahmad: IV/ 284).
Cacat Yang Dimakruhkan Namun Tetap Sah Untuk Dikurban:
1- Telinganya terpotong semua atau sebagian.
2- Tanduknya patah atau sebagian besarnya.
Jika ada pada hewan kurban, maka kurbannya tetap sah karena Rosululloh membatasi hewan kurban yang tidak sah hanya pada empat hewan yang memiliki salah satu dari empat sifat di atas.
Cacat Yang Tidak Berpengaruh. Sebab tidak ada larangan, namun hanya mengurangi kesempurnaannya. Seperti tidak punya gigi, ekor terpotong, hidung terpotong dan lainnya.
Sifat Hewan Kurban Yang Sempurna:
1- Dimustahabkan memilih hewan kurban yang paling gemuk dan paling selamat dari cacat-cacat di atas.
2- Hewan kurban yang paling afdhol adalah Unta kemudian Sapi kemudian Kambing.
3- Hewan yang berbulu putih kemudian berbulu belang kemudian yang berbulu hitam.
4- Hewan jantan lebih afhdol dari yang betina.
Larangan bagi orang yang hendak berkurban:
Nabi Shallallahu 'Alaihi Wasallam bersabda:
إِذَا دَخَلَتِ الْعَشْرُ وَ أَرَادَ أَحَدُكُمْ أَنْ يُضَحِّيَ فَلاَ يَمُسَّ مِنْ شَعْرِهِ وَ بَشَرَهَ شَيْئًا
“Jika masuk sepuluh hari pertama (bulan Dzul Hijjah) dan salah seorang dari kalian hendak berkurban, maka janganlah dia mengambil rambutnya atau kulitnya sedikitpun.” (diriwayatkan oleh Muslim dari hadits Ummu Salamah rodhiyallohu ‘anha nomor 1967).
Berdasarkan hadits diatas tidak diperbolehkan bagi orang yang hendak berkurban untuk mencukur rambutnya, mencabut bulu ketiaknya atau bulu badan lainnya. Dan tidak diperbolehkan pula untuk memotong kukunya. Hukumnya berkisar antara haram dan makruh.
Hikmah larangan ini adalah agar dia tetap sempurna bagian badannya untuk bebas dari api neraka. Wallohu a’lam.
Waktu Berkurban:
Nabi Shallallahu 'Alaihi Wasallam bersabda:
إِنَّ أَوَّلَ مَا نَبْدَأُ بِهِ مِنْ يَوْمِنَا هَذَا أَنْ نُصَلِّيَ ثُمَّ نَرْجِعَ فَنَنْحَر فَمَن فَعَلَ هَذَا فَقَدْ أَصَابَ سُنَّتَنَا وَ مَنْ نَحَرَ فَإِنَّمَا هُوَ لَحْمٌ يُقَدِّمُهُ ِلأَهْلِهِ لَيْسَ مِنَ النُّسُكِ فِي شَيْءٍ
“Sesungguhnya hal pertama yang kami mulai di hari kita ini adalah shalat kemudian pulang dan menyembelih. Maka barangsiapa yang melakukan ini maka dia telah menepati sunnah kami. Namun barangsiapa yang telah menyembelih, sesungguhnya apa yang disembelihnya itu hanya daging biasa untuk keluarganya. Bukan termasuk hewan kurban sedikitpun.” (diriwayatkan oleh Bukhori dari hadits Anas bin Malik Radhiyallahu 'Anhu nomor 5546).
Jadi hewan kurban boleh disembelih mulai setelah selesai Shalat Hari Raya hingga tanggal tiga belas Dzul Hijjah. Wallohu a’lam.
Pemanfaatan Daging Kurban:
Alloh azza wa jalla berfirman:
        •             
Supaya mereka menyaksikan berbagai manfaat bagi mereka dan supaya mereka menyebut nama Allah pada hari yang Telah ditentukan atas rezki yang Allah Telah berikan kepada mereka berupa binatang ternak. Maka makanlah sebahagian daripadanya dan (sebahagian lagi) berikanlah untuk dimakan orang-orang yang sengsara dan fakir. (QS. Al-Hajj: 28).
Dari Salamah bin Akwa’ Radhiyallahu 'Anhu Nabi Shallallahu 'Alaihi Wasallam bersabda: “Barangsiapa di antara kalian yang berkurban, maka janganlah dia menyisakan dari dagingnya setelah tiga hari.”
Pada tahun berikutnya, para sahabat bertanya: “Ya Rosululloh, kami lakukan lagi seperti pada tahun kemarin?” beliau menjawab: “Makanlah, sedekahkanlah dan simpanlah. Adapun pada tahun kemarin itu karena orang-orang mengalami kesusahan. Karenanya aku ingin kalian memberikan bantuan.” (diriwayatkan oleh Bukhori: 5569 dan Muslim: 1974).
Jadi daging hewan kurban, pemanfaatannya untuk tiga hal: Dimakan sendiri, disedekahkan dan disimpan. Namun perlu diperhatikan bahwa perintah Rosululloh Shallallahu 'Alaihi Wasallam di atas bukanlah wajib, namun sunnah. Jika semuanya disedekahkan maka itu boleh. Wallohu a’lam.
Bentuk Pemanfaatan Hewan Kurban Yang Tidak Diperbolehkan:
1- Menjualnya. Baik itu menjual kulitnya, bulunya, dagingnya, tulangnya atau bagian-bagiannya yang lain.
2- Tidak boleh memberikan upah kepada tukang potong hewan kurban dari hewan kurban itu sendiri. Ali Radhiyallahu 'Anhu meriwayatkan bahwa Nabi Shallallahu 'Alaihi Wasallam pernah memerintahkannya untuk mengurus seekor unta. Untuk membagi-baginya semuanya: dagingnya, kulitnya dan pakaiannya. Serta jangan memberikan upah kepada tukang potongnya sedikitpun darinya.” (hadits riwayat Bukhori: 1717 dan Muslim: 1317).

Sumber Rujukan:
1- Shahih Fiqhis Sunnah. Abu Malik Kamal bin Sayyid Salim. Penerbit Maktabah Taufiqiyah, Mesir.
2- At-Targhib Wat Tarhib. Al-Hafizh Al-Mundziri. Tahqiq dan ta’liq Imam Al-Albani. Penerbit Maktabatul Ma’arif, Riyadh.
3- Majalah Al-Furqon. Edisi 4 th. Ke-7 1428/ 2007.
4- Kajian Ustadz Mizan Qudsiyah Lc. Malam Rabu, 25 Nopember 2008 M di Markaz As-Sunnah.










Memetik pelajaran dari peristiwa terbunuhnya sahabat KHUBAIB BIN 'ADI 

Ketika kita membuka lembaran sejarah kehidupan Rasululloh  bersama para sahabatnya akan kita temukan sebuah gambaran yang dipenuhi dengan mutiara kemuliaan serta lika-liku kehidupan yang mencengangkan bagi siapa yang merenunginya. Demikian, karena garis edar kehidupan mereka berada di bawah bimbingan dan naungan ilahi yang tercermin dalam perilaku dan budi pekerti mereka yang teramat mulia sehingga tidak akan pernah lapuk dan tidak pula akan pernah lekang meski zaman akan terus bergulir. Alloh  berfirman dalam surat Yusuf: 111
       
"Sesungguhnya pada kisah-kisah mereka itu terdapat pengajaran bagi orang-orang yang mempunyai akal".



Satu diantara lembaran-lembaran tersebut adalah peristiwa terbunuhnya sahabat Khubaib bin 'Adi  dalam sebuah tregedi memilukan namun meninggalkan goresan pelajaran yang tak terhingga nilainya bagi umat Islam yang mendambakan kemuliaan di dunia dan akhirat.

PENGGALAN KISAH
Memasuki tahun ke-4 hijriyah tepatnya pada bulan shofar , Sekelompok kaum yang berasal dari suku Adhol dan Qoroh datang ke hadapan Rasululloh  guna meminta agar dikirimkan orang yang akan mengajarkan mereka agama Islam. Melihat sikap antusias mereka untuk mengenal agama Islam, Rasululloh  memilih sepuluh orang sahabatnya untuk mengemban tugas yang mulia ini, diantaranya adalah; 'Ashim bin Tsabit, Martsad bin Abi Martsad, Abdulloh bin Thoriq, Zaid bin Datsinah, Khubaib bin 'Adi, dan beberapa orang sahabat lainnya yang kemudian beliau menunjuk 'Ashim bin Tsabit sebagai ketuanya (menurut salah satu pendapat).
Setelah segala perbekalan dan kebutuhan selama perjalanan dipersiapkan, merekapun mengayuh langkah untuk melaksanakan tugas ini dengan ditemani rombongan dari kedua suku tersebut. Namun manakala mereka sampai di sebuah tempat yang bernama Ar-Roji (daerah pinggiran Hijaz) yang merupakan sumber dan mata air bagi suku Hudzail, Sekelompok kaum tadi (Adhol dan Qoroh) melakukan pengkhianatan dengan meminta bantuan suku Hudzail untuk mengepung dan menghabisi utusan Rasululloh  yang berakhir dengan terbunuhnya delapan orang diantara mereka, termasuk ketuanya yakni 'Ashim bin Tsabit.
Adapun dua sahabat lainnya yaitu Zaid bin Datsinah dan Khubaib bin 'Adi, maka mereka ditawan dan diperjual belikan sebagai seorang budak di kota Mekah hingga jatuhlah Zaid bin Datsinah ke tangan Sofwan bin Umayyah lantas membunuhnya sebagai balas dendam atas kematian ayahnya pada perang Badar. Adapun Khubaib bin 'Adi maka beliau dibeli oleh Bani Harits (anak keturunan Harits bin Amir bin Naufal yang dibunuh oleh Khubaib bin 'Adi pada perang Badar).
Kini Khubaib bin 'Adi tinggal seorang diri dalam kurungan Bani Harits untuk menerima siksaan demi siksaan yang kemudian akan hukum mati oleh orang-orang kafir Quraisy. Hari yang ditentukan pun tiba, beliau diseret ke sebuah tempat lapang yang bernama Tan'im (lokasi Universitas 'Aisyah sekarang) untuk di hukum mati di depan masa, namun sebelum dimulai beliau mengajukan satu permintaan: "Bila kalian berkehendak, biarkan aku melakukan sholat dua roka'at dulu" , ucap beliau. Dan merekapun membiarkannya hingga selesai dalam waktu yang relatif cukup singkat kemudian berucap: "Andaikata kalian tidak akan mengira bahwasanya aku takut mati, tentulah aku akan sholat kembali". Setelah itu beliaupun mengucapkan sebuah syair yang semakin membuat mereka geram dan menjadikan darah-darah mereka panas mendidih. Ucap beliau:
* وَلَسْتُ أُبَالِي حِينَ أُقْتَلُ مُسْلِماً **
عَلى أَيِّ شِقّ كَانَ لِلَّهِ مَصْرَعِي
* وَذلِكَ في ذَاتِ الإِلهِ وَإِنْ يَشَأْ **
يُبَارِكْ عَلَى أَوْصَالِ شِلوٍ مُمَزَّعِ **
"Sungguh tiada aku peduli bila aku terbunuh sebagai seorang muslim. Di bagian manapun kematianku datang menjemput, bila semua itu semata karena Alloh demikian itu hanya untuk Dzat Ilahi, dan jika Dia berkehendak, Dia akan memberkahi setiap potongan tubuhku yang tercincang".[HR. Bukhori no. 3045]
Abu Sufyan (yang kala itu masih kafir) berkata kepadanya: "Apakah kamu suka jika seandainya Muhammad kami penggal batang lehernya lantas engkau kami bebaskan hingga bisa bersenang-senang dengan keluargamu?". Mendengar kelancangan Abu Sufyan akan diri Nabi Muhammad, tanpa gentar sedikitpun beliau berkata:
لا واللهِ ، ما يسرُّني أني في أهلي ، وأنَّ محمداً في مكانهِ الَّذِي هُوَ فيه تُصيبُهُ شَوْكَةٌ تُؤذِيه.
"Tidak, Demi Alloh sunnguh aku tidak akan pernah merasakan kebahagiaan bersama keluargaku sedangkan Muhammad di tempatnya terusik oleh sepotong duri yang mengganggunya" . Kemudian setelah beliau selesai mengucapkan kalimat tersebut, merekapun menyeretnya menuju sebatang kayu untuk disalib kemudian memotong satu persatu anggota tubuh beliau hingga beliau  menghembuskan nafas terakhir dalam keadaan ridho kepada Alloh . Mengenai peristiwa ini Sa'id bin Amir bin Hudzaim berkata: "Aku menyaksikan peristiwa terbunuhnya Khubaib bin 'Adi, dan sungguh orang-orang kafir Quraisy mencincang tubuh beliau" . Inilah tragedi pilu yang dialami oleh sahabat Kubaib bin 'Adi dalam memegang teguh agama yang mulia ini.

MUTIARA KISAH
Sebagaimana yang telah ditegaskan oleh Alloh  dalam ayat sebelumnya bahwasanya di dalam kisah orang-orang sholeh sebelum kita terdapat pelajaran yang terhingga nilainya bagi siapa yang mau menghayati dan memahaminya tak terkecuali pada kisah Khubaib bin 'Adi di atas. Berikut ini ada beberapa pelajaran yang bisa kita petik dari kisah ini diantaranya:

1. Kewajiban mencintai Rasululloh  di atas segalanya. Satu diantara tanda dan bukti sempurnanya iman seseorang adalah apabila ia mampu mencintai Rasululloh  di atas cinta dan loyalitas kepada orangtua, anak dan istri, serta harta benda lainnya.
Rasululloh  bersabda:
لاَ يُؤْمِنُ أَحَدُكُمْ حَتَّى أَكُونَ أَحَبَّ إِلَيْهِ مِنْ وَالِدِهِ وَوَلَدِهِ وَالنَّاسِ أَجْمَعِينَ.
"Tidaklah sempurna keimanan seorang dari kalian sampai aku lebih ia cintai daripada orangtua, anak dan manusia seluruhnya". [HR. Bukhori dan Muslim]
2. Ujian adalah sebuah kepastian manakala seseorang telah mengikrarkan keimanannya kepada Alloh dan RasulNya, maka satu hal yang perlu disadari yaitu bahwasanya ujian dan cobaan pasti akan menghampirinya. Hal ini Alloh tegaskan dalam firmanNya:

 ••     •      •           
"Apakah manusia itu mengira akan dibiarkan mengatakan kami telah beriman sedangkan mereka tidak diuji lagi?. Sesungguhnya kami telah menguji orang-orang sebelum mereka maka dengannya Alloh mengetahui orang-orang yang jujur dan orang-orang yang dusta".[QS. Al-'Ankabut: 2-3]
3. Tegar di atas al-Haq (kebenaran). Mengenai hal ini sahabat Khobbab bin Arot pernah mengadu pada Rasululloh  akan perihal beratnya ujian yang beliau alami dari orang-orang kafir Quraisy, maka Rasululloh  berkata untuk membangkitkan semangat para sahabtnya supaya mereka tetap kokoh menggenggam agama ini dengan menceritakan ujian dan cobaan yang menimpa orang-orang soleh terdahulu. Di Sabda beliau : "Sesungguhnya orang-orang sebelum kalian ada diantara mereka yang dipendam di dalam tanah kemudian diletakkan gergaji di atas kepalanya, namun semua itu tidak membuat mereka berpaling dari agamanya dan ada pula diantara mereka yang disisir dengan sisir besi sehingga daging mereka tepisah dari tulangnya namun ujian itu tidak juga membuat mereka meninggalkan agamanya. Dan sungguh (wahai sahabatku) Alloh akan menyempurnakan perkara (agama) ini hingga kalian akan menyaksikan ada orang yang berjalan dari Shon'a menuju Hadromaut tidak merasa takut kecuali kepada Alloh atau dari serigala yang akan memakan kambing-kambing mereka, akan tetapi kalian terburu-buru".[HR. Bukhori]
Kaum muslimin inilah sabda Rasululloh  kepada sahabatnya Khobbab bin Arot untuk membangkitkan semangatnya dalam memegang teguh agamanya meski badai ujian terus datang menerpa ayunan langkahnya. Dan dengan segala keterbatasan, mungkin hanya ini yang dapat kami ketengahkan pada lembaran kali ini, sekiranya goresan pena ini bisa menjadi pendorong bagi kita dalam menjalani agama yang mulia ini, terlebih bagi kita yang hidup di penghujung zaman dengan keterasingan Islam yang kian memuncak. Semoga
Ditulis oleh: Zakariya Abu Kholid At-Turi
Catatan dari Redaksi: Bahwasanya kisah ini kami hadirkan bukan dengan tujuan untuk membela gerakan Amrozi, Imam Samudra Cs yang memiliki pemahaman khowarij seperti tokoh-tokohnya; Salman Al-'Audah, Dr. Safar Hawali, Dr. Abdulloh Azzam, Usamah bin Laden, dan semisalnya. Bahkan kisah ini sebagai hujjah untuk menjelaskan kesalahan gerakan mereka. perhatikan manhaj (sikap/ metode cara beragama) salaf yang sejati dari sahabat Sa'id bin Amir bin Hudzaim  yang hanya diam (dengan menimbang maslahat dan mafsadat) ketika melihat kezholiman itu disamping ia tetap mengingkari di dalam hatinya dan tidak mengangkat senjata terlebih lagi mengadakan pengeboman di sana-sini secara tidak haq.
Muroja'ah oleh: Ust. Mizan Qudsiyah, Lc.






MENYAMBUT RAMADHAN

Segala puji bagi Alloh Robb semesta alam dan shalawat serta salam semoga tercurahkan atas Nabi Besar Muhammad beserta keluarga dan sahabat beliau. Amma ba’du:
Tujuan puasa adalah menahan diri dari nafsu syahwat, menghentikannya dari segala yang disenanginya dan menormalkan kekuatan syahwatnya. Untuk mengejar puncak kebahagiaan dan kenikmatan. Untuk menyambut kesuciannya yang menyimpan kehidupan abadinya.
Selain itu puasa melebur rasa lapar dan haus dari kekerasan dan gejolaknya. Mengingatkan jiwa akan keadaan perut kelaparan orang miskin. Mempersempit jalan setan dengan menyempitkan jalan makanan dan minuman. Menekan kekuatan anggota badan, agar tidak mudah digiring oleh kekuatan syahwat menuju apa-apa yang membahayakan kehidupan dunia dan akhiratnya. Dan puasa menenangkan setiap anggota badan dan setiap kekuatan.
Sesungguhnya puasa adalah tali kekang orang-orang yang bertakwa. Puasa adalah perisai orang-orang yang berperang melawan hawa nafsu dan setan. Puasa adalah olah raga bagi orang-orang yang senantiasa mengabdi dan mendekatkan diri kepada Alloh .
Puasa secara khusus adalah milik Alloh. Sesungguhnya seorang yang berpuasa tidak melakukan apa-apa. Dia hanya meninggalkan syahwatnya, makanan dan minumannya demi Alloh Robb yang diibadahinya. Dia meninggalkan segala yang disukai oleh nafsu karena lebih mengutamakan cinta dan keridhaan Alloh . Puasa adalah rahasia antara seorang hamba dengan Robbnya, tidak ada yang mengetahuinya melainkan Alloh. Mungkin manusia bisa melihatnya meninggalkan hal-hal yang membatalkan puasanya yang bersifat lahiriyah, tapi tidak ada yang tahu dia meninggalkan makan, minum dan syahwat karena Alloh. Inilah hakikat puasa.
Puasa memiliki pengaruh luar biasa dalam memelihara lahir dan batin seseorang. Puasa melindunginya dari pengaruh materi-materi berbahaya dan merusak. Puasa membuang materi-materi kotor yang mengganggu kesehatan. Sehingga puasa memelihara kesehatan hati dan anggota badan. Sesungguhnya puasa termasuk perkara terbesar yang membantu untuk bertakwa.
Alloh  berfirman:
              
Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertakwa. (QS. Al-Baqoroh: 183).
Bulan Ramadhan hanyalah beberapa hari tertentu, setelah itu Anda perlu menunggu satu tahun lagi untuk bertemu dengannya. Oleh karena itu manfaatkanlah bulan tersebut dengan mengingat hal-hal berikut:
1- Senantiasa menjaga keikhlasan.
Rosululloh  bersabda:
مَنْ صَامَ رَمَضَانَ إِيْمَانًا وَ احْتِسَابًا غُفِرَ لَهُ مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِهِ
“Barangsiapa yang berpuasa dengan keimanan dan mengharap pahala maka diampuni baginya dosanya yang telah lalu.” (muttafaq ‘alaih).
Berpuasa dengan keimanan dan mengharap pahala artinya meyakini kewajibannya dan mengharap pahalanya. Dengan hati yang lapang tanpa terpaksa, tanpa berat melaksanakannya dan tanpa menganggap lama hari-harinya.
2- Makan dan minumlah tanpa berlebihan.
Alloh  berfirman:
         
Makan dan minumlah, dan janganlah berlebih-lebihan. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berlebih-lebihan. (QS. Al-A’raaf: 31).
3- Ramadhan adalah bulan amal kebaikan dan dilipatgandakannya pahala.
Perlu diketahui bersama bahwa salah satu sebab dilipat gandakannya pahala sebuah amalan adalah kemuliaan waktu dikerjakannya amalan tersebut. Seperti bulan Ramadhan, dan Sepuluh Hari Dzul Hijjah. Dalam sebuah hadits yang diriwayatkan oleh At-Tirmidzi dari Anas bahwa Nabi  pernah ditanya tentang sedekah yang paling afdhal. Beliau menjawab: “Shadaqah di bulan Ramadhan.”
Dalam hadits riwayat Bukhari dan Muslim Nabi  bersabda:
عُمْرَةٌ فِيْ رَمَضَانَ تَعْدِلُ حَجَّةً أَوْ قَالَ حَجَّةً مَعِيْ
“Umrah di bulan Ramadhan menyamai haji.” Atau beliau bersabda: “Haji bersamaku.”
Beberapa Perkara Menjelang Ramadhan Yang Perlu Diperhatikan:
1- Merayakan malam Nishfu Sya’ban.
Imam Nawawi rohimahulloh berkata dalam Kitab Al-Majmu’: “Shalat yang dikenal dengan Shalat Ragha’ib, berjumlah dua belas raka’at dan dikerjakan antara Maghrib dan Isya’ pada malam Jum’at pertama bulan Rojab. Demikian pula shalat malam Nishfu Sya’ban yang berjumlah seratus raka’at. Kedua shalat ini merupakan bid’ah munkar. Jangan tertipu dengan disebutkannya kedua shalat ini kitab Quthul Qulub dan Ihya’ Ulumuddin. Jangan pula tertipu dengan hadits-hadits yang disebut sebagai dalil di dalamnya. Sesungguhnya semua itu batil. Jangan pula tertipu dengan sebagian ulama yang masih samar baginya hukumnya, sehingga menulis kitab yang memustahabkannya. Sesungguhnya dia salah dalam masalah ini.”Perhatikan hadits Abu Hurairah  yang diriwayatkan oleh Muslim berikut ini: Rosululloh  bersabda:
لاَ تَخُصُّوْا لَيْلَةَ الْجُمُعَةِ بِقِيَامٍ مِنْ بَيْنِ اللَّيَالِي وَ لاَ تَخُصُّوْا يَوْمَهَا بِالصِّيَامِ مِنْ بَيْنِ اْلأَيَّامِ إِلاَّ أَنْ يَكُوْنَ فِيْ صَوْمٍ يَصُوْمُهُ أَحَدُكُمْ
“Janganlah kalian mengkhususkan malam Jum’at untuk shalat malam tanpa malam yang lain. Jangan pula mengkhususkan siang harinya untuk puasa tanpa hari-hari yang lain. Kecuali puasa yang biasa dilakukan oleh salah seorang dari kalian.”
Seandainya pengkhususan satu malam tertentu untuk ibadah itu boleh, niscaya malam Jum’at tentu paling utama untuk dikhususkan. Karena keutamaan hari Jum’at.
2- Dimakruhkan puasa sunnah jika sudah pertengahan Sya’ban.
Abu Daud, At-Tirmidzi, Ibnu Majah dan lainnya meriwayatkan dengan sanad yang shahih dari Abu Hurairah  bahwa Nabi  bersabda:
إِذَا بَقِيَ نِصْفٌ مِنْ شَعْبَانَ فَلاَ تَصُوْمُوْا
“Jika telah tersisa setengah bulan dari Sya’ban, janganlah kalian puasa.”
3- Diharamkan puasa pada hari syak (hari yang tidak jelas, apakah sudah masuk Ramadhan apa belum).
Ammar bin Yasir radiyallahu 'anhuma berkata: “Barangsiapa yang berpuasa pada hari yang diragukan, maka dia telah bermaksiat kepada Abul Qosim (Rosululloh) .” Diriwayatkan oleh Abu Daud, At-Tirmidzi, Ibnu Majah dan An-Nasa'i dengan sanad yang hasan.
4- Cara menentukan masuknya bulan Ramadhan.
Dari Ibnu Abbas radiyallahu 'anhuma dia berkata: “Rosululloh  bersabda:
لاَ تَصُوْمُوْا قَبْلَ رَمَضَانَ صُوْمُوْا لِرُؤْيَتِهِ وَ أَفْطِرُوْا لِرُؤْيَتِهِ فَإِنْ حَالَتْ دُوْنَهُ غَيَايَةٌ فَأَكْمِلُوْا ثَلاَثِيْنَ يَوْمًا
“Jangan kalian puasa sebelum Ramadhan. Puasalah karena melihat bulan (Ramadhan) dan akhirilah Ramadhan karena melihat bulan (Syawal). Jika terhalang oleh mendung, maka sempurnakanlah tiga puluh hari.” Hadits hasan diriwayatkan oleh Abu Daud, At-Tirmidzi dan An-Nasa'i.
Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin rahimahullah berkata: “Yaitu jika dilihat oleh dua orang atau lebih. Berdasarkan sabda Rosululloh : “Jika terdapat dua orang saksi, maka puasalah dan berbukalah.”
Sumber:
1- Bahjatun Nazhirin Syarh Riyadus Shalihin, Syaikh Salim Ied Al-Hilali.
2- Fathu Dzil Jalali Wal Ikram, Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin.
3- Bughyatul Insan, Ibnu Rajab Al-Hanbali.
4- At-Tahdzir Minal Bida’, Syaikh Abdul Aziz bin Baz.
5- Durus Ramadhan, Syaikh Muhammad Ibrahim Al-Hamd.







PANDANGAN ISLAM TERHADAP BULAN SURO


Muharrom adalah bulan pertama dari kalender hijriyah yang telah disepakati oleh kholifah yang ke-dua Umar bin Al Khotthob  yang dikenal oleh orang jawa dengan sebutan suro adalah bulan yang keramat sehingga mereka tidak berani melakukan beberapa hajatan seperti pernikahan karena mereka berkeyakinan menikah pada bulan suro akan menimbulkan petaka dan kesengsaraan. Acara lainnya juga yang sudah menjadi tradisi orang jawa khususnya di solo yaitu mencari berkah kepada kerbau yang diberi nama dengan kyai slamet. Di lain tempat pada tanggal 1 sampai 10 muharrom kaum syi'ah terutama di Iran mengadakan suatu acara untuk memperingati kematian imam Husain bin Ali bin abi tholib di Karbala, mereka mengadakan pawai besar-besaran di jalan menuju ke al Husainiyah dengan membuka baju dan memukul-mukul dada dan punggungnya sampai luka memar dan diakhiri dengan acara puncaknya yaitu melukai kepalanya dengan pedang sampai berdarah.
Mereka yang melakukan ritual-ritual tersebut di atas dan mungkin masih banyak lagi ritual lainnya di masing-masing daerah seperti membuat makanan-makanan khusus dengan disertai keyakinan-keyakinan tertentu yang hal itu dilakukan oleh orang-orang islam sendiri yang pada dasarnya amalan-amalan itu bukan dari islam. Oleh karena itu kami berusaha mengajak para masyarakat agar benar-benar memegang ajaran islam sesuai dengan dalil-dalil yang sah dengan pemahaman para sahabat dan tidak terpengaruh dari hal-hal yang baru di dalam agama atau mengikuti cara-cara ibadah orang-orang yahudi dan kristen. Maka dalam hal ini islam memandang bahwa;

MUHARROM ADALAH BULAN YANG MULIA
Alloh  berfirman:
¨bÎ) no£‰Ïã Í‘qåk’¶9$# y‰ZÏã «!$# $oYøO$# uŽ|³tã #\öky­ ’Îû
É=»tFÅ2 «!$# tPöqtƒ t,n=y{ ÏNºuq»yJ¡¡9$# šßö‘F{$#ur
!$pk÷]ÏB îpyèt/ö‘r& ×Pããm 4 šÏ9ºsŒ ßûïÏe$!$# ãNÍhŠs)ø9$# 4 Ÿxsù (#qßJÎ=ôàs? £`ÍkŽÏù öNà6|¡àÿRr& 4 ÇÌÏÈ
"Sesungguhnya bilangan bulan pada sisi Allah adalah dua belas bulan, dalam ketetapan Allah di waktu dia menciptakan langit dan bumi, di antaranya empat bulan haram. Itulah (ketetapan) agama yang lurus, Maka janganlah kamu menganiaya diri kamu dalam bulan yang empat itu".[QS. At-Taubah: 36]

Syaikh Abdurrohman bin Nashir As-Sa'di rahimahulloh menafsirkan: "Empat bulan tersebut adalah rojab, dzulqo'dah, dzulhijjah, dan muharrom. Dinamakan harom karena kemuliaan yang lebih dan diharamkannya peperangan pada bulan tersebut". [Taisir karim ar-Rohman fi tafsir al-kalam al-Mannan hal. 296]

Al-Hasan Al-Bashri rahimahulloh berkata: "Sesungguhnya Alloh membuka tahun dengan bulan harom (muharrom) dan menutupnya juga dengan bulan harom (dzulhijjah). Tidak ada bulan yang paling mulia di sisi Alloh setelah romadhon (selain bulan-bulan harom ini). Pada bulan muharrom ini terdapat hari yang pada hari itu terjadi peristiwa besar dan pertolongan yang nyata, menangnya kebenaran mengalahkan kebatilan, dimana Alloh telah menyelamatkan Nabi Musa  dan kaumnya serta menenggelamkan fir'aun dan kaumnya. Hari tersebut memiliki keutamaan yang agung dan kemuliaan yang abadi sejak dulu, dia adalah hari kesepuluh yang dinamakan asyuro'. [Durus 'aamm oleh Abdul Malik Al-Qosim hal. 10]
DISYARI'ATKANNYA PUASA ASYURO'
Dalil dari hadits
عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنَ عَبَّاسٍ - رضى الله عنهما - يَقُولُ حِينَ صَامَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- يَوْمَ عَاشُورَاءَ وَأَمَرَ بِصِيَامِهِ قَالُوا يَا رَسُولَ اللَّهِ إِنَّهُ يَوْمٌ تُعَظِّمُهُ الْيَهُودُ وَالنَّصَارَى. فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- « فَإِذَا كَانَ الْعَامُ الْمُقْبِلُ - إِنْ شَاءَ اللَّهُ - صُمْنَا الْيَوْمَ التَّاسِعَ ». قَالَ فَلَمْ يَأْتِ الْعَامُ الْمُقْبِلُ حَتَّى تُوُفِّىَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم-.
Dari Abdulloh bin 'Abbas , tatkala Rasululloh  puasa asyuro' dan memerintahkannya, para sahabat berkata: "Wahai Rasululloh, ini adalah hari yang diagungkan oleh Yahudi dan Nasrani (kristen)". Maka beliau bersabda: "Tahun depan insya Alloh kita akan berpuasa hari kesembilan". Ibnu 'Abbas berkata: "Tahun berikutnya belum datang sedangkan Rasululloh  meninggal". [HR. Muslim 2722, Abu Dawud 2447, dll]
Imam Nawawi Rahimahulloh berkata: "Jumhur ulama salaf dan kholaf berpendapat bahwa hari asyuro' adalah hari kesepuluh". [Syarh shohih Muslim 9 hal. 205]
Kesimpulan:
 Disunnahkan hukumnya melaksanakan puasa asyuro' yaitu pada tanggal 9 dan 10 muharrom berdasarkan jumhur ulama sebagaimana yang dikatakan oleh imam Nawawi di dalam Syarh Shohih Muslim halaman 205: "Asy-Syafi'i dan para sahabatnya, Ahmad, Ishaq bin Rahawiyah dan selainnya berpendapat disunnahkan untuk berpuasa hari kesembilan dan kesepuluh karena Nabi  berniat untuk berpuasa pada hari kesembilan disamping puasa pada hari kesepuluh".
Diperkuat lagi dengan perkataan Al-'Allamah Muhammad Shiddiq Hasan Khon rahimahulloh: "Kebanyakan para ulama menyunahkan untuk berpuasa pada hari 9 dan 10".[Raudhotun Nadiyyah hal. 558]

KEUTAMAAN PUASA ASYURO'

 Keutamaan yang agung setelah romadhon.
عَنْ ابْنِ عَبَّاسٍ - رضى الله عنهما - وَسُئِلَ عَنْ صِيَامِ يَوْمِ عَاشُورَاءَ. فَقَالَ مَا عَلِمْتُ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- صَامَ يَوْمًا يَطْلُبُ فَضْلَهُ عَلَى الأَيَّامِ إِلاَّ هَذَا الْيَوْمَ وَلاَ شَهْرًا إِلاَّ هَذَا الشَّهْرَ يَعْنِى رَمَضَانَ.
Ibnu 'Abbas  ditanya tentang puasa asyuro' dan menjawab: "Saya tidak mengetahui bahwa Rasululloh  berpuasa pada hari yang paling dicari keutamaannya selain hari ini (asyuro') dan bulan romadhon". [HR. Bukhori 2006, Muslim 2718-hadits di atas lafazh Muslim-, Shohih At-Targhib wat Tarhib 1019]

 Puasa Asyuro' menghapus dosa-dosa kecil setahun yang lalu.
وَسُئِلَ عَنْ صَوْمِ يَوْمِ عَاشُورَاءَ فَقَالَ « يُكَفِّرُ السَّنَةَ الْمَاضِيَةَ
Rasululloh  pernah ditanya tentang puasa asyuro' maka beliau menjawab: "Menghapuskan dosa setahun yang lalu". [HR. Muslim 2804, Ahmad 22570, At-Tirmidzi 757, An-Nasa`I 2800, dll]

 Puasa syuro' adalah puasa yang paling utama setelah puasa romadhon.
عَنْ أَبِى هُرَيْرَةَ - رضى الله عنه - قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- « أَفْضَلُ الصِّيَامِ بَعْدَ رَمَضَانَ شَهْرُ اللَّهِ الْمُحَرَّمُ وَأَفْضَلُ الصَّلاَةِ بَعْدَ الْفَرِيضَةِ صَلاَةُ اللَّيْلِ ».
Dari Abu Hurairoh  berkata, Rasululloh  bersabda: "Puasa yang paling afdhol setelah romadhon adalah bulan muharrom, dan sholat yang paling afdhol setelah sholat fardhu adalah sholat malam". [HR. Muslim 2812, Ahmad 8515]

HADITS-HADITS LEMAH DAN PALSU SEPUTAR ASYURO'

1.
( لَيْسَ لِيَوْمٍ فَضْلٌ عَلىَ يَوْمٍ فِي الصِّيَامِ إِلاَّ شَهْرُ رَمَضَانَ وَيَوْمُ عَاشُوْرَاءَ )
"Tidak ada suatu haripun yang memiliki keutamaan dalam puasa kecuali bulan romadhon dan hari asyuro'". [Mungkar. Lihat Silsilah Al-Ahadits Ad-Dho'ifah 285]
2.
( مَنِ اكْتَحَلَ بِالإِثْمِدِ يَوْمَ عَاشُوْرَاءَ لمَ ْيَرْمِدْ أَبَدًا )
"Barangsiapa yang memakai celak pada hari asyuro' maka dia tidak akan sakit mata selamanya". [Palsu. Silsilah Al-Ahadits Ad-Dho'ifah 624]
3.
( فَلْقُ البَحْرِ لِبَنِي إِسْرَائِيْلَ يَوْمَ عَاشُوْرَاءَ )
"Peristiwa terbelahnya lautan bagi Bani Israil adalah pada hari asyuro'". [Palsu. Silsilah Al-Ahadits Ad-Dho'ifah 1499]
4.
( عَاشُوْرَاءُ يَوْمَ التَّاسِعِ )
"Asyuro' adalah hari kesembilan". [Palsu. Silsilah Al-Ahadits Ad-Dho'ifah 3849]
5.
( عَاشُوْرَاءُ عِيْدُ نَبِيٍّ كَانَ قَبْلَكُمْ ، فَصُوْمُوْا أَنْتُمْ )
"Asyuro' adalah perayaan 'id nya nabi sebelum kalian, maka berpuasalah kalian". [Lemah. Silsilah Al-Ahadits Ad-Dho'ifah 3851]
6.
( مَنْ وَسَّعَ عَلَى عِيَالِهِ يَوْمَ عَاشُوْرَاءَ ؛ وَسَّعَ اللهُ عَلَيْهِ سَائِرَ سَنَتِهِ )
"Barangsiapa yang melapangkan keluarganya pada hari asyuro', maka Alloh akan melapangkan baginya pada seluruh tahunnya". [Lemah. Silsilah Al-Ahadits Ad-Dho'ifah 6824]
Disebutkan pula sebelumnya oleh imam Suyuthi tentang hadits-hadits semisal di atas bahwasanya riwayatnya palsu. Lihat Al-La`ali al-mashnu'ah fil ahadits al maudhu'ah oleh Jalaluddin as-Suyuthi 2/93, Tanzih as-Syari'ah al-marfu'ah oleh Abul Hasan Al-Kinani 2/148.

KOMENTAR PARA ULAMA'

Ibnul Hajj rahimahulloh berkata: ”Termasuk bid'ah asyuro' orang menyengaja mengeluarkan zakat di awal waktu dan diakhirnya. Dan mengkhususkan menyembelih ayam dan para wanita memakai inai (pacar)" [Al-Madkhol jilid 1]
Ibnul Qoyyim rahimahulloh berkata: "Diantara hadits-hadits yang batil adalah hadits tentang memakai celak pada hari asyuro', berhias, banyak berinfaq kepada keluarga, sholat, dan amalan-amalan lainnya yang memiliki keutamaan".
Ibnu Rojab rahimahulloh berkata: "Adapun dijadikannya hari asyuro' sebagai acara jamuan makan seperti yang dilakukan oleh syi'ah rofidhoh karena untuk memperingati terbunuhnya al-Husain bin Ali maka ini adalah amalan yang sia-sia sedangkan dia menyangka telah berbuat kebaikan".[Durus 'Aamm hal. 11-12]

PENUTUP
Mudah-mudahan Alloh  senantiasa membukakan mata hati kita untuk mengikuti dalil dan menjauhkan kita dari amalan-amalan batil yang dianggap baik oleh perasaan. Dan semoga kita tidak termasuk orang-orang yang Alloh  kabarkan di dalam ayatNya:
"Yaitu orang-orang yang Telah sia-sia perbuatannya dalam kehidupan dunia ini, sedangkan mereka menyangka bahwa mereka berbuat sebaik-baiknya".[QS. Al-Kahfi: 104]
Sumber bacaan: Latho-if al-Ma'arif oleh Ibnu Rojab, al-Mausu-ah Al-Fiqhiyyah Al-Muyassaroh oleh Masyhur Hasan Salman, Risalah fi ahadits syahrillah al-muharrom oleh Abdulloh al-Fauzan, al-Maktabah as-Syamilah, Majalah Al-Furqon Edisi 6 Th. I Muharrom 1422 dari makalah Ust. Abu Nu'aim-rahimahulloh-, dan lain-lain. Abu Abdillah rz






USHUL POKOK AJARAN AHLUSSUNNAH

Sepintas judul buletin kali ini kelihatannya sepele dan sudah kuno, akan tetapi ingatlah sesuatu yang dibangun di atas dasar yang kuat maka akan kuat pula tujuannya dan ingatlah bahwasanya dasar-dasar ilmu yang benar itu akan menghasilkan buah bagi pemiliknya yakni al-khosyah (rasa takut kepada Alloh ). Saya teringat dengan perkataan syaikh kami Dr. Abdulloh bin Zaid Al-Musallam bahwasanya masalah dasar-dasar tauhid hendaklah kalian baca di hadapan beberapa syaikh sebanyak 20 atau 30 kali –mudah-mudahan Alloh memudahkan kita dan insya Alloh akan kami uraikan dengan ringkas pada kesempatan yang terbatas ini yang sebenarnya pembahasan ini patut untuk dijelaskan lebih paten dan terperinci lagi-.
Ushul merupakan hal yang sangat penting yang apabila seseorang itu ingin mencapai tujuan kepada ilmu-ilmu sunnah dan lainnya tanpa mengetahui ushulnya maka dia tidak akan mendapatkannya.
Para ulama berkata:
مَنْ حُرِمَ الأُصُوْلُ حُرِمَ الوُصُوْلُ
“Barangsiapa yang tidak mendapatkan ushul maka dia tidak mendapatkan tujuan kepada (ilmu agama)”. [Syarh Manzhumah Al Qowa-id wal Ushul 1/11 oleh Syaikh Muhammad bin Sholih Al-Utsaimin]
Maka dari hal ini sangat disayangkan bagi orang yang mengaku dirinya sebagai ahlussunnah wal jama’ah akan tetapi pada hakekatnya tidak mendapatkan disiplin atau dasar-dasar ilmu ibarat orang yang mau membuat atap rumah akan tetapi tidak mempunyai pondasi dan tembok…(coba fikir…bisa berdiri apa tidak?).
Adapun pengertian ahlussunnah wal jama’ah mereka adalah para salaf (pendahulu umat islam dari kalangan para sahabat, tabi’in, dan orang-orang yang senantiasa mengikuti jejak mereka dengan baik (mengikuti secara zahir dan batin, perkataan dan perbuatan, dan cara beraqidah) sampai hari kiamat, berkumpul di atas kebenaran yang nyata dari al-Quran dan as-sunnah walaupun seorang diri. [Syarh Al-Aqidah Ath-Thohawiyah hal. 68 oleh Ibnu Abil ‘Izz, Ighotsatul Lahfan 1/70 oleh Al-Imam Ibnul Qoyyim Al-Jauziyah, Fathu Robbil Bariyyah bi talkhis Al-Hamawiyah hal. 10 oleh Syaikh Muhammad bin Sholih Al-Utsaimin,dl]
Adapun ushul-ushul pokok ajaran ahlussunnah wal jama’ah tersebut, sebagai berikut:
1. BERIMAN KEPADA ALLOH .
Beriman kepada Alloh  adalah mengimani secara pasti tanpa disertai keraguan bahwasanya Alloh  adalah Tuhan segala sesuatu sekaligus sebagai raja, bahwasanya hanya Dia-lah yang berhak disembah bukan selainNya di dasari dengan rasa cinta, tunduk dan merendahkan diri di hadapanNya, dan juga Dia telah tersifatkan dengan sifat-sifat yang sempurna dan memiliki nama-nama yang indah, dan tersucikan dari segala sifat-sifat yang kurang dan tercela.
Adapun iman kepada Alloh  mencakup 4(empat) perkara:
• Beriman dengan wujud Alloh .
Beriman dengan wujud Alloh  ditunjukkan dengan dalil fithrah, akal, syari`at, dan rasa atau pembuktian.
1. Dalil fithrah.
Nabi H bersabda:
( مَا مِنْ مَوْلُوْدٍ إِلاَّ يُوْلَدُ عَلَى الفِطْرَةِ, فَأَبَوَاهُ يُهَوِّدَانِهِ أَوْ يُنَصِّرَانِهِ أَوْ يُمَجِّسَانِهِ )
“Tidaklah seorang anak dilahirkan kecuali dia dilahirkan di atas fithrah. Kemudian kedua orang tuanyalah yang menjadikannya yahudi, nashrani, ataupun majusi”. [HR. al-Bukhari no. 1292,1293 Muslim no. 22,23, Ahmad no. 8164, Ibnu Hibban no. 132, dll]
2. Akal sehat.
karena sesuatu itu tidak dapat menciptakan dirinya sendiri dan dikarenakan juga sebelumnya mereka tidak ada. Maka jelaslah bahwasanya Alloh  adalah Dzat yang menciptakan mereka.
Alloh  berfirman:
“Apakah mereka diciptakan tanpa sesuatupun ataukah mereka yang menciptakan (diri mereka sendiri)?”. [QS. Ath-Thuur: 35]
3. Dalilsyari`at.
Adapun dalil syari`at yang menunjukkan wujudnya Alloh  bahwasanya kitab-kitab samawiyah(yang diturunkan dari atas langit) semuanya telah menyebutkan tentang hal itu.
4. Dalil rasa atau pembuktian.
bahwasanya kita mendengar dan menyaksikan orang-orang yang dikabulkan do’anya.
Alloh  berfirman:
“Dan (ingatlah kisah) Nuh, sebelum itu ketika dia berdoa, dan kami memperkenankan doanya, lalu kami selamatkan dia beserta keluarganya dari bencana yang besar”. [QS. Al-Anbiya’: 76]
• Beriman dengan rububiyah Alloh .
Beriman dengan rububiyah Alloh  maksudnya bahwasanya Dia adalah Tuhan sekaligus raja yang tidak ada yang dapat menciptakan kecuali hanya Dia tidak ada sekutu baginya dan tidak ada penolong.
Alloh  berfirman:
“Ingatlah, menciptakan dan memerintah hanyalah hak Alloh. Maha Suci Alloh, Tuhan semesta alam”. [QS. Al-A’raf: 54]
• Beriman dengan uluhiyah Alloh .
Beriman dengan uluhihyah Alloh  maksudnya adalah bahwasanya Dia adalah satu-satunya Tuhan yang paling berhak untuk disembah tidak ada sekutu baginya.
Alloh  berfirman:
“(Kuasa Alloh) yang demikian itu, adalah Karena Sesungguhnya Alloh, dialah (Tuhan) yang Haq dan Sesungguhnya apa saja yang mereka seru selain dari Alloh, Itulah yang batil, dan Sesungguhnya Alloh, dialah yang Maha Tinggi lagi Maha besar”. [QS. Al-Hajj: 62]
• Beriman dengan asma` dan sifat Alloh .
Beriman dengan asma` dan sifat Alloh  artinya bahwasanya kita menetapkan apa-apa yang ditetapkan oleh Alloh  bagi diriNya sendiri di dalam kitabNya atau sunnah RasulNya  berupa nama-nama dan sifat-sifat atas segi yang layak bagiNya tanpa merubah makna, menolak, menanyakan bagaimana, memisalkanNya.
Alloh  berfirman:
“Hanya milik Alloh asmaa-ul husna, Maka bermohonlah kepada-Nya dengan menyebut asmaa-ul husna itu dan tinggalkanlah orang-orang yang menyimpang dari kebenaran dalam (menyebut) nama-nama-Nya”. [QS. Al-A’raf: 180]
2. BERIMAN KEPADA MALAIKAT.
Malaikat adalah makhluk ghaib yang tidak memiliki kekhususan rububiyah ataupun uluhiyah sedikitpun, diciptakan oleh Alloh  dari cahaya, dijadikan oleh Alloh  sebagai hamba yang memiliki ketaatan yang sempurna dan kekuatan dalam menjalankan ibadah.
Beriman kepada para malaikat mengandung beberapa perkara:
- mengimani wujudnya.
- beriman kepada seluruh malaikat-malaikat yang telah disebutkan namanya seperti: Jibril, Mikail, Malik, Israfil, Malaikat Maut [Sebagian orang menyangka bahwasanya nama malaikat pencabut nyawa adalah ‘Izrail, akan tetapi ini tidak ada dasarnya baik dari al-Qur`an maupun dari riwayat yang shahih, dan yang benar adalah malakul maut (malaikat maut) sebagaimana yang tertera di dalam surat as-Sajdah: 11 dan di dalam hadits yang diriwayatkan oleh al-Bukhari, Muslim, dll. Lihat al-Bidayah wa an-Nihayah oleh. Ibnu Katsir 1/50.], dan juga yang belum disebutkan namanya seperti; malaikat yang ditugaskan untuk meniup ruh di dalam rahim seorang ibu.
- beriman dengan sifat-sifat penciptaannya, seperti jibril yang sayapnya berjumlah 600 sayap dan setiap sayap memenuhi ufuk langit.
- beriman dengan tugas-tugas yang dijalankan oleh para malaikat yang sudah disebutkan. Seperti malaikat jibril sebagai penyampai wahyu.
3. BERIMAN KEPADA KITAB-KITAB.
Maksudnya bahwa kita wajib beriman dengan seluruh kitab-kitab dan bahwasanya Alloh telah menurunkannya kepada para nabi dan rasul untuk menjelaskan hakikat tauhid dan mendakwahkannya.
Iman kepada kitab-kitab mengandung 4(empat) perkara:
- beriman bahwasanya kitab-kitab itu diturunkan oleh Alloh .
- beriman dengan apa-apa yang kita ketahui dari nama-namanya, seperti; al-Qur`an yang diturunkan kepada nabi Muhammad , Taurat yang diturunkan kepada Nabi Musa, Injil yang diturunkan kepada Nabi Isa, dan Zabur yang diturunkan kepada nabi Dawud, adapun yang kita tidak ketahui namanya maka kita beriman kepadanya secara keseluruhan.
- membenarkan kabar-kabar yang telah sah darinya, seperti kabar dari al-Qur`an, dan kabar-kabar yang belum diganti dan dirubah dari kitab-kitab yang telah lalu.
- beriman kepada hukum-hukum yang belum dihapus darinya, ridha dan menerimanya baik kita ketahui hikmahnya maupun yang kita tidak ketahui hikmahnya. Dan seluruh kitab-kitab yang terdahulu telah dihapus hukumnya dengan al-Qur`an.
Alloh  berfirman:
“Dan kami Telah turunkan kepadamu Al Quran dengan membawa kebenaran, membenarkan apa
yang sebelumnya, yaitu kitab-kitab (yang diturunkan sebelumnya) dan batu ujian terhadap kitab-kitab yang lain itu”. [QS. Al-Maidah: 48]
4. BERIMAN KEPADA PARA RASUL.
Maksud dari kata rasul adalah orang-orang yang diberikan wahyu kepadanya dari kalangan manusia dengan syari`at dan diperintahkan untuk menyampaikannya. Adapun nabi adalah orang yang diberikan wahyu akan tetapi tidak diperintahkan untuk menyampaikannya sementara waktu, Maka setiap rasul adalah nabi dan tidak semua nabi adalah rasul.
Seorang muslim wajib beriman kepada para nabi dan rasul baik yang sudah disebutkan nama-namanya ataupun yang tidak disebutkan nama-namanya karena jumlah mereka sangatlah banyak. Di dalam sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Ahmad di dalam Musnad nya no. 21546, 21552 bahwasanya Rasululloh  menyebutkan jumlah nabi adalah 124.000 orang, dan jumlah rasul 312 orang.
Para rasul dan nabi mereka adalah dari kalangan manusia yang tidak memiliki hak rububiyah bahkan uluhiyah sedikitpun. Maka tidak boleh bagi seseorang pun meminta pertolongan kepada mereka ataupun berdoa, mencari berkah, bertawassul dan semisalnya terlebih lagi kepada orang-orang yang dianggap wali.
Alloh  berfiman kepada nabiNya:
“Katakanlah: "Aku tidak berkuasa menarik kemanfaatan bagi diriku dan tidak (pula) menolak kemudharatan kecuali yang dikehendaki Alloh. dan sekiranya Aku mengetahui yang ghaib, tentulah Aku membuat kebajikan sebanyak-banyaknya dan Aku tidak akan ditimpa kemudharatan. Aku tidak lain hanyalah pemberi peringatan, dan pembawa berita gembira bagi orang-orang yang beriman".[QS. Al-A’rof: 188]
Beriman kepada para rasul mengandung beberapa perkara:
- beriman bahwa risalah mereka benar datangnya dari Alloh .
- beriman dengan nama-nama mereka yang telah dikabarkan di dalam dalil-dalil.
- mengamalkan syariat rasul yang diutus kepada kita sekaligus sebagai penutup para rasul yakni Muhammad  yang telah menghapus hukum-hukum syariat yang telah lalu.
5. BERIMAN KEPADA HARI AKHIR.
Arti dari hari akhir adalah hari kiamat yang pada hari itu dibangkitkannya manusia oleh Alloh  untuk dihisab dan diberikan balasan.
Dan beriman kepada hari akhir adalah termasuk rukun iman yang ke lima. Maka barangsiapa yang mendustakannya maka dia telah kafir.
Alloh  berfirman:
“Orang-orang yang kafir mengatakan bahwa mereka sekali-kali tidak akan dibangkitkan. Katakanlah: "Memang, demi Tuhanku, benar-benar kamu akan dibangkitkan, Kemudian akan diberitakan kepadamu apa yang Telah kamu kerjakan." yang demikian itu adalah mudah bagi Alloh”.[QS. At-Taghobun: 7]
Iman kepada hari akhir mengandung beberapa perkara, diantaranya:
- beriman kepada fitnah kubur yakni pertanyaan malaikat tentang tiga perkara; tentang siapa tuhanmu, apa agamamu, dan siapa nabimu. juga beriman kepada nikmat dan siksa kubur, adanya kiamat besar ,adanya mizan (timbangan), adanya lembaran-lembaran catatan amal, adanya hisab (perhitungan amal) dan balasan tatkala Alloh  menghisab amal perbuatan para hamba, beriman dengan adanya al-haudh (telaga), As-Shirot (jembatan), syafa’at, surga dan neraka dan bahwasanya surga dan neraka merupakan tempat yang abadi untuk para hamba. Adapun surga adalah sebuah tempat yang telah disediakan oleh Alloh  untuk para hambaNya yang bertaqwa. Adapun neraka adalah sebuah tempat yang disediakan oleh Alloh  untuk orang-orang yang bermaksiat dari kalangan orang-orang kafir, munafik, dan musyrik.
6. BERIMAN KEPADA QADHA’ DAN QADAR.
Beriman kepada takdir mengandung beberapa perkara:
- beriman bahwasanya Alloh  mengetahui keadaan para hambaNya. Alloh  berfirman di dalam surat al-Ankabut: 62:
“Sesungguhnya Alloh Maha mengetahui segala sesuatu”.
- beriman bahwasanya Alloh telah menulis taqdir para makhluqNya. Alloh  berfirman di dalam surat yasin ayat: 12. “dan segala sesuatu kami kumpulkan dalam Kitab Induk yang nyata (Lauh mahfuzh)”.
- beriman dengan kehendak Alloh . Alloh  berfirman di dalam surat At-Takwir ayat: 29: “Dan kamu tidak dapat menghendaki (menempuh jalan itu) kecuali apabila dikehendaki Alloh, Tuhan semesta alam”.
- beriman bahwa Alloh  adalah Sang Pencipta segala sesuatu. Alloh  berfirman di dalam surat Az-Zumar ayat 62:“Alloh menciptakan segala sesuatu dan dia memelihara segala sesuatu”. Abu Abdillah Rz
[Al-Aqidah Ash-Shohihah wa ma Yudhoodduha oleh Syaikh Bin Baz, Syarh Ushul Al-Iman oleh Syaikh Ibnu Utsaimin, Aqidah Al-Muslim oleh Dr. Sa’id Al-Qohthoni, ‘Alam Al-Malaikah al-Abror, dll].

0 komentar:

Cari Artikel Hidayahsalaf