Larangan
Mencukur Rambut dan Memotong Kuku Bagi Yang Ingin Berqurban
Al Lajnah Ad Da-imah (Komisi Fatwa di Saudi Arabia)
pernah ditanya, “Katanya ada hadits yang menjelaskan bahwa siapa yang ingin
berqurban atau keluarga yang diniatkan pahala untuk berqurban, maka ia tidak
boleh mencukur bulu, rambut kepala dan juga memotong kuku sampai ia berqurban.
Apakah larangan ini umum untuk seluruh anggota keluarga (yang diniatkan dalam
pahala qurban), baik dewasa atau anak-anak? Ataukah larangan ini berlaku untuk
yang sudah dewasa saja, tidak termasuk anak-anak?”
Jawab:
Kami tidak mengetahui lafazh hadits sebagaimana yang
penanya sebutkan. Lafazh yang kami tahu sebagaimana shahih dari
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam diriwayatkan oleh al
Jama’ah kecuali Al Bukhari yaitu dari Ummu Salamah radhiyallahu
‘anha,
إِذَا رَأَيْتُمْ هِلاَلَ ذِى الْحِجَّةِ وَأَرَادَ أَحَدُكُمْ أَنْ يُضَحِّىَ فَلْيُمْسِكْ عَنْ شَعْرِهِ وَأَظْفَارِهِ
“Jika kalian telah menyaksikan hilal Dzul Hijah
(maksudnya telah memasuki satu Dzulhijah, pen) dan kalian ingin berqurban, maka
hendaklah shohibul qurban membiarkan (artinya tidak memotong) rambut dan
kukunya.”[1]
Dalam lafazh lainnya,
مَنْ كَانَ لَهُ ذِبْحٌ يَذْبَحُهُ فَإِذَا أُهِلَّ هِلاَلُ ذِى الْحِجَّةِ فَلاَ يَأْخُذَنَّ مِنْ شَعْرِهِ وَلاَ مِنْ أَظْفَارِهِ شَيْئًا حَتَّى يُضَحِّىَ
“Siapa saja
yang ingin berqurban dan apabila telah memasuki awal Dzulhijah (1 Dzulhijah),
maka janganlah ia memotong rambut dan kukunya sampai ia berqurban.”[2]
Maka hadits ini menunjukkan terlarangnya memotong
rambut dan kuku bagi orang yang ingin berqurban setelah memasuki 10 hari awal
bulan Dzulhijah (mulai dari tanggal 1 Dzulhijah, pen).
Hadits pertama menunjukkan perintah untuk tidak
memotong (rambut dan kuku). Asal perintah di sini menunjukkan wajibnya hal ini.
Kami pun tidak mengetahui ada dalil yang memalingkan dari hukum asal yang wajib
ini. Sedangkan riwayat kedua adalah larangan memotong (rambut dan kuku). Asal
larangan di sini menunjukkan terlarangnya hal ini, yaitu terlarang memotong
(rambut dan kuku). Kami pun tidak mengetahui ada dalil yang memalingkan dari
hukum asal yang melarang hal ini.
Secara jelas pula, hadits ini khusus bagi orang yang
ingin berqurban. Adapun anggota keluarga yang diikutkan dalam pahala qurban,
baik sudah dewasa atau belum, maka mereka tidak terlarang memotong bulu, rambut
dan kuku. Meraka (selain yang berniat qurban) dihukumi sebagaimana hukum asal
yaitu boleh memotong rambut dan kulit dan kami tidak mengetahui adanya dalil
yang memalingkan dari hukum asal ini.
Wa billahit taufiq, wa shallallahu ‘ala nabiyyina
Muhammad wa ‘ala alihi wa shohbihi wa sallam.
Fatwa ini ditandatangani oleh Syaikh ‘Abdul ‘Aziz bin
Baz sebagai Ketua, Syaikh ‘Abdur Rozaq ‘Afifi sebagai Wakil Ketua, Syaikh
‘Abdullah bin Mani’ dan Syaikh ‘Abdullah bin Ghodyan sebagai Anggota.
[Diambil dari Fatwa Al Lajnah Ad Da-imah lil
Buhuts ‘Ilmiyyah wal lIfta’, soal ketiga dari Fatwa no. 1407, 11/426-427,
Darul Ifta’]
Penjelasan Larangan Memotong Rambut dan
Kuku[3]
Para ulama berselisih pendapat mengenai orang yang
akan memasuki 10 hari awal Dzulhijah dan berniat untuk berqurban.
[Pendapat Pertama]
Sa’id bin Al Musayyib, Robi’ah, Imam Ahmad, Ishaq,
Daud dan sebagian murid-murid Imam Asy Syafi’i mengatakan bahwa larangan
memotong rambut dan kuku (bagi shohibul qurban) dihukumi haram sampai diadakan
penyembelihan qurban pada waktu penyembelihan qurban. Secara zhohir (tekstual),
pendapat pertama ini melarang memotong rambut dan kuku bagi shohibul qurban
berlaku sampai hewan qurbannya disembelih. Misal, hewan qurbannya akan
disembelih pada hari tasyriq pertama (11 Dzulhijah), maka larangan tersebut
berlaku sampai tanggal tersebut.
Pendapat pertama yang menyatakan haram mendasarinya
pada hadits larangan shohibul qurban memotong rambut dan kuku yang telah
disebutkan dalam fatwa Lajnah Ad-Daimah di atas.
[Pendapat Kedua]
Pendapat ini adalah pendapat Imam Asy Syafi’i dan
murid-muridnya. Pendapat kedua ini menyatakan bahwa larangan tersebut adalah
makruh yaitu makruh tanzih, dan bukan haram.
Pendapat kedua menyatakannya makruh dan bukan haram
berdasarkan hadits ‘Aisyah yang menyatakan bahwa Nabi shallallahu pernah
berqurban dan beliau tidak melarang apa yang Allah halalkan hingga beliau
menyembelih hadyu (qurbannya di Makkah). Artinya di sini, Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam tidak melakukan sebagaimana orang yang ihrom yang
tidak memotong rambut dan kukunya. Ini adalah anggapan dari pendapat kedua.
Sehingga hadits di atas dipahami makruh.
[Pendapat Ketiga]
Yaitu pendapat Imam Abu Hanifah dan Imam Malik dalam
salah satu pendapatnya menyatakan tidak makruh sama sekali.
Imam Malik dalam salah satu pendapat menyatakan bahwa
larangan ini makruh. Pendapat beliau lainnya mengatakan bahwa hal ini
diharamkan dalam qurban yang sifatnya sunnah dan bukan pada qurban yang wajib.
Pendapat yang lebih kuat adalah pendapat
pertama, berdasarkan larangan yang disebutkan dalam hadits di atas dan pendapat
ini lebih hati-hati. Pendapat ketiga adalah pendapat yang sangat-sangat
lemah karena bertentangan dengan hadits larangan. Sedangkan pendapat yang
memakruhkan juga dinilai kurang tepat karena sebenarnya hadits ‘Aisyah hanya
memaksudkan bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam melakukan
perkara yang sifatnya keseharian yaitu memakai pakaian berjahit dan memakai
harum-haruman, yang seperti ini tidak dibolehkan untuk orang yang ihrom. Namun
untuk memotong rambut adalah sesuatu yang jarang dilakukan (bukan kebiasaan
keseharian) sehingga beliau masih tetap tidak memotong rambutnya ketika hendak
berqurban.
Apa yang dimaksud rambut yang tidak boleh
dipotong?
Yang dimaksud dengan larangan mencabut kuku dan rambut
di sini menurut ulama Syafi’iyah adalah dengan cara memotong, memecahkan atau
cara lainnya. Larangan di sini termasuk mencukur habis, memendekkannya,
mencabutnya, membakarnya, atau memotongnya dengan bara api. Rambut yang dilrang
dipotong tersebut termasuk bulu ketiak, kumis, bulu kemaluan, rambut kepala dan
juga rambut yang ada di badan.
Hikmah Larangan
Menurut ulama Syafi’iyah, hikmah larangan di sini
adalah agar rambut dan kuku tadi tetap ada hingga qurban disembelih, supaya
makin banyak dari anggota tubuh ini terbebas dari api neraka.
Ada pula ulama yang mengatakan bahwa hikmah dari
larangan ini adalah agar tasyabbuh (menyerupai) orang yang
muhrim (berihrom). Namun hikmah yang satu ini dianggap kurang tepat menurut
ulama Syafi’iyah karena orang yang berqurban beda dengan yang muhrim. Orang
berqurban masih boleh mendekati istrinya dan masih diperbolehkan menggunakan
harum-haruman, pakaian berjahit dan selain itu, berbeda halnya orang yang
muhrim.
Penulis: Muhammad Abduh Tuasikal
Artikel https://rumaysho.com
[1] HR. Muslim no. 1977.
[2] HR. Muslim no. 1977.
[3] Kami olah dari Shahih Muslim,
An Nawawi, 6/472, Mawqi’ Al Islam.
0 komentar:
Posting Komentar