Segala puji bagi
Alloh dengan limpahan nikmat-Nya terkhusus nikmat dimudahkannya kita memasuki
bulan Ramadhan dan hari Raya Idul Fithri. Semoga shalawat serta salam selalu
tercurah kepada Nabi Muhammad shallallohu’alaihi wa sallam, keluarga
beserta Para Sahabat yang setia.
Para Pembaca yang
berbahagia,
Berjuta kenangan
indah dengan segala kebaikan, keutamaan, dan nikmatnya ibadah telah terukir
pada bulan Ramadhan yang takkan terlupakan sepanjang masa menjadikan Ramadhan
bulan yang agung dan selalu dinanti-nanti dan dirindukan kedatangannya bagi
orang-orang yang beriman.
Berjuta kenangan terindah karena Ramadhan adalah bulan
diturunkannya Al Qur’an sebagai petunjuk bagi manusia ketika mereka dulunya
tersesat.
Alloh Ta’ala berfirman (artinya):
“Bulan Ramadhan, bulan yang di dalamnya diturunkan (permulaan) Al Quran
sebagai petunjuk bagi manusia dan penjelasan-penjelasan mengenai petunjuk itu
dan pembeda (antara yang hak dan yang bathil)”.QS. Al Baqarah: 185
Berjuta kenangan terindah karena Ramadhan adalah bulan dibukanya
pintu-pintu surga, ditutupnya pintu-pintu neraka, dan dibelenggunya
syetan-syetan.
Rasululloh shallallohu’alaihi
wa sallam bersabda:
إِذَا
جَاءَ رَمَضَانُ فُتِّحَتْ أَبْوَابُ الْجَنَّةِ وَغُلِّقَتْ أَبْوَابُ النَّارِ
وَصُفِّدَتِ الشَّيَاطِينُ
“Apabila telah
datang Ramadhan maka dibukalah pintu-pintu surga, pintu-pintu neraka ditutup
dan syetan-syetan dibelenggu”. (HR. Bukhori, Muslim, Ahmad, dll)
Berjuta kenangan
terindah karena Ramadhan adalah bulan yang di dalamnya terdapat sebuah malam
yang lebih baik daripada seribu bulan dimana pahala ibadah dilipat gandakan
menjadi seribu bulan.
Alloh Ta’ala berfirman (artinya):
“Sesungguhnya Kami telah menurunkannya (Al Quran) pada malam kemuliaan.
Dan tahukah kamu apakah malam kemuliaan itu. Malam kemuliaan itu lebih baik
dari seribu bulan. Pada malam itu turun malaikat-malaikat dan malaikat Jibril
dengan izin Tuhannya untuk mengatur segala urusan. Malam itu (penuh)
kesejahteraan sampai terbit fajar”. QS. Al Qadr: 1-5
Dan masih banyak lagi berjuta kenangan terindah tak terlupakan yang
telah dikabarkan oleh Alloh Ta’ala dan Rasul-Nya Muhammad shallallohu’alaihi wa sallam.
Maka beruntunglah orang-orang
beriman yang dapat merasakan manisnya kenangan-kenangan terindah tersebut
ketika terkumpul di dalam sanubarinya dua hal yang dituntut oleh Syariat, yang
pertama yakni berharap agar seluruh amal kebaikan yang dia usahakan dapat
diterima oleh Alloh Ta’ala, dan yang ke dua yakni khawatir apabila amal-amal
yang telah ia usahakan tidak diterima di sisi Alloh Ta’ala.
Seorang yang beriman tidak perlu bersedih dengan kepergian Ramadhan akan
tetapi hendaklah ia jelang dan hadapi bulan-bulan berikutnya dengan berusaha
istiqomah seperti yang ia telah amalkan pada bulan Madrasah yakni bulan
Ramadhan. Seorang yang beriman hendaklah selalu memohon kepada Alloh Ta’ala
agar ia dipertemukan kembali dengan bulan Ramadhan.
Imam Ibnu Rajab
berkata di dalam kitab Lathaiful Ma’arif 1/232: “Sebagian Salaf (Ulama Sholih
terdahulu-pen) mereka berdoa memohon kepada Alloh selama 6 (enam) bulan agar
bertemu dengan bulan Ramadhan kemudian berdoa juga 6 (enam) bulan berikutnya
agar Alloh menerima ibadah mereka”.
Mu’alla bin Al Fadhl berkata: “Mereka (para Salaf) berdoa
kepada Alloh selama 6 (enam) bulan agar Alloh mempertemukan mereka dengan bulan
Ramadhan". [Ad Durrul Mantsur 1/454 oleh As Suyuthi, Wazhaif Ramadhan hal.
21]
Zakat Fitrhi
Sebagai Pembersih
Saatnya kaum
muslimin sedikit berbagi makanan pokok kepada orang-orang miskin ketika
menjelang lebaran sebagai pembersih dari kesalahan yang dilakukan ketika bulan
Ramadhan.
Rasululloh shallallohu’alaihi
wa sallam bersabda:
فَرَضَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَ سَلَّمَ زكَاةَ الفِطْرِ
طُهْرَةً لِلصَّائِمِ مِنَ اللَّغْوِ وَالرَّفَثِ وَطُعْمَةً
لِلْمَسَاكِيْنَ مَنْ أَدَّاهَا قَبْلَ الصَّلاَةِ فَهِيَ زكَاةٌ مَقْبُوْلَةٌ وَمَنْ
أَدَّاهَا بَعْدَ الصَّلاَةِ فَهِيَ صَدَقَةٌ مِنَ الصَّدَقَاتِ .
“Rasululloh shallallohu’alaihi wa sallam mewajibkan zakat fithri gunanya
sebagai pembersih bagi orang yang berpuasa dari perbuatan sia-sia dan maksiat,
juga untuk memberi makan kepada orang-orang miskin. Barangsiapa yang
menunaikannya sebelum shalat (ied) maka ia zakat yang diterima dan barangsiapa
yang menunaikannya setelah shalat maka ia adalah sedekah biasa dari beberapa
macam sedekah”. [HR. Abu Dawud, Ibnu
Majah dan dihasankan oleh Al Albani]
Bahagia di
Hari Raya
Ketika hari Raya telah tiba Alloh Ta’ala mengizinkan kaum muslimin untuk
bergembira dan bersenang-senang sesuai batas-batas syar’i, yakni dikarenakan
Fadhilah (karunia) dan Rahmat dari Alloh Ta’ala. Sebagaimana mereka juga
berbahagia dengan ibadah-ibadah lainnya terutama yang diamalkan oleh kaum
muslimin pada bulan suci Ramadhan.
Alloh Ta’ala berfirman:
“Katakanlah:
"Dengan karunia Allah dan rahmat-Nya, hendaklah dengan itu mereka
bergembira. Karunia Allah dan rahmat-Nya itu adalah lebih baik dari apa yang
mereka kumpulkan". QS. Yunus: 58
Hari Raya Iedul
Fithri adalah bentuk kasih sayang Alloh Ta’ala kepada kaum muslimin, mereka menampakkan
kesenangan dan kebahagiaan dengan makan dan minum serta bermain-main bersama
kerabat dan teman-teman.
عَنْ أَنَسٍ قَالَ قَدِمَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ الْمَدِينَةَ وَلِأَهْلِ الْمَدِينَةِ يَوْمَانِ يَلْعَبُونَ فِيهِمَا
فَقَالَ قَدِمْتُ عَلَيْكُمْ وَلَكُمْ يَوْمَانِ تَلْعَبُونَ فِيهِمَا فَإِنَّ
اللَّهَ قَدْ أَبْدَلَكُمْ يَوْمَيْنِ خَيْرًا مِنْهُمَا يَوْمَ الْفِطْرِ
وَيَوْمَ النَّحْرِ
Dari Anas berkata, ‘Rasululloh shallallohu’alaihi wa sallam memasuki Madinah, sedangkan penduduk Madinah memiliki dua
hari yang mereka gunakan untuk bermain-main padanya. Beliau berkata: “Aku
menjumpai kalian sedangkan kalian memiliki dua hari yang kalian gunakan untuk
bermain-main padanya, Maka sesungguhnya Alloh telah menggantikan bagi kalian
dua hari yang lebih baik dari keduanya yakni hari Raya Fithri dan Hari Raya
Sembelihan (Adha)”. [HR.
Ahmad 3/103,178,230, Abu Dawud 1134, An Nasa’I 3/179, dan Al Baghawi 1098].
Bahkan dari hadits ‘Aisyah Radhiyallohu’anha pernah
menyebutkan dua orang gadis mendendangkan alunan suara dengan iringan rebana
pada hari Raya yang hal itu disaksikan langsung oleh Rasululloh shallallohu’alaihi wa sallam menunjukkan
bolehnya bagi kaum seperti mereka dan tidak selainnya dikarenakan hari Raya
adalah hari bersenang-senang, makan minum, dan bermain.
Ketika hal itu diingkari
oleh Abu Bakar, maka Rasululloh shallallohu’alaihi
wa sallam seraya menjelaskan; “wahai Abu Bakr,
sesungguhnya setiap kaum memiliki hari Raya, dan inilah Hari Raya kita”. [HR. Bukhori dan Muslim].
Adapun dendangan dan
lantunan lagu-lagu dengan kata-kata yang tidak pantas dan mengarah kepada cinta
dan maksiat serta menampakkan kemungkaran maka hal ini diharamkan. [Ahkamul
‘Iedain hal. 17 oleh Syaikh ‘Ali Hasan Al Halabi Al Atsari]
Bermain-main,
menampakkan kegembiraan, berkumpul
dan saling berkunjung kepada sesama kerabat dan teman hal ini asalnya
mubah (boleh).
Al Hafizh Ibnu Hajar berkata: “Dan di dalam hadits
ini (hadits ‘Aisyah) terdapat beberapa faidah diantaranya; disyariatkannya
berlapang dada kepada keluarga pada hari-hari Raya dengan berbagai macam hal
yang dapat mewujudkan hati yang lapang dan badan yang sehat dari ibadah itu.
Dan menjauhkan diri dari hal itu lebih utama. Dan di dalamnya
(hadits) bahwasanya menampakkan kegembiraan ketika hari-hari Raya termasuk
Syiar agama”. [Fathul Bari 2/443, Ahkamul ‘Iedain hal. 18]
Kaum
muslimin pada hari Raya menampakkan hal-hal yang menyenangkan tersebut karena
Rahmat Alloh Ta’ala dan sebagai perwujudan syukur mereka akan nikmat Alloh
Ta’ala yang begitu indah.
Rasululloh
shallallohu’alaihi wa
sallam bersabda:
لِلصَّائِمِ فَرْحَتَانِ يَفْرَحُهُمَا إِذَا
أَفْطَرَ فَرِحَ وَإِذَا لَقِيَ رَبَّهُ فَرِحَ بِصَوْمِهِ
“Orang yang berpuasa mendapatkan
dua kebahagiaan yang ia berbahagia dengannya; ketika berbuka ia gembira, dan
ketika berjumpa dengan Tuhannya ia gembira dengan puasanya”. [HR. Bukhori &
Muslim].
Ibnu Rajab mengomentari hadits tersebut
mengatakan: “Adapun kegembiraan orang yang berpuasa ketika berbuka dikarenakan
jiwa itu tabiatnya condong kepada makanan, minuman, nikah (hubungan suami
istri). Maka apabila suatu saat ia tidak mendapatkan hal itu atau dilarang
kemudian dibolehkan pada waktu lainnya maka ia gembira dari tadinya dilarang terlebih
lagi ketika ia sangat butuh kepada hal tadi”. [Durus Ramadhan hal.13]
Beliau (Ibnu Rajab) juga berkata: “Adapun kegembiraannya
ketika berjumpa dengan Tuhannya, gembira karena mendapatkan pahala yang tersimpan
di sisi Alloh”. [Durus Ramadhan hal.14]
Bahkan ada diantara kaum muslimin termasuk
orang awam yang saking gembiranya dengan mudah bagi mereka meneteskan air mata
dan tidak dapat menahannya di hari Raya yang penuh dengan kegembiraan yang
dihalalkan oleh Syariat. Demikianlah mudahnya syariat Islam agama Fitrah yang
sempurna dan paripurna ini yang dimana tangisan seperti itu tidaklah
bertentangan dengan agama Fitrah yakni Islam.
Al Imam Ibnul Qoyyim Rahimahulloh menyebutkan
di dalam Zadul Ma’ad bahwasanya
tangisan itu terbagi menjadi 10 (sepuluh) macam:
1.
Tangisan Khauf (takut) dan Khosyah (Khawatir)
2.
Tangisan Rahmat (kasih sayang) dan kelembutan
3.
Tangisan cinta dan rindu
4.
Tangisan gembira dan senang
5.
Tangisan keluh kesah dari
adanya rasa sakit dan tidak mampu menahannya.
6.
Tangisan sedih
7.
Tangisan karena lemah
8.
Tangisan nifaq
9.
Tangisan sandiwara
10.
Tangisan ikut-ikutan.
Syaikh Sholih bin
‘Awad Al Maghamisi hafizhahullohu Ta’ala
pernah ditanya tentang apa hukum bersedih dari berpisah dengan
Ramadhan, ia berkata: “Tidak selayaknya bersedih dari berpisah dengan Ramadhan
karena Alloh Ta’ala berfirman (artinya): “Dan hendaklah kamu mencukupkan bilangannya dan
hendaklah kamu mengagungkan Allah atas petunjuk-Nya yang diberikan kepadamu,
supaya kamu bersyukur”. Maka
Alloh memerintahkan kita untuk bertakbir, dan takbir tidaklah terjadi melainkan
karena bahagia.
Takbir Sebagai Wujud
Rasa Syukur di Hari
Raya
Gema takbir berkumandang pada hari Raya sebagai wujud rasa
syukur kita kepada Alloh Ta’ala.
Alloh Ta’ala
berfirman (artinya):
“Dan hendaklah kamu
mencukupkan bilangannya dan hendaklah kamu mengagungkan Allah atas petunjuk-Nya
yang diberikan kepadamu, supaya kamu bersyukur”. QS. Al Baqarah: 185
Di dalam sebuah Atsar dari Az Zuhri bahwa Nabi shallallohu’alaihi
wa sallam:
كَانَ يَخْرُجُ يَوْمَ الفِطْرِ فَيُكَبِّرُ حَتَّى
يَأْتِيَ المُصَلَّى وَحَتَّى يَقْضِيَ الصَّلاَةَ فَإِذَا قَضَى الصَّلاَةَ قَطَعَ
التَّكْبِيْرَ
“Adalah beliau keluar pada hari Raya Fithri kemudian
bertakbir sampai tiba di lapangan tempat shalat dan sampai menunaikan shalat,
maka apabila beliau telah tunaikan shalat beliau berhenti bertakbir”. [HR. Ibnu
Abi Syaibah di dalam Al Mushonnaf dan Al Mahamili di dalam Kitab
Sholat Al ‘Idain dengan sanad yang shohih akan tetapi mursal akan tetapi ia
memiliki saksi-saksi yang menguatkannya, lihat Al Silsilah Al Ahadits Ash
Shohihah 170]
Al Imam Al Muhaddits Muhammad Nashiruddin Al Albani rahimahulloh
berkata: “Di dalam hadits itu
terdapat dalil tentang disyariatkannya takbir dengan jahar sebagai kebiasaan
kaum muslimin di jalan menuju lapangan tempat shalat walaupun sebagian orang
ada yang meremehkan sunnah ini”. [Ahkamul ‘Iedain 27]
Syaikh ‘Ali Hasan Al Halabi Al Atsari hafizhahulloh menyebutkan:
“Jahar yang tidak dibolehkan di sini adalah jahar dengan satu suara dan
berjamaah sebagai yang diamalkan oleh sebagian kaum muslimin”. [Ahkamul ‘Iedain
hal. 28]
Tentang kapan dimulainya takbir Syaikhul Islam Ibnu
Taimiyah Rahimahulloh berkata: “...dan disyariatkan bagi setiap orang
untuk menjaharkan takbir ketika keluar ke (lapangan) ied, dan ini adalah
kesepakatan Imam yang empat”. [Majmu’ al Fatawa 24/220]
Dari Ibnu Mas’ud berkata ketika menerangkan sifat takbir
yang terkandung di dalamnya dakwah Tauhid: “Allohu Akbar, Allohu Akbar, Laa
ilaaha illallohu wallohu Akbar, Allohu Akbar walillahil Hamd”. HR. Ibnu Abi
Syaibah 2/168 dengan sanad yang shohih
Berharap
Diterimanya
Amal
Ibadah
di Bulan
Ramadhan
Para
Ulama’ terdahulu (Salaf) berharap agar amal ibadah yang mereka selama bulan
Ramadhan diterima oleh Alloh Ta’ala sehingga diantara mereka saling mendoakan
agar diterima.
Syaikhul
Islam Ibnu Taimiyah ketika ditanya tentang ucapan selamat di hari Raya: “Adapun
ucapan selamat pada hari Raya sebagian mereka dengan sebagian lainnya ketika
berjumpa setelah shalat ‘ied: “Taqabbalallohu minna wa minkum (semoga Alloh menerima amal ibadah kami dan
juga kalian), dan semoga Alloh menyempurnakan bagimu, atau semisalnya. Maka hal
ini telah diriwayatkan oleh sekelompok Shahabat bahwasanya mereka
mengamalkannya, adapun sebagian Imam meringnkan hal itu seperti Ahmad dan
selainnya. Akan tetapi Ahmad berkata: “Saya tidak memulai kepada seorangpun,
apabila ada orang yang memulainya maka akan Saya jawab, karena menjawab ucapan
selamat adalah wajib. Adapun memulai dengan ucapan selamat itu bukanlah sunnah
yang diperintahkan dengannya tidak juga dilarang. Barangsiapa yang
mengamalkannya maka ia adalah pemberi tauladan, dan orang yang meninggalkannya
juga sebagai tauladan, Wallohu A’lam”.
Dan telah dibawakan oleh Al Jalal as Suyuthi di dalam
Risalahnya Wushul Al Amani Bi Ushul At Tahani beberapa atsar dari Salaf
tentnag penyebutan ucapan selamat, dan telah dicetak pada Al Hawi Lil Fatawi
1/81,82.
Demikian pula Ibnu hajar menyebutkan bahwa para Shahabat
Nabi shallallohu’alaihi wa
sallam mengucapkan Taqabbalallohu
minna wa minka. [Fathul Bari 2/446]
Di dalam Wazhaif Ramadhan Ibnu Rajab berkata: “Para
Salaf, mereka berusaha dengan sungguh-sungguh untuk menyempurnakan dan
memperbaiki amalan mereka. Kemudian setelah itu mereka sangat memperhatikan agar
amalan mereka diterima, mereka takut jika amalannya tidak diterima. Mereka
itulah orang-orang yang memberikan apa yang telah mereka berikan, dengan hati
yang takut, “Dan orang-orang yang memberikan apa yang telah mereka
berikan, dengan hati yang takut, (karena mereka tahu bahwa) sesungguhnya mereka
akan kembali kepada Tuhan mereka”. QS Al Mu’minun: 60
Diriwayatkan dari ‘Ali, ia berkata:
“Hendaklah kalian lebih memperhatikan agar amalan kalian diterima (setelah
beramal), daripada perhatian kalian terhadap amalan kalian (tatkala sedang
beramal). Apakah kalian tidak mendengar firman Alloh:
“Sesungguhnya
Alloh hanya menerima dari orang-orang yang bertakwa”. QS. Al
Maidah: 27
Dari Fadhalah ia berkata: “Saya mengetahui,
bahwa Alloh menerima amalan saya walaupun sekecil biji sawi lebih saya sukai
daripada dunia dan seisinya karena Alloh berfirman: “Sesungguhnya Alloh hanya
menerima dari orang-orang yang bertakwa”. QS. Al Maidah: 27”.
Abu Darda’ berkata: “Saya mengetahui,
bahwa Alloh telah menerima dariku satu shalat saja lebih aku sukai daripada
bumi dan seisinya, karena Alloh berfirman: “Sesungguhnya Alloh hanya menerima
dari orang-orang yang bertakwa”. QS. Al Maidah: 27”. [Tafsir Ibnu Katsir]
Malik bin Dinar berkata: “Perasaan
takut jikalau amalan tidak diterima, lebih berat daripada beramal”.
‘Atha’ As Sulami berkata:
“Waspadalah, jangan sampai amalanmu bukan karena Alloh”.
Abdul Azizi bin Abi Ruwwad berkata:
“Aku mendapati mereka (para Salaf) sangat bersungguh-sungguh tatkala beramal
shalih. Namun jika mereka telah selesai beramal, mereka ditimpa kesedihan dan
kekhawatiran apakah amalan mereka diterima atau tidak?”
Oleh karena itu para Salaf setelah
enam bulan berdoa agar dipertemukan oleh Alloh dengan Ramadhan. Mereka juga
berdoa setelah Ramadhan selama enam bulan agar amalan mereka diterima oleh
Alloh.
Istiqomah
Setelah Ramadhan Berlalu
Terkadang ada yang merasa rindu
dengan kepergian Ramadhan padahal Rasululloh shallallohu’alaihi wa sallam telah memberikan solusi yang tepat untuk
mengobati rasa rindu tersebut yakni dengan melaksanakan puasa selama enam hari
di bulan syawal sehari setelah hari Raya.
Rasululloh shallallohu’alaihi wa sallam bersabda:
مَنْ
صَامَ رَمَضَانَ ثُمَّ أَتْبَعَهُ سِتًّا مِنْ شَوَّالٍ
كَانَ كَصِيَامِ الدَّهْرِ
“Barangsiapa yang berpuasa Ramadhan kemudian
diikuti oleh puasa enam hari pada bulan syawal, maka seolah-olah ia telah
berpuasa selama setahun”. [HR. Muslim 3/169, Ahmad, Abu Dawud, Tirmidzi, Ibnu Majah, Ibnu Khuzaimah,
dll]
Tanda-tanda Diterimanya
Ibadah Puasa Ramadhan
Syaikh Abdur Razzaq Al Badr di dalam khutbahnya
membawakan perkataan para Ulama tentang tanda-tanda diterimanya amal ibadah
puasa dan menegakkan ibadah shalat pada bulan Ramadhan yaitu; Hendaklah keadaan
seorang hamba setelah bulan Ramadhan lebih tenang, bersyukur, berbuat baik dan
patuh kepada Alloh ‘Azza wa Jalla. Apabila seorang hamba dalam keadaan tersebut maka inilah tanda-tanda
diterimanya amal dan kebaikan. Adapun sebaliknya wahai para hamba Alloh, apabila
keadaan seorang hamba yang tadinya di bulan Ramadhan taat beribadah kemudian
meninggalkannya, kembali bermaksiat, maka hal itu bukanlah tanda kebaikan.
Ulama’ Salaf terdahulu ketika dikabarkan tentang keadaan sebagian orang yang
bersungguh-sungguh di bulan Ramadhan dan ketika berlalu mereka meremehkan
ibadah, berkata Salaf: ‘Seburuk-buruk kaum adalah yang tidak mengenal Alloh
melainkan ketika Ramadhan”.
Semoga tulisan sederhana ini dapat menggugah kembali semangat kita dalam
beribadah di bulan syawal dan bulan-bulan indah lainnya. Dan semoga Alloh
Ta’ala menerima amal ibadah kita semua dan mengabulkan doa-doa yang kita
panjatkan serta rintihan istighfar dan permohonan ampun dari kekeliruan kita
dan kelemahan kita sebagai manusia. Amin Ya Rabbal ‘Alamin.
Wallohu Ta’ala A’lam.
Abu Abdillah Riza
Referensi:
-
Al Qur’an dan
Terjemahannya
-
Ahkamul ‘Iedain
-
Durus Ramadhan
-
Lathaiful Ma’arif
-
Maktabah Syamilah
-
Beberapa situs
berbahasa Arab seperti; ahlalhdeeth.com –saaid.net –islamek.net -dll
0 komentar:
Posting Komentar