WASIAT BERHARGA
BAGI ORANG-ORANG YANG KEMBALI KE SUNNAH (BAG. II)
Segala puji bagi Alloh Robb semesta alam dan sholawat serta salam semoga tercurahkan atas Nabi Muhammad , beserta keluarga, para sahabat dan orang-orang yang mengikuti mereka dengan kebaikan hingga hari kiamat.
Pada bagian pertama telah kita sebutkan 2 wasiat yang berisi dua langkah pertama yang mesti dilakukan oleh orang-orang yang kembali kepada Sunnah Rasululloh . Kedua wasiat itu yakni: Pertama: Mensyukuri nikmat Alloh , dan Kedua: Menuntut ilmu. Berikut ini wasiat selanjutnya, semoga Alloh memberi kita taufik untuk mengamalkannya dan istiqomah di atasnya.
Wasiat Ketiga: Mulailah dengan mempelajari Ushul (pokok-pokok ajaran) Ahlus Sunnah Wal Jama’ah.
Saudaraku – semoga Alloh memberi Anda taufik menuju ketaatan kepada-Nya – bahwa yang kami maksud dengan Ushul di sini bukan hanya Tauhid dengan ketiga bagiannya. Namun, termasuk pula pokok-pokok ajaran lainnya yang menjadi landasan Ahlus Sunnah Wal Jama’ah. Dan membedakan mereka dengan Ahli Bid’ah Wal Furqoh (para pelaku bid’ah lagi berpecah belah).
Ushul atau pokok yang kami maksud adalah seperti Al-Wala’ Wal Baro’ (loyalitas dan dan berlepas diri), Amar ma’ruf nahi munkar, sikap terhadap para Sahabat , menghormati dan membela mereka. Sikap terhadap pemerintah. Sikap terhadap para pelaku maksiat dan dosa besar. Sikap terhadap para pelaku bid’ah, membicarakan mereka dan bermu’amalah dengan mereka. Dan pokok-pokok lainnya yang menjadi landasan Ahlus Sunnah Wal Jama’ah. Mereka cantumkan semua itu dalam kitab-kitab akidah mereka. Untuk menampakkan kebenaran dan membedakan diri dengan orang-orang yang menyimpang, menebar fitnah, mengikuti hawa nafsu dan berpecah belah. Meskipun pada asalnya semua masalah itu merupakan amaliyah, bukan akidah.
Jika Anda menguasai masalah dan ushul ini, maka Anda – dengan izin Alloh - telah terbentengi dalam menghadapi berbagai syubhat yang menyambar kiri kanan.
Namun, ketika banyak dari kalangan orang-orang yang bertaubat melalaikan masalah ini, tanpa mempelajari ushul atau pokok dan manhaj Ahlus Sunnah Wal Jama’ah dalam mengawali taubat mereka. Merekapun goyah tak tentu arah karena syubhat yang paling kecil sekalipun. Hanya kepada Alloh kita memohon keselamatan.
Bagi yang memperhatikan keadaan mereka akan mendapati banyak bentuk dan banyak contoh kebingungan tersebut. Di antaranya sebagai berikut:
Contoh Pertama: Anda akan mendapati seorang yang bertaubat, pada awal mula sangat bersemangat untuk menjauhi Ahli Bid’ah dan Furqah selama beberapa waktu. Kemudian tatkala dia mendangar sebuah syubhat yang dilontarkan oleh orang yang berkedok salafi, yang kesimpulannya:
Bahwa menjauhi Ahli Bid’ah, tidak bergaul dengan mereka adalah tidak benar. Dan hal itu menghilangkan banyak maslahat. Dan bahwasanya tidak seorangpun yang ma’shum (terjaga dari kesalahan) selain Rasululloh . Bahkan para sahabat pun pernah salah.
Ketika dia mendengar syubhat seperti itu, muncul penyakit dalam hatinya. Dia menelan begitu saja syubhat itu lebih cepat dari ia menelan air. Akhirnya dia malah berkumpul dengan Ahli Bid’ah, lembek dalam menerapkan Ushul Salaf atas nama Salafiyyah. Hal ini terjadi tiada lain disebabkan oleh karena dia tidak mempelajari Al-Qur'an dan As-Sunnah berdasarkan pemahaman Salaf yang menjadi pendahulu umat ini. Tidak pula mempelajari Ushul atau Pokok-Pokok Ahlus Sunnah Wal Jama’ah. Sebab jika dia mempelajari perkara ini, niscaya dia akan mengetahui bahwa semua syubhat di atas adalah batil. Bertentangan dengan keadaan Ahlus Sunnah Wal Jama’ah bersama Ahlul Ahwa’ Wal Bida’, baik di zaman dahulu maupun sekarang. Niscaya dia akan mengetahui pula bahwa ucapan orang yang berkedok salafi itu bahwa tidak ada yang ma’shum selain Rasululloh , dan semua orang bisa salah. Dia akan mengetahui bahwa ucapan tersebut memang benar, namun dimaksudkan untuk kebatilan. Sebab Ahlus Sunnah Wal Jama’ah dari kalangan para sahabat dan orang-orang yang mengikuti mereka dengan kebaikan, jika salah seorang dari mereka salah, sesungguhnya kesalahan itu tidak muncul dari hawa nafsu. Bukan pula karena tidak pernah mempelajari dan meneliti Sunnah. Bukan pula karena menakwil nash-nash Al-Qur'an maupun As-Sunnah. Bukan pula karena mengikuti nash-nash Al-Qur'an dan As-Sunnah yang mutasyabih (samar). Seperti halnya para pelaku bid’ah. Namun penyebabnya adalah karena tidak tahu dalil. Atau dia mengetahuinya namun menganggapnya tidak shahih. Atau alasan-alasan lainnya yang merupakan uzur baginya.
Pada merekalah dan juga orang-orang yang mengikuti mereka dengan kebaikan diterapkan sabda Nabi :
“Jika seorang hakim memutuskan perkara dan berijtihad, kemudian dia benar, maka dia mendapatkan dua pahala. Namun jika memutuskan perkara dan berijtihad, kemudian dia salah, maka dia mendapatkan satu pahala.” [Diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim].
Berbeda dengan Ahlul Bid’ah Wal Furqoh. Sesungguhnya mereka tidak peduli dengan dalil. Mereka lebih mengedepankan akal mereka di atas dalil Al-Qur'an dan As-Sunnah. Bahkan mereka membuat ushul atau pokok ajaran sendiri yang bertentangan dengan Ushul Ahlus Sunnah Wal Jama’ah. Mereka ini tidaklah bisa diberikan udzur. Yaitu udzur yang dilontarkan oleh orang yang berkedok salafi itu. Tidaklah memasukkan mereka ini dalam deretan Ahlus Sunnah Wal Jama’ah melainkan orang yang jahil, atau pelaku bid’ah yang menentang.
Contoh Kedua: Terkadang pada awal taubatnya, seseorang bersemangat untuk membantah Ahli Bid’ah, namun tanpa rambu-rambu dan tanpa ilmu. Kemudian sikapnya tersebut berlangsung beberapa waktu. Sehingga ketika dia mendengar syubhat dari orang yang mengakut salafi:
Bahwa kritikan atau bantahan bukanlah manhaj (metode) atau jalan yang digariskan oleh Ahlus Sunnah Wal Jama’ah!
Dan bahwa kritikan atau bantahan membuat hati menjadi keras!!
Dan bahwa fulan pernah mengkritik beberapa jama’ah, akibatnya dia berbalik dan berubah keadaannya ke yang lebih buruk. Ketika dia mendengar syubhat ini, diapun berbalik dan mengingkari ushul atau pokok agung yang menjadi pondasi penegak agama ini. Bahkan bisa jadi Anda setelah itu melihatnya mengajak orang-orang untuk meninggalkan ushul ini dengan alasan bisa membuat hati menjadi keras. Yang benar adalah bahwa perkara ini merupakan ushul atau pokok yang agung. Tegak di atasnya agama yang lurus ini. Dan merupakan pintu kokoh yang melindungi Manhaj Ahlus Sunnah Wal Jama’ah dari penyelewengan. Lebih dari itu perkara ini merupakan ibadah yang agung. Mampu menambah iman seorang muslim. Tapi, ketika terpenuhi syarat-syaratnya: seperti ikhlas dan lainnya. Sehingga perkara ini tidak ada bedanya dengan ibadah lainnya, yaitu bisa menambah keimanan.
Maka aibnya bukanlah terletak pada Ushul atau Pokok ini. Namun sesungguhnya aibnya terletak orang yang menerapkan ushul ini tanpa rambu-rambu. Ketika syubhat mendapatkan sambutan dalam hatinya, dia malah mengingkari ushul ini. Bukannya mengingkari dirinya yang tidak menerapkan ushul ini dengan benar.
Karena itu, dalam diri para sahabat, tabi’ini dan orang-orang yang mengikuti mereka dengan kebaikan, tidaklah kita lihat melainkan kezuhudan, ketakwaan dan rasa takut kepada Alloh serta kelembutan hati. Padahal mereka sering mengkritik dan mengomentari para rawi dan kelompok.
Abdullah bin Mubarok, Ahmad bin Hambal, Yahya bin Ma’in, Ali bin Madini, Abu Hatim Ar-Rozi, Al-Bukhori dan lainnya. Sejarah mereka disinari oleh kezuhudan, kewara’an, rasa takut dan ketakwaan.
Ketidak jelasan dan kebingungan ini disebabkan oleh tidak adanya keikhlasan dan kejujuran dalam bertaubat kepada Alloh . Serta tidak mempelajari ushul atau pokok ajaran Ahlus Sunnah Wal Jama’ah terlebih dahulu.
Karena itu – wahai saudaraku yang bertaubat – Anda harus waspada terhadap semisal ketergelinciran yang membahayakan ini. Ketahuilah bahwa tidak ada jalan selamat dari syubhat-syubhat dan ketergelinciran ini melainkan jika Alloh memberikan Anda taufik dan Anda memulai dengan mempelajari ushul Ahlus Sunnah Wal Jama’ah. Bersemangatlah dalam masalah ini, kerahkan tenaga dan tanamkan azam yang kuat
Serta jujur dan ikhlaslah : Dan orang-orang yang berjihad untuk (mencari keridhaan) Kami, benar- benar akan Kami tunjukkan kepada mereka jalan-jalan kami. dan Sesungguhnya Allah benar-benar beserta orang-orang yang berbuat baik. (QS. Al-Ankabut: 69).
Yakinlah dengan firman Alloh ta'ala (artinya) : Dan Sesungguhnya kalau Kami perintahkan kepada mereka: "Bunuhlah dirimu atau keluarlah kamu dari kampungmu", niscaya mereka tidak akan melakukannya kecuali sebagian kecil dari mereka. dan Sesungguhnya kalau mereka melaksanakan pelajaran yang diberikan kepada mereka, tentulah hal yang demikian itu lebih baik bagi mereka dan lebih menguatkan (iman mereka), dan kalau demikian, pasti Kami berikan kepada mereka pahala yang besar dari sisi Kami, dan pasti Kami tunjuki mereka kepada jalan yang lurus. (QS. An-Nisa’: 66-68).
Hati-hatilah, jangan sampai lemah dan berbalik arah gara-gara sesuatu menimpanya di jalan Alloh. Jangan lupakan firman Alloh ta'ala:
Dan berapa banyaknya Nabi yang berperang bersama-sama mereka sejumlah besar dari pengikut (nya) yang bertakwa. mereka tidak menjadi lemah karena bencana yang menimpa mereka di jalan Allah, dan tidak lesu dan tidak (pula) menyerah (kepada musuh). Allah menyukai orang-orang yang sabar. (QS. Ali Imron: 146).
Wasiat Keempat: Jangan Mengambil Ilmu Kecuali Dari Orang Yang Dikenal Di Atas Sunnah.
Imam Muhammad bin Sirin berkata: “Sesungguhnya ilmu ini adalah agama. Maka lihatlah dari siapa kalian mengambil agama kalian.”
Beliau juga berkata: “Dahulu mereka (ulama Salaf-pent) tidak bertanya tentang sanad. Namun ketika terjadi fitnah, mereka berkata: “Sebutkan perawi-perawi kalian.” Jika dari Ahlus Sunnah, maka haditsnya diterima. Namun jika dari Ahli Bid’ah maka haditsnya tidak diterima.”
Ketika sebagian orang yang bertaubat melalaikan ushul dan rambu-rambu ini, mereka menjadi sasaran syubhat dan bahan permainan orang-orang bertopeng ilmu dan sunnah. Ketika seseorang datang, mengaku berilmu dan menampakkan diri memiliki hubungan dengan para ulama besar Ahlus Sunnah. Maka Anda mendapati saudara-saudara yang taubat ini berkumpul di sekelilingnya tanpa meneliti hakikat dan sepak terjangnya. Ketika dia melihat pengikutnya telah banyak dan para penggemarnya telah mabuk kepayang, dia mulai menampakkan apa yang selama ini dia sembunyikan. Diapun mulai mengajak untuk membangun kekuasaan atau lainnya yang bertentangan dengan ushul Ahlus Sunnah Wal Jama’ah.
Ketika itulah mereka yang bertaubat menjadi bingung. Dan mereka terbagi menjadi dua atau tiga bagian: ada yang mendukung, ada yang menentang dan ada yang netral. Sesungguhnya kebingungan ini terjadi karena dua sebab:
Pertama: Tidak mempelajari ilmu yang bermanfaat, terutama ilmu tentang ushul Ahlus Sunnah Wal Jama’ah. Padahal ilmu melindungi pemiliknya dari ketergelinciran.
Lupakah Anda bagaimana ilmu memelihara Abu Bakrah pada Perang Jamal. Ketika orang-orang memajukan Ummul Mukminin Aisyah radiyallahu 'anha (sebagai pemimpin). Dia berkata: “Alloh memelihara aku dengan satu hal yang aku dengar dari Rosulillah ketika Kisra meninggal. Beliau bertanya: “Siapa yang mereka angkat sebagai penggantinya?” Para sahabat berkata: “Anak perempuannya.” Nabi lantas bersabda: “Tidak akan beruntung satu kaum yang menyerahkan kekuasaannya kepada seorang wanita.”
Abu Bakrah berkata: “Ketika Aisyah datang – yaitu ke Basrah – aku mengingat sabda Rosulillah ini. Maka Alloh pun memelihara aku dengannya.”
Kedua: Tidak merujuk kepada Ulama. Sebab yang paling utama adalah bertanya kepada Ulama dan para penuntut ilmu Ahlus Sunnah Wal Jama’ah yang mengenal orang yang ingin diambil ilmunya tersebut. Hendaklah bertanya:
“Apakah dia termasuk penuntut ilmu yang salafi ataukah bukan?”
“Apakah dia pernah belajar ilmu yang shahih sehingga pantas untuk belajar padanya ataukah tidak?”
Jika jawabannya tidak, maka perkaranya selesai walhamdulillah. Jika jawabannya Iya, maka bisa mengambil ilmu darinya namun tanpa ghuluw terhadapnya. Namun hendaklah menyikapinya sesuai dengan kedudukan dan martabatnya.
Ini merupakan point yang penting. Yaitu memilah antara Ulama’ Robbani yang merupakan rujukan ilmiah dan perkara-perkara baru. Seperti Imam Muhammad Nashiruddin Al-Albani, Imam Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz, Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin dan Syaikh Muqbil bin Hadi Al-Wadi’i rahimahumulloh. Demikian pula para ulama yang masih hidup seperti Syaikh Shalih Fauzan Al-Fauzan, Syaikh Rabi’ bin Hadi Al-Madkhali dan lainnya yang memiliki martabat ulama dan mufti dari kalangan Ahlus Sunnah Wal Jama’ah.
Termasuk pula memilah para penuntut ilmu robbani yang dikenal memiliki ilmu dan bahwa mereka berada di atas Sunnah, yang bisa dilihat dari tulisan-tulisan mereka dan rekomendasi para ulama untuk mereka.
Kemudian para penuntut ilmu yang berada di bawah mereka, yang dikenal salafi dan mampu mengajar.
Wasiat Kelima: Keharusan Untuk Kembali Kepada Ulama Senior Dalam Masalah-Masalah Besar dan Penting.
Kepada para ulama besar robbanilah kita kembali dalam masalah-masalah besar dan penting. Terutama yang mendatangkan maslahat bagi umat Islam. Jika Anda memperhatikan keadaan generasi awal dari kalangan Salafus Shalih, niscaya Anda akan mendapati mereka sangat bersemangat untuk merujuk kepada para ulama senior yang sezaman dengan mereka. Terutama dalam masalah hukum-hukum yang berkaitan dengan pembid’ahan dan pengkafiran.
Perhatikanlah Yahya bin Ya’mar Al-Bashri dan Humaid bin Abdurrahman Al-Himyari Al-Bashri. Ketika muncul Qadariyah di zaman mereka dan mulai tampak perbedaan antaranya dengan ushul Ahlus Sunnah Wal Jama’ah yang bisa membuat mereka (Qadariyah) dihukumi kafir, atau bid’ah atau dikeluarkan dari lingkaran Ahlus Sunnah Wal Jama’ah. Mereka berdua tidaklah tergesa-gesa dalam menghukumi mereka. Namun mereka mendatangi rujukan ilmiyah dari kalangan para ulama dan mufti, yaitu Abdullah bin Umar radiyallahu 'anhuma. Mereka berdua mengabarkan kepadanya tentang Qadariyah. Mereka sebutkan bahwa mereka menganggap tidak ada takdir, segala hal terjadi tiba-tiba. Ibnu Umarpun memberikan fatwa atas kesesatan dan penyimpangan Qadariyah.
Ibnu Umar berkata: “Jika engkau bertemu dengan mereka, katakanlah bahwa aku berlepas diri dari mereka dan mereka berlepas diri dariku. Demi Alloh yang dengan nama-Nya Abdullah bin Umar bersumpah, seandainya salah seorang dari mereka menyedekahkan emas seukuran gunung Uhud. Niscaya Alloh tidak akan menerimanya hingga mereka beriman kepada takdir.”
Kemudian, perhatikanlah Zubaid bin Harits Al-Yami. Ketika muncul Murji’ah di zamannya, dan dia melihat ada penyimpangan pada mereka terhadap Ushul Ahlus Sunnah Wal Jama’ah yang membuat mereka bisa dikeluarkan dari lingkaran Ahlus Sunnah Wal Jama’ah, dia tidaklah tergesa-gesa menghukumi mereka. Bahkan dia mendatangi rujukan ilmiyah di zamannya dari kalangan ulama dan mufti yang menimba ilmu dari para sahabat senior. Yaitu Abu Wa’il Syaqiq bin Salamah Al-Asadi Al-Kufi. Zubaid memberitahukan kepadanya tentang apa yang terjadi. Abu Wa’ilpun memberikan fatwa dengan nash dari Rosululloh yang menunjukkan batilnya syubhat Murji’ah dan menyimpangnya mereka dari Sunnah. Zubaid berkata: “Ketika muncul Murji’ah, aku mendatangi Abu Wa’il dan menyebutkan hal itu padanya. Dia berkata: “Abdullah telah menyampaikan hadits kepadaku bahwa Nabi bersabda:
“Mencerca seorang muslim adalah perbuatan fasik sedang membunuhnya adalah perbuatan kufur.”
Jika Anda bandingkan antara keadaan mereka bersama para ulama zaman mereka, dengan keadaan orang-orang bingung di zaman kita ini, niscaya Anda akan mendapatkan perbedaan yang sangat jauh.
Para Salaf berusaha keras untuk berada di atas rambu ini. Mereka tidak tergesa-gesa menghukumi orang yang terlihat menyimpang di zaman mereka. Hingga mereka mengajukan masalah tersebut kepada para ulama Ahlus Sunnah Wal Jama’ah. Ketika mereka telah mendengar fatwa, mereka pegang teguh fatwa tersebut dan memisahkan diri dengan para penyimpang yang menyelisihi Ahlus Sunnah Wal Jama’ah.
Adapun hari ini, akan jarang Anda dapati orang seperti itu. Sebaliknya yang Anda dapati adalah orang yang tidak menghiraukan ucapan para ulama yang mengingatkan untuk mewaspadai Ahlul Ahwa’ Wal Bida’. Mereka malah memerangi fatwa para ulama dan menyelewengkannya. Kita memohon keselamatan dari Alloh.
Sebagai penutup, kami nasihatkan kepada setiap orang yang menginginkan keselamatan dan kebahagiaan di dunia dan di akhirat untuk berpegang teguh dengan Manhaj Ahlus Sunnah Wal Jama’ah. Agar selamat dari segala syubhat yang menyesatkan. Hendaklah mereka jujur dalam bertaubat, mantap dan kokoh dalam menjalankan sebab yang membantu untuk istiqamah. Tawakkal kepada Alloh. Berserah dirilah kepada Alloh, berdo’alah kepadanya. Mintalah pertolongan dan taufik kepada-Nya.
(diterjemahkan secara bebas dari Al-Washaya As-Saniyyah Lit Ta’ibin Ilas Salafiyyah karya Abu Abdillah Ahmad bin Muhammad Asy-Syihhi).
abu abbas
BAGI ORANG-ORANG YANG KEMBALI KE SUNNAH (BAG. II)
Segala puji bagi Alloh Robb semesta alam dan sholawat serta salam semoga tercurahkan atas Nabi Muhammad , beserta keluarga, para sahabat dan orang-orang yang mengikuti mereka dengan kebaikan hingga hari kiamat.
Pada bagian pertama telah kita sebutkan 2 wasiat yang berisi dua langkah pertama yang mesti dilakukan oleh orang-orang yang kembali kepada Sunnah Rasululloh . Kedua wasiat itu yakni: Pertama: Mensyukuri nikmat Alloh , dan Kedua: Menuntut ilmu. Berikut ini wasiat selanjutnya, semoga Alloh memberi kita taufik untuk mengamalkannya dan istiqomah di atasnya.
Wasiat Ketiga: Mulailah dengan mempelajari Ushul (pokok-pokok ajaran) Ahlus Sunnah Wal Jama’ah.
Saudaraku – semoga Alloh memberi Anda taufik menuju ketaatan kepada-Nya – bahwa yang kami maksud dengan Ushul di sini bukan hanya Tauhid dengan ketiga bagiannya. Namun, termasuk pula pokok-pokok ajaran lainnya yang menjadi landasan Ahlus Sunnah Wal Jama’ah. Dan membedakan mereka dengan Ahli Bid’ah Wal Furqoh (para pelaku bid’ah lagi berpecah belah).
Ushul atau pokok yang kami maksud adalah seperti Al-Wala’ Wal Baro’ (loyalitas dan dan berlepas diri), Amar ma’ruf nahi munkar, sikap terhadap para Sahabat , menghormati dan membela mereka. Sikap terhadap pemerintah. Sikap terhadap para pelaku maksiat dan dosa besar. Sikap terhadap para pelaku bid’ah, membicarakan mereka dan bermu’amalah dengan mereka. Dan pokok-pokok lainnya yang menjadi landasan Ahlus Sunnah Wal Jama’ah. Mereka cantumkan semua itu dalam kitab-kitab akidah mereka. Untuk menampakkan kebenaran dan membedakan diri dengan orang-orang yang menyimpang, menebar fitnah, mengikuti hawa nafsu dan berpecah belah. Meskipun pada asalnya semua masalah itu merupakan amaliyah, bukan akidah.
Jika Anda menguasai masalah dan ushul ini, maka Anda – dengan izin Alloh - telah terbentengi dalam menghadapi berbagai syubhat yang menyambar kiri kanan.
Namun, ketika banyak dari kalangan orang-orang yang bertaubat melalaikan masalah ini, tanpa mempelajari ushul atau pokok dan manhaj Ahlus Sunnah Wal Jama’ah dalam mengawali taubat mereka. Merekapun goyah tak tentu arah karena syubhat yang paling kecil sekalipun. Hanya kepada Alloh kita memohon keselamatan.
Bagi yang memperhatikan keadaan mereka akan mendapati banyak bentuk dan banyak contoh kebingungan tersebut. Di antaranya sebagai berikut:
Contoh Pertama: Anda akan mendapati seorang yang bertaubat, pada awal mula sangat bersemangat untuk menjauhi Ahli Bid’ah dan Furqah selama beberapa waktu. Kemudian tatkala dia mendangar sebuah syubhat yang dilontarkan oleh orang yang berkedok salafi, yang kesimpulannya:
Bahwa menjauhi Ahli Bid’ah, tidak bergaul dengan mereka adalah tidak benar. Dan hal itu menghilangkan banyak maslahat. Dan bahwasanya tidak seorangpun yang ma’shum (terjaga dari kesalahan) selain Rasululloh . Bahkan para sahabat pun pernah salah.
Ketika dia mendengar syubhat seperti itu, muncul penyakit dalam hatinya. Dia menelan begitu saja syubhat itu lebih cepat dari ia menelan air. Akhirnya dia malah berkumpul dengan Ahli Bid’ah, lembek dalam menerapkan Ushul Salaf atas nama Salafiyyah. Hal ini terjadi tiada lain disebabkan oleh karena dia tidak mempelajari Al-Qur'an dan As-Sunnah berdasarkan pemahaman Salaf yang menjadi pendahulu umat ini. Tidak pula mempelajari Ushul atau Pokok-Pokok Ahlus Sunnah Wal Jama’ah. Sebab jika dia mempelajari perkara ini, niscaya dia akan mengetahui bahwa semua syubhat di atas adalah batil. Bertentangan dengan keadaan Ahlus Sunnah Wal Jama’ah bersama Ahlul Ahwa’ Wal Bida’, baik di zaman dahulu maupun sekarang. Niscaya dia akan mengetahui pula bahwa ucapan orang yang berkedok salafi itu bahwa tidak ada yang ma’shum selain Rasululloh , dan semua orang bisa salah. Dia akan mengetahui bahwa ucapan tersebut memang benar, namun dimaksudkan untuk kebatilan. Sebab Ahlus Sunnah Wal Jama’ah dari kalangan para sahabat dan orang-orang yang mengikuti mereka dengan kebaikan, jika salah seorang dari mereka salah, sesungguhnya kesalahan itu tidak muncul dari hawa nafsu. Bukan pula karena tidak pernah mempelajari dan meneliti Sunnah. Bukan pula karena menakwil nash-nash Al-Qur'an maupun As-Sunnah. Bukan pula karena mengikuti nash-nash Al-Qur'an dan As-Sunnah yang mutasyabih (samar). Seperti halnya para pelaku bid’ah. Namun penyebabnya adalah karena tidak tahu dalil. Atau dia mengetahuinya namun menganggapnya tidak shahih. Atau alasan-alasan lainnya yang merupakan uzur baginya.
Pada merekalah dan juga orang-orang yang mengikuti mereka dengan kebaikan diterapkan sabda Nabi :
“Jika seorang hakim memutuskan perkara dan berijtihad, kemudian dia benar, maka dia mendapatkan dua pahala. Namun jika memutuskan perkara dan berijtihad, kemudian dia salah, maka dia mendapatkan satu pahala.” [Diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim].
Berbeda dengan Ahlul Bid’ah Wal Furqoh. Sesungguhnya mereka tidak peduli dengan dalil. Mereka lebih mengedepankan akal mereka di atas dalil Al-Qur'an dan As-Sunnah. Bahkan mereka membuat ushul atau pokok ajaran sendiri yang bertentangan dengan Ushul Ahlus Sunnah Wal Jama’ah. Mereka ini tidaklah bisa diberikan udzur. Yaitu udzur yang dilontarkan oleh orang yang berkedok salafi itu. Tidaklah memasukkan mereka ini dalam deretan Ahlus Sunnah Wal Jama’ah melainkan orang yang jahil, atau pelaku bid’ah yang menentang.
Contoh Kedua: Terkadang pada awal taubatnya, seseorang bersemangat untuk membantah Ahli Bid’ah, namun tanpa rambu-rambu dan tanpa ilmu. Kemudian sikapnya tersebut berlangsung beberapa waktu. Sehingga ketika dia mendengar syubhat dari orang yang mengakut salafi:
Bahwa kritikan atau bantahan bukanlah manhaj (metode) atau jalan yang digariskan oleh Ahlus Sunnah Wal Jama’ah!
Dan bahwa kritikan atau bantahan membuat hati menjadi keras!!
Dan bahwa fulan pernah mengkritik beberapa jama’ah, akibatnya dia berbalik dan berubah keadaannya ke yang lebih buruk. Ketika dia mendengar syubhat ini, diapun berbalik dan mengingkari ushul atau pokok agung yang menjadi pondasi penegak agama ini. Bahkan bisa jadi Anda setelah itu melihatnya mengajak orang-orang untuk meninggalkan ushul ini dengan alasan bisa membuat hati menjadi keras. Yang benar adalah bahwa perkara ini merupakan ushul atau pokok yang agung. Tegak di atasnya agama yang lurus ini. Dan merupakan pintu kokoh yang melindungi Manhaj Ahlus Sunnah Wal Jama’ah dari penyelewengan. Lebih dari itu perkara ini merupakan ibadah yang agung. Mampu menambah iman seorang muslim. Tapi, ketika terpenuhi syarat-syaratnya: seperti ikhlas dan lainnya. Sehingga perkara ini tidak ada bedanya dengan ibadah lainnya, yaitu bisa menambah keimanan.
Maka aibnya bukanlah terletak pada Ushul atau Pokok ini. Namun sesungguhnya aibnya terletak orang yang menerapkan ushul ini tanpa rambu-rambu. Ketika syubhat mendapatkan sambutan dalam hatinya, dia malah mengingkari ushul ini. Bukannya mengingkari dirinya yang tidak menerapkan ushul ini dengan benar.
Karena itu, dalam diri para sahabat, tabi’ini dan orang-orang yang mengikuti mereka dengan kebaikan, tidaklah kita lihat melainkan kezuhudan, ketakwaan dan rasa takut kepada Alloh serta kelembutan hati. Padahal mereka sering mengkritik dan mengomentari para rawi dan kelompok.
Abdullah bin Mubarok, Ahmad bin Hambal, Yahya bin Ma’in, Ali bin Madini, Abu Hatim Ar-Rozi, Al-Bukhori dan lainnya. Sejarah mereka disinari oleh kezuhudan, kewara’an, rasa takut dan ketakwaan.
Ketidak jelasan dan kebingungan ini disebabkan oleh tidak adanya keikhlasan dan kejujuran dalam bertaubat kepada Alloh . Serta tidak mempelajari ushul atau pokok ajaran Ahlus Sunnah Wal Jama’ah terlebih dahulu.
Karena itu – wahai saudaraku yang bertaubat – Anda harus waspada terhadap semisal ketergelinciran yang membahayakan ini. Ketahuilah bahwa tidak ada jalan selamat dari syubhat-syubhat dan ketergelinciran ini melainkan jika Alloh memberikan Anda taufik dan Anda memulai dengan mempelajari ushul Ahlus Sunnah Wal Jama’ah. Bersemangatlah dalam masalah ini, kerahkan tenaga dan tanamkan azam yang kuat
Serta jujur dan ikhlaslah : Dan orang-orang yang berjihad untuk (mencari keridhaan) Kami, benar- benar akan Kami tunjukkan kepada mereka jalan-jalan kami. dan Sesungguhnya Allah benar-benar beserta orang-orang yang berbuat baik. (QS. Al-Ankabut: 69).
Yakinlah dengan firman Alloh ta'ala (artinya) : Dan Sesungguhnya kalau Kami perintahkan kepada mereka: "Bunuhlah dirimu atau keluarlah kamu dari kampungmu", niscaya mereka tidak akan melakukannya kecuali sebagian kecil dari mereka. dan Sesungguhnya kalau mereka melaksanakan pelajaran yang diberikan kepada mereka, tentulah hal yang demikian itu lebih baik bagi mereka dan lebih menguatkan (iman mereka), dan kalau demikian, pasti Kami berikan kepada mereka pahala yang besar dari sisi Kami, dan pasti Kami tunjuki mereka kepada jalan yang lurus. (QS. An-Nisa’: 66-68).
Hati-hatilah, jangan sampai lemah dan berbalik arah gara-gara sesuatu menimpanya di jalan Alloh. Jangan lupakan firman Alloh ta'ala:
Dan berapa banyaknya Nabi yang berperang bersama-sama mereka sejumlah besar dari pengikut (nya) yang bertakwa. mereka tidak menjadi lemah karena bencana yang menimpa mereka di jalan Allah, dan tidak lesu dan tidak (pula) menyerah (kepada musuh). Allah menyukai orang-orang yang sabar. (QS. Ali Imron: 146).
Wasiat Keempat: Jangan Mengambil Ilmu Kecuali Dari Orang Yang Dikenal Di Atas Sunnah.
Imam Muhammad bin Sirin berkata: “Sesungguhnya ilmu ini adalah agama. Maka lihatlah dari siapa kalian mengambil agama kalian.”
Beliau juga berkata: “Dahulu mereka (ulama Salaf-pent) tidak bertanya tentang sanad. Namun ketika terjadi fitnah, mereka berkata: “Sebutkan perawi-perawi kalian.” Jika dari Ahlus Sunnah, maka haditsnya diterima. Namun jika dari Ahli Bid’ah maka haditsnya tidak diterima.”
Ketika sebagian orang yang bertaubat melalaikan ushul dan rambu-rambu ini, mereka menjadi sasaran syubhat dan bahan permainan orang-orang bertopeng ilmu dan sunnah. Ketika seseorang datang, mengaku berilmu dan menampakkan diri memiliki hubungan dengan para ulama besar Ahlus Sunnah. Maka Anda mendapati saudara-saudara yang taubat ini berkumpul di sekelilingnya tanpa meneliti hakikat dan sepak terjangnya. Ketika dia melihat pengikutnya telah banyak dan para penggemarnya telah mabuk kepayang, dia mulai menampakkan apa yang selama ini dia sembunyikan. Diapun mulai mengajak untuk membangun kekuasaan atau lainnya yang bertentangan dengan ushul Ahlus Sunnah Wal Jama’ah.
Ketika itulah mereka yang bertaubat menjadi bingung. Dan mereka terbagi menjadi dua atau tiga bagian: ada yang mendukung, ada yang menentang dan ada yang netral. Sesungguhnya kebingungan ini terjadi karena dua sebab:
Pertama: Tidak mempelajari ilmu yang bermanfaat, terutama ilmu tentang ushul Ahlus Sunnah Wal Jama’ah. Padahal ilmu melindungi pemiliknya dari ketergelinciran.
Lupakah Anda bagaimana ilmu memelihara Abu Bakrah pada Perang Jamal. Ketika orang-orang memajukan Ummul Mukminin Aisyah radiyallahu 'anha (sebagai pemimpin). Dia berkata: “Alloh memelihara aku dengan satu hal yang aku dengar dari Rosulillah ketika Kisra meninggal. Beliau bertanya: “Siapa yang mereka angkat sebagai penggantinya?” Para sahabat berkata: “Anak perempuannya.” Nabi lantas bersabda: “Tidak akan beruntung satu kaum yang menyerahkan kekuasaannya kepada seorang wanita.”
Abu Bakrah berkata: “Ketika Aisyah datang – yaitu ke Basrah – aku mengingat sabda Rosulillah ini. Maka Alloh pun memelihara aku dengannya.”
Kedua: Tidak merujuk kepada Ulama. Sebab yang paling utama adalah bertanya kepada Ulama dan para penuntut ilmu Ahlus Sunnah Wal Jama’ah yang mengenal orang yang ingin diambil ilmunya tersebut. Hendaklah bertanya:
“Apakah dia termasuk penuntut ilmu yang salafi ataukah bukan?”
“Apakah dia pernah belajar ilmu yang shahih sehingga pantas untuk belajar padanya ataukah tidak?”
Jika jawabannya tidak, maka perkaranya selesai walhamdulillah. Jika jawabannya Iya, maka bisa mengambil ilmu darinya namun tanpa ghuluw terhadapnya. Namun hendaklah menyikapinya sesuai dengan kedudukan dan martabatnya.
Ini merupakan point yang penting. Yaitu memilah antara Ulama’ Robbani yang merupakan rujukan ilmiah dan perkara-perkara baru. Seperti Imam Muhammad Nashiruddin Al-Albani, Imam Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz, Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin dan Syaikh Muqbil bin Hadi Al-Wadi’i rahimahumulloh. Demikian pula para ulama yang masih hidup seperti Syaikh Shalih Fauzan Al-Fauzan, Syaikh Rabi’ bin Hadi Al-Madkhali dan lainnya yang memiliki martabat ulama dan mufti dari kalangan Ahlus Sunnah Wal Jama’ah.
Termasuk pula memilah para penuntut ilmu robbani yang dikenal memiliki ilmu dan bahwa mereka berada di atas Sunnah, yang bisa dilihat dari tulisan-tulisan mereka dan rekomendasi para ulama untuk mereka.
Kemudian para penuntut ilmu yang berada di bawah mereka, yang dikenal salafi dan mampu mengajar.
Wasiat Kelima: Keharusan Untuk Kembali Kepada Ulama Senior Dalam Masalah-Masalah Besar dan Penting.
Kepada para ulama besar robbanilah kita kembali dalam masalah-masalah besar dan penting. Terutama yang mendatangkan maslahat bagi umat Islam. Jika Anda memperhatikan keadaan generasi awal dari kalangan Salafus Shalih, niscaya Anda akan mendapati mereka sangat bersemangat untuk merujuk kepada para ulama senior yang sezaman dengan mereka. Terutama dalam masalah hukum-hukum yang berkaitan dengan pembid’ahan dan pengkafiran.
Perhatikanlah Yahya bin Ya’mar Al-Bashri dan Humaid bin Abdurrahman Al-Himyari Al-Bashri. Ketika muncul Qadariyah di zaman mereka dan mulai tampak perbedaan antaranya dengan ushul Ahlus Sunnah Wal Jama’ah yang bisa membuat mereka (Qadariyah) dihukumi kafir, atau bid’ah atau dikeluarkan dari lingkaran Ahlus Sunnah Wal Jama’ah. Mereka berdua tidaklah tergesa-gesa dalam menghukumi mereka. Namun mereka mendatangi rujukan ilmiyah dari kalangan para ulama dan mufti, yaitu Abdullah bin Umar radiyallahu 'anhuma. Mereka berdua mengabarkan kepadanya tentang Qadariyah. Mereka sebutkan bahwa mereka menganggap tidak ada takdir, segala hal terjadi tiba-tiba. Ibnu Umarpun memberikan fatwa atas kesesatan dan penyimpangan Qadariyah.
Ibnu Umar berkata: “Jika engkau bertemu dengan mereka, katakanlah bahwa aku berlepas diri dari mereka dan mereka berlepas diri dariku. Demi Alloh yang dengan nama-Nya Abdullah bin Umar bersumpah, seandainya salah seorang dari mereka menyedekahkan emas seukuran gunung Uhud. Niscaya Alloh tidak akan menerimanya hingga mereka beriman kepada takdir.”
Kemudian, perhatikanlah Zubaid bin Harits Al-Yami. Ketika muncul Murji’ah di zamannya, dan dia melihat ada penyimpangan pada mereka terhadap Ushul Ahlus Sunnah Wal Jama’ah yang membuat mereka bisa dikeluarkan dari lingkaran Ahlus Sunnah Wal Jama’ah, dia tidaklah tergesa-gesa menghukumi mereka. Bahkan dia mendatangi rujukan ilmiyah di zamannya dari kalangan ulama dan mufti yang menimba ilmu dari para sahabat senior. Yaitu Abu Wa’il Syaqiq bin Salamah Al-Asadi Al-Kufi. Zubaid memberitahukan kepadanya tentang apa yang terjadi. Abu Wa’ilpun memberikan fatwa dengan nash dari Rosululloh yang menunjukkan batilnya syubhat Murji’ah dan menyimpangnya mereka dari Sunnah. Zubaid berkata: “Ketika muncul Murji’ah, aku mendatangi Abu Wa’il dan menyebutkan hal itu padanya. Dia berkata: “Abdullah telah menyampaikan hadits kepadaku bahwa Nabi bersabda:
“Mencerca seorang muslim adalah perbuatan fasik sedang membunuhnya adalah perbuatan kufur.”
Jika Anda bandingkan antara keadaan mereka bersama para ulama zaman mereka, dengan keadaan orang-orang bingung di zaman kita ini, niscaya Anda akan mendapatkan perbedaan yang sangat jauh.
Para Salaf berusaha keras untuk berada di atas rambu ini. Mereka tidak tergesa-gesa menghukumi orang yang terlihat menyimpang di zaman mereka. Hingga mereka mengajukan masalah tersebut kepada para ulama Ahlus Sunnah Wal Jama’ah. Ketika mereka telah mendengar fatwa, mereka pegang teguh fatwa tersebut dan memisahkan diri dengan para penyimpang yang menyelisihi Ahlus Sunnah Wal Jama’ah.
Adapun hari ini, akan jarang Anda dapati orang seperti itu. Sebaliknya yang Anda dapati adalah orang yang tidak menghiraukan ucapan para ulama yang mengingatkan untuk mewaspadai Ahlul Ahwa’ Wal Bida’. Mereka malah memerangi fatwa para ulama dan menyelewengkannya. Kita memohon keselamatan dari Alloh.
Sebagai penutup, kami nasihatkan kepada setiap orang yang menginginkan keselamatan dan kebahagiaan di dunia dan di akhirat untuk berpegang teguh dengan Manhaj Ahlus Sunnah Wal Jama’ah. Agar selamat dari segala syubhat yang menyesatkan. Hendaklah mereka jujur dalam bertaubat, mantap dan kokoh dalam menjalankan sebab yang membantu untuk istiqamah. Tawakkal kepada Alloh. Berserah dirilah kepada Alloh, berdo’alah kepadanya. Mintalah pertolongan dan taufik kepada-Nya.
(diterjemahkan secara bebas dari Al-Washaya As-Saniyyah Lit Ta’ibin Ilas Salafiyyah karya Abu Abdillah Ahmad bin Muhammad Asy-Syihhi).
abu abbas
0 komentar:
Posting Komentar