KEDUDUKAN AKAL DALAM
ISLAM
Oleh
Ustadz Musyaffa
Ustadz Musyaffa
Segala puji bagi
Allâh Azza wa Jalla , yang telah menganugerahkan kepada umat manusia hati
nurani, yang dengannya mereka menjadi berakal, mampu berfikir, merenung, dan
membedakan mana yang baik dan mana yang buruk. Allâh Azza wa Jalla berfirman :
وَجَعَلَ
لَكُمُ السَّمْعَ وَالْأَبْصَارَ وَالْأَفْئِدَةَ ۙ لَعَلَّكُمْ تَشْكُرُونَ
Dialah yang
menjadikan kalian memiliki pendengaran, penglihatan, dan hati, supaya kalian
bersyukur [an-Nahl/16:78]
Ibnu Katsîr
rahimahullah ketika menafsirkan ayat ini mengatakan, “Allâh Azza wa Jalla
memberikan mereka telinga untuk mendengar, mata untuk melihat, dan hati -yakni
akal yang tempatnya di hati(baca; dada, jantung-tahqiq)- untuk membedakan mana yang
bermanfaat dan mana yang membahayakan… Dan Allâh Azza wa Jalla memberikan umat
manusia kenikmatan-kenikmatan ini, agar dengannya mereka dapat beribadah kepada
Rabb-nya.”[1]
Shalawat dan salam,
semoga selalu tercurahkan kepada Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam ,
sang teladan yang telah mendorong umatnya, untuk terus meningkatkan kemampuan
akalnya dalam memahami agama ini, sebagaimana dalam sabdanya :
مَنْ
يُرِدْ اللهُ بهِ خَيْرًا يُفَقِّهْهُ فِي الدِّينِ
Barangsiapa yang
Allâh kehendaki kebaikan padanya, maka Dia akan dipahamkan dalam agamanya. [HR.
Bukhâri, no. 69; Muslim, no.1719]
Begitu pula dalam
sabdanya :
خِيَارُهُمْ
فِي الْجَاهِلِيَّةِ خِيَارُهُمْ فِي الْإِسْلَامِ، إِذَا فَقُهُوا
Orang yang paling
baik di masa jahiliyyah, adalah orang yang paling baik setelah masuk Islam,
jika mereka menjadi seorang yang faqih (ahli dan alim dalam ilmu syariat). [HR.
Bukhâri, no. 3353 ; Muslim, no. 2378]
Lihatlah bagaimana
Rasul Shallallahu ‘alaihi wa sallam memberikan dorongan kepada umatnya untuk
menjadi Muslim yang benar-benar memahami syarîat Islam, dan itu tidak mungkin
dicapai, kecuali dengan memanfaatkan sebaik mungkin akalnya.
Perlu diketahui bahwa
sebagian Ulama membagi akal menjadi dua jenis yaitu akal insting dan akal
tambahan. Akal insting adalah kemampuan dasar manusia untuk berfikir dan
memahami sesuatu yang dibawa sejak lahir. Sedangkan akal tambahan adalah
kemampuan berfikir dan memahami, yang dibentuk oleh pengalaman dan pengetahuan
yang dimiliki oleh seseorang.
Ibnul Qayyim
rahimahullah mengatakan, “Jika dua akal ini berkumpul pada seorang hamba, maka
itu merupakan anugerah besar yang diberikan oleh Allâh kepada hamba yang
dikehendaki-Nya, urusan hidupnya akan menjadi baik, dan pasukan kebahagiaan
akan mendatanginya dari segala arah. [Miftâhu Dâris Sa’âdah, 1/117]
Tentunya adanya
pembedaan dua jenis akal di atas, tidak berarti adanya pemisah antara akal
insting dengan akal tambahan. Karena akal tambahan pada dasarnya adalah akal
insting yang telah berkembang seiring bertambahnya ilmu dan pengalaman yang
diperoleh seseorang. Bisa dikatakan, bahwa akal tambahan melazimkan adanya akal
insting. Sebaliknya, sangat jarang adanya akal insting yang tidak berkembang
seiring berjalannya waktu, wallahu a’lam.
KEUTAMAAN AKAL
Akal merupakan karunia agung yang diberikan Allâh Azza wa Jalla kepada bani Adam. Ia adalah pembeda antara manusia dengan hewan, dengannya mereka dapat terus berinovasi dan membangun peradaban, dan dengannya mereka dapat membedakan mana yang bermanfaat dan mana yang berbahaya sesuai jangkauan akal mereka.
Akal merupakan karunia agung yang diberikan Allâh Azza wa Jalla kepada bani Adam. Ia adalah pembeda antara manusia dengan hewan, dengannya mereka dapat terus berinovasi dan membangun peradaban, dan dengannya mereka dapat membedakan mana yang bermanfaat dan mana yang berbahaya sesuai jangkauan akal mereka.
Karena besarnya
karunia akal ini, Islam menggariskan banyak syariat untuk menjaga dan
mengembangkannya, seperti:
• Mengharamkan apapun
yang dapat menghilangkan akal, baik makanan, minuman, ataupun tindakan. Juga
memberikan hukuman khusus berupa cambuk, bagi mereka yang sengaja makan atau
minum apapun yang memabukkan.
• Memasukkan akal
dalam lima hal primer yang harus dijaga dalam syarîat Islam, yakni: agama,
jiwa, keturunan, akal dan harta.
• Menjadikannya
sebagai syarat utama taklîf (kewajiban dalam syariat). Oleh karena itu, ada
batasan baligh, karena orang yang belum baligh biasanya kurang sempurna akalnya.
Oleh karena itu pula, semua orang yang hilang akalnya, bebas atau gugur
kewajibannya menjalankan syariat.
• Menganjurkan,
bahkan mewajibkan umatnya untuk belajar. Lalu memberikan derajat yang tinggi bagi
mereka yang berilmu dan mengamalkan ilmunya.
• Melarang umatnya
membaca bacaan atau mendengarkan perkataan-perkataan, yang dapat menyesatkannya
dari pemahaman yang benar.
Semua hal di atas
digariskan oleh Islam, terutama untuk menjaga nikmat akal, mensyukurinya, dan
mengembangkannya. Bahkan dalam al-Qur’ân, sangat banyak kita dapati ayat-ayat
yang mendorong manusia agar memanfaatkan akalnya untuk hal-hal yang berguna,
terutama untuk mencari hakekat kebenaran. Berikut ini, merupakan sebagian kecil
dari contoh ayat-ayat tersebut :
وَهُوَ
الَّذِي يُحْيِي وَيُمِيتُ وَلَهُ اخْتِلَافُ اللَّيْلِ وَالنَّهَارِ ۚ أَفَلَا
تَعْقِلُونَ
Dialah yang
menghidupkan dan mematikan, Dia pula yang mengatur pergantian malam dan siang.
Tidakkah kalian menalarnya?! [al-Mukminûn/23:80]
قُلْ
هَلْ يَسْتَوِي الْأَعْمَىٰ وَالْبَصِيرُ ۚ أَفَلَا تَتَفَكَّرُونَ
Katakanlah: samakah
antara orang yang buta dengan orang yang melihat?! Tidakkah kalian
memikirkannya?! [al-An’am/6:50]
انْظُرْ
كَيْفَ نُصَرِّفُ الْآيَاتِ لَعَلَّهُمْ يَفْقَهُونَ
Perhatikanlah,
bagaimana kami menjelaskan berulang-ulang tanda-tanda kekuasaan Kami, agar
mereka memahaminya! [al-An’am/6:65]
أَفَلَا
يَتَدَبَّرُونَ الْقُرْآنَ ۚ وَلَوْ كَانَ مِنْ عِنْدِ غَيْرِ اللَّهِ لَوَجَدُوا
فِيهِ اخْتِلَافًا كَثِيرًا
Tidakkah mereka
merenungi al-Qur’ân?! Sekiranya ia bukan dari Allâh , pastilah mereka menemukan
banyak hal yang bertentangan di dalamnya. [an-Nisâ’/4:82]
أَفَلَا
يَنْظُرُونَ إِلَى الْإِبِلِ كَيْفَ خُلِقَتْ ﴿١٧﴾ وَإِلَى السَّمَاءِ كَيْفَ
رُفِعَتْ ﴿١٨﴾ وَإِلَى الْجِبَالِ كَيْفَ نُصِبَتْ ﴿١٩﴾ وَإِلَى الْأَرْضِ كَيْفَ
سُطِحَتْ ﴿٢٠﴾ فَذَكِّرْ إِنَّمَا أَنْتَ مُذَكِّرٌ
Tidakkah kalian
memperhatikan pada unta, bagaimana ia diciptakan? Dan pada langit, bagaimana ia
ditinggikan? Dan pada gunung-gunung, bagaimana itu ditegakkan? Dan pada bumi,
bagaimana ia dihamparkan? Maka berilah peringatan, sesungguhnya engkau hanyalah
pemberi peringatan. (QS. al-Ghasyiyah/88:17-20)
ILMU LEBIH TINGGI
DARIPADA AKAL (AKAL MEMBUTUHKAN WAHYU).
Betapa pun jenius dan tingginya kemampuan akal, tetap saja ia merupakan salah satu dari kekuatan manusia. Dan tidak bisa kita pungkiri bahwa semua kekuatan manusia pasti memiliki batasan dan titik lemah. Tidak lain, itu disebabkan karena sumber kekuatannya adalah makhluk yang lemah, dan sumber yang lemah, tentu akan menghasilkan sesuatu yang ada lemahnya pula.
Betapa pun jenius dan tingginya kemampuan akal, tetap saja ia merupakan salah satu dari kekuatan manusia. Dan tidak bisa kita pungkiri bahwa semua kekuatan manusia pasti memiliki batasan dan titik lemah. Tidak lain, itu disebabkan karena sumber kekuatannya adalah makhluk yang lemah, dan sumber yang lemah, tentu akan menghasilkan sesuatu yang ada lemahnya pula.
Diantara bukti adanya
titik lemah pada akal manusia, adalah adanya banyak hakekat yang tidak bisa
dijelaskan olehnya, seperti: hakekat ruh, mimpi, jin, mukjizat, karamah, dan
masih banyak lagi. Belum lagi, seringnya kita dapati adanya perubahan pada
hasil penelitiannya; dahulu berkesimpulan dunia ini datar, lalu muncul teori
bulat, lalu muncul teori lonjong. Dahulu mengatakan minyak bumi adalah sumber
energi tak terbarukan, lalu muncul teori sebaliknya. Dahulu mengatakan matahari
mengitari bumi, lalu muncul teori sebaliknya, dan begitu seterusnya.
Kenyataan ini
menunjukkan, bahwa akal tidak layak dijadikan sebagai sandaran untuk menetapkan
kebenaran hakiki. Apabila ada sumber kebenaran hakiki yang diwahyukan, maka
itulah yang harus dikedepankan, sedangkan akal diberi ruang untuk memahami dan
menerima dengan apa adanya.
Oleh karenanya, Islam
memberi ruang khusus bagi akal, ia hanya boleh menganalisa sesuatu yang masih
dalam batasan jangkauannya, ia tidak boleh melewati batasan tersebut, kecuali
dengan petunjuk nash-nash yang diwahyukan.
Syaikhul Islam Ibnu
Taimiyyah rahimahullah mengatakan, “Akal merupakan syarat dalam mempelajari
semua ilmu. Ia juga syarat untuk menjadikan semua amalan itu baik dan sempurna,
dan dengannya ilmu dan amal menjadi lengkap. Namun (untuk mencapai itu semua),
akal bukanlah sesuatu yang dapat berdiri sendiri, tapi akal merupakan kemampuan
dan kekuatan dalam diri seseorang, sebagaimana kemampuan melihat yang ada pada
mata. Maka apabila akal itu terhubung dengan cahaya iman dan al-Qur’ân, maka
itu ibarat cahaya mata yang terhubung dengan cahaya matahari atau api”
[Majmû’ul Fatâwâ, 3/338].
Karena kenyataan ini,
maka hendaklah kita mengetahui batasan-batasan akal, sehingga kita tahu, kapan
kita boleh melepas akal kita di lautan pandangan, dan kapan kita harus
mengontrolnya dengan wahyu Allâh Azza wa Jalla . Ini merupakan bentuk lain dari
penghormatan Islam terhadap akal. Islam menempatkannya pada posisi yang layak,
sekaligus menjaganya agar tidak terjatuh ke dalam jurang kesesatan yang
membingungkan.
Diantara beberapa
hal, yang kita tidak boleh mengedepankan akal dalam membahasnya adalah:
• Hal-hal yang
berhubungan dengan akidah dan perkara-perkara ghaib. Seperti menetapkan atau
menafikan Nama dan Sifat Allâh Azza wa Jalla , surga dan neraka, nikmat dan
siksa kubur, jin dan setan, malaikat, keadaan hari kiamat, dan lain-lain.
• Dasar-dasar akhlak
dan adab yang tidak bertentangan dengan syarîat, seperti adab makan dan minum,
adab buang hajat, akhlak terhadap orang tua, sesama, dan anak kecil, dan
lain-lain.
• Ajaran syarîat
Islam, terutama dalam masalah ibadah, seperti menetapkan atau menafikan syariat
shalat, zakat, puasa, haji, jihâd, dan lain-lain.[2]
Dalam perkara-perkara
ini, memang dibutuhkan akal untuk memahami, merenungi, dan menyimpulkan suatu
hukum dari dalil, tapi akal tidak boleh keluar dari dalil yang ada, ia tidak
boleh menentangnya, ataupun mengada-ada.
Adapun yang
berhubungan dengan alam semesta yang kasat-mata, maka itulah lautan luas yang
diberikan kepada akal manusia untuk terus menganalisa dan meneliti, terus
menemukan dan mengolahnya. Inilah yang banyak disinggung dalam firman-firman
Allâh Subhanahu wa Ta’ala :
أَوَلَمْ
يَنْظُرُوا فِي مَلَكُوتِ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ وَمَا خَلَقَ اللَّهُ مِنْ
شَيْءٍ
Tidakkah mereka
memperhatikan kerajaan langit dan bumi, serta segala sesuatu yang diciptakan
Allâh ?! [al-A’râf/7:185]
وَفِي
الْأَرْضِ آيَاتٌ لِلْمُوقِنِين ﴿٢٠﴾ وَفِي أَنْفُسِكُمْ ۚ أَفَلَا تُبْصِرُونََ
Di bumi itu terdapat
tanda-tanda kebesaran Allâh bagi orang-orang yang yakin… dan juga pada diri
kalian sendiri, tidakkah kalian memperhatikannya?! [adz-Dzariyât/51:20-21]
أَفَلَمْ
يَنْظُرُوا إِلَى السَّمَاءِ فَوْقَهُمْ كَيْفَ بَنَيْنَاهَا وَزَيَّنَّاهَا وَمَا
لَهَا مِنْ فُرُوج ﴿٦﴾ وَالْأَرْضَ مَدَدْنَاهَا وَأَلْقَيْنَا فِيهَا رَوَاسِيَ
وَأَنْبَتْنَا فِيهَا مِنْ كُلِّ زَوْجٍ بَهِيجٍ ﴿٧﴾ تَبْصِرَةً وَذِكْرَىٰ
لِكُلِّ عَبْدٍ مُنِيبٍ
Maka tidakkah mereka
memperhatikan langit yang ada di atas mereka, bagaimana cara Kami membangun dan
menghiasinnya dan tidak ada keretakan sedikitpun padanya?… Dan (bagaimana) bumi
Kami hamparkan, Kami pancangkan di atasnya gunung-gunung yang kokoh, dan Kami
tumbuhkan di atasnya tanaman-tanaman yang indah… Agar menjadi pelajaran dan
peringatan bagi setiap hamba yang kembali (tunduk kepadaNya). [Qaf/50:6-8]
AKAL BUKAN SEBAGAI
HAKIM, NAMUN ALAT UNTUK MEMAHAMI
Setelah kita memahami uraian di atas, tentu kita akan sampai pada kesimpulan, bahwa akal merupakan nikmat yang sangat agung, namun ia bukanlah segalanya. Kita harus menempatkannya pada tempat yang layak, dan tidak membebaninya dengan sesuatu yang tidak bisa dijangkau olehnya.
Setelah kita memahami uraian di atas, tentu kita akan sampai pada kesimpulan, bahwa akal merupakan nikmat yang sangat agung, namun ia bukanlah segalanya. Kita harus menempatkannya pada tempat yang layak, dan tidak membebaninya dengan sesuatu yang tidak bisa dijangkau olehnya.
Jika ada keterangan
wahyu dalam masalah apapun, maka itulah yang harus didahulukan, dan akal harus
menyesuaikan dengannya, memahaminya, dan menerimanya dengan apa adanya. Memang,
kadang keterangan wahyu menjadikan akal tertegun, namun ia tidak akan
menganggapnya sebagai sesuatu yang mustahil.
Akhirnya, penulis
akan tutup tulisan ini, dengan perkataan yang layak ditorehkan dengan tinta
emas, dari salah seorang Ulama besar Islam, beliau adalah Ibnu Abil Izz
rahimahullah :
وَقَدْ
تَوَاتَرَتِ الأَخْبَارُ عَنْ رَسُوِلِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِي
ثُبُوْتِ عَذَابِ الْقَبْرِ, وَنَعِيْمِهِ لِمَنْ كَانَ لِذَلِكَ أَهْلاً, وَسُؤَالِ
الْمُكَلَّفِيْنَ , فَيَجِبُ إِعْتِقَادُ ثُبُوْتِ ذَلِكَ , وَالإيْمَانُ بِهِ ,
وَلاَ نَتَكَلَّمُ فِي كَيْفِيَّتِهِ , إِذْ لَيْسَ لِلْعَقْلِ وُقُوْفٌ عَلَى
كَيْفِيَّتِهِ, لِكَوْنِهِ لاَ عَهْدَ لَهُ بِهِ
غَيْرُ هَذِهِ الدَّارِ, وَالشَّرْعُ لاَ يَأْتِي بِمَا تُحِيْلُهُ الْعُقُوْلُ ,
وَلَكِنَّهُ قَدْ يَأْتِي بِمَا تُحَارُ فِيْهِ الْعُقُوْلُ
Telah datang
keterangan dalam banyak hadits yang telah mencapai derajat mutawatir, tentang
adanya adzab kubur dan nikmatnya bagi orang yang berhak, serta pertanyaan kubur
bagi mereka yang mukallaf. Maka itu wajib diyakini dan diimani kebenarannya,
dan kita tidak boleh membicarakan tentang gambaran detailnya, karena memang
akal tidak boleh menerka gambaran detailnya, demikian itu, karena akal tidaklah
menyaksikan kecuali dunia yang ada ini. Dan Syariat tidak akan datang dengan
sesuatu yang dimustahilkan akal, meski kadang datang dengan sesuatu yang
membingungkannya. [Syarhu Aqîdah Thahâwiyyah, hlm. 399]
Sekian, semoga
tulisan sederhana ini bermanfaat, terutama bagi penulis sendiri, umumnya bagi
semua yang membacanya.
[Disalin dari majalah
As-Sunnah Edisi 08/Tahun XVI/1433H/2012M. Penerbit Yayasan Lajnah Istiqomah
Surakarta, Jl. Solo-Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp.
0271-858197 Fax 0271-858196]
_______
Footnote
[1]. Tafsir Ibnu Katsir (4/590), dengan sedikit penyesuaian.
[2]. Lihat kitab Al-Islam wal Aql, karya: Abdul Halim Mahmud, hal: 30.
_______
Footnote
[1]. Tafsir Ibnu Katsir (4/590), dengan sedikit penyesuaian.
[2]. Lihat kitab Al-Islam wal Aql, karya: Abdul Halim Mahmud, hal: 30.
0 komentar:
Posting Komentar