بسم الله الرحمن الرحيم
ISTIQAMAH SETELAH RAMADHAN
Tidak terasa, waktu begitu cepat berlalu, dan bulan Ramadhan yang
penuh dengan keberkahan dan keutamaan berlalu sudah. Semoga kita tidak termasuk
orang-orang yang celaka karena tidak mendapatkan pengampunan dari Allah Ta’ala selama bulan Ramadhan,
sebagaimana yang tersebut dalam doa yang diucapkan oleh malaikat Jibril ‘alaihissalam dan diamini
oleh Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam:
“Celakalah
seorang hamba yang mendapati bulan Ramadhan kemudian Ramadhan berlalu dalam keadaan
dosa-dosanya belum diampuni (oleh Allah Ta’ala )”1.
Salah seorang ulama salaf berkata: “Barangsiapa yang tidak diampuni
dosa-dosanya di bulan Ramadhan maka tidak akan diampuni dosa-dosanya di
bulan-bulan lainnya”2.
Oleh karena itu, mohonlah dengan sungguh-sungguh kepada Allah Ta’ala agar
Dia menerima amal kebaikan kita di bulan yang penuh berkah ini dan mengabulkan
segala doa dan permohonan ampun kita kepada-Nya, sebagaimana sebelum datangnya
bulan Ramadhan kita berdoa kepada-Nya agar Allah Ta’ala  mempertemukan
kita dengan bulan Ramadhan dalam keadaan hati kita kita dipenuhi dengan
keimanan dan pengharapan akan ridha-Nya. Imam Mu’alla bin al-Fadhl berkata:
“Dulunya (para salaf) berdoa kepada Allah Ta’ala (selama)
enam bulan agar Allah mempertemukan mereka dengan bulan Ramadhan, kemudian
mereka berdoa kepada-Nya (selama) enam bulan (berikutnya) agar Dia menerima
(amal-amal shalih) yang mereka (kerjakan)”3.
Lalu muncul satu pertanyaan besar
dengan sendirinya: Apa yang tertinggal dalam diri kita setelah Ramadhan
berlalu? Bekas-bekas kebaikan apa yang terlihat pada diri kita setelah keluar
dari madrasah bulan puasa?
Apakah bekas-bekas itu hilang
seiring dengan berlalunya bulan itu? Apakah amal-amal kebaikan yang terbiasa kita
kerjakan di bulan itu pudar setelah puasa berakhir?
Jawabannya ada pada kisah berikut
ini:
Imam Bisyr bin al-Harits al-Hafi pernah ditanya tentang orang-orang
yang (hanya) rajin dan sungguh-sungguh beribadah di bulan Ramadhan, maka beliau
menjawab: “Mereka adalah orang-orang yang sangat buruk, (karena) mereka tidak
mengenal hak Allah kecuali hanya di bulan Ramadhan, (hamba Allah) yang shaleh
adalah orang yang rajin dan sungguh-sungguh beribadah dalam setahun penuh”4.
Demi Allah, inilah hamba Allah Ta’ala  yang
sejati, yang selalu menjadi hamba-Nya di setiap tempat dan waktu, bukan hanya
di waktu dan tempat tertentu.
Imam Asy-Syibli pernah ditanya: Mana yang lebih utama, bulan Rajab
atau bulan Sya’ban? Maka beliau menjawab: “Jadilah kamu seorang Rabbani (hamba Allah Ta’ala  yang
selalu beribadah kepada-Nya di setiap waktu dan tempat), dan janganlah kamu
menjadi seorang Sya’bani (orang yang hanya beribadah kepada-Nya
di bulan Sya’ban atau bulan tertentu lainnya)”5.
Maka sebagaimana kita membutuhkan dan mengharapkan rahmat Allah Ta’ala di
bulan Ramadhan, bukankah kita juga tetap membutuhkan dan mengharapkan
rahmat-Nya di bulan-bulan lainnya? Bukankah kita semua termasuk dalam
firman-Nya:
{يَا
أَيُّهَا النَّاسُ أَنْتُمُ الْفُقَرَاءُ إِلَى اللَّهِ وَاللَّهُ هُوَ الْغَنِيُّ
الْحَمِيد}
“Hai manusia, kalian semua butuh kepada (rahmat) Allah; dan Allah
Dia-lah Yang Maha Kaya lagi Maha Terpuji” (QS Faathir: 15).
Inilah makna istiqamah yang sesungguhnya dan inilah pertanda
diterimanya amal shaleh seorang hamba. Imam Ibnu Rajab berkata: “Sesungguhnya
Allah jika Dia menerima amal (kebaikan) seorang hamba maka Dia akan memberi
taufik kepada hamba-Nya tersebut untuk beramal shaleh setelahnya, sebagaimana
ucapan salah seorang dari mereka (ulama salaf): Ganjaran perbuatan baik adalah (taufik dari
Allah Ta’ala  untuk melakukan) perbuatan baik
setelahnya. Maka barangsiapa yang mengerjakan amal kebaikan, lalu dia
mengerjakan amal kebaikan lagi setelahnya, maka itu merupakan pertanda
diterimanya amal kebaikannya yang pertama (oleh Allah Ta’ala), sebagaimana barangsiapa
yang mengerjakan amal kebakan, lalu dia dia mengerjakan perbuatan buruk
(setelahnya), maka itu merupakan pertanda tertolak dan tidak diterimanya amal
kebaikan tersebut”6.
Oleh karena itulah, Allah Ta’ala  mensyariatkan
puasa enam hari di bulan Syawwal, yangkeutamannya sangat besar yaitu menjadikan
puasa Ramadhan dan puasa enam hari di bulan Syawwal pahalanya seperti puasa
setahun penuh, sebagaimana sabda Rasululah Shallallahu’alaihi Wasallam:
“Barangsiapa
yang berpuasa (di bulan) Ramadhan, kemudian dia mengikutkannya dengan (puasa sunnah) enam hari di bulan Syawwal, maka
(dia akan mendapatkan pahala) seperti puasa setahun penuh”7.
Di samping itu juga untuk tujuan memenuhi keinginan hamba-hamba-Nya
yang shaleh dan selalu rindu untuk mendekatkan diri kepada Allah Ta’ala dengan
puasa dan ibadah-ibadah lainnya, karena mereka adalah orang-orang yang merasa
gembira dengan mengerjakan ibadah puasa. Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda:
“Orang
yang berpuasa akan merasakan dua kegembiraan (besar): kegembiraan ketika
berbuka puasa dan kegembiraan ketika dia
bertemu Allah”8.
Inilah bentuk amal kebaikan yang paling dicintai oleh AllahTa’ala dan
Rasul-Nya Shallallahu’alaihi Wasallam.
Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda: “Amal (ibadah) yang paling
dicintai Allah Ta’ala  adalah amal yang paling terus-menerus
dikerjakan meskipun sedikit”9.
Ummul mu’minin ‘Aisyah Radhiallahu’anha berkata:
“Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam jika mengerjakan
suatu amal (kebaikan) maka beliau Shallallahu’alaihi Wasallam akan
menetapinya”10.
Inilah makna istiqamah setelah bulan Ramadhan, inilah tanda diterimanya amal-amal kebaikan
kita di bulan yang berkah itu, maka silahkan menilai diri kita sendiri, apakah
kita termasuk orang-orang yang beruntung dan diterima amal kebaikannya atau
malah sebaliknya.
{فَاعْتَبِرُوا
يَا أُولِي الأبْصَارِ}
“Maka ambillah pelajaran (dari semua ini), wahai orang-orang yang
mempunyai akal sehat” (QS al-Hasyr: 2).
وصلى
الله وسلم وبارك على نبينا محمد وآله وصحبه أجمعين، وآخر دعوانا أن الحمد لله رب
العالمين
Kota Kendari, 6 Ramadhan 1433
H
 —
1 HR Ahmad (2/254), al-Bukhari dalam “al-Adabul mufrad”
(no. 644), Ibnu Hibban (no. 907) dan al-Hakim (4/170), dinyatakan shahih oleh
Ibnu Hibban, al-Hakim, adz-Dzahabi dan al-Albani.
2 Dinukil oleh imam Ibnu Rajab dalam
kitab “Latha-iful
ma’aarif” (hal. 297).
3 Dinukil oleh imam Ibnu Rajab
al-Hambali dalam kitab “Latha-iful ma’aarif” (hal. 174).
4 Dinukil oleh imam Ibnu Rajab
al-Hambali dalam kitab “Latha-iful ma’aarif” (hal. 313).
5 Ibid.
6 Kitab “Latha-iful ma’aarif”
(hal. 311).
7 HSR Muslim (no. 1164).
8 HSR al-Bukhari (no. 7054) dan Muslim
(no. 1151).
9 HSR al-Bukhari (no. 6099) dan Muslim (no. 783).
10 HSR Muslim (no. 746).
—
Penulis: Ustadz Abdullah bin Taslim al-Buthani, MA.
Artikel Muslim.Or.Id
Artikel Muslim.Or.Id

 
 
 
 
 
 
 
0 komentar:
Posting Komentar